Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search
Journal : Pariksa: jurnal Hukum Agama Hindu

AKIBAT HUKUM TERHADAP HAK MASYARAKAT ADAT DALAM PERALIHAN AGAMA DI DESA ADAT DALUNG Ida Bagus Putu Eka Suadnyana; I Wayan Titra Gunawijaya
PARIKSA: Jurnal Hukum Agama Hindu Vol 3, No 1 (2019): PARIKSA - JURNAL HUKUM HINDU STAHN MPU KUTURAN SINGARAJA
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/pariksa.v3i1.708

Abstract

In Bali, the majority of the population is Hindu. Hinduism began to flourish in Bali since the 8th century, introduced by Rsi Markandeya (Ardhana, 2002: 62). While Protestant Christianity began to enter the first time to Bali in 1860 through missionaries Van Ect, De Vroom, and Van Der Jagt (Beyer, 2001: 3). Protestant Christian meeting with Hinduism first developed, religious transformation accompanied by harassment. Ulrich Beyer (2001: 5-7) reveals how missionary Tsang To Hang, a Christian and Missionary Alliance (CMA) envoy who obtained permission to come to Bali to baptize the eleven Balinese on 11 November 1931, asking that those who repent willing to burn the divine statues and destroy the family temple, because it is considered to be a place of demons and demons. As a result of this incident, the Balinese Hindu community fell injured feeling and held a defense and resistance against the flow that destroy their sacred traditions.
HUKUM WARIS ADAT BALI YANG DITINJAU DARI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 179/K/1961/23/10/1961 I Nyoman Suadnyana; Made Novita Dwi Lestari
PARIKSA: Jurnal Hukum Agama Hindu Vol 1, No 1 (2017): Pariksa – Jurnal Hukum Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/pariksa.v1i1.636

Abstract

Ketidakadilan gender dalam hukum adat waris yang paling tampak adalah pada masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal dimana ditentukan bahwa ahli waris adalah anak laki-laki. Demikian halnya dalam mewujudkan suatu keadilan dalam hukum waris adat Bali terhadap hak waris dari anak perempuan. Dihubungkan dengan hak waris terhadap keturunan laki-laki merupakan suatu keseimbangan antara hak (swadikara) dan kewajiban (swadharma) yang dipikul oleh laki-laki yang dimana kewajiban tersebut tidak berhenti pada dunia nyata saja tetapi juga merembah ke alam gaib (niskala). Dalam perkembangannya peran daripada anak perempuan juga mulai tampak dalam berbagai aspek kehidupan sehingga perlu untuk dipertimbangkan terhadap hak diberikan kepada anak perempuan. Sistem patrilineal memberikan hak sebagai ahli waris kepada anak laki-laki (purusa). Jika ada anak laki-laki dan ada anak perempuan, anak perempuan itu tidak berhak untuk mewarisi harta kekayaan orang tuanya. Dapat dilihat bahwa begitu lemahnya kedudukan anak perempuan dalam hak waris menurut sistem Hukum waris adat Bali, sehingga perlu untuk dilakukan sebuah perubahan yang lebih memperhatikan hak-hak perempuan.
MAKNA TEOLOGI TRADISI MAPENDEM SEBAGAI WUJUD PELAKSANAAN HUKUM ADAT (AWIG-AWIG) DI DESA ADAT PUJUNGAN KABUPATEN TABANAN I Nyoman Suadnyana
PARIKSA: Jurnal Hukum Agama Hindu Vol 4, No 2 (2020): PARIKSA-JURNAL HUKUM HINDU STAHN MPU KUTURAN SINGARAJA
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/pariksa.v4i2.1149

Abstract

Desa adat Pujungan secara geografis terletak di lereng gunung Batukaru, dimana secara teologi gunung Batukaru sebagai tempat pemujaan Ista Dewata yaitu Tuhan yang bermanifestasi sebagai Mahadewa. Secara tata surya bahwa gunung Batukaru terletak di sisi Barat. Desa adat Pujungan merupakan salah satu desa yang mengempon gunung Batukaru, disamping desa lain seperti desa Sanda, desa Batungsel dan desa Pempatan. Masyarakat desa Pujungan secara turun temurun tidak boleh malakukan pembakaran jenazah dalam kegiatan Pitra Yadnya. Diyakini asap dari hasil pembakaran jenazah dapat mengotori (cemer) gunung Batukaru sebagai stana Hyang Mahadewa. Bertitik tolak dari hal tersebut maka didalam melakukan kegiatan apabila ada orang meninggal (Pitra Yadnya) upacaranya tidak dilakukan dengan cara membakar tetapi melalui proses penguburan (mapendem).
PROSESI DAN FUNGSI TRADISI NYACAHIN DALAM UPACARA PITRA YAJÑA DI DESA PAKRAMAN PUJUNGAN KECAMATA PUPUAN KABUPATEN TABANAN I Nyoman Suadnyana
PARIKSA: Jurnal Hukum Agama Hindu Vol 3, No 2 (2019): PARIKSA - JURNAL HUKUM HINDU STAHN MPU KUTURAN SINGARAJA
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/pariksa.v3i2.720

Abstract

Tradisi lokal di Desa Pakraman Pujungan dapat berakulturasi dengan ajaran agama Hindu, pelaksanan tradisi Nyacahin dalam upacara pitra Yajña ada di Desa Pakraman Pujungan dan harus dilaksanakan apabila ada orang meninggal dengan prosesi penguburan jenazah. Masyarakat Desa Pakraman Pujungan tidak berani untuk tidak melaksanakan tradisi ini apabila ada orang yang meninggal dengan prosesi dikubur, karena sebelum melakukan upacara ini keluarga orang yang sudah meninggal dan pakarangan tempat jenazah orang meninggal masih diyakini kotor atau cuntaka.Prosesi pelaksanaan tradisi Nyacahin dalam upacara pitra Yajña ada di Desa Pakraman Pujungan di awali dengan menstanakan roh orang yang meninggal dalam sebuah tempat yang bernama sekah, Pelaksanaannya dilakukan di kuburan. Prosesi berikutnya diajak pulang kerumah untuk diberikan upacra pembersihan. Setelah tengah hari dilanjutkan dengan mengntar roh orang meninggal sampai didepan pura prajapati. Prosesi puncak tradisi Nyacahin dalam upacara pitra Yajña ada di Desa Pakraman Pujungan adalah melakukan upacara butha yadnya berupa caru ayam berumbun, sebagai simbolis bahwa tempat bekas ada orang yang meninggal sudah bersih kembali.
BAGA PALEMAHAN: Upaya Pelestarian Lingkungan Oleh Masyarakat Hukum Adat Bali Ida Bagus Putu Eka Suadnyana
PARIKSA: Jurnal Hukum Agama Hindu Vol 5, No 2 (2021)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/pariksa.v5i2.1750

Abstract

Tri Hita Karana (THK) mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan, bersumber pada keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan lingkungan. Melalui konsep Tri Hita Karana itulah terkandung filosofis yang sangat dalam dan mempuni di dalam menjalankan kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara, termasuk juga mengandung nilai-nilai adanya suatu rasa cinta kasih dan karakter bagi seseorang. Dari rasa cinta kasih itulah memberikan inspirasi untuk terjadinya kehidupan yang harmonis, rukun dan saling menghargai dan berkarakter, sehingga ada pikiran dan prilaku untuk menjaga keberadaannya, termasuk biodiversitas (keanekaragaman) dari makhluk hidup di muka bumi ini. Manusia mempunyai tanggung jawab dan pengaruh yang besar terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya dan pengelolaan lingkungan hidup termasuk pencegahan, penanggulangan kerusakan dan pencemaran serta pemulihan kualitas lingkungan telah menuntut dikembangkannya berbagai perangkat kebijakan dan program serta kegiatan yang didukung oleh sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya. Hukum Hindu adalah Dharma yang bersumber pada Rta. Agama itu sendiri juga merupakan norma atau kaidah-kaidah moral yang bersumber langsung dari wahyu Tuhan Yang Maha Esa. Tri Hita Karana secara umum menunjukkan adanya nilai filosofis, sosiologis dan ekologis yang diakui dan mencirikan adanya integrasi serta penyeimbangan 3 (tiga) unsur kehidupan : Tuhan, alam dan manusia. Konsep Palemahan sebagai prinsip hidup masyarakat menjadi bagian tidak terpisahkan dari awig-awig Desa Adat di Bali.Keywords: Palemahan, Tri Hita Karana, Pelestarian Lingkungan
ETHOS KERJA HINDU DALAM ”BHAGAWADGITA” Wayan Murniti; I Nyoman Suadnyana
PARIKSA: Jurnal Hukum Agama Hindu Vol 2, No 2 (2018): PARIKSA - Jurnal Hukum Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/pariksa.v2i2.712

Abstract

Work etos does not only deal with way of every nation, but it is more that: it deal with ideology even religion the people follow. The basis of ethics of work ethos of easch nation is built on philosophical uniqueness wich is regarded as their way of life. Work is ethos in Hin dusim put strees on comtemplation ini working (karma yoga), so strere exists balance between materialsm and immarialism.
DHARMA AGAMA DAN DHARMA NEGARA DI ERA KEKINIAN I Made Hartaka; Ida Bagus Putu Eka Suadnyana
PARIKSA: Jurnal Hukum Agama Hindu Vol 2, No 1 (2018): PARIKSA - Jurnal Hukum Hindu STAHN Mpu Kuturan Singaraja
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/pariksa.v2i1.652

Abstract

Dharma merupakan pengatur kehidupan sehari-hari umat manusia. Dharma merupakan dasar dari tapa atau kesederhanaan. Ia menuntun menuju kecukupan, keindahan, umur panjang dan kelanjutan dari keturunan. Prilaku jahat dan tidak bermoral akan menuntun menuju kehinaan, kesedihan, kesakitan dan kematian sebelum waktunya. Dharma berakar dalam susila dan pengendalian dharma adalah Tuhan sendiri Umat Hindu sebagai bagian dari warga negara memiliki kewajiban untuk mengamalkan ajaran dharma sesuai dengan dasar hukum yang belaku di suatu negara. Norma atau hukum yang berlaku di Indonesia memiliki empat elemen yang jadi dasar, yakni: 1) Ideologi Pancasila sebagai atap yang melindung bangsa Indonesia dari serangan luar, 2) UUD 1945 dasar dari segala norma hukum di Indonesia, 3) Semboyan Bhineka Tunggal Ika merupakan semangat untuk membangun bangsa Indonesia kedepan, dan 4) NKRI sebagai benteng untuk mempertahankan serta memperkuat jati diri sebagai bangsa yang bermartabat. Revitalisasi dan aktualisasi ajaran dharma agama dan dharma negara menjadi senjata ampuh untuk menghadapi tantangan di zaman global. Upaya revitalisasi harus dilakukan secara serius karena tantangan zaman menuntut kita sebagai warga negara paham secara utuh nilai-nilai kebangsaan dan peka terhadap fenomena yang terjadi saat ini. aktualisasi ajaran agama Hindu mampu memperkuat empat konsensus untuk mencapai tujuan manusia hidup di dunia yaitu Jagadhita.
SANGSI ADAT JIKA MELAKSANAKAN PERKAWINAN SEBELUM MELAKUKAN UPACARA POTONG GIGI DI DESA PAKRAMAN PUJUNGAN KECAMATAN PUPUAN KABUPATEN TABANAN I Nyoman Suadnyana
Pariksa: Jurnal Hukum Agama Hindu Vol 6, No 2 (2022)
Publisher : Sekolah Tinggi Agama Hindu Mpu Kuturan Singaraja

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55115/pariksa.v6i2.2770

Abstract

Upacara potong gigi/mepandes/metatah/mesangih adalah salah satu dari pada upacara manusia yadnya, ini adalah kewajiban bagi orang tua terhadap anaknya. Dalam pelaksanaannya, potong gigi ini dilakukan saat anak mulai menginjak dewasa (menek daha-teruna) dengan memotong/mengasah empat gigi atas dan dua buah taring atas, sehingga berjumlah enam buah gigi, yaitu simbol dari melenyapkan Sad Ripu. Dalam hidup keseharian, manusia diliputi Tri Guna Sakti (Guna Satwam – Guna Rajas – Guna Tamas). Dari Tri Guna Sakti menimbulkan Sad Ripu (Kama – Krodha – Lobha – Moha – Mada – Matsyarya). Perihal “Ngekeb” dapat dilaksanakan bersamaan dengan saat potong gigi. Sebagai tugas terakhir orangtua wajib mengupacarai anaknya yaitu upacara perkawinan/pawiwahan. Ikatan suami istri melalui suatu upacara pernikahan adalah syarat sahnya suatu ikatan dan hubungan pribadi dari mempelai dengan segala akibat perbuatan tersebut dan segala dampaknya berupa tanggung jawab ditanggung bersama. Disamping itu perkawinan juga diartikan sebagai ikatan sekala niskala (lahir batin) antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.Kata Kunci : Perkawinan dan Potong Gigi