Articles
Perkawinan Adat Minangkabau
Asmaniar Asmaniar
BINAMULIA HUKUM Vol 7 No 2 (2018): Binamulia Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Krisnadwipayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.37893/jbh.v7i2.23
Minang atau Minangkabau adalah kelompok kultur etnis yang menganut sistem adat yang khas, yaitu sistem kekeluargaan menurut garis keturunan perempuan yang disebut sistem matrilineal. Dalam budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru penerus keturunan. Bagi masyarakat Minangkabau yang beragama Islam, perkawinan dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ragam perkawinan masyarakat adat Minangkabau ada 2 (dua), yaitu: 1) Perkawinan ideal yaitu perkawinan antara keluarga dekat seperti anak dari kemenakan; 2) Kawin pantang yaitu perkawinan yang tidak dapat dilakukan seperti anak se-ibu atau se-ayah. Tata cara perkawinan masyarakat adat Minangkabau ada 2 (dua), yaitu: 1) Perkawinan menurut kerabat perempuan yaitu pihak perempuan yang menjadi pemrakarsa dalam perkawinan dan dalam kehidupan rumah tangga, dari mulai mencari jodoh hingga pelaksanaan perkawinan; 2) Perkawinan menurut kerabat laki-laki, yaitu pihak laki-laki yang menjadi pemrakarsa dalam pernikahan dan rumah tangga, dari mulai mencari jodoh hingga pelaksanaan perkawinan dan biaya hidup sehari-hari. Bentuk perkawinan di Minangkabau telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Sebelumnya, seorang suami tidak berarti apa-apa dalam keluarga istri, kini suamilah yang bertanggungjawab dalam keluarganya. Keywords: perkawinan, minangkabau, matrilineal, eksogami, endogami.
Pembatalan Transaksi Hak atas Tanah Oleh Penjual Dengan Alasan Belum Lunas
Retno Kus Setyowati;
Asmaniar Asmaniar
BINAMULIA HUKUM Vol 9 No 1 (2020): Binamulia Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Krisnadwipayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.37893/jbh.v9i1.102
Prinsip transaksi atas tanah yang berlaku di Indonesia mendasarkan pada prinsip jual beli dari hukum adat yaitu “terang dan tunai”. Artinya penyerahan hak atas tanah dilakukan dihadapan pejabat umum yang berwenang dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta pembayarannya dilakukan secara tunai dan bersamaan. Bukti telah dilakukannya perbuatan hukum jual beli tanah disajikan dalam bentuk Akta Jual Beli (AJB). AJB merupakan bentuk penyerahan (levering) yuridis dari penjual kepada pembeli, AJB juga sebagai dasar untuk melakukan pengalihan hak dengan cara mencatatkan pengalihan tersebut ke kantor pertanahan. Di dalam banyak kasus pembayaran belum lunas akan tetapi sudah dibuat AJB bahkan telah terjadi pemindahan hak milik. Ternyata maksud tunai dalam prinsip jual beli tanah dalam hukum adat tidaklah berhubungan dengan pembayaran uang, melainkan salah satu syarat atau kondisi agar jual beli tersebut sah dan mengikat secara hukum, dimana syarat tunai dalam jual beli tanah adalah sebagai tanda pelunasan seketika, bahwa tidak ada lagi hubungan hukum antara pihak penjual dengan tanahnya sekaligus beralihnya kepemilikan tanah tersebut kepada pembeli. Apabila pembayaran jual beli atas tanah belum lunas, atau bahkan belum dibayar sama sekali maka pihak penjual bisa memohonkan pembatalan lewat gugatan ke pengadilan dengan alasan wanprestasi. Kata Kunci: transaksi atas tanah, prinsip terang dan tunai, pembatalan, wanprestasi.
PEMUTUSAN PERJANJIAN PEMBORONGAN BANGUNAN SECARA SEPIHAK AKIBAT WANPRESTASI
Farida Azzahra;
Retno Kus Setyowati;
Asmaniar Asmaniar
Krisna Law Vol 1 No 3 (2019): Krisna Law, Oktober 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (229.962 KB)
Wanprestasi menjadi salah satu masalah dalam pelaksanaan perjanjian. Permasalahan wanprestasi salah satunya terjadi pada perjanjian pemborongan antara PT. Cipta Maju Property dan Hadi Ferdiansyah. PT. Cipta Maju Property selaku pihak bouwheer memutus perjanjian secara sepihak dan menggugat Hadi Ferdiansyah selaku pihak pemborong. Berdasarkan analisis yang dilakukan, pemutusan perjanjian secara sepihak yang dilakukan oleh pihak bouwheer ini bahwasanya telah sah dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sedangkan akibat dari wanprestasi yang harus ditanggung oleh pemborong adalah pemutusan perjanjian disertai dengan ganti rugi. Pemutusan perjanjian pemborongan secara sepihak juga menimbulkan konsekuensi hukum bagi pihak pemborong untuk meninggalkan pekerjaan tersebut dan bersedia melakukan pengalihan pekerjaan pada pihak ketiga. Kata Kunci: perjanjian, perjanjian pemborongan, wanprestasi.
EFEKTIVITAS KLAUSULA THIS INSURANCE IS SUBJECT TO ENGLISH LAW AND PRACTICE DALAM POLIS PENGANGKUTAN BARANG INDONESIA
Megawati Chris Debora Marsela Mendrofa;
Hendra Haryanto;
Asmaniar Asmaniar
Krisna Law Vol 1 No 3 (2019): Krisna Law, Oktober 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (332.371 KB)
Penerapan klausul This Insurance is Subject to English Law and Practice pada proses pengangkutan barang di laut Indonesia, dalam hal ini pada kasus PT. Mega Agung Nusantara dengan pihak asuransi PT. Asuransi Harta Aman Pratama Tbk, tidak sesuai dengan hukum dan aturan yang berlaku di Indonesia. Pasalnya dengan penerapan klausul tersebut seharusnya ada kalimat lanjutan yang tidak diikutsertakan ke dalam polis asuransi pengangkutan barang tersebut, yang bunyinya, “as far is this is not in Contradiction with the law of the Republic of Indonesian” yang dimuat dalam surat edaran Dewan Asuransi Indonesia pada tanggal 11 Maret 1982, sehingga akibat dihapusnya kalimat lanjutan tersebut adalah ketidakpastian hukum dalam polis asuransi pengangkutan laut tersebut yang merugikan konsumen. Pencantuman klausula baku tidaklah boleh dilakukan semena-mena oleh pelaku usaha sebagaimana dituangkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan Pasal 1338 KUH Perdata ayat (3) mengenai itikad baik, seharusnya poin ini menjadi pertimbangan hakim dalam menafsirkan pasal ini secara keseluruhan sebab menurut penulis polis asuransi yang dibuat oleh pihak penanggung mengalami cacat kehendak bila dilihat dari pencantuman klausul yang tidak lengkap dalam polis. Kata Kunci: asuransi pengangkutan laut, institute cargo clauses, perlindungan konsumen, itikad baik.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Dengan Alasan Mangkir yang Dikualifikasikan Mengundurkan Diri Antara SP/SB PT. Ghalia Indonesia Printing Dengan PT. Ghalia Indonesia Printing
Muhammad Fajri Muttaqin;
Asmaniar Asmaniar;
Yessy Kusumadewi
Krisna Law Vol 2 No 1 (2020): Krisna Law, Februari 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (180.94 KB)
Dalam permasalahan yang ada di perusahaan seringkali terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) antara pihak perusahaan dengan pekerja/buruh maka dalam hal ini penulis tertarik mengangkat pokok permasalahan penelitian ini tentang: 1) Mengapa Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena mangkir dikualifikasikan sebagai mengundurkan diri? 2) Bagaimana putusan hakim terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mangkir yang dikualifikasikan sebagai mengundurkan diri? Sebagai hasil penelitian ditemukan fakta bahwa PHK antara penggugat dan PT. Ghalia Indonesia Printing diperoleh hasil ditolaknya gugatan penggugat untuk sebagian. Hal tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, di mana penggugat dalam hal ini telah melakukan kesalahan berupa mangkir 5 (lima) hari berturut-turut tanpa alasan dan bukti yang jelas dan penggugat dalam hal ini pekerja tidak memenuhi surat panggilan I dan II yang disampaikan oleh tergugat (PT. Ghalia Indonesia Printing). Hal ini diperkuat dalam Pasal 168 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yakni pekerja atau buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh perusahaan 2 (dua) kali secara teratur dan tertulis dapat diputus hubungan kerja karena dikualifikasikan mengundurkan diri, maka Putusan Nomor 106/Pdt.Sus/2015/PHI/PN.Bdg sudah tepat dan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan serta peraturan-peraturan lain yang menyangkut tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang berlaku. Kata Kunci: mangkir, pemutusan hubungan kerja, mengundurkan diri.
Pemutusan Hubungan Kerja Akibat Membuat Berita Bohong
Bintang Putra Achmad;
Asmaniar Asmaniar;
Murendah Tjahyani
Krisna Law Vol 2 No 2 (2020): Krisna Law, Juni 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (356.149 KB)
Pekerja/buruh merupakan mitra kerja pengusaha yang saling membutuhkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya serta, menjamin kelangsungan perusahaan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya. Akan tetapi, dalam praktik sering kali dijumpai konflik antara pekerja/buruh dengan Perusahaan yang menimbulkan rusaknya hubungan sinergitas antara pekerja/buruh dengan pihak Perusahaan. Berdasarkan Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menentukan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Akan tetapi, pengusaha berhak melakukan PHK apabila perusahaan boleh memutuskan hubungan kerja dengan dalih pekerja membuat berita bohong sebagaimana diatur di dalam Pasal 156. segala upaya telah dilaksanakan, namun Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tidak dapat dihindari maka pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. Oleh karena itu, penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui proses penyelesaian hubungan industrial perusahaan melalukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh, serta dasar pertimbangan hakim berdasarkan Putusan Nomor 70/Pdt.Sus-PHI/2018/PN.Bdg.
Tinjauan Yuridis Atas Hak Pencipta Lagu yang Diaransemen di Media Sosial Tanpa Izin Pencipta
Vidi Romeo M. Hutapea;
Retno Kus Setyowati;
Asmaniar Asmaniar
Krisna Law Vol 3 No 2 (2021): Krisna Law, Juni 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (138.308 KB)
|
DOI: 10.37893/krisnalaw.v3i2.379
Perkembangan musik dalam masa pandemik sekarang ini mau tidak mau kita harus berdampingan dengan dunia online yaitu menggunakan internet khususnya media sosial, belakangan ini banyak sekali penyanyi-penyanyi baru yang bermunculan di media sosial yang menyanyikan atau mengcover lagu pencipta tanpa izin atau tanpa hak dengan memperoleh hak ekonomi secara individu atau secara bersama. Sehingga di dalam penelitian ini tentu ditemukan permasalahan yaitu ada kerugian dan pelanggaran di dalamnya. Hak cipta yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, ternyata belum memenuhi keinginan dari sang pencipta lagu, tentunya di dalam menyanyikan ulang atau mengaransemen ulang lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pencipta lagu. Meskipun sudah mendapatkan perlindungan sejak karyanya diwujudkan dalam bentuk nyata, sebaiknya jika dilakukan pencatatan terhadap hak cipta tersebut agar memiliki bukti yang formal. Penyelesaian sengketa terhadap hak cipta dapat diselesaikan melalui dua cara. Cara yang pertama melalui jalur non litigasi dan kedua melalui jalur litigasi. Penyelesaian melalui jalur non litigasi dibagi menjadi beberapa bagian yaitu konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi, dan arbitrase. Sedangkan jika melalui jalur litigasi, dapat ditempuh melalui dua cara yaitu upaya perdata dan upaya pidana.
Perkawinan Adat Minangkabau
Asmaniar
Binamulia Hukum Vol. 7 No. 2 (2018): Binamulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Krisnadwipayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.37893/jbh.v7i2.320
Minang atau Minangkabau adalah kelompok kultur etnis yang menganut sistem adat yang khas, yaitu sistem kekeluargaan menurut garis keturunan perempuan yang disebut sistem matrilineal. Dalam budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru penerus keturunan. Bagi masyarakat Minangkabau yang beragama Islam, perkawinan dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Ragam perkawinan masyarakat adat Minangkabau ada 2 (dua), yaitu: 1) Perkawinan ideal yaitu perkawinan antara keluarga dekat seperti anak dari kemenakan; 2) Kawin pantang yaitu perkawinan yang tidak dapat dilakukan seperti anak se-ibu atau se-ayah. Tata cara perkawinan masyarakat adat Minangkabau ada 2 (dua), yaitu: 1) Perkawinan menurut kerabat perempuan yaitu pihak perempuan yang menjadi pemrakarsa dalam perkawinan dan dalam kehidupan rumah tangga, dari mulai mencari jodoh hingga pelaksanaan perkawinan; 2) Perkawinan menurut kerabat laki-laki, yaitu pihak laki-laki yang menjadi pemrakarsa dalam pernikahan dan rumah tangga, dari mulai mencari jodoh hingga pelaksanaan perkawinan dan biaya hidup sehari-hari. Bentuk perkawinan di Minangkabau telah mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Sebelumnya, seorang suami tidak berarti apa-apa dalam keluarga istri, kini suamilah yang bertanggungjawab dalam keluarganya.
Pembatalan Transaksi Hak Atas Tanah Oleh Penjual Dengan Alasan Belum Lunas
Retno Kus Setyowati;
Asmaniar
Binamulia Hukum Vol. 9 No. 1 (2020): Binamulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Krisnadwipayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.37893/jbh.v9i1.362
Prinsip transaksi atas tanah yang berlaku di Indonesia mendasarkan pada prinsip jual beli dari hukum adat yaitu “terang dan tunai”. Artinya penyerahan hak atas tanah dilakukan dihadapan pejabat umum yang berwenang dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta pembayarannya dilakukan secara tunai dan bersamaan. Bukti telah dilakukannya perbuatan hukum jual beli tanah disajikan dalam bentuk Akta Jual Beli (AJB). AJB merupakan bentuk penyerahan (levering) yuridis dari penjual kepada pembeli, AJB juga sebagai dasar untuk melakukan pengalihan hak dengan cara mencatatkan pengalihan tersebut ke kantor pertanahan. Di dalam banyak kasus pembayaran belum lunas akan tetapi sudah dibuat AJB bahkan telah terjadi pemindahan hak milik. Ternyata maksud tunai dalam prinsip jual beli tanah dalam hukum adat tidaklah berhubungan dengan pembayaran uang, melainkan salah satu syarat atau kondisi agar jual beli tersebut sah dan mengikat secara hukum, di mana syarat tunai dalam jual beli tanah adalah sebagai tanda pelunasan seketika, bahwa tidak ada lagi hubungan hukum antara pihak penjual dengan tanahnya sekaligus beralihnya kepemilikan tanah tersebut kepada pembeli. Apabila pembayaran jual beli atas tanah belum lunas, atau bahkan belum dibayar sama sekali maka pihak penjual bisa memohonkan pembatalan lewat gugatan ke pengadilan dengan alasan wanprestasi.
Pendaftaran Objek Fidusia Sebagai Jaminan Utang
Asmaniar, Asmaniar;
Sitorus, Fiter Jonson
Justice Voice Vol. 1 No. 1 (2022): Justice Voice
Publisher : Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Krisnadwipayana
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (209.063 KB)
|
DOI: 10.37893/jv.v1i1.32
Saat ini banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia, namun kenyataannya masih adanya perjanjian dibuat di bawah tangan dengan kata lain tidak didaftarkannya objek jaminan fidusia pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Oleh karena itu, penelitian ini untuk mengetahui pendaftaran objek fidusia sebagai jaminan utang dan perlindungan hukum terhadap debitur. Penelitian ini dianalisis menggunakan pendekatan yuridis normatif yang diteliti dari bahan pustaka dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut konsepsi, asas, norma hukum dan doktrin yang berkaitan dengan objek fidusia sebagai penjamin utang yang menjadi pokok permasalahan. Hasilnya pihak (debitur) tidak mengabaikan hak dan tanggung jawabnya sebagai debitur. Karena disaat debitur dengan sengaja maupun karena keadaan terbukti lalai atau cedera janji maka perlindungan hukum terhadap debitur lemah atau tidak mempunyai kekuatan hukum.