Claim Missing Document
Check
Articles

Found 17 Documents
Search

REGIONAL ANESTHESIA IN MOLAR PREGNANCY WITH THYROTOXICOSIS IN A REMOTE HOSPITAL Ryalino, Christopher; Aryasa, Tjahya; Budiarta, I Gede; Senapathi, Tjokorda Gde Agung
Bali Journal of Anesthesiology Vol 1, No 3 (2017)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15562/bjoa.v1i3.22

Abstract

Hydatidiform mole or molar pregnancy is a benign Gestational Trophoblastic Disease (GTD) that originates from the placenta. Treatment consists of vacuum evacuation but rarely hysterectomy may be required. One common complication of molar pregnancy is hyperthyroid. Anesthetic management is often complicated by the associated systemic complications. These complications cannot be prevented, but with a better understanding of the disease, some measurements to avoid maternal mortality can be performed.  
Anaesthesia management on pregnancy with co-morbid asthma undergoing non-obstetric surgery Aryasa, Tjahja; Senapathi, Tjokorda GA; Ryalino, Christopher; Pranoto, Theodorus Pascalis Yullie
Bali Journal of Anesthesiology Vol 3, No 2 (2019)
Publisher : DiscoverSys Inc.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (149.479 KB) | DOI: 10.15562/bjoa.v3i0.141

Abstract

In the pregnancy process, there is a significant physiological change in the mother. Physiological changes, pre-pregnancy conditions, or those that arise during the pregnancy process will affect the delivery outcome. Also, it turns out that the presence of this preexisting condition will affect the outcome process, especially the anaesthetic technique used, the chosen anaesthetic technique is determined based on the age of the pregnancy, surgical procedures to be performed, surgery site, and overall patient condition. Whatever technique is selected, it must use the right method based on clinical decisions and accordingly to the existing guidelines. This condition is a challenge for an anesthesiologist.
Manajemen Hipertiroid pada Kehamilan Reni Anggraeni; Tjahya Aryasa EM
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 5 No 2 (2022): Juli
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v5i2.102

Abstract

Hipertiroid pada kehamilan didefinisikan sebagai peningkatan kadar free T4. Hipertiroid terjadi pada 2/1000 kehamilan dimana 85% disebabkan oleh penyakit Graves. Hipertiroid yang tidak terkontrol selama kehamilan meningkatkan resiko preeklampsia berat pada ibu, berat badan lahir rendah pada kehamilan dan badai tiroid intraoperatif. Masalah perioperatif yang perlu diperhatikan pada ibu hamil dengan hipertiroid adalah sirkulasi hiperdinamik yang mengarah kepada gagal jantung, disritmia jantung, kesulitan pengelolaan jalan nafas, serta badai tiroid. Resiko badai tiroid dapat diminimalkan dengan persiapan preoperatif yang baik dari pasien hipertiroid, salah satunya dengan cara menghambat sintesa dan sekresi hormon tiroid sebelum operasi. Terapi utama hipertiroid pada kehamilan adalah propilthiourasil (PTU) dan methimazole dimana keduanya sama efektif dalam mengontrol tirotoksikosis dalam kehamilan. Akan tetapi, PTU lebih direkomendasikan sebagai terapi lini pertama pengobatan hipertiroid pada kehamilan terutama di trimester pertama karena tidak mengganggu organogenesis. Manajemen anestesi operasi elektif termasuk optimalisasi kondisi pasien hingga eutiroid, dimana pengobatan diberikan selama 2–3 minggu, sebelum direncanakan operasi. Sedangkan pada kasus gawat darurat, pasien diberikan terapi seperti pada pasien dengan badai tiroid yaitu PTU, glukokortikoid intravena, natrium iodida, dan propranolol. Pasien hamil dengan hipertiroid tidak terkontrol yang akan dilakukan operasi darurat, diperlakukan seperti badai tiroid dan diberikan terapi sesuai. Tidak ada perbedaan signifikan antara anestesi umum dengan anestesi regional pada pasien hamil dengan hipertiroid, namun anestesi regional lebih dipilih karena resiko yang lebih kecil, dan dipersiapkan obat-obat untuk antisipasi terjadinya badai tiroid perioperatif
Manajemen Anestesi Perioperatif pada Kehamilan dengan Trombositopenia Kristian Felix Wundiawan; Tjahya Aryasa EM; Made Wiryana
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 6 No 1 (2023): Maret
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v6i1.109

Abstract

Trombositopenia dalam kehamilan adalah suatu kondisi dimana jumlah hitung trombosit kurang dari 150.000 /µL dan bisa terjadi secara fisiologis. Pada kasus kehamilan dengan trombositopenia, ada kalanya diperlukan terminasi kehamilan melalui operasi seksio sesarea. Manajemen anestesi dengan pembiusan umum dikhawatirkan berdampak buruk pada janin akibat obat atau agen anestesi yang digunakan, sedangkan manjemen anestesi dengan pembiusan regional dikhawatirkan berdampak buruk pada ibu yaitu risiko terjadinya neuraksial hematom dengan komorbid trombositopenia. Pemilihan teknik manajemen anestesi perioperatif didasarkan pada penilaian klinis pasien dan jumlah hitung trombosit dengan rentang batasan minimal yang aman untuk dilakukan tindakan regional anestesi (neuraksial) adalah 75.000 /µL–80.000 /µL. Pada kasus yang dilakukan manajemen anestesi dengan pembiusan umum, dapat dipertimbangkan dilakukan induksi dengan pemberian opioid untuk menekan dan menumpulkan rangsang simpatis saat dilakukan laringoskopi intubasi yang bertujuan mencegah komplikasi seperti perdarahan intra-serebral. Trombositopenia pada kehamilan dapat memperberat kehamilan itu sendiri namun pada umumnya persalinan berjalan lancar dan memberikan hasil akhir yang baik. Kolaborasi antara interdisiplin secara komprehensif dan holistik diperlukan untuk menangani kasus ini mulai dari perencanaan tindakan, tatalaksana dan pencegahan komplikasi pada ibu dan janin. Tidak diragukan lagi, kasus gravida dengan trombositopenia merupakan tantangan unik bagi tim anestesi. Dengan terus berkembangnya ilmu dan penelitian dibidang ini, masih perlu dibuat panduan dan batasan yang jelas terkait manajemen perioperatif pada pasien gravida dengan trombositopenia.
Penggunaan Opioid Free Anesthesia pada Pasien Kehamilan Ektopik Terganggu dengan Hemodinamik Stabil yang Menjalani Operasi Laparotomi Devina Martina Bumi; Tjahya Aryasa EM; Made Wiryana
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 6 No 2 (2023): Juli
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v6i2.115

Abstract

Opioid adalah analgesia yang paling sering digunakan pada periode perioperatif. Saat ini di Amerika Serikat, adiksi opioid menjadi epidemi dan kematian akibat overdosis opioid sintetis meningkat pesat selama dekade terakhir. Sekitar 6% dari populasi di Amerika berusia 15–64 tahun dilaporkan melakukan penyalahgunaan opioid, dan perkiraan kematian akibat overdosis opioid adalah 115 per hari pada tahun 2015. Hal ini juga dikaitkan dengan efek samping yang tidak diinginkan seperti depresi napas, ileus, retensi urine, mual dan muntah pascaoperasi (PONV), imunosupresi, dan opioid induced hyperalgesia. Wanita 20 tahun dengan berat 51 kg direncanakan untuk laparotomi eksplorasi emergensi. Pasien didiagnosis dengan akut abdomen e.c kehamilan ektopik terganggu. Teknik anestesi yang digunakan adalah anestesi umum dengan metode opioid free anesthesia (OFA). Selama operasi didapatkan hemodinamik yang stabil mulai induksi, intubasi, sampai pasca operasi. Keluhan nyeri pasca operasi dan efek samping lainnya tidak ditemukan pada pasien ini. OFA didefinisikan sebagai teknik anestesi di mana opioid tidak digunakan pada periode perioperatif (baik sistemik, neuroaksial maupun intrakaviter). Manajemen nyeri multimodal adalah cara terbaik untuk mengurangi konsumsi opioid. Penggunaan analgesik non-opioid multimodal intraoperatif memungkinkan penghambatan reseptor pre-emptive di jalur nyeri yang kompleks, baik secara sentral maupun perifer. Anestesi yang stabil dapat dicapai dengan menggunakan pendekatan multimodal dari obat-obatan simpatolitik dan analgesik non-opioid. Pada kasus ini, OFA memberikan kestabilan hemodinamik mulai induksi, intubasi, sampai pasca operasi, tidak didapatkan keluhan nyeri pasca operasi, tidak ada penggunaan rescue analgesik, dan tidak ada keluhan mual dan muntah pasca operasi.
Machine Learning as Our Weapon to Become Anesthesiologist 5.0 Ratumasa, Marilaeta Cindryani Ra; Sucandra, MA Kresna; Aryasa, Tjahya; Sutawan, IB Krisna Jaya
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 41 No 3 (2023): Oktober
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55497/majanestcricar.v41i3.319

Abstract

Machine learning is one of the most renowned things that have emerged in the last five years in medicine. The machine is made as if it has the cognitive ability to think independently, is able to distinguish incoming inputs and get the desired output. Along with the development of statistical and computer science, machine learning has evolved into a distinct subfield within the broader domain of data science, with far-reaching implications for various sectors, including healthcare. In medical science, technology and artificial intelligence are starting to take over anesthetic services. This paradigm shift necessitates a fundamental change in the role of future anesthesiologists A future anesthesiologist will need to continuously monitor and evaluate the performance of data science and artificial intelligence systems, and make adjustments when necessary to improve impact on patient care and outcomes. Anesthesiologists of the future will need to harness the power of data science and artificial intelligence to enhance patient care continually, emphasizing adaptability and collaboration as key elements in delivering improved healthcare outcomes.
Epidural Anaesthesia Technique in Caesarean Section Operation in Pregnant Patients with Rheumatic Heart Disease and Severe Mitral Stenosis Wangsa, Aditya; FX Adinda Putra Pradhana; Tjahya Aryasa EM; Cynthia Dewi Sinardja
Journal of Anesthesiology and Clinical Research Vol. 4 No. 2 (2023): Journal of Anesthesiology and Clinical Research
Publisher : HM Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37275/jacr.v4i2.324

Abstract

Introduction: Mitral stenosis (MS) is the most common form of rheumatic heart disease (RHD). Pregnant women with moderate/severe MS are more prone to heart failure and pulmonary edema than normal pregnant women. It is very important to prevent the potential for maternal heart failure before delivery. This study aimed to present a case report on the epidural anaesthesia technique in caesarean section in pregnant patients with rheumatic heart disease and severe mitral stenosis. Case presentation: A 31-year-old pregnant woman patient came to the hospital with complaints of shortness of breath and found rheumatic heart disease and severe mitral stenosis. The patient was premedicated with fentanyl 50 mcg and midazolam 1 mg intravenously, followed by oxygen supplementation with a 2 lpm nasal cannula. Anaesthesia was performed using a lumbar epidural technique, with the insertion of an epidural catheter in the L1-L2 intervertebral space, targeting the T10-L1 dermatome and T6-L1 target of the viscerotome. The local anaesthesia agent chosen was plain bupivacaine with a concentration of 0.5% and a volume of 25 ml. The onset of action of epidural anaesthesia is achieved within 15 minutes as long as the operation is reached a total blockade as high as T6. During surgery, the patient is monitored with standard monitors and an artery line. There were no complaints of shortness of breath felt by the patient during the operation. Conclusion: Epidural anaesthesia technique can be performed safely in pregnant women with comorbid mitral regurgitation and atrial fibrillation, with good intraoperative hemodynamic stability.
Manajemen Perioperatif Pada Pasien Gravida 35 Minggu Dengan Preeklampsia Berat, Hipertensi, Dan Penyakit Jantung Kongenital ASD Sekundum: Laporan Kasus Khamandanu, Kadek Fabrian; Aryasa, Tjahya; Dewi Sinardja, Cynthia; Gede Utara Hartawan, I Gusti Agung
COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 4 No. 11 (2025): COMSERVA: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Publisher : Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/comserva.v4i11.3007

Abstract

Manajemen perioperatif pasien hamil dengan penyakit jantung bawaan dan preeklampsia memerlukan pendekatan multidisiplin yang cermat. Atrial Septal Defect (ASD) dengan shunt bidirectional dan hipertensi pulmonal meningkatkan risiko gagal jantung dan komplikasi obstetrik. Anestesi regional sering dipilih untuk mengurangi dampak hemodinamik, dengan pengawasan ketat terhadap risiko tromboemboli dan stabilitas volume cairan. Seorang perempuan dua puluh dua tahun, hamil tiga puluh lima minggu tiga hari, dengan ASD, hipertensi pulmonal, dan preeklampsia berat, mengalami sesak napas progresif dan sianosis intermiten. Pemeriksaan echocardiography menunjukkan ASD moderat dengan shunt bidirectional, hipertrofi ventrikel kiri, dan fungsi ventrikel kanan yang menurun. Pasien menjalani Sectio Caesarea Transperitoneal (SCTP) dengan anestesi spinal menggunakan Bupivakain hiperbarik tujuh koma lima miligram dan Morfin nol koma lima miligram intratekal. Hemodinamik pasien tetap stabil sepanjang prosedur dengan pemantauan ketat dan manajemen cairan yang cermat dan teliti. ASD dengan shunt bidirectional meningkatkan risiko emboli paradoks, gagal jantung kanan, dan hipoksemia, terutama saat kehamilan. Preeklampsia memperburuk kondisi dengan meningkatkan resistensi vaskular dan disfungsi endotel, yang dapat menyebabkan hipertensi pulmonal progresif dan dekompensasi jantung. Manajemen anestesi bertujuan menjaga stabilitas hemodinamik dengan anestesi spinal dosis rendah untuk menghindari hipotensi mendadak. Morfin intratekal memberikan analgesia pascaoperasi yang efektif tanpa mengganggu fungsi pernapasan dan hemodinamik. Keberhasilan manajemen perioperatif pada pasien dengan ASD, hipertensi pulmonal, dan preeklampsia berat bergantung pada pendekatan multidisiplin yang komprehensif. Penggunaan anestesi spinal dengan Bupivakain dan Morfin intratekal terbukti efektif dalam menjaga stabilitas hemodinamik serta mengurangi risiko komplikasi kardiovaskular dan neonatal.
Anestesi Bebas Opioid Untuk Total Abdominal Histerektomi Dengan Bisalfingoovorektomi: Optimalisasi Manajemen Nyeri dan Stabilitas Hemodinamik Pamudji, Ivan Sebastian; Aryasa, Tjahya; Sinardja, Cynthia Dewi; Hartawan, IGAG Utara
COMSERVA : Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Vol. 5 No. 1 (2025): COMSERVA: Jurnal Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Publisher : Publikasi Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59141/comserva.v5i1.3336

Abstract

Total abdominal histerektomi dan bilateral salpingo-ooforektomi (TAH-BSO) merupakan prosedur bedah mayor dengan kebutuhan analgesia yang kompleks. Anestesi bebas opioid (opioid-free anesthesia/OFA) semakin banyak digunakan untuk menghindari efek samping opioid seperti mual, muntah, depresi pernapasan, dan risiko ketergantungan. Laporan ini membahas penerapan teknik OFA pada pasien yang menjalani TAH-BSO dengan fokus pada manajemen nyeri, stabilitas hemodinamik, serta hasil klinis pascaoperasi. Seorang wanita 43 tahun dengan obesitas (BMI 38,28 kg/m2), hipertensi terkontrol, dan riwayat alergi opioid menjalani TAH-BSO. Pasien diklasifikasikan sebagai ASA III dengan risiko tinggi Obstructive Sleep Apnea (OSA). Induksi anestesi dilakukan dengan dexmedetomidine, propofol, dan atracurium. Teknik analgesia multimodal meliputi anestesi epidural dengan bupivakain 0,25% serta pemeliharaan anestesi menggunakan sevofluran <1 MAC, propofol, dan dexmedetomidine. Pasien mendapatkan analgesia pascaoperasi melalui infus epidural bupivakain 0,1% dan paracetamol oral. OFA menggunakan kombinasi agen anestesi multimodal untuk menggantikan opioid dalam manajemen nyeri perioperatif. Teknik ini terbukti mengurangi risiko PONV, meningkatkan stabilitas hemodinamik, serta menurunkan konsumsi analgesik pascaoperasi. Studi menunjukkan bahwa pasien yang menjalani OFA memiliki tingkat nyeri lebih rendah dan pemulihan lebih cepat dibandingkan dengan anestesi berbasis opioid. Pada kasus ini, pemilihan OFA dikarenakan adanya dugaan riwayat alergi opioid, serta untuk mengurangi risiko komplikasi pernapasan yang terkait dengan OSA. Teknik OFA efektif dalam manajemen anestesi pada pasien yang menjalani TAH-BSO, terutama pada individu dengan kontraindikasi opioid. Pendekatan ini memberikan kontrol nyeri yang optimal, mengurangi efek samping opioid, serta menjaga stabilitas hemodinamik intra dan pascaoperasi.
Manajemen Anestesi pada Pasien Pasca Transplantasi Ginjal yang menjalani Operasi Seksio Sesaria: Laporan Kasus Aryasa, Tjahya; Prema Putra, I Made; Wiryana, Made
Jurnal Anestesiologi dan Terapi Intensif Vol. 1 No. 1 (2025): JATI April 2025
Publisher : Udayana University and Indonesian Society of Anesthesiologists (PERDATIN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JATI.2025.v01.i01.p05

Abstract

Wanita dengan riwayat pasca transplantasi ginjal harus menjalani persiapan yang matang untuk menjalani proses kehamilan. Manajemen perioperatif pada pasien wanita hamil dengan  pasca transplantasi ginjal juga dibutuhkan kerjasama tim yang meliputi ahli nefrologi, obstetri, dan anestesiologi & terapi intensif. Evaluasi meliputi pemeriksaan preanestesi rutin yang difokuskan kepada efek pemberian obat-obatan imunosupresif pasca transplantasi ginjal dan penyakit komorbidnya. Durante operasi juga harus mempertimbangkan teknik anestesi yang digunakan, interaksi obat dan teknik anestesi yang digunakan terhadap obat-obatan imunosupresi, serta resiko infeksi. Perawatan pasca operasi di ruang terapi intensif dibutuhkan untuk memonitoring status preload pasien, fungsi ginjal, dan juga pencegahan infeksi. Pemahaman mengenai perubahan fisiologi yang terjadi pada wanita hamil dengan  pasca transplantasi ginjal akan memberikan outcome yang lebih baik.