Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

PROBLEMATIKA PELAKSANAAN HUNIAN BERIMBANG DI INDONESIA Ignatius Pradipa Probondaru
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 1 No. 1 (2018): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (75.905 KB) | DOI: 10.25105/hpph.v1i1.3580

Abstract

Hunian berimbang merupakan perumahan atau lingkungan hunian yang dibangun secara berimbang antara rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah. Hunian berimbang ini diwujudkan pertama kali melalui peraturan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pekerjaan Umum, dan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 648-384 Tahun 1992, Nomor: 739/KPTS/1992, Nomor: 09/KPTS/1992 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman dengan Lingkungan Hunian yang berimbang.  Komposisi hunian berimbang pada masa itu adalah 1 (satu) rumah mewah, berbanding 3 (tiga) rumah menengah, berbanding 6 (enam) rumah sederhana. Kemudian  melalui Permen Perumahan Rakyat No. 10 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan hunian berimbang, komposisi tersebut berubah menjadi 1 (satu) rumah mewah, berbanding 2 (dua) rumah menengah, berbanding 3 (tiga) rumah sederhana. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pelaksanaan perumahan dengan hunian berimbang di Indonesia? Metode penelitian yang digunakan ialah penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan hunian berimbang belum sesuai dengan UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan. Kendala yang dihadapi pengembang adalah tidak adanya insentif dari pemerintah, dan harga tanah yang semakin tinggi.  Kata Kunci: Perumahan, Hunian Berimbang
TUGAS POKOK PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM KEGIATAN PENDAFTARAN TANAH Ignatius Pradipa Probondaru
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 1 No. 2 (2019): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (233.294 KB) | DOI: 10.25105/hpph.v1i2.5552

Abstract

ABSTRAK Jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan memerlukan peraturan tertulis dan dilaksanakannya kegiatan pendaftaran tanah. Pemerintah diwajibkan menyelenggarakan kegiatan pendaftaran tanah, baik berupa kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali, maupun kegiatan pendaftaran tanah untuk pemeliharaan data. Untuk kegiatan pendaftaran tanah bagi pemeliharaan data, jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah diperlukan. Permasalahan yang dibahas adalah bagaimana tugas pokok utamanya PPAT dalam kegiatan pendaftaran tanah.  Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder yang dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tugas pokok Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah menjalankan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun (HMSRS) yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah. Untuk meningkatkan pelayanan PPAT kepada masyarakat, diterbitkan PP 24 Tahun 2016 yang memperluas daerah kerja PPAT sampai tingkat provinsi. Untuk meningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional melakukan pembinaan dan pengawasan PPAT melalui kode etik PPAT.Kata kunci: Pendaftaran Tanah dan Pejabat Pembuat Akta Tanah  
SERTIFIKAT HAK PAKAI UNTUK BERBAGAI PULAU KECIL TERLUAR DI INDONESIA BERDASARKAN TEORI KEPASTIAN HUKUM Ignatius Pradipa Probondaru; Dyah Setyorini; Endang Pandamdari
JURNAL RECTUM: Tinjauan Yuridis Penanganan Tindak Pidana Vol 5 No 3 (2023): EDISI BULAN SEPTEMBER
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Darma Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.46930/jurnalrectum.v5i3.3502

Abstract

Indonesia adalah Negara yang terdiri dari berbagai pulau sejumlah 17.000 lebih pulau yang membentang luas. Wilayah laut Indonesia melebihi luas daratannya. Menyadari bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan, dimana jumlah pulau pulau kecil terluar banyak, maka untuk menjaga kedaulatan negara, sekaligus meningkatkan kemakmuran rakyat, perlu dilakukan penataan pemanfaatan pulau pulau kecil terluar melalui penSertifikatan tanah. Permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini yaitu terkait penerbitan Sertifikat Hak Pakai untuk pulau-pulau kecil terluar di Indonesia menurut hukum tanah nasional dan bagaimana Sertifikat hak pakai untuk pulau kecil terluar di Indonesia ditinjau dari teori kepastian hukum. Adapun tujuan dilakukan penelitian ini adalah menggambarkan penerbitan Sertifikat hak pakai untuk pulau kecil terluar di Indonesia menurut hukum tanah nasional dan menggambarkan sertifikat hak pakai untuk berbagai pulau kecil yang berada paling luar pada wilayah Indonesia berdasarkan teori kepastian hukum. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis normatif melalui pendekatan perundang-undangan. Penelitian menemukan hasil penerbitan Sertifikat hak pakai untuk pulau kecil terluar di Indonesia menurut hukum tanah nasional dilaksanakan sebagaimana diatur dalam UUPA dan peraturan pelaksanaannya. Sertifikat tersebut menjadi bukti pemilikan yang paling kuat. Sertifikat Hak Pakai untuk pulau kecil terluar di Indonesia ditinjau dari teori kepastian hukum memberikan jaminan bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai pihak yang menguasai pulau tersebut untuk kegiatan penelitian dan pengembangan perikanan, sekaligus pula sebagai wujud kedaulatan negara Republik Indonesia.
Problems of Converting Agricultural Land and the Need to Anticipate Its Control After the Enactment of the Job Creation Law Mariane, Irene; Sumanto, Listyowati; Probondaru, Ignatius Pradipa; Idris, Siti Hafsyah binti
Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum dan Konstitusi Vol. 7 Issue 1 (2024) Volksgeist: Jurnal Ilmu Hukum Dan Konstitusi
Publisher : Faculty of Sharia, Universitas Islam Negeri (UIN) Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24090/volksgeist.v7i1.10473

Abstract

The main problem that farmers face now is the conversion of land function from agricultural to non-agricultural ones because of conflicts of interests. Behind this problem, there is an increase in demand for lands as a result of economic and population growths, leading to food security and import dependence threats. Therefore, protecting agricultural lands becomes more and more urgent to ensure the national food security. This research aims to identify the arising problems regarding the conversion of agricultural land function and the need to anticipate its control upon the enactment of Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation. This research applied a normative research method using statute approach. The data it used consisted of primary legal materials such as Law Number 11 of 2020 on Job Creation, and its derivative regulations such as Government Regulations (GR) and one Ministerial Regulation as technical operating references. The data were collected by reviewing the literature and studies, using qualitative analysis, including content analysis to evaluate information objectively. The conclusion was drawn deductively, from general ideas to specific findings. An in-depth investigation was carried out into the relevant legal facts using frame analysis, which limited the scope of studies and attempted to find solutions to the arising issues. The research found that upon the enactment of Job Creation Law, a significant change occurred in the regulations on agricultural land conversion in Indonesia. This led to new challenges in managing the land conversion and required anticipatory measures. Tight monitoring on the agricultural land usage and establishment of a specific institution to manage the state’s agricultural lands are needed. Through farmers’ and community’s active participation, it is expected that the government’s programs can be more responsive to local needs and maximize the use of limited resources.
Sosialisasi Peraturan Perpajakan Sektor Pariwisata Berdasarkan Ketentuan Terbaru Arsawan, I Gede Yudi; Setiawati, Anda; Probondaru, Ignatius Pradipa
Jurnal Bina Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 5 No 2 (2025): Jurnal Bina Pengabdian Kepada Masyarakat
Publisher : Sekolah Tinggi Olahraga dan Kesehatan Bina Guna

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55081/jbpkm.v5i2.3747

Abstract

Salah satu sumber pendapatan negara terbesar adalah berasal dari pajak. Pajak merupakan pungutan rakyat yang sifatnya dapat dipaksanakan oleh karena pemungutannya telah diatur dalam undang-undang sehingga dianggap telah mendapatkan persetujuan rakyat. Saat ini berbagai peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan mengalami perubahan, seperti misalnya peraturan perpajakan di sektor pariwisata yang semula diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah kemudian telah dicabut dan digantikan pengaturannya melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Adanya pengaturan perpajakan yang baru di sektor pariwisata membuat para pelaku usaha dan masyarakat yang bekerja di sektor tersebut membutuhkan informasi mengenai hal-hal apa saja yang perlu dilakukan penyesuaian. Informasi tersebut menjadi suatu urgensi oleh karena jika terdapat kesalahan penerapan pajak dalam kegiatan di sektor pariwisata maka dapat mengakibatkan timbulnya utang pajak yang akan membebani masyarakat dan berdampak tidak baik bagi perputaran ekonomi di sektor pariwisata.
Balanced Residential Conversion Fund in Achieving Justice and Prosperity Probondaru, Ignatius Pradipa; Setyorini, Dyah; Pandamdari, Endang
POLICY, LAW, NOTARY AND REGULATORY ISSUES Vol. 4 No. 3 (2025): JULY
Publisher : Transpublika Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55047/polri.v4i3.1763

Abstract

The need for decent and affordable housing in Indonesia is becoming increasingly urgent alongside population growth and urbanization, but is hindered by high property prices and income inequality. This study aims to describe how Balanced Residential conversion funds contribute to achieving justice and welfare. This research uses a normative juridical method to analyze the Balanced Residential Conversion Fund policy as a solution to housing provision imbalances. The research focuses on implementation issues of Balanced Residential, including land price constraints, lack of developer incentives, and unclear fund conversion mechanisms. The results show that the Balanced Residential Conversion Fund policy, regulated through Government Regulations and managed by BP3, provides flexibility for developers while ensuring housing availability for low-income communities. However, three main challenges are identified: (1) absence of clear standards in calculating conversion fund amounts, (2) weak supervision of fund allocation, and (3) inaccurate mapping of housing needs. The research concludes that this policy has the potential to achieve social justice if improved through: (1) establishing transparent formulas for calculating conversion funds, (2) strengthening fund management and accountability systems, and (3) data-based mapping to ensure strategic locations for subsidized housing. With these improvements, Balanced Residential Conversion Funds can become an effective instrument in reducing housing backlog and creating social balance.
Future Direction of Binding Sale-Purchase Agreements as Tax Objects for Land and Building Rights Acquisition Keumala, Dinda; Probondaru, Ignatius Pradipa; Setiawati, Anda; Arsawan, I Gede Yudi; Wiratno, Wiratno
JURNAL AKTA Vol 12, No 2 (2025): June 2025
Publisher : Program Magister (S2) Kenotariatan, Fakultas Hukum, Universitas Islam Sultan Agung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30659/akta.v12i2.44247

Abstract

A Binding Sale and Purchase Agreement is a preliminary agreement made by parties before a Notary before the execution of a Sale and Purchase Deed before the Land Deed Official. This study examines the existence of a binding sale and purchase agreement regulation as the object of the Levy on Acquisition of Land and Building Rights payment, it identifies the factors causing inconsistencies in the normative regulation of A Binding Sale and Purchase Agreement transaction as the Levy on Acquisition of Land and Building Rights objects. The findings show that there are inconsistencies between the provisions stipulated in Law No. 1 of 2022 concerning Financial Relations between the Central Government and Regional Governments and Government Regulation No. 35 of 2023 concerning General Provisions for Regional Taxes and Regional Levies regarding the timing and object of the Levy on Acquisition of Land and Building Rights payment. Specifically, Article 49 letter a of Law No. 1 of 2022 determines that the Levy on Acquisition of Land and Building Rights is due at the signing of the binding Sale and Purchase Agreement, while Article 18 paragraph (3) of Government Regulation No. 35 of 2023 stipulates different conditions, leading to regulatory disharmony.
TRANSFORMASI DATA PADA SERTIPIKAT TANAH: ANALISIS PERBANDINGAN ANTARA SERTIPIKAT ELEKTRONIK DAN ANALOG: Data Transformation On Land Certificates:A Comparative Analysis Of Electronic And Analog Certificates Nadhirah Baisa; Ignatius Pradipa Probondaru
Reformasi Hukum Trisakti Vol 7 No 3 (2025): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Faculty of Law, Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25105/refor.v7i3.22964

Abstract

The transformation of technological advancements and the existence of digitalization has created a shift in the land registration system from paper-based to electronic, this shift has given birth to a new product, namely an electronic certificate that is different from the previous certificate, namely an analog certificate. The formulation of the problem is how the features in presenting data differ between electronic certificates and analog certificates. The research method, the type of normative legal research is descriptive with secondary data, namely laws and regulations, and related journals, analyzed qualitatively and deductively drawing conclusions. The results of the discussion and conclusions are the differences in data presentation features between analog and electronic certificates including document forms, increased security features with editions, the use of electronic signatures, and simplification of substance with QR codes, electronic certificates do have a minimal risk of loss and damage due to natural disasters because of supporting features that previously did not exist in analog. However, many still do not know the differences in data presentation features between the two, one of which is the QR Code that can be scanned on the Touch Tanahku application.
KEBIJAKAN PENGURANGAN PAJAK PBB-P2 DI KOTA TANGERANG SELATAN: KEWENANGAN PEMERINTAH DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2022: PBB-P2 Tax Reduction Policy in South Tangerang: Government Authority and Law No. 1 Year 2022 Elsya Dana Yuana Amos; Ignatius Pradipa Probondaru
Reformasi Hukum Trisakti Vol 7 No 4 (2025): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Faculty of Law, Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25105/refor.v7i4.22942

Abstract

South Tangerang City Government in the Rural and Urban Land and Building Tax (PBB-P2) Reduction Policy for 2022-2023, South Tangerang City Government provided incentives in the form of reductions in the principal amount of tax and the elimination of administrative sanctions. This policy was adopted following the enactment of Law Number 1 of 2022, which grants greater authority to local governments in managing their revenue sources, including PBB-P2. The legal issue addressed in this research is how the regulation and impact of the PBB-P2 reduction policy affects local revenue and taxpayer compliance. The legal research method employed is normative legal research, using a descriptive approach through the analysis of secondary data to assess the policy’s compliance with national statutory provisions. Based on the findings of the analysis, it is concluded that although this policy may potentially reduce local revenue, it generally enhances taxpayer awareness and compliance while supporting public welfare. This research is expected to provide strategic recommendations to optimize local tax policies in promoting regional economic growth.
Akibat Hukum Penetapan Tanah Musnah: Ganti Rugi atau Dana Kerohiman? Setiawati, Anda; Probondaru, Ignatius Pradipa; Arsawan, I Gede Yudi; Sihombing, Irene Eka; Nabilah, Hana Jihan
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 14 No 1 (2025)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JMHU.2025.v14.i01.p05

Abstract

The missing of land is one of the causes of the abolition of land rights. With the enactment of Government Regulation Number 18 Year 2021 and Regulation of the Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/National Land Agency of the Republic of Indonesia Number 17 Year 2021, an issue arises where landowners whose land has been missing demand compensation because a national strategic project will be built on the land. The purpose of this study is to explain the legal aspect of land rights over missing land and to provide an overview of the form of compensation given to landowners whose land has been declared missing, whether in the form of compensation or compassion funds. This study employs a normative juridical research method based on secondary data. According to Presidential Regulation Number 52 Year 2022 as amended by Presidential Regulation Number 27 Year 2023, for lands declared missing and intended for construction in the public interest, only compassion funds are provided, as the priority rights of the landowner to reclaim or reconstruct the land are disregarded. Compensation may be provided if the land declared missing is to be used for public interest projects or national strategic projects and has been reclaimed or reconstructed by the landowner. Musnahnya tanah merupakan salah satu penyebab hapusnya hak atas tanah. Dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2021 memunculkan persoalan, di mana pemilik tanah yang tanahnya musnah menuntut ganti rugi karena di lokasi tanah akan dibangun proyek strategi nasional. Tujuan dilakukannya kajian ini adalah untuk menjelaskan aspek hukum hak atas tanah dari tanah musnah dan bentuk kompensasi yang diberikan kepada pemilik tanah yang tanahnya terindikasi musnah, apakah dalam bentuk ganti rugi atau berupa dana kerohiman. Dalam kajian ini digunakan metode penelitian yuridis normatif yang berbasis pada data sekunder. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2022 yang sudah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2023 untuk tanah-tanah yang terindikasi musnah dan akan digunakan untuk pembangunan demi kepentingan umum, hanya diberikan dana kerohiman karena hak prioritas dari pemilik tanah berupa hak untuk mereklamasi atau merekonstruksi dikesampingkan. Pemberian ganti rugi dapat diberikan dalam kondisi tanah yang terindikasi musnah sudah direkonstruksi atau direklamasi oleh pemilik tanah dan tanah itu akan digunakan untuk pembangunan proyek-proyek demi kepentingan umum atau proyek strategi nasional.