Studi ini menganalisis perbedaan perilaku memilah sampah antara Indonesia dan Jerman menggunakan dimensi budaya Hofstede yaitu jarak kekuasaan, individualisme-kolektivisme, dan penghindaran ketidakpastian. Meskipun telah ada upaya untuk mengelola sampah, penelitian ini membantu menjelaskan mengapa negara berkembang, termasuk Indonesia, menemui tantangan dalam menerapkan perilaku pro-lingkungan, terutama dalam memilah sampah. Kajian literatur digunakan dengan pendekatan psikologi lintas budaya yang merupakan studi perbandingan kritis tentang bagaimana budaya memengaruhi psikologi. Melalui kajian literatur dengan pendekatan psikologi lintas budaya, studi ini membandingkan tentang bagaimana budaya mempengaruhi psikologi. Pada budaya jarak kekuasaan, Indonesia memerlukan teladan dalam implementasi kebijakan lingkungan, sedangkan Jerman memiliki partisipasi masyarakat tinggi dalam pemilahan sampah. Indonesia termasuk kolektivis cenderung memilah sampah bersama dalam komunitas, sementara Jerman yang individualis menekankan tanggung jawab individu. Pada budaya penghindaran ketidakpastian, Indonesia memerlukan standarisasi aturan dan fasilitas bank sampah, sementara Jerman memberlakukan aturan dan sanksi jelas untuk memperkuat perilaku memilah sampah. Kesimpulannya, terdapat perbedaan perilaku memilah sampah antara Indonesia dan Jerman yang terkait faktor kebijakan. Penelitian lebih lanjut disarankan untuk melakukan studi yang lebih eksploratif dan komprehensif dalam setiap dimensi budaya, dengan mempertimbangkan faktor internal dan eksternal lainnya. This study analyzes the differences in waste sorting behavior between Indonesia and Germany using Hofstede's cultural dimensions: power distance, individualism-collectivism, and uncertainty avoidance. Despite efforts to manage waste, this research helps explain why developing countries, including Indonesia, face challenges in implementing pro-environmental behavior, particularly in waste sorting. A literature review is used with a cross-cultural psychology approach, which critically examines how culture influences psychology. Within the power distance culture, Indonesia requires role models in environmental policy implementation, while Germany exhibits high public participation in waste sorting. Indonesia, as a collectivist society, tends to sort waste jointly in communities, whereas Germany, an individualistic society, emphasizes individual responsibility. In the uncertainty avoidance culture, Indonesia needs standardized rules and waste bank facilities, while Germany enforces clear regulations and sanctions to strengthen waste sorting behavior. In conclusion, there are differences in waste sorting behavior between Indonesia and Germany related to policy factors. Also, several efforts can be considered to improve waste sorting behavior in Indonesia. Further research is recommended to conduct more exploratory and comprehensive studies in each cultural dimension, considering other internal and external factors.