Claim Missing Document
Check
Articles

Found 39 Documents
Search

Pembatalan Transaksi Hak atas Tanah Oleh Penjual Dengan Alasan Belum Lunas Retno Kus Setyowati; Asmaniar Asmaniar
BINAMULIA HUKUM Vol 9 No 1 (2020): Binamulia Hukum
Publisher : Faculty of Law, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v9i1.102

Abstract

Prinsip transaksi atas tanah yang berlaku di Indonesia mendasarkan pada prinsip jual beli dari hukum adat yaitu “terang dan tunai”. Artinya penyerahan hak atas tanah dilakukan dihadapan pejabat umum yang berwenang dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta pembayarannya dilakukan secara tunai dan bersamaan. Bukti telah dilakukannya perbuatan hukum jual beli tanah disajikan dalam bentuk Akta Jual Beli (AJB). AJB merupakan bentuk penyerahan (levering) yuridis dari penjual kepada pembeli, AJB juga sebagai dasar untuk melakukan pengalihan hak dengan cara mencatatkan pengalihan tersebut ke kantor pertanahan. Di dalam banyak kasus pembayaran belum lunas akan tetapi sudah dibuat AJB bahkan telah terjadi pemindahan hak milik. Ternyata maksud tunai dalam prinsip jual beli tanah dalam hukum adat tidaklah berhubungan dengan pembayaran uang, melainkan salah satu syarat atau kondisi agar jual beli tersebut sah dan mengikat secara hukum, dimana syarat tunai dalam jual beli tanah adalah sebagai tanda pelunasan seketika, bahwa tidak ada lagi hubungan hukum antara pihak penjual dengan tanahnya sekaligus beralihnya kepemilikan tanah tersebut kepada pembeli. Apabila pembayaran jual beli atas tanah belum lunas, atau bahkan belum dibayar sama sekali maka pihak penjual bisa memohonkan pembatalan lewat gugatan ke pengadilan dengan alasan wanprestasi. Kata Kunci: transaksi atas tanah, prinsip terang dan tunai, pembatalan, wanprestasi.
PEMUTUSAN PERJANJIAN PEMBORONGAN BANGUNAN SECARA SEPIHAK AKIBAT WANPRESTASI Farida Azzahra; Retno Kus Setyowati; Asmaniar Asmaniar
Krisna Law Vol 1 No 3 (2019): Krisna Law, Oktober 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (229.962 KB)

Abstract

Wanprestasi menjadi salah satu masalah dalam pelaksanaan perjanjian. Permasalahan wanprestasi salah satunya terjadi pada perjanjian pemborongan antara PT. Cipta Maju Property dan Hadi Ferdiansyah. PT. Cipta Maju Property selaku pihak bouwheer memutus perjanjian secara sepihak dan menggugat Hadi Ferdiansyah selaku pihak pemborong. Berdasarkan analisis yang dilakukan, pemutusan perjanjian secara sepihak yang dilakukan oleh pihak bouwheer ini bahwasanya telah sah dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sedangkan akibat dari wanprestasi yang harus ditanggung oleh pemborong adalah pemutusan perjanjian disertai dengan ganti rugi. Pemutusan perjanjian pemborongan secara sepihak juga menimbulkan konsekuensi hukum bagi pihak pemborong untuk meninggalkan pekerjaan tersebut dan bersedia melakukan pengalihan pekerjaan pada pihak ketiga. Kata Kunci: perjanjian, perjanjian pemborongan, wanprestasi.
Analisis Yuridis Penerapan Asas Nebis In Idem Dalam Penyelesaian Perkara Perdata Achmad Tartusi; Retno Kus Setyowati; Yessy Kusumadewi
Krisna Law Vol 2 No 1 (2020): Krisna Law, Februari 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (263.647 KB)

Abstract

Asas Nebis in Idem merupakan asas yang terdapat dalam setiap sistem hukum yang mana salah satunya terdapat pada sistem hukum perdata dalam penyelesaian perkara di pengadilan, demi menjamin kepastian dari suatu putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap, perkara seperti apa dan putusan bagaimana yang melekat asas nebis in idem dalam sistem hukum perdata, dan juga sifat dari unsur suatu perkara dikatakan nebis in idem. Jika merujuk pada penjelasan Pasal 1917 dan 1918 KUH Perdata maka suatu putusan perdamaian yang dilakukan antara Mohammad Yusuf dengan Haji Aspas bin Haji Abdul Madjid pada tahun 2012 berdasarkan putusan Nomor 309/Pdt.G/2011/PN.Bks. adalah merupakan perkara yang telah berkekuatan hukum tetap dan berakibat pada perkara Nomor 154/Pdt.G/2013/PN.Bks. Penelitian ini dilakukan dengan metode deskriptif analitis melalui sumber-sumber kualitatif yang relevan dengan melihat penerapan hukum pada hukum positif di Indonesia. Jika merujuk pada Pasal 1917 dan 1918 KUH Perdata suatu syarat putusan nebis in idem adalah perkara dengan subjek yang sama, objek yang sama dan dengan alasan gugatan yang sama, kemudian diajukan pada pengadilan yang sama maka seharusnya perkara tersebut haruslah dinyatakan nebis in idem demi menjamin kepastian hukum dan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. Yang secara normatif Nebis in Idem melekat pada setiap putusan yang bersifat konstitutif yang pada pokoknya mengabulkan atau menolak suatu gugatan yang diajukan. Kata Kunci: putusan, asas nebis in idem.
Penyelesaian Wanprestasi di Dalam Perjanjian Dengan Jaminan Fidusia Berdasarkan Kasus Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang Nomor 10/Pdt.G/BPSK/2015/PN.Bek) Selamat Sidauruk; Retno Kus Setyowati; Yessy Kusumadewi
Krisna Law Vol 2 No 2 (2020): Krisna Law, Juni 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (303.04 KB)

Abstract

Lembaga jaminan fidusia tidak hanya dapat dipergunakan dalam perjanjian kredit di bank tetapi juga pada perjanjian pembiayaan konsumen antara debitur (konsumen) dengan kreditur atau perusahaan pembiayaan. Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie. Eksistensi lembaga jaminan fidusia, telah diatur dengan adanya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia diundangkan pada tanggal 30 September 1999. Definisi fidusia sendiri menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikan haknya dialihkan tetap dalam pengawasan pemilik benda.
Tinjauan Yuridis Atas Hak Pencipta Lagu yang Diaransemen di Media Sosial Tanpa Izin Pencipta Vidi Romeo M. Hutapea; Retno Kus Setyowati; Asmaniar Asmaniar
Krisna Law Vol 3 No 2 (2021): Krisna Law, Juni 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (138.308 KB) | DOI: 10.37893/krisnalaw.v3i2.379

Abstract

Perkembangan musik dalam masa pandemik sekarang ini mau tidak mau kita harus berdampingan dengan dunia online yaitu menggunakan internet khususnya media sosial, belakangan ini banyak sekali penyanyi-penyanyi baru yang bermunculan di media sosial yang menyanyikan atau mengcover lagu pencipta tanpa izin atau tanpa hak dengan memperoleh hak ekonomi secara individu atau secara bersama. Sehingga di dalam penelitian ini tentu ditemukan permasalahan yaitu ada kerugian dan pelanggaran di dalamnya. Hak cipta yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta, ternyata belum memenuhi keinginan dari sang pencipta lagu, tentunya di dalam menyanyikan ulang atau mengaransemen ulang lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pencipta lagu. Meskipun sudah mendapatkan perlindungan sejak karyanya diwujudkan dalam bentuk nyata, sebaiknya jika dilakukan pencatatan terhadap hak cipta tersebut agar memiliki bukti yang formal. Penyelesaian sengketa terhadap hak cipta dapat diselesaikan melalui dua cara. Cara yang pertama melalui jalur non litigasi dan kedua melalui jalur litigasi. Penyelesaian melalui jalur non litigasi dibagi menjadi beberapa bagian yaitu konsultasi, mediasi, negosiasi, konsiliasi, dan arbitrase. Sedangkan jika melalui jalur litigasi, dapat ditempuh melalui dua cara yaitu upaya perdata dan upaya pidana.
Pemberian Hak Atas Tanah Negara di Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Timur Ranita Eka Setiyarni; Retno Kus Setyowati; Murendah Tjahyani
Krisna Law Vol 3 No 2 (2021): Krisna Law, Juni 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (158.303 KB) | DOI: 10.37893/krisnalaw.v3i2.396

Abstract

Hak atas tanah merupakan kepemilikan atas sebuah tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh seseorang. Salah satu produk tanah yang saat ini masih dimiliki oleh masyarakat adalah tanah bekas milik hak barat (eigendom verponding). Dalam memperoleh hak baru bekas hak barat tersebut perlu diadakannya suatu konversi hak yang didasarkan oleh bukti fisik berupa sertifikat tanah yang harus dimiliki pemilik tanah dan sah secara hukum telah diberikan oleh Kantor Pertanahan setempat/Badan Pertanahan Nasional. Dalam pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pengkonversian hak tanah tersebut juga sering dijumpai permasalahan sengketa tanah yang menghambat suatu penyertifikatan tanah yang apabila ingin diterbitkan haknya maka harus terlebih dahulu diselesaikan sengketanya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif atau suatu kajian yang mengandalkan data-data pustaka berupa buku-buku, dokumen dan artikel serta tulisan ilmiah, serta berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Kantor Pertanahan Kota Administrasi Jakarta Timur yang kemudian datanya dianalisis menjadi sebuah data yang objektif terkait pemberian hak atas tanah.
Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Infrastruktur Proyek Pembangunan LRT (Light Rail Transit) di Jakarta Timur (Perpres No. 49 Tahun 2017) Novia Risa Safira; Retno Kus Setyowati; Mutiarany Mutiarany
Krisna Law Vol 3 No 2 (2021): Krisna Law, Juni 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (166.541 KB) | DOI: 10.37893/krisnalaw.v3i2.399

Abstract

Pengadaan tanah telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 kemudian diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 merupakan proses kegiatan yang diawali dengan memperoleh izin-izin yang diperlukan untuk kepentingan umum yang bertujuan menyediakan tanah bagi proyek pembangunan (Light Rail Transit) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2017 guna meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat dengan cara memberi ganti kerugian yang layak terhadap pihak-pihak yang berhak. Adapun dalam implementasinya sering terjadi permasalahan yang menghambat suatu proyek pembangunan yang mana apabila ingin terus berlanjut harus terlebih dahulu diselesaikan sengketanya. Metode yang digunakan penulis adalah metode yuridis normatif yaitu dengan wawancara mendalam yang dilakukan oleh penulis di Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Administrasi Jakarta Timur yang kemudian datanya diolah menjadi sebuah data yang objektif. Sempitnya waktu dan ketidakselarasan kepentingan dalam pembuatan peraturan, maka dari itu perlu adanya amandemen perpres agar lebih memperhatikan bagaimana tujuan utama dari proyek pembangunan Light Rail Transit.
Pembatalan Transaksi Hak Atas Tanah Oleh Penjual Dengan Alasan Belum Lunas Retno Kus Setyowati; Asmaniar
Binamulia Hukum Vol. 9 No. 1 (2020): Binamulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v9i1.362

Abstract

Prinsip transaksi atas tanah yang berlaku di Indonesia mendasarkan pada prinsip jual beli dari hukum adat yaitu “terang dan tunai”. Artinya penyerahan hak atas tanah dilakukan dihadapan pejabat umum yang berwenang dalam hal ini Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) serta pembayarannya dilakukan secara tunai dan bersamaan. Bukti telah dilakukannya perbuatan hukum jual beli tanah disajikan dalam bentuk Akta Jual Beli (AJB). AJB merupakan bentuk penyerahan (levering) yuridis dari penjual kepada pembeli, AJB juga sebagai dasar untuk melakukan pengalihan hak dengan cara mencatatkan pengalihan tersebut ke kantor pertanahan. Di dalam banyak kasus pembayaran belum lunas akan tetapi sudah dibuat AJB bahkan telah terjadi pemindahan hak milik. Ternyata maksud tunai dalam prinsip jual beli tanah dalam hukum adat tidaklah berhubungan dengan pembayaran uang, melainkan salah satu syarat atau kondisi agar jual beli tersebut sah dan mengikat secara hukum, di mana syarat tunai dalam jual beli tanah adalah sebagai tanda pelunasan seketika, bahwa tidak ada lagi hubungan hukum antara pihak penjual dengan tanahnya sekaligus beralihnya kepemilikan tanah tersebut kepada pembeli. Apabila pembayaran jual beli atas tanah belum lunas, atau bahkan belum dibayar sama sekali maka pihak penjual bisa memohonkan pembatalan lewat gugatan ke pengadilan dengan alasan wanprestasi.
Pengakuan Negara Terhadap Masyarakat Hukum Adat Retno Kus Setyowati
Binamulia Hukum Vol. 12 No. 1 (2023): Binamulia Hukum
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Krisnadwipayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37893/jbh.v12i1.601

Abstract

Masyarakat hukum adat (MHA) telah lahir dan telah ada jauh sebelum terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, sehingga harus diakui dan dihormati keberadaannya. Apakah Masyarakat hukum adat masih ada dan diakui. Penelitian ini menggunakan analisis yuridis normatif untuk meninjau Pasal 18B dan 28I ayat (1) dan (2) amandemen ketiga, peraturan perundang-undangan, dan analisis isi untuk membedakan antara norma imperatif dan fakultatif terkait hak-hak MHA. Hasil dari penelitian ini adalah Keberadaan MHA di Indonesia diakui dalam UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-Undang Pokok Agraria, Kehutanan, Penataan Ruang, Desa, Pemerintahan Daerah, dan Perkebunan. Namun, pengakuan tersebut mensyaratkan MHA harus masih hidup, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, prinsip NKRI, dan diatur dalam undang-undang, sehingga merupakan pengakuan bersyarat.
The Conclusive Phase of Civil Case Resolution: Examining Execution and Post-Decision Challenges in Indonesian Civil Procedural Law Setyowati, Retno Kus
Unnes Law Journal Vol 9 No 2 (2023): Contemporary Issues on Law and Development: Social, Political and Legal Aspects
Publisher : Faculty of Law Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/ulj.v9i2.74836

Abstract

The culmination of a civil case in court is marked by the crucial step of decision implementation, commonly known as execution. Execution can only proceed when the decision attains permanent legal force ('inkracht van gewijsde'). While the losing party may voluntarily execute the decision, failure to fulfill stipulated obligations empowers the winning party, the plaintiff, to seek forced execution. Despite the irrevocable legal status of a decision, as signified by its permanent legal force, Indonesian civil procedural law affords opportunities for litigants and third parties to reassess such decisions. This reassessment is facilitated through challenges or rebuttals, as outlined in Article 195 paragraph (6) HIR, Article 206 paragraph (6) Rbg, Article 378 RV, Article 279 RV, and is guided by the Ius Curia Novit principle, as affirmed in Article 10 of Law Number 48 of 2009 concerning Power Justice. Utilizing a normative juridical approach, this study relies on secondary data to explore the nuances of execution and post-decision challenges, drawing on primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials.