Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

RELIGION AND MALAY-DAYAK IDENTITY RIVALRY IN WEST KALIMANTAN Yusriadi, Yusriadi; Ruslan, Ismail; Hasriyanti, Nunik; Mustolehudin, Mustolehudin; Shin, Chong
El-HARAKAH (TERAKREDITASI) Vol 23, No 1 (2021): EL HARAKAH
Publisher : UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/eh.v23i1.11449

Abstract

Ethnic rivalry triggers competition among individuals, certain actors, and groups. Often, the competition is due to political factors while religion becomes a structural legitimacy. This paper examined how the rivalry between Malay and Dayak in West Kalimantan affected certain groups’ identity. The data of this paper were obtained through a documentation study by reviewing publications and writings on the issue of rivalry and interviews with some figures in West Kalimantan. The result concluded that the rivalry between Malay and Dayak in West Kalimantan was tight due to political factors. The two equally dominant communities have long competed since the colonial period in West Kalimantan. Today's rivalry has taken place since Indonesia's reformation in 1998 and let both groups maintain their identity, and, in some cases, lead to unclear boundaries. They do not live as neighbors but brothers. However, religion remain an essential factor amid the situation and cause the rivalry stronger.Persaingan etnis memicu persaingan antar individu, aktor tertentu, dan melibatkan kelompok. Seringkali persaingan disebabkan oleh faktor politik, sedangkan agama menjadi legitimasi struktural. Makalah ini berupaya untuk melihat bagaimana persaingan antara Melayu dan Dayak di Kalimantan Barat berimplikasi pada identitas kelompok. Data untuk makalah ini diperoleh melalui studi dokumentasi dengan melihat publikasi dan tulisan tentang isu persaingan, serta wawancara dengan sejumlah tokoh di Kalimantan Barat. Kesimpulannya, persaingan antara Melayu dan Dayak di Kalimantan Barat sangat kuat karena faktor politik. Kedua komunitas yang sama-sama dominan ini telah bersaing sejak jaman penjajahan di Kalimantan Barat. Persaingan saat ini telah terjadi sejak reformasi Indonesia pada tahun 1998. Melalui kompetisi ini, masing-masing etnis Melayu dan Dayak mempertahankan identitasnya, dan dalam beberapa kasus menciptakan batasan yang kabur. Mereka ditempatkan sebagai tetangga, tetapi sebagai saudara. Namun, agama tetap menjadi faktor penting di tengah situasi ini, dan membuat persaingan keduanya semakin kuat.
Pedestrian Catchment Area Pada Lingkungan Kampus Politeknik Negeri Pontianak Ikayanti, Palupi; Zulestari, Andi Z; Hasriyanti, Nunik
Vokasi: Jurnal Publikasi Ilmiah Vol. 19 No. 1 (2024): Vokasi: Jurnal Publikasi Ilmiah
Publisher : Politeknik Negeri Pontianak

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31573/jv.v19i1.782

Abstract

Abstract: Pedestrian paths in Pontianak City are increasingly showing improvement, especially in the city center area where human movement is increasingly busy with various kinds of activities taking place there. Roads as the basic element that forms an area are one of the easiest urban public spaces to observe to understand the characteristics of an area. Actors who travel on the sidewalk face various obstacles and goals they want to achieve during their journey. Walking here is a means to fulfill the need for face-to-face interaction that exists in urban activities. With the uncontrolled growth of urban areas, the development of public spaces for pedestrians is somewhat burdened. Most cities allow citizens to access basic services and needs in walkable areas. Pontianak itself is still dominated by a high number of vehicle users and this is not accompanied by efforts to increase pedestrian comfort. This research aims to determine the obstacles faced by pedestrians, especially in the Pontianak State Polytechnic (Polnep) campus area by measuring the total area that can be passed by pedestrians and assessing pedestrian paths by assessing roads and highways in pedestrian catchment areas. feet at every intersection. . The research method used is a non-probability sampling method, namely an accidental sampling technique to calculate the pedestrian catchment area on the Polnep campus to determine the total pedestrian catchment area that is still comfortable to walk through. By measuring the distance between two nodes by navigating the street layout, urban morphology can impact the measurement of the ratio of route distance to urban distance. The analytical method used in this research is qualitative and quantitative descriptive analysis. Qualitative descriptive analysis is used to describe the results of observations and interpretation of quantitative data presented in tabular form. Meanwhile, the quantitative descriptive analysis method is used to measure or assess user perceptions of walkability quality based on the walkability aspects studied, namely accessibility, comfort, safety and aesthetics. The results and findings of the analysis at the Pontianak State Polytechnic Campus show that Accessibility (A), Security (SAF), Comfort (COM), and Aesthetics or Beauty (AES) have a partial and significant effect on Walkability. The conclusion can be proven through the results of the T test (partial) where the calculated T value for each variable is greater than the T table and the significance value for each variable is <0.05.
Pendampingan Perencanaan Kawasan Ponpes Mu’inul Islam dengan Konsep Taman Surga sebagai Sinkronisasi Ruang Desa Wisata Jeruju Besar Zulestari, Andi; Ikayanti, Palupi; Maulana, Deni; Alqadrie, Auliya Maula; Hilmy, Mochamad; Wibowo, Taufik; Astiningsih, Diah; Hasriyanti, Nunik; Utami, Weni Dewi; Yanuar, Achmad Eko; Hidayat, Muhammad
Kapuas Vol. 4 No. 2 (2024): Kapuas : Jurnal Publikasi Pengabdian Pada Masyarakat
Publisher : Politeknik Negeri Pontianak

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31573/jk.v4i1.787

Abstract

Pondok Pesantren Mu’inul Islam merupakan pondok pesantren yang berada di Desa Jeruju Besar. Kawasan pondok ini merupakan kawasan pondok dengan penerapan konsep alam untuk setiap spot lokasi yang ada. Pondok ini juga menjadi salah satu ikon penting Desa Jeruju Besar sebagai tujuan kawasan wisata religi. Dengan adanya keunggulan ini, sehingga membawa Desa Jeruju Besar masuk dalam 75 besar ADWI 2023 (Anugerah Desa Wisata Indonesia). Namun secara konseptual, kawasan pondok ini belum memiliki konsep masterplan kawasan wisata yang lengkap yang terdiri dari infrastruktur, sirkulasi dan transportasi desa, alokasi ruang sesuai aktivitas, jangka waktu implementasi, pendanaan, serta pihak-pihak yang terlibat. Pendampingan kepada pengelola pondok pesantren Mu’inul Isalam dalam pengembangan masterplan kawasan wisata religi menjadi fokus kegiatan utama tim PPM Dosen Jurusan Teknik Arsitektur Politeknik Negeri Pontianak tahun 2023. Tujuan kegiatan ini adalah untuk aplikasi dan serapan ilmu keahlian tim kepada masyarakat sebagai pengguna untuk implementasi pembelajaran berbasis proyek di lapangan. Metode yang digunakan dalam kegiatan ini adalah metode survey data primer dan data sekunder yang ada di kawasan, mengkompilasi data, serta bersama-sama dengan pihak pondok untuk menggagas ide dan konsep perencanaan sehingga produk desain yang dihasilkan sinergi dengan tata ruang desa wisata Jeruju Besar. Kemudian dilakukan analisis perancangan dan membuat konsep perancangan kawasan masterplan, dengan produk akhir berupa desain masterplan. Luaran produk dari kegiatan ini adalah masterplan kawasan ponpes Mu’inul Islam di Desa Jeruju Besar sesuai dengan konsep yang ditentukan oleh pihak pondok pesantren
PERANG KETUPAT: WARISAN MULTIKULTUR DAN PEMERTAHAN IDENTITAS MELAYU TAYAN Yusriadi, Yusriadi; Ruslan, Ismail; Hasriyanti, Nunik; Shukri bin Nordin, Zaimuarifuddin; Tuah, Dilah bin
Jurnal Pendidikan, Kebudayaan dan Keislaman Vol 3 No 3 (2024)
Publisher : The Institute for Research and Community Service (LP2M) of Pontianak State Institute of Islamic Studies (IAIN Pontianak)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24260/jpkk.v3i3.3900

Abstract

Perang Ketupat merupakan tradisi unik masyarakat Melayu Tayan, Kalimantan Barat, yang merepresentasikan upaya pemertahanan identitas budaya di tengah pluralitas sosial. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fungsi tradisi Perang Ketupat sebagai mekanisme dalam memperkuat identitas budaya dan membangun integrasi sosial di masyarakat yang semakin majemuk. Dengan pendekatan kualitatif-deskriptif, data diperoleh melalui observasi partisipatif, wawancara mendalam dengan tokoh adat dan masyarakat setempat, serta kajian dokumen terkait tradisi ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perang Ketupat berperan sebagai ruang dialektis antara adat lokal dan pengaruh budaya luar, menciptakan solidaritas komunal yang memperkuat kohesi sosial. Tradisi ini juga menjadi sarana afirmasi identitas budaya Melayu Tayan sekaligus membangun hubungan lintas budaya yang harmonis dengan komunitas lain di wilayah tersebut. Namun, modernisasi menghadirkan tantangan, terutama dalam mempertahankan esensi tradisi di tengah perubahan nilai-nilai sosial. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antara komunitas lokal, pemerintah, dan aktor sosial lainnya untuk memastikan keberlanjutan tradisi ini sebagai warisan budaya yang dinamis. Perang Ketupat is a unique tradition of the Malay Tayan community in West Kalimantan, representing efforts to preserve cultural identity amidst social plurality. This study aims to explore the role of the Perang Ketupat tradition as a mechanism for strengthening cultural identity and fostering social integration in an increasingly diverse society. Employing a qualitative-descriptive approach, data were collected through participatory observation, in-depth interviews with local community leaders and cultural figures, and a review of relevant documents on the tradition. The findings reveal that Perang Ketupat serves as a dialectical space between local customs and external cultural influences, fostering communal solidarity that enhances social cohesion. The tradition also acts as a means of affirming the cultural identity of the Malay Tayan community while promoting harmonious cross-cultural interactions with other groups in the region. However, modernization poses challenges, particularly in maintaining the essence of the tradition amidst shifting social values. Therefore, collaboration among local communities, government entities, and other social actors is crucial to ensure the sustainability of this tradition as a dynamic cultural heritage.
Ethnoreligious Diversity and Harmony in Sanggau, West Kalimantan Ruslan, Ismail; Amri, Faizal; Hasriyanti, Nunik; Haryanto, Joko Tri; Yusriadi, Yusriadi
ADDIN Vol 18, No 2 (2024): ADDIN
Publisher : LPPM IAIN Kudus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21043/addin.v18i2.23282

Abstract

The long history of Sanggau, West Kalimantan, shows relations between ethnicities and religions. Several major and open conflict events in West Kalimantan did not hit Sanggau. Despite social tensions, the Sanggau community managed to maintain the harmony of the community. This study is intended to look at the recipes Sanggau community in an effort to maintain community harmony for inter-religious and inter-ethnic, and how to resolve conflicts that have arisen since the past until now. This qualitative research was carried out with a sociological approach, and data collection techniques through interviews with various community leaders, observations on relations between residents, and documentation studies on various documents and publications about Sanggau. The data were analyzed by descriptive analysis. The results of this research show that Sanggau has been awake since the early period, the reform period, until today it is relatively able to maintain harmony and prevent open conflicts. It is common for there to be conflicts in the community, but the Sanggau people have managed to resolve conflicts and maintain their harmony. Existing conflicts related to the construction of houses of worship, religious conversions, and marriages involving couples of different religions can be resolved quickly and appropriately so that they do not become open conflicts. The approach to conflict resolution is carried out by religious leaders, ethnic leaders, and local governments by carrying out local wisdom such as the “Ngudas” ritual which builds harmony as a common identity even though they are ethnically and religiously different.
Elemen Walkability pada Ruang Pejalan Kaki Kawasan Komersial Perdagangan di Kota Pontianak Judhi, Julius; Zulestari, Andi; Ikayanti, Palupi; Hasriyanti, Nunik
Tekstur (Jurnal Arsitektur) Vol 5, No 2 (2024): Tekstur
Publisher : Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31284/j.tekstur.2024.v5i2.5289

Abstract

Berjalan kaki merupakan salah satu moda dari transportasi yang dapat menghubungkan manusia dari suatu tempat dengan tempat lain. Sehingga, dapat diketahui bahwa berjalan kaki adalah moda transportasi yang dapat menghubungkan pergerakan manusia untuk berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain khususnya pada pusat-pusat kegiatan di wilayah perkotaan agar dapat menghindari kemacetan lalu lintas. Kegiatan berjalan kaki di pusat-pusat kegiatan wilayah perkotaan perlu memiliki karakteristik Kota Ramah Pejalan Kaki. Kota yang ramah pejalan kaki merupakan kota dengan penduduk yang mengandalkan berjalan kaki sebagai moda transportasi dalam melakukan aktifitasnya. Kota Pontianak yang merupakan kota perdagangan, memiliki potensi besar sebagai kota yang peruntukan kawasannya di zona komersial dan jasa dengan berbagai aktifitasnya. Dalam hal ini perlu untuk dilakukan pengkajian elemen walkability dari beberapa kawasan perdagangan yang ada di Kota Pontianak yaitu di Jalan Gajahmada dan Jalan Pattimura. Penilaian ini dilakukan dengan menghitung kinerja pada setiap variable walkability dengan menggunakan skala likert dan tingkatan kepuasan pengguna jalan. Kedua kawasan perdagangan ini merupakan kawasan dengan kepadatan tinggi dengan berbagai macam aktifitas yang ada di sepanjang koridor jalan tersebut. Komponen yang menjadi indeks penilaiannya adalah keselamatan dan keamanan (berkaitan ddengan terhindar dari kejahatan dan konflik fisik antar pejalan kaki, kenyamanan ( berkaitan dengan lebar jalur pejalan kaki dan desainnya) dan dukungan kebijakan (berkaitan dengan kebijakan dalam rangka meningkatkan pelayan para pejalan kaki). Sedangkan parameter walkability yang digunakan adalah konflik moda jalur pejalan kaki, ketersediaan jalur pejalan kaki, ketersediaan penyeberangan, keamanan, perilaku pengendara bermotor, ketersediaan fasilitas pendukung (amenitas), infrastruktur difabel, kendala dan kemanan dari kejahatan. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan pendekatan rasionalistik dimana kajian teori sebagai tolok ukur analisis dan pembahasan serta kuesioner sebagai data pendukung hasil pengamatan di lapangan.
Chinese Muslim Community and Pseudo-Multiculturalism in West Kalimantan, Indonesia Ruslan, Ismail; Yusriadi, Yusriadi; Muttaqin, Imron; Hasriyanti, Nunik; Shin, Chong
Ulumuna Vol 28 No 2 (2024): December
Publisher : Universitas Islam Negeri Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20414/ujis.v28i2.867

Abstract

This research aims to explore pluralism in West Kalimantan, a paradoxical place in Indonesia, where multi-religious and multi-ethnic people meet. For social researchers, this situation is unique because, on the one hand, West Kalimantan is known as a conflict-prone area in Indonesia. On the other hand, part of its territory, namely the Singkawang area, is called the most tolerant area. Previous researchers assumed this situation was false because conflicts between religious and ethnic groups still occur frequently. However, the communication strategies and social interactions by ethnic groups in this area have rarely been investigated. The role of the Chinese Muslim group is significant in bringing about harmonization between the polarised groups. Chinese Muslims have provided a link that is socially very instrumental in deconstructing the firm ethnic and religious group identities and boundaries. Although they seem to form their own identity, two sides of that identity are related to religious groups and ethnic groups. Their presence thus balances inter-group communications and interactions. In conclusion, theoretically, the presence of the Chinese Muslim community in West Kalimantan breaks the ice of identity and becomes a bridge of communication between communities.
Religion and Malay-Dayak Identity Rivalry in West Kalimantan Yusriadi, Yusriadi; Ruslan, Ismail; Hasriyanti, Nunik; Mustolehudin, Mustolehudin; Shin, Chong
el Harakah: Jurnal Budaya Islam Vol 23, No 1 (2021): EL HARAKAH
Publisher : UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/eh.v23i1.11449

Abstract

Ethnic rivalry triggers competition among individuals, certain actors, and groups. Often, the competition is due to political factors while religion becomes a structural legitimacy. This paper examined how the rivalry between Malay and Dayak in West Kalimantan affected certain groups’ identity. The data of this paper were obtained through a documentation study by reviewing publications and writings on the issue of rivalry and interviews with some figures in West Kalimantan. The result concluded that the rivalry between Malay and Dayak in West Kalimantan was tight due to political factors. The two equally dominant communities have long competed since the colonial period in West Kalimantan. Today's rivalry has taken place since Indonesia's reformation in 1998 and let both groups maintain their identity, and, in some cases, lead to unclear boundaries. They do not live as neighbors but brothers. However, religion remain an essential factor amid the situation and cause the rivalry stronger. Persaingan etnis memicu persaingan antar individu, aktor tertentu, dan melibatkan kelompok. Seringkali persaingan disebabkan oleh faktor politik, sedangkan agama menjadi legitimasi struktural. Makalah ini berupaya untuk melihat bagaimana persaingan antara Melayu dan Dayak di Kalimantan Barat berimplikasi pada identitas kelompok. Data untuk makalah ini diperoleh melalui studi dokumentasi dengan melihat publikasi dan tulisan tentang isu persaingan, serta wawancara dengan sejumlah tokoh di Kalimantan Barat. Kesimpulannya, persaingan antara Melayu dan Dayak di Kalimantan Barat sangat kuat karena faktor politik. Kedua komunitas yang sama-sama dominan ini telah bersaing sejak jaman penjajahan di Kalimantan Barat. Persaingan saat ini telah terjadi sejak reformasi Indonesia pada tahun 1998. Melalui kompetisi ini, masing-masing etnis Melayu dan Dayak mempertahankan identitasnya, dan dalam beberapa kasus menciptakan batasan yang kabur. Mereka ditempatkan sebagai tetangga, tetapi sebagai saudara. Namun, agama tetap menjadi faktor penting di tengah situasi ini, dan membuat persaingan keduanya semakin kuat.