Wahyuningsih, Novita
Unknown Affiliation

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

KENDI SEBAGAI PENDUKUNG KEBUDAYAAN NUSANTARA Mustaqin, Khairul; Wahyuningsih, Novita
ATRAT: Jurnal Seni Rupa Vol 3, No 3 (2015): DIALEKTIKA RUPA DALAM KEBUDAYAAN KONTEMPORER
Publisher : Jurusan Seni Rupa STSI Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Vessel is an artefact from the past easily found in archaeological sites in Indonesia or Asia. Vessels have important roles and functions in society, especially traditional society. Vessel’s primary function is a water container. Its another function is an instrument to support cultural rites in the archipelago. As instruments to support cultural rites, vessels are used in almost all parts of Indonesia regions. Vessels also serve as instruments to support sociocultural and religious rites. Regarding their many functions, vessels must be maintaned to support various kinds of archipelago culture.Keywords: Vessel, Pottery, Culture___________________________________________________________________Kendi merupakan artefak peninggalan masa lampau yang banyak ditemukan pada situs purbakala di Indonesia maupun di Asia. Kendi mempuyai fungsi dan peranan penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya pada masyarakat tradisional. Fungsi utama dari kendi adalah sebagai wadah air minum, tetapi ada juga fungsi kendi yang lain, yaitu sebagai perlengkapan ritual kebudayaan yang ada di nusantara. Fungsi kendi sebagai pendukung ritual kebudayaan tidak sebatas pada ruang lingkup daerah tertentu, tetapi digunakan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Kendi tidak hanya berfungsi sebagai wadah air semata, tetapi juga merupakan perlengkapan ritual sosial budaya, dan bahkan pada ritual keagamaan. Mencermati banyaknya fungsi kendi sebagai pendukung kebudayaan di nusantara ini, membuat kendi tidak dapat dipandang sebelah mata. Diperlukan segala daya dan upaya yang intensif agar kendi dapat terus menjadi pendukung di berbagai jenis kebudayaan nusantara.Kata Kunci: Kendi, Gerabah, Kebudayaan
PENGGUNAAN JUMPUTAN , TRITIK DALAM UPACARA ADAT DI SURAKARTA sarwono, sarwono -; Josef, Adji Isworo; Affanti, Tiwi Bina; Santoso, Ratna Endah; Wahyuningsih, Novita
Brikolase : Jurnal Kajian Teori, Praktik dan Wacana Seni Budaya Rupa Vol. 13 No. 2 (2021): Brikolase Desember
Publisher : Institut Seni Indoensia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33153/brikolase.v13i2.3940

Abstract

ABSTRACTThe Javanese society has a harmony concept which has become an interesting tradition part in live. The Javanese people, especially  the Surakarta society, have a belief in the world philosophy (universe), consisting of the great universe ( macrocosmos) and small universe ( microcosmos). The microcosmos cannot be separated from the great macrocosmos which must be kept its harmony with  their lives, so the ritual elements of the small universe. Therefore, the art isi always connected with their lives, so the ritual elements consist in the traditional art. The art has three functions known in Javanese society, that is for a ritual purpose and a show purpose with entertaining characteristics for the inner satisfaction in the society. Moreover, the traditional artwhich is formed in the usage art, like the custom clothes, tools / instruments, ornaments and others functioning as ritual purposes, have definitely had the important value symbols in the society, or as the tools to support the ritual implementation in the society.The art of Tritik and Jumputan craft also contains the teachings of ethics and aesthetics in the form of visual appearances and symbolism of life which can basically lead humans to perfection and true identity.Keywords: Jumputan,Tritik, The custom ceremony, traditional  ABSTRAKMasyarakat Jawa memiliki konsep keselarasan yang merupakan bagian tradisi yang penting dalam kehidupan. Orang Jawa, khususnya masyarakat Surakarta memiliki keyakinan dalam pandangan dunia (jagat), yang terdiri dari jagat gede (makrokosmos) dan jagat cilik (mikrokosmos). Mikrokosmos menjadi yang tidak terpisahkan dengan makrokosmos yang harus dijaga keselarasannya dengan unsur-unsur jagat cilik. Oleh sebab itu, seni selalu dikaitkan dengan kehidupannya, sehingga unsur ritual terdapat dalam seni tradisional. Kesenian memiliki tiga fungsi yang dikenal dalam masyarakat Jawa, yaitu untuk tujuan ritual, untuk tujuan tontonan yang bersifat entertaintment kepuasan batin dalam masyarakat. Apalagi kesenian tradisional yang berbentuk seni pakai, seperti pakaian adat, peralatan, hiasan, dan sebagainya dalam fungsinya sebagai kepentingan ritual, sudah barang tentu memiliki simbol-simbol yang bernilai dalam masyarakat, ataupun sebagai sarana untuk mendukung pelaksanaan ritual dalam masyarakat. Seni kerajinan tritik dan jumputan ini juga termuat ajaran etika dan keindahan yang berbentuk  penampilan visual dan simbolisme hidup yang pada dasarnya dapat menuntun manusia menuju kesempurnaan dan jati diri yang sejati.Kata kunci : Jumputan, Tritik, Pakaian Adat, Tradisional
Transformasi Bentuk dan Desain Gerabah Desa Bentangan, Klaten Wahyuningsih, Novita; Bahari, Nooryan; Amboro, Joko Lutut; Kartikasari, Novia
Brikolase : Jurnal Kajian Teori, Praktik dan Wacana Seni Budaya Rupa Vol. 15 No. 2 (2023)
Publisher : Institut Seni Indoensia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33153/brikolase.v15i2.5610

Abstract

Desa Bentangan merupakan salah satu sentra kerajinan gerabah yang sudah cukup tua dan diperkirakan semasa dengan sentra gerabah Melikan. Namun dalam hal produk gerabah terdapat perbedaan yang cukup mencolok di antara kedua sentra gerabah tersebut. Sentra gerabah Melikan menggunakan putaran miring dalam membuat gerabah, sedangkan sentra Bentangan mempertahankan putaran datar. Dalam hal produk gerabah, sentra gerabah Melikan lebih unggul karena berhasil mengembangkan desain baru yang menarik, sedangkan sentra Bentangan masih berkutat dengan produk tradisional saja. Hal ini menjadi menarik tak kala dihadapkan pada eksistensi budaya gerabah yang kian hari kian tergerus oleh produk budaya populer. Budaya gerabah tidak akan dapat bertahan jika tidak ada upaya pelestarian dari masyarakat pendukungnya. Sama halnya dengan sentra gerabah Bentangan, sentra ini akan semakin tertinggal dan akhirnya musnah jika tidak ada inovasi produk dan desain gerabah dari pengrajin. Untuk itu diperlukan langkah-langkah adaptif agar produk gerabah Bentangan dapat bertahan dan diharapkan dapat mendulang kesuksesan seperti sentra gerabah lain. Tujuan dari penulisan ini, yaitu untuk menggali informasi mengenai jenis-jenis gerabah yang diproduksi di Desa Bentangan; mengkaji bentuk dan desain gerabah baru di Desa Bentangan. Metode yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu metode observasi, interview dan studi referensi. Hasil dari penelitian ini antara lain bahwa di sentra gerabah Bentangan masih terus dibuat produk gerabah tradisional karena permintaan pasar masih cukup tinggi; pengrajin mulai melirik desain gerabah modern dengan memanfaatkan alat cetak; finishing terus dikembangkan misalnya dengan cat acrylic, glassir, teknik tempel, dan sebagainya.
Transformasi Bentuk dan Desain Gerabah Desa Bentangan, Klaten Wahyuningsih, Novita; Bahari, Nooryan; Amboro, Joko Lulut; Kartikasari, Novia Nur
Corak Vol 12, No 2 (2023): Corak : Jurnal Seni Kriya
Publisher : Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24821/corak.v12i2.8581

Abstract

Desa Bentangan merupakan salah satu sentra kerajinan gerabah yang sudah cukup tua dan diperkirakan semasa dengan sentra gerabah Melikan. Namun dalam hal produk gerabah terdapat perbedaan yang cukup mencolok di antara kedua sentra gerabah tersebut. Sentra gerabah Melikan menggunakan putaran miring dalam membuat gerabah, sedangkan sentra Bentangan mempertahankan putaran datar. Dalam hal produk gerabah, sentra gerabah Melikan lebih unggul karena berhasil mengembangkan desain baru yang menarik, sedangkan sentra Bentangan masih berkutat dengan produk tradisional saja. Hal ini menjadi menarik tak kala dihadapkan pada eksistensi budaya gerabah yang kian hari kian tergerus oleh produk budaya populer. Budaya gerabah tidak akan dapat bertahan jika tidak ada upaya pelestarian dari masyarakat pendukungnya. Sama halnya dengan sentra gerabah Bentangan, sentra ini akan semakin tertinggal dan akhirnya musnah jika tidak ada inovasi produk dan desain gerabah dari pengrajin. Untuk itu diperlukan langkah-langkah adaptif agar produk gerabah Bentangan dapat bertahan dan diharapkan dapat mendulang kesuksesan seperti sentra gerabah lain. Tujuan dari penulisan ini, yaitu untuk menggali informasi mengenai jenis-jenis gerabah yang diproduksi di Desa Bentangan; mengkaji bentuk dan desain gerabah baru di Desa Bentangan. Metode yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu metode observasi, interview dan studi referensi. Hasil dari penelitian ini antara lain bahwa di sentra gerabah Bentangan masih terus dibuat produk gerabah tradisional karena permintaan pasar masih cukup tinggi; pengrajin mulai melirik desain gerabah modern dengan memanfaatkan alat cetak; finishing terus dikembangkan misalnya dengan cat acrylic, glassir, teknik tempel, dan sebagainya.
PENGGUNAAN JUMPUTAN , TRITIK DALAM UPACARA ADAT DI SURAKARTA sarwono, sarwono -; Josef, Adji Isworo; Affanti, Tiwi Bina; Santoso, Ratna Endah; Wahyuningsih, Novita
Brikolase : Jurnal Kajian Teori, Praktik dan Wacana Seni Budaya Rupa Vol. 13 No. 2 (2021): Brikolase Desember
Publisher : Institut Seni Indoensia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33153/brikolase.v13i2.3940

Abstract

ABSTRACTThe Javanese society has a harmony concept which has become an interesting tradition part in live. The Javanese people, especially  the Surakarta society, have a belief in the world philosophy (universe), consisting of the great universe ( macrocosmos) and small universe ( microcosmos). The microcosmos cannot be separated from the great macrocosmos which must be kept its harmony with  their lives, so the ritual elements of the small universe. Therefore, the art isi always connected with their lives, so the ritual elements consist in the traditional art. The art has three functions known in Javanese society, that is for a ritual purpose and a show purpose with entertaining characteristics for the inner satisfaction in the society. Moreover, the traditional artwhich is formed in the usage art, like the custom clothes, tools / instruments, ornaments and others functioning as ritual purposes, have definitely had the important value symbols in the society, or as the tools to support the ritual implementation in the society.The art of Tritik and Jumputan craft also contains the teachings of ethics and aesthetics in the form of visual appearances and symbolism of life which can basically lead humans to perfection and true identity.Keywords: Jumputan,Tritik, The custom ceremony, traditional  ABSTRAKMasyarakat Jawa memiliki konsep keselarasan yang merupakan bagian tradisi yang penting dalam kehidupan. Orang Jawa, khususnya masyarakat Surakarta memiliki keyakinan dalam pandangan dunia (jagat), yang terdiri dari jagat gede (makrokosmos) dan jagat cilik (mikrokosmos). Mikrokosmos menjadi yang tidak terpisahkan dengan makrokosmos yang harus dijaga keselarasannya dengan unsur-unsur jagat cilik. Oleh sebab itu, seni selalu dikaitkan dengan kehidupannya, sehingga unsur ritual terdapat dalam seni tradisional. Kesenian memiliki tiga fungsi yang dikenal dalam masyarakat Jawa, yaitu untuk tujuan ritual, untuk tujuan tontonan yang bersifat entertaintment kepuasan batin dalam masyarakat. Apalagi kesenian tradisional yang berbentuk seni pakai, seperti pakaian adat, peralatan, hiasan, dan sebagainya dalam fungsinya sebagai kepentingan ritual, sudah barang tentu memiliki simbol-simbol yang bernilai dalam masyarakat, ataupun sebagai sarana untuk mendukung pelaksanaan ritual dalam masyarakat. Seni kerajinan tritik dan jumputan ini juga termuat ajaran etika dan keindahan yang berbentuk  penampilan visual dan simbolisme hidup yang pada dasarnya dapat menuntun manusia menuju kesempurnaan dan jati diri yang sejati.Kata kunci : Jumputan, Tritik, Pakaian Adat, Tradisional
Transformasi Bentuk dan Desain Gerabah Desa Bentangan, Klaten Wahyuningsih, Novita; Bahari, Nooryan; Amboro, Joko Lutut; Kartikasari, Novia
Brikolase : Jurnal Kajian Teori, Praktik dan Wacana Seni Budaya Rupa Vol. 15 No. 2 (2023)
Publisher : Institut Seni Indoensia Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33153/brikolase.v15i2.5610

Abstract

Desa Bentangan merupakan salah satu sentra kerajinan gerabah yang sudah cukup tua dan diperkirakan semasa dengan sentra gerabah Melikan. Namun dalam hal produk gerabah terdapat perbedaan yang cukup mencolok di antara kedua sentra gerabah tersebut. Sentra gerabah Melikan menggunakan putaran miring dalam membuat gerabah, sedangkan sentra Bentangan mempertahankan putaran datar. Dalam hal produk gerabah, sentra gerabah Melikan lebih unggul karena berhasil mengembangkan desain baru yang menarik, sedangkan sentra Bentangan masih berkutat dengan produk tradisional saja. Hal ini menjadi menarik tak kala dihadapkan pada eksistensi budaya gerabah yang kian hari kian tergerus oleh produk budaya populer. Budaya gerabah tidak akan dapat bertahan jika tidak ada upaya pelestarian dari masyarakat pendukungnya. Sama halnya dengan sentra gerabah Bentangan, sentra ini akan semakin tertinggal dan akhirnya musnah jika tidak ada inovasi produk dan desain gerabah dari pengrajin. Untuk itu diperlukan langkah-langkah adaptif agar produk gerabah Bentangan dapat bertahan dan diharapkan dapat mendulang kesuksesan seperti sentra gerabah lain. Tujuan dari penulisan ini, yaitu untuk menggali informasi mengenai jenis-jenis gerabah yang diproduksi di Desa Bentangan; mengkaji bentuk dan desain gerabah baru di Desa Bentangan. Metode yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu metode observasi, interview dan studi referensi. Hasil dari penelitian ini antara lain bahwa di sentra gerabah Bentangan masih terus dibuat produk gerabah tradisional karena permintaan pasar masih cukup tinggi; pengrajin mulai melirik desain gerabah modern dengan memanfaatkan alat cetak; finishing terus dikembangkan misalnya dengan cat acrylic, glassir, teknik tempel, dan sebagainya.
Reading "Cultural Village": Actor Collaboration and Cultural Capital in Wonosari, Gunungkidul Amboro, Joko; Wahyuningsih, Novita
Mimbar Agama Budaya Vol. 42 No. 2 (2025)
Publisher : Center for Research and Publication (PUSLITPEN), UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15408/mimbar.v42i2.48745

Abstract

This study investigates the transformation process of Wonosari Village, Gunungkidul Regency, towards achieving its status as a Cultural Village (Desa Budaya). The research employs a descriptive qualitative approach with data collection methods encompassing participant observation and in-depth interviews with 15 key informants. The central research focus is to answer: How do the roles of actors and the forms of cultural capital drive cultural preservation and the creative economy in Wonosari?. The findings indicate that Wonosari Village has more than 45 active cultural groups, reflecting a rich array of traditional arts, customs, and local culinary heritage. Culture is understood as social and economic capital that can spur creative economic growth and strengthen local identity. Cultural preservation in this region involves multi-stakeholder synergy, ranging from the village government, the DIY Regional Culture Office, art communities, and formal educational institutions, which function as facilitators, curators, and agents of cultural value transmission. However, cultural preservation faces four primary obstacles: modernization, insufficient regulation, limited funding, and weak documentation. Preservation strategies are directed towards strengthening cultural institutions, community participation, leveraging village funds (dana desa), and digital-based documentation. This study emphasizes the importance of collaborative and community-based approaches in positioning culture as the main axis of inclusive, sustainable, and competitive village development.