Kota Subulussalam adalah salah satu daerah yang berada di Provinsi Aceh, terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2007 sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Singkil. Kota ini memiliki luas 1.391 km² dengan populasi 93.710 jiwa, terdiri dari lima kecamatan dan 82 gampong (desa). Sapi Aceh merupakan jenis sapi lokal yang banyak dipelihara di Aceh sebagai sumber daging. Secara genetik, sapi Aceh berasal dari persilangan antara sapi zebu dari India dan Bos banteng, dengan kemiripan genetik lebih tinggi terhadap Bos indicus. Sistem pemeliharaannya dibedakan menjadi ekstensif, semi-intensif, dan intensif. Penelitian ini bertujuan mengkaji penerapan aspek teknis pemeliharaan sapi Aceh di Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, yang mencakup tujuh desa. Sampel penelitian terdiri dari peternak yang telah beternak selama minimal lima tahun dan memiliki minimal tiga ekor sapi Aceh yang dipelihara di perkebunan kelapa sawit. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk menggambarkan data yang diperoleh dari kuesioner dan tanggapan responden. Data dibandingkan dengan standar “Pedoman Identifikasi Teknis Peternakan” dari Direktorat Jenderal Peternakan Indonesia (2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek pemuliaan dan reproduksi mencapai 59,11%, aspek pakan 29,17%, tata laksana pemeliharaan 45,82%, kesehatan ternak 44,8%, serta kandang dan perlengkapan 75,73%. Secara keseluruhan, penerapan aspek teknis hanya mencapai 47,63%, yang menunjukkan bahwa pemeliharaan sapi Aceh di wilayah tersebut belum sesuai dengan standar yang ditetapkan. Hal ini mengindikasikan perlunya peningkatan dalam berbagai aspek teknis guna mendukung produktivitas dan kesejahteraan ternak. Kota Subulussalam adalah salah satu daerah yang berada di Provinsi Aceh, terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2007 sebagai hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Singkil. Kota ini memiliki luas 1.391 km² dengan populasi 93.710 jiwa, terdiri dari lima kecamatan dan 82 gampong (desa). Sapi Aceh merupakan jenis sapi lokal yang banyak dipelihara di Aceh sebagai sumber daging. Secara genetik, sapi Aceh berasal dari persilangan antara sapi zebu dari India dan Bos banteng, dengan kemiripan genetik lebih tinggi terhadap Bos indicus. Sistem pemeliharaannya dibedakan menjadi ekstensif, semi-intensif, dan intensif. Penelitian ini bertujuan mengkaji penerapan aspek teknis pemeliharaan sapi Aceh di Kecamatan Penanggalan, Kota Subulussalam, yang mencakup tujuh desa. Sampel penelitian terdiri dari peternak yang telah beternak selama minimal lima tahun dan memiliki minimal tiga ekor sapi Aceh yang dipelihara di perkebunan kelapa sawit. Metode yang digunakan adalah analisis deskriptif untuk menggambarkan data yang diperoleh dari kuesioner dan tanggapan responden. Data dibandingkan dengan standar “Pedoman Identifikasi Teknis Peternakan” dari Direktorat Jenderal Peternakan Indonesia (2015). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek pemuliaan dan reproduksi mencapai 59,11%, aspek pakan 29,17%, tata laksana pemeliharaan 45,82%, kesehatan ternak 44,8%, serta kandang dan perlengkapan 75,73%. Secara keseluruhan, penerapan aspek teknis hanya mencapai 47,63%, yang menunjukkan bahwa pemeliharaan sapi Aceh di wilayah tersebut belum sesuai dengan standar yang ditetapkan. Hal ini mengindikasikan perlunya peningkatan dalam berbagai aspek teknis guna mendukung produktivitas dan kesejahteraan ternak.