Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Konstitusionalitas Hak Kesehatan Jiwa Warga Negara: Studi Kebijakan Penanggulangan Bunuh Diri di Kabupaten Gunungkidul Wijayanto, Enggar
Jurnal HAM Vol 14, No 1 (2023): April Edition
Publisher : Badan Strategi Kebijakan Hukum dan HAM

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30641/ham.2023.14.1-16

Abstract

The high suicide rate in Gunungkidul is quite high, causing the Regional Head to issue Regent Regulation Number 56/2018 as a policy to deal with suicide cases. This step is a concrete manifestation of dealing with and preventing massive suicides systematically. The average number, which reaches 20 to 30 cases every year, shows that suicide is no longer an individual problem, but has become a social-human tragedy. This research will discuss how the implementation of suicide prevention policies, as the role of the state in protecting the constitutional rights of citizens in the field of mental health, through an interdisciplinary approach as an integrated perspective to see the purpose of the law. This research is included in empirical research and uses a socio-legal approach. Data collection is obtained through primary data, including interviews, observations, documentation, and secondary data through the study of related literature. The results showed that in terms of effectiveness, the suicide prevention policy has not run optimally based on the comparison of suicide rates before and after the policy was enacted. Influencing factors include apparatus coordination, facilities, and social support. Besides that, the pandemic situation also has an effect. Conceptually and practically, the suicide prevention policy is an effort to uphold citizens' constitutional rights by strengthening the mental health aspects of the community by integrating formal and informal social control to achieve effective law according to its goals.
Gugatan Nafkah Madliyah dalam Perkara Cerai Gugat : Studi Kasus Perkara Nomor 744/Pdt.G/2020/PA.Btl Dharmawan, Ilham Fathurrahman; Wijayanto, Enggar
MAQASID Vol 12 No 2 (2023)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30651/mqsd.v12i2.19520

Abstract

Gugatan Nafkah Madliyah pada umumnya hanya diajukan istri pada gugatan rekonpensi pada perkara cerai talak. Akan tetapi berbeda pada perkara nomor 744/Pdt.G/2020/PA.Btl dimana pada perkara ini gugatan nafkah madliyah untuk istri dan untuk anak diajukan bersama dengan gugatan perceraian dan dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Bantul. Fenomena tersebut menjadi unik dikarenakan menimbulkan pertanyaan tentang eksekusi nafkah yang berbeda dengan pada perkara cerai talak yang dilakukan sebelum ikrar talak. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka dengan pendekatan yuridis-normatif dengan mengumpulkan dan menganalisis dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian. Kesimpulan dari penelitian ini adalah dikabulkan gugatan nafkah madliyah dikelompokkan pada dua pertimbangan yaitu perkawinan yang sudah tidak dapat dipertahankan dan diajukannya gugatan nafkah madliyah. Sedangkan setidaknya terdapat dua syarat Majelis Hakim dalam mengabulkan gugatan yaitu adanya narasi nafkah madliyah dalam posita gugatan dan adanya narasi waktu pembayaran dalam petitum gugatan. Berkaitan dengan eksekusi nafkah madliyah masih terdapat problematika berkaitan batas waktu eksekusi yang berbeda dengan cerai talak yang selama suami tidak mengambil akta cerai maka nafkah madliyah tidak dapat dibayarkan dan istri dapat dikatakan hanya menang di atas kertas saja sehingga diperlukan upaya yang lebih menyeluruh dari istitusi pengadilan untuk eksekusi putusan nafkah madliyah.
Otonomi, Perda Syariah, dan Living Law di Negara Hukum Pancasila Wijayanto, Enggar
WICARANA Vol 1 No 2 (2022): September
Publisher : Kantor Wilayah Kementerian Hukum Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (858.318 KB) | DOI: 10.57123/wicarana.v1i2.24

Abstract

Eksistensi Perda Syariah di Indonesia masih menjadi kajian strategis yang terus bergulir hingga saat ini. Adanya Otonomi menjadi jalan baru untuk mengembangkan berbagai potensi sesuai kearifan di masing-masing daerah. Namun praktiknya menunjukan aspek dilematis. Kewenangan membentuk peraturan daerah sering kali memunculkan polemik diantaranya peraturan daerah berbasis syariah yang dianggap berpotensi terjadinya diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia.  Tulisan ini berusaha menganalisis bagaimana pengaruh otonomi daerah dan living law terhadap pembentukan peraturan daerah syariah di negara hukum berlandaskan Pancasila. Menggunakan pendekatan kualitatif, tulisan ini memaparkan argumentasi berdasarkan data-data kepustakaan untuk menjadi kesimpulan. Hasil penelitian menunjukan bahwa adanya perda syariah di masyarakat tidak terlepas dari pengaruh living law atau hukum yang hidup di masyarakat yang selanjutnya di positivisasi melalui pintu legislasi. Selain itu, faktor politik kepentingan menjadi aspek lain yang berpengaruh terhadap kelahiran perda syariah tersebut. Perlunya memperhatikan kebutuhan hukum di masyarakat menjadi hal utama agar suatu kebijakan membawa kemaslahatan atau kebaikan secara umum, serta tidak hanya berlandaskan motif politik kepentingan.
Konvergensi Politik Hukum, Hak Asasi Manusia dan Pancasila terhadap Perkawinan Beda Agama di Indonesia Wijayanto, Enggar
WICARANA Vol 2 No 1 (2023): Maret
Publisher : Kantor Wilayah Kementerian Hukum Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.57123/wicarana.v2i1.31

Abstract

Perkawinan berbeda keyakinan adalah satu dari sekian permasalahan terkait aturan perkawinan yang terus bergulir di Indonesia akibat materi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan yang mengatur keabsahan diserahkan hukum agama atau kepercayaan masing-masing pemeluknya. Norma tersebut dianggap berpotensi merugikan hak konstitusional warga negara untuk melaksanakan perkawinan sehingga dilakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi. Dengan pendekatan yuridis-normartif, tulisan ini memaparkan argumentasi perkawinan berbeda agama dilihat dari perspektif konfigurasi politik hukum, hak asasi serta Pancasila sebagai paradigma hukum. Hasil penelitian menunjukkan perkawinan beda agama tidak dapat dilaksanakan di Indonesia akibat keabsahan perkawinan ditentukan berdasarkan hukum agama atau kepercayaan pemeluknya. Konfigurasi politik hukum menunjukkan hubungan antara Agama, Hak Asasi Manusia dan Hukum Negara ke dalam suatu sistem yang berorientasi kepada prinsip Negara Berketuhanan. Adanya disparitas dalam memahami hak asasi dengan hak warga negara merupakan aspek penting bahwa pemenuhan hak terkait perkawinan haruslah tunduk kepada pembatasan yang ada di hukum positif. Dilihat dari Ius Constituendum, perlunya pembaruan hukum perkawinan untuk mengatasi persoalan legalitas dan konflik norma yang ada. dengan demikian, perlunya penguatan paradigma Pancasila sebagai basis hukum negara untuk memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan melalui produk legislasi di parlemen
Krisis Kesehatan Jiwa dalam Dinamika Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia Wijayanto, Enggar; Sriharini
WICARANA Vol 3 No 1 (2024): Maret
Publisher : Kantor Wilayah Kementerian Hukum Daerah Istimewa Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.57123/wicarana.v3i1.61

Abstract

Isu kesehatan jiwa menjadi studi kasus yang bersifat multidimensi, dimana banyak aspek yang terdampak secara individu dan sosial. Indonesia menjadi salah satu negara dengan risiko permasalahan kesehatan jiwa yang cukup tinggi. Hal disebabkan masih minimnya serta atensi serta kesiapan fasilitas pendukung, salah satunya instrumen kebijakan. Maka,tulisan ini akan menganalisis bagaimana masalah kesehatan jiwa dalam dinamika politik hukum pasca Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, serta responsibilitas arah kebijakannya. Metode penelitian di dalam artikel ini menggunakan model library research dengan sumber data yang diperoleh melalui penelusuran data sekunder dengan pendekatan yuridis-normatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk secara responsif mengatasi masalah kesehatan jiwa yang tidak dapat dikesampingkan dari upaya pemberdayaan kesehatan nasional secara holistik. Perhatian melalui formulasi kebijakan terhadap kesehatan jiwa terkait dengan perlindungan kesehatan jiwa adalah pemberdayaan sumber daya manusia untuk terciptanya generasi yang sehat tidak hanya secara fisik melainkan mental sebagaimana tujuan bernegara yang di cita-citakan. Kesimpulan penelitian ini adalah peraturan turunan UU Kesehatan terkait layanan kesehatan jiwa harus segera diaktualisasikan guna mencegah masalah kesehatan jiwa semakin luas.
Politik Hukum Living Law Dan Hak Asasi Manusia Terhadap Rancangan Perda Tindak Pidana Adat Dalam KUHP Wijayanto, Enggar; Makarim, Muhammad Haris
Jurnal Legislasi Indonesia Vol 22, No 2 (2025): Jurnal Legislasi Indonesia - Juni 2025
Publisher : Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undang, Kementerian Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54629/jli.v22i2.1354

Abstract

Akomodasi Living law atau hukum yang hidup di masyarakat ke dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP merupakan kerangka reformasi hukum pidana berdasarkan Pancasila sebagai falsafah Bangsa Indonesia. Muncul persoalan terkait living law yang dinamis akan menjadi kaku dipengaruhi formalisasi ke dalam Perda tentang Tindak Pidana Adat. Oleh karena itu, tulisan akan menganalisis bagaimana pengaruh living law dalam paradigma politik hukum dan hak asasi manusia terhadap orientasi penegakan hukum di Indonesia. Menggunakan model penelitian pustaka, serta pendekatan yuridis-normatif dan dielaborasikan dengan pendekatan sosio-legal, hasil penelitian menunjukan formulasi living law dalam politik hukum pidana pasca UU KUHP merupakan langkah progresif untuk menciptakan sistem hukum sesuai cita hukum nasional bangsa Indonesia. Pelaksanaan living law ke dalam rancangan Perda Tindak Pidana Adat menjadi isu krusial yang harus diperhatikan terkait eksistensi dan relasi penegakan hukum yang proporsional. Perspektif hak asasi manusia juga menjelaskan perlunya formulasi secara jelas terhadap konsep perda tindak pidana adat untuk mencegah adanya gross violant of human rights.
Gugatan Nafkah Madliyah dalam Perkara Cerai Gugat : Studi Kasus Perkara Nomor 744/Pdt.G/2020/PA.Btl Dharmawan, Ilham Fathurrahman; Wijayanto, Enggar
Maqasid: Jurnal Studi Hukum Islam Vol. 12 No. 2 (2023)
Publisher : Muhammadiyah University of Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30651/mqsd.v12i2.19520

Abstract

Gugatan Nafkah Madliyah pada umumnya hanya diajukan istri pada gugatan rekonpensi pada perkara cerai talak. Akan tetapi berbeda pada perkara nomor 744/Pdt.G/2020/PA.Btl dimana pada perkara ini gugatan nafkah madliyah untuk istri dan untuk anak diajukan bersama dengan gugatan perceraian dan dikabulkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Bantul. Fenomena tersebut menjadi unik dikarenakan menimbulkan pertanyaan tentang eksekusi nafkah yang berbeda dengan pada perkara cerai talak yang dilakukan sebelum ikrar talak. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka dengan pendekatan yuridis-normatif dengan mengumpulkan dan menganalisis dokumen-dokumen yang berkaitan dengan penelitian. Kesimpulan dari penelitian ini adalah dikabulkan gugatan nafkah madliyah dikelompokkan pada dua pertimbangan yaitu perkawinan yang sudah tidak dapat dipertahankan dan diajukannya gugatan nafkah madliyah. Sedangkan setidaknya terdapat dua syarat Majelis Hakim dalam mengabulkan gugatan yaitu adanya narasi nafkah madliyah dalam posita gugatan dan adanya narasi waktu pembayaran dalam petitum gugatan. Berkaitan dengan eksekusi nafkah madliyah masih terdapat problematika berkaitan batas waktu eksekusi yang berbeda dengan cerai talak yang selama suami tidak mengambil akta cerai maka nafkah madliyah tidak dapat dibayarkan dan istri dapat dikatakan hanya menang di atas kertas saja sehingga diperlukan upaya yang lebih menyeluruh dari istitusi pengadilan untuk eksekusi putusan nafkah madliyah.