Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search

ESENSI KONTRAK PADA MASYARAKAT INDONESIA: HUKUM YANG BERCIRIKAN LOW-CONTEXT CULTURE BERHADAPAN DENGAN MASYARAKAT HIGH-CONTEXT CULTURE Natasya Yunita Sugiastuti
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 1 No. 1 (2018): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (87.728 KB) | DOI: 10.25105/hpph.v1i1.3585

Abstract

Hukum kontrak di Indonesia sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata pada dasarnya berisikan norma-norma hukum perdata barat sebagai refleksi budaya masyarakat bercirikan low-context culture, di mana kontrak dipahami sebagai dokumen hukum. Konstruksi ini secara eksplisit tertuang dalam Pasal 1338 ayat (1) jo. 1320 KUHPerdata. Perjanjian atau kontrak merupakan hukum; dalam hal ini hukum yang berlaku bagi para pihaknya yang pelanggarannya akan menimbulkan akibat hukum. Di lain pihak, masyarakat Indonesia sendiri termasuk dalam masyarakat high-context culture, di mana masyarakatnya lebih mementingkan dan mengutamakan relationship-hubungan yang terjalin di antara para pihaknya. Hakikat kontrak lebih merupakan nota kesepahaman daripada dokumen hukum yang mengikat. Kontrak dianggap bukan sebagai dokumen hukum, melainkan simbol adanya relationship belaka. Menilik konsepsi sistem hukum dari Lawrence M. Friedman, budaya hukum masyarakat akan mempengaruhi pelaksanaan hukum itu sendiri. Hukum bisa mati karena masyarakat tidak menerimanya karena dianggap bukan bagian dari norma yang harus dipatuhi. Dalam hubungannya dengan kontrak, maka dapat dikatakan dalam masyarakat yang bercirikan high-contect culture, sebaik apapun kontrak dibuat, maka kontrak tersebut akan cenderung diabaikan karena dianggap bukan sebagai norma (hukum) yang harus dipatuhi.Kata Kunci: Kontrak, Indonesia, High-and-low context culture 
Formasi/ Terjadinya Hubungan Kontraktual Menurut Sistem Hukum Inggris Natasya Yunita Sugiastuti
Jurnal Hukum PRIORIS Vol. 4 No. 2 (2014): Jurnal Hukum Prioris Volume 4 Nomor 2 Tahun 2014
Publisher : Faculty of Law, Trisakti University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1799.402 KB) | DOI: 10.25105/prio.v4i2.383

Abstract

Dalam hukum kontrak, pemahaman terhadap berbagai sistem hukum sangat penting. Hal ini disebabkan dalam hal seseorang terlibat dalam suatu perjanjian dengan pihak lain dari negara lain yang berbeda sistem hukum (cross border), ada hal-hal tambahan khusus yang perlu diperhatikan dalam penyusunan maupun pelaksanaan dan penegakan kontrak. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah formasi atau terjadinya hubungan kontraktual berdasarkan hukum Inggris.Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, dengan sifat deskriptif. Sepenuhnya menggunakan data sekunder yang didapat melalui studi pustaka, dengan analisis kualitatif dan disimpulkan melalui metoda induktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hukum kontrak Inggris melihat formasi kontrak berdasarkan konsep offer dan acceptance. Aspek-aspek hukum utama dalam offer adalah: syarat offer, invitation to treat, dan berakhirnya offer. Sedangkan aspek-aspek hukum utama dalam acceptance adalah: syarat acceptance, cara melakukan acceptance, postal rule sera penggunaan kontrak standar. Kata Kunci: Formasi Kontrak, Inggris.
Esensi Kontrak Sebagai Hukum Vs Budaya Masyarakat Indonesia Yang Non-Law Minded dan Berbasis Oral Tradition Natasya Yunita Sugiastuti
Jurnal Hukum PRIORIS Vol. 5 No. 1 (2015): Jurnal Hukum Prioris Volume 5 Nomor 1 Tahun 2015
Publisher : Faculty of Law, Trisakti University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (885.436 KB) | DOI: 10.25105/prio.v5i1.393

Abstract

Berdasarkan konstruksi Pasal 1338 jo. 1320 KUHPerdata, perjanjian atau kontrak merupakan hukum; dalam hal ini hukum yang berlaku bagi para pihaknya yang pelanggarannya akan menimbulkan akibat hukum. KUHPerdata pada dasarnya berisikan norma-norma hukum perdata barat sebagai refleksi budaya masyarakat bercirikan law-minded. Menilik konsepsi sistem hukum dari Lawrence M. Friedman, budaya hukum masyarakat akan mempengaruhi pelaksanaan hukum itu sendiri. Hukum bisa mati karena masyarakat tidak menerimanya karena dianggap bukan bagian dari norma yang harus dipatuhi. Dalam hubungannya dengan kontrak, maka dalam masyarakat yang bercirikan non-law minded dan berbasis oral tradition, sebaik apapun kontrak dibuat, bahkan dibuat dalam format baku (perjanjian baku) maka kontrak tersebut akan diabaikan karena dianggap bukan sebagai norma (hukum) yang harus dipatuhi.
PENETAPAN WALI UNTUK MEMENUHI SYARAT KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN Natasya Yunita Sugiastuti
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 6 No. 1 (2023): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25105/hpph.v6i1.16734

Abstract

Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, untuk menjadi subjek dalam perjanjian diperlukan kecakapan seseorang dalam bertindak. Kecakapan bertindak akan mengemuka misalnya dalam keadaan ketika orang tua ingin mengalihkan hak kepemilikan harta warisan yang dimiliki bersama dengan anak yang di bawah usia. Permasalahannya, hukum positif Indonesia mengatur bahwa bila ayah/ibu meninggal, bagi anak di bawah umur, orang tua yang masih hidup bertindak sebagai wali. Tetapi dalam prakteknya ayah/ibu yang masih hidup harus mendapat penetapan dari pengadilan yang menyatakan bahwa orang tua kandung berhak dan layak untuk atas nama anaknya melakukan hukum. Penelitian ini mengkaji dua penetapan pengadilan sebagai hukum yang senyatanya mengenai perlunya penetapan pengadilan bagi orang tua untuk dapat bertindak atas nama anak yang masih di bawah usia. Penelitian hukum ini berbasis normatif, mengkaji norma tentang kecakapan para pihak dalam perjanjian, sifat penelitian deskriptif, data sekunder, analisis kualitatif, disimpulkan secara deduktif. Sebagai hasil penelitian: 1) untuk bertindak atas nama anak yang belum cukup umur, ayah/ibu harus mendapat penetapan dari pengadilan, 2) kriteria cukup umur dalam hukum positif di Indonesia tidak seragam, 3) perjanjian yang cacat dalam syarat kecakapan dapat dibatalkan.
PEMIKIRAN BAGI PEMBAHARUAN KETENTUAN GANTI RUGI AKIBAT WANPRESTASI DALAM PERIKATAN NASIONAL MELALUI PERBANDINGAN TERHADAP CIVIL CODE OF THE NETHERLANDS Natasya Yunita Sugiastuti
Jurnal Hukum PRIORIS Vol. 9 No. 2 (2021): Jurnal Hukum Prioris Volume 9 Nomor 2 Tahun 2021
Publisher : Faculty of Law, Trisakti University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25105/prio.v19i2.16651

Abstract

Terhadap debitur yang wanprestasi, kreditur memiliki hak untuk menuntut kompensasi atas kerugian yang diderita. Kajian perbandingan hukum pengaturan ganti rugi akibat wanprestasi dengan civil code of the Netherlands merupakan hal penting mengingat pengaturan yang berlaku bagi wanprestasi dalam perjanjian di Indonesia sampai saat ini masih mendasarkan civil code Belanda yang pertama kali diberlakukan di Hindia Belanda tahun 1848 sedangkan Belanda telah memiliki civil code baru yang diundangkan pada 1 Januari 1992. Kajian dibatasi pada hak pihak yang menderita kerugian untuk menuntut kompensasi akibat wanprestasi pihak lain. Objek perbandingan hukum ini adalah lembaga hukum, hakikatnya merupakan perbandingan hukum legislasi, sifat perbandingannya horizontal, tujuannya adalah applied comparative. Bahan hukum primer dan sekunder didapatkan dengan cara studi dokumen, pengolahan data dilakukan secara kualitatif dan disimpulkan melalui metoda perbandingan hukum. Berdasarkan hasil kajian perbandingan hukum, diberikan beberapa rekomendasi bagi pembaharuan ketentuan wanprestasi, yaitu berkenaan dengan specific performance, kewajiban kreditur menyatakan kompensasi yang dikehendakinya, konversi kewajiban yang tidak dilaksanakan menjadi kewajiban mengganti sejumlah uang, hak kreditur menunda pelaksanaan prestasi, batasan hak membatalkan perjanjian, serta kewajiban debitur untuk memastikan bahwa setelah pemutusan kontrak dia mampu mengembalikan apa yang telah diterima. Kata kunci: Ganti Rugi, Wanprestasi, Perbandingan, Civil Code of the Netherlands
IMPROVEMENT OF SUBSTANTIVE PROVISIONS OF THE VALIDITY OF AGREEMENT IN THE INDONESIAN CIVIL CODE Natasya Yunita Sugiastuti; Dian Purnamasari
Diponegoro Law Review Vol 8, No 1 (2023): Diponegoro Law Review April 2023
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/dilrev.8.1.2023.124-140

Abstract

The legal effect of non-fulfillment of the requirement for the validity of the agreement is that the existence of such agreement is not recognized, cancellation can be requested or it can be declared null and void. Due to the significance of such legal requirements and consequences for the validity of the agreement, it is in need of analysis. With the emergence of the idea of reforming national contract law, this research intends to provide some thoughts for the improvement of the national law of obligations, particularly with regard to the validity of the agreement. These reflections are results of the study regarding to contract validity as regulated under Nieuw Burgerlijk Wetboek. This is normative legal research; with the legislative, conceptual, and comparative law approach, the data used is in the form of secondary data, obtained through a literature review. Based on the results of the study, several recommendations are being put forward for the improvement of the national law of obligations, both with regard to the subjects entering into agreement (provisions concerning consent and capacity) as well as recommendations with regard to the object of agreement (provisions concerning certain things and the contents of agreement).
Sikap Hakim dalam Menerapkan Pasal 1321 KUHPerdata: Studi Putusan Pengadilan di Indonesia Natasya Yunita Sugiastuti; Rakhmita Desmayanti; Nahla Samir Ahmed Shahin
Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Vol. 30 No. 3: SEPTEMBER 2023
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20885/iustum.vol30.iss3.art10

Abstract

In legal science, coercion, error and fraud as regulated in Article 1321 of the Civil Code are classic defects of will. Parties who express an agreement without freedom, based on Article 1449 of the Civil Code, are given legal protection in the form of the right to request cancellation of the agreement. The problem is that the defect in the will lies in the process of forming the agreement so that it is impossible to obtain written evidence. In fact, letters are the main evidence in civil proceedings and hence the duty of the judge is to identify and to realize the formal truth. The aim of this research is to determine the judge's attitude in deciding whether there is a defect of will in forming an agreement. This normative legal research uses statutory, conceptual, case, and analytical approaches. Secondary data was obtained through literature study, the analysis was qualitative and concluded inductively. The research results show that there remain judges whose legal considerations are only based on proof that the parties have signed an agreement. There are also judges who look at the relevance of the surrounding legal facts thoroughly and comprehensively so that they can find any defects of will in the construction of the formation of the agreement.Keywords: Article 1321 Civil Code; Court ruling; Indonesia; Judge's Attitude. AbstrakDidalam ilmu hukum, paksaan, kekhilafan, dan penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata merupakan cacat kehendak klasik. Pihak yang menyatakan kesepakatan dengan tidak bebas, berdasarkan Pasal 1449 KUHPerdata diberikan perlindungan hukum berupa hak untuk mengajukan pembatalan perjanjian. Permasalahannya, cacat kehendak terletak pada proses terbentuknya kesepakatan sehingga tidak mungkin didapat bukti tulisan. Padahal surat merupakan alat bukti utama dalam proses perdata dan tugas hakim adalah mencari dan mewujudkan kebenaran formil. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui sikap hakim dalam memutus ada tidaknya cacat kehendak dalam pembentukan kata sepakat. Penelitian hukum normatif ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, konseptual, kasus dan analitikal. Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan, analisisnya kualitatif, dan disimpulkan secara induktif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masih ada hakim yang dalam pertimbangan hukumnya hanya didasarkan pembuktian bahwa para pihak telah menandatangani perjanjian. Ada juga hakim yang melihat relevansi fakta hukum yang melingkupinya secara menyeluruh dan komprehensif sehingga dapat menemukan adanya cacat kehendak pada konstruksi terbentuknya kesepakatan.Kata kunci: Indonesia; Pasal 1321 KUHPerdata; Putusan Pengadilan; Sikap Hakim.
PERBANDINGAN HUKUM KETENTUAN PERKAWINAN POLIGAMI DI INDONESIA DAN MESIR Raka Haikal Anfasya; Natasya Yunita Sugiastuti
Reformasi Hukum Trisakti Vol. 5 No. 2 (2023): Reformasi Hukum Trisakti
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25105/refor.v5i2.15839

Abstract

According to Indonesian law, monogamy is the foundation of marriage, although this principle is not unbreakable but rather flexible. Marriage law sets forth strong guidelines and requirements for polygamous marriages in order to prevent violations of and injury to wives' rights and to generally safeguard women. This study compares the polygamy provisions based on Egyptian and Indonesian law to examine the polygamy issue. The research is normative, using secondary data, qualitative analysis, and deductive conclusion. Research findings: Indonesian law regarding polygamous marriages is more comprehensive and complex than Egyptian law. Here some characteristics of polygamous marriages: the husband asks permission to engage in polygamy from the court; there is an obligation of notification and permission from the first wife; a reason to practice polygamy; sanctions for parties who violate the provisions on polygamy. In conclusion, Muh.Irham's decision was proven to have abandoned Nurdiana because she remarried secretly and according to Article 45 (1) PP No.9 1975 Muh.Irham was threatened with a fine of Rp.7500. Meanwhile, Big Ramy was proven to have committed polygamy secretly and according to Article 23 Bis Law 100 of 1985 was threatened with imprisonment for 6 months and a fine of 200 (Two Hundred) Pounds.
PENETAPAN WALI UNTUK MEMENUHI SYARAT KECAKAPAN BERTINDAK DALAM PERJANJIAN Natasya Yunita Sugiastuti
Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum Vol. 6 No. 1 (2023): Hukum Pidana dan Pembangunan Hukum
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25105/hpph.v6i1.16734

Abstract

Berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, untuk menjadi subjek dalam perjanjian diperlukan kecakapan seseorang dalam bertindak. Kecakapan bertindak akan mengemuka misalnya dalam keadaan ketika orang tua ingin mengalihkan hak kepemilikan harta warisan yang dimiliki bersama dengan anak yang di bawah usia. Permasalahannya, hukum positif Indonesia mengatur bahwa bila ayah/ibu meninggal, bagi anak di bawah umur, orang tua yang masih hidup bertindak sebagai wali. Tetapi dalam prakteknya ayah/ibu yang masih hidup harus mendapat penetapan dari pengadilan yang menyatakan bahwa orang tua kandung berhak dan layak untuk atas nama anaknya melakukan hukum. Penelitian ini mengkaji dua penetapan pengadilan sebagai hukum yang senyatanya mengenai perlunya penetapan pengadilan bagi orang tua untuk dapat bertindak atas nama anak yang masih di bawah usia. Penelitian hukum ini berbasis normatif, mengkaji norma tentang kecakapan para pihak dalam perjanjian, sifat penelitian deskriptif, data sekunder, analisis kualitatif, disimpulkan secara deduktif. Sebagai hasil penelitian: 1) untuk bertindak atas nama anak yang belum cukup umur, ayah/ibu harus mendapat penetapan dari pengadilan, 2) kriteria cukup umur dalam hukum positif di Indonesia tidak seragam, 3) perjanjian yang cacat dalam syarat kecakapan dapat dibatalkan.
KEABSAHAN KLAUSULA PENGESAMPINGAN PASAL 1266 KUHPERDATA SEBAGAI DASAR PEMUTUSAN KONTRAK SECARA SEPIHAK (STUDI TERHADAP DOKTRIN HUKUM DAN PUTUSAN PENGADILAN) sugiastuti, natasya yunita
Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni Vol. 6 No. 3 (2022): Jurnal Muara Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/jmishumsen.v6i3.9956.2022

Abstract

Pemutusan kontrak senantiasa dikaitkan dengan pelaksanaan kontrak yang mengalami masalah, yaitu merupakan akibat hukum lanjutan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam pelaksanaan pemenuhan kewajiban kontraktual. Peristiwa tersebut pada umumnya dikaitkan dengan pelanggaran kontraktual di mana salah satu pihak mengakibatkan kegagalan pelaksanaan kontrak atau wanprestasi. Menurut Pasal 1266 KUHPerdata dalam hal terjadi wanprestasi, kontrak tidak batal demi hukum, tetapi pemutusan harus  dimintakan kepada Pengadilan. Permasalahannya, dalam praktek tidak sedikit kontrak-kontrak yang di dalamnya mencantumkan klausula yang mengesampingkan berlakunya Pasal 1266 KUHPerdata dengan maksud agar kontrak tersebut dapat diputus sendiri oleh salah satu pihak tanpa campur tangan pengadilan jika pihak lainnya melakukan wanprestasi. Fokus tujuan penelitian ini, pertama berkenaan dengan pandangan sarjana (doktrin hukum) mengenai sifat norma yang diatur dalam Pasal 1266 KUHPerdata; ke-dua, berkenaan dengan sikap hakim atau pengadilan mengenai pencantuman syarat putus dengan mengesampingkan Pasal 1266 KUHPerdata di dalam kontrak. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, dianalisis secara kualitatif, disimpulkan melalui metode berpikir deduktif. Hasil studi menunjukkan bahwa doktrin-doktrin ahli hukum (yang diteliti) hampir seluruhnya berpendirian bahwa ketentuan Pasal 1266 KUHPerdata merupakan norma hukum yang sifatnya memaksa, sedangkan sikap hakim (berdasarkan putusan yang diteliti), ada yang memandang pencantuman syarat putus dengan mengesampingkan Pasal 1266 KUHPerdata berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak; sebagian hakim lain berpendapat bahwa hal tersebut merupakan perbuatan yang melawan atau mengesampingkan hukum.