Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search
Journal : Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum

TANAH WAKAF UNTUK RUMAH SUSUN UMUM Anda Setiawati
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 1 No. 1 (2018): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (75.031 KB) | DOI: 10.25105/hpph.v1i1.3578

Abstract

Berdasarkan Pasal 18 UU No 20/2011 Tentang Rumah Susun, tanah wakaf dapat dimanfaatkan untuk pembangunan rumah susun umum. Selain dengan cara sewa, pemanfaatan tanah wakaf untuk rumah susun umum juga dapat dilakukan dengan cara kerjasama pemanfaatan, sepanjang sesuai dengan ikrar wakaf, prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Persoalannya adalah pola atau bentuk kerjasama yang seperti apa yang sesuai untuk pembangunan rumah susun umum di atas tanah wakaf. Untuk menemukan pola kerjasama yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip syariah dilakukan penelitian yang menggunakan metode penelitian hukum normatif (doctrinal research) dan bersifat deskriptif. Data yang digunakan berupa data sekunder yang dianalisis secara kualitatif dengan penarikan kesimpulan secara dedutif. Berdasarkan analisis yang dilakukan dapat dijelaskan bahwa Build Operate and Transfer (BOT) dapat dipakai sebagai pola kerjasama pemanfaatan tanah wakaf untuk rumah susun umum yang menggunakan akad musyarakah. Dipilihnya BOT sebagai pola kerjasama pemanfaatkan tanah wakaf didasarkan pada adanya kesamaan BOT dengan musyarakah, dimana keduanya merupakan bentuk kerjasama modal yang didasarkan pada kesepakatan antara investor dan pemilik/pengelola tanah. Persamaan lainnya adalah dalam pembagian keuntungan dan kerugian yang didasarkan pada prosentase (nisbah) atas dasar kesepakatan para pihak. Akan tetapi, kerjasama pemanfaatan tanah wakaf  yang menggunakan pola BOT dengan akad musyarakah hanya dilakukan terhadap tanah-tanah wakaf yang sudah tidak produktif dan pemanfaatannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mengingat belum adanya aturan hukum yang mengatur BOT tanah wakaf untuk pembangunan rumah susun umum, sebagai upaya mengisi kekosongan hukum dapat digunakan ketentuan BOT yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 tentang Pemanfaatan Tanah Milik Negara/Daerah, Peraturan Presiden No. 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur dan Peraturan Presiden No. 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Perjanjian Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Kata kunci: BOT tanah wakaf untuk rumah susun umum
UPAYA HUKUM TERKAIT MASALAH PENJUALAN RUMAH SUSUN YANG DIIKAT DENGAN PPJB Anda Setiawati
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 1 No. 2 (2019): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (242.143 KB) | DOI: 10.25105/hpph.v1i2.5482

Abstract

Penjualan rumah susun/apartemen/kondominium dalam kondisi belum selesai dibangun (penjualan secara off-plan/pre-project selling) banyak dilakukan melalui PPJB yang umumnya dibuat dalam bentuk yang baku. Model penjualan melalui PPJB ternyata menimbulkan masalah hukum yang cenderung merugikan calon pembeli. Banyak pengembang yang dalam pembuatan PPJB selalu mencantumkan klausula baku dan penghindaran atau pengabaian Pasal 43 ayat (2) UURS. Berlindung di balik berlakunya Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata tentang asas kebebasan berkontrak, para pengembang berusaha menghindar dari persyaratan penjualan melalui PPJB, terutama syarat kepastian hak atas tanah, IMB dan keterbangunan 20%. Untuk meminimalisir kerugian pada konsumen rumah susun (calon pembeli) dan itikad tidak baik dari pengembang harus ada penegakan hukum yang jelas dan pasti yang dapat memberikan keadilan, kepastian hukum dan perlindungan hukum  bagi masyarakat pembeli rumah susun. Ada berbagai instrumen hukum yang dapat digunakan oleh calon pembeli dalam menuntut menuntut hak-haknya, yaitu melalui upaya hukum perdata dan pidana. Dalam penyelesaian perdatanya,  dapat dipilih penyelesaian melalui cara non litigasi/ADR dan mengadu ke BPSK atau menggunakan cara litigasi melalui gugatan wanprestasi atau gugatan perbuatan melawan hukum. Penggunaan instrumen hukum pidana didasarkan pada pengenaan sanksi pidana yang terdapat Pasal 110 UURS dan 62 ayat (1) UUPK.Kata Kunci: Rumah Susun, PPJB
KAJIAN ATAS SENGKETA DUALISME KEPENGURUSAN PERHIMPUNAN PENGHUNI DAN PEMILIK SARUSUN (PPPSRS) Anda Setiawati
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 2 No. 1 (2019): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (143.349 KB) | DOI: 10.25105/hpph.v2i1.7682

Abstract

Dalam praktik pengurusan dan pengelolaan rumah susun oleh PPPSRS, muncul persoalan adanya dualisme kepengurusan PPPSRS. Masing-masing pihak merasa memiliki legitimasi dan kewenangan berdasarkan pemberian status badan hukum oleh pemerintah daerah. Secara normatif, legalitas pengurus PPPSRS merujuk pada legalitas pembentukan PPPSRS yang dibuktikan dengan akta pendirian beserta AD/ART PPPSRS.  yang dilaporkan ke instansi terkait untuk memperoleh status badan hukum. Pemilihan pengurus dilakukan atas dasar musyawarah mufakat dan jika tidak mencapai kuorum dilakukan atas dasar suara terbanyak. Pergantian atau perubahan pengurus dapat dilakukan melalui RULB berdasarkan hak suara pemilihan yang dimiliki oleh anggota PPPSRS dan dituangkan dalam suatu akta notariil, untuk kemudian dilakukan pencatatannya ke instansi/dinas terkait.  Pencatatan ini tidak bisa ditafsirkan sebagai cara untuk memperoleh status badan hukum baru dari PPPSRS baru melainkan hanya berupa pencatatan pergantian atau perubahan pengurus dari yang lama ke yang baru.Kata kunci: Dualisme Kepengurusan, PPPSRS
MASALAH PEMBATALAN PERJANJIAN YANG BERBAHASA ASING PASCA BERLAKUNYA UU NO. 24 TAHUN 2009 Anda Setiawati
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 4 No. 1 (2021): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (385.734 KB) | DOI: 10.25105/hpph.v4i1.13124

Abstract

Dengan diundangkannya UU No. 24 Tahun 2009 setiap nota kesepahaman atau perjanjian atau kontrak wajib dibuat dalam Bahasa Indonesia. Akibatnya banyak pihak menggunakan undang-undang tersebut sebagai dasar untuk menuntut pembatalan perjanjian dengan alasan perjanjian berbahasa asing tidak sah dan melanggar syarat causa yang halal. Berangkat dari konsepsi hukumnya, causa adalah isi perjanjian yang tidak boleh bertentangan dengan kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum. Sedangkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian merupakan formalitas atau prosedur pembuatan perjanjian. Jadi terkait keabsahan perjanjian yang berbahasa asing, pada prinsipnya perjanjian tersebut tetap sah. Meskipun demikian, karena penggunaan bahasa Indonesia menjadi syarat formil pembuatan kontrak, maka perjanjian yang berbahasa asing menjadi batal ketika formalitas yang dipersyaratkan tidak dipenuhi. Namun karena UU No. 24/2009 tidak mengatur sanksi atau akibat hukumnya, maka perjanjian-perjanjian yang dibuat dalam bahasa asing harus dianggap sah dan mengikat.Kata kunci : Perjanjian, bahasa Indonesia, pembatalan perjanjian