Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search

PANDANGAN ATAU TANGGAPAN AKHIR PESERTA MATA KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA TERHADAP PENDIDIKAN PANCASILA DI UNPAR Sylvester Kanisius Laku; Andreas Doweng Bolo
Research Report - Humanities and Social Science Vol. 1 (2009)
Publisher : Research Report - Humanities and Social Science

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4193.191 KB)

Abstract

Pancasila adalah philosophische grondslag, weltanschauung bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila sudah hidup jauh sebelum dirumuskan para pendiri. Maka tak berlebihan bila dikatakan bahwa Pancasila merupakan inti jiwa bangsa Indonesia. Pancasila bisa juga dikatakan sebagai kerangka pandang orang Indonesia melihat dirinya. Perjalanan sejarah bangsa seharusnya menjadikan Pancasila semakin terbuka untuk dibicarakan. Pancasila yang sudah dirumuskan itu harus terus ditafsirkan dalam konteks Indonesia yang berubah. Dengan demikian, ia menjadi semakin hidup dan kaya makna karena menjadi milik seluruh komponen bangsa.Kesan yang muncul di awal perkuliahan berhadapan dengan perkuliahan Pendidikan Pancasila adalah negatif. Mayoritas mahasiswa menganggap dan memandang mata kuliah Pendidikan Pancasila sekadar menjadi ideologi yang melayani kehendak penguasa. Model pendidikan yang indoktrinatif merupakan salah satu cara yang kerap digunakan untuk menanamkan nilai-nilai Pancasila sehingga cenderung represif. Karena itu, kecurigaan bahwa Pendidikan Pancasila merupakan sebuah upaya manipulasi dalam kerangka tafsir kelompok yang berkuasa. Sehingga menurut mayoritas mahasiswa Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa ini tidak lagi memiliki daya atau kekuatan mempengaruhi sehingga mempelajarinya pun sekedar sebuah tuntutan teknis-akademis. Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) sebagai salah satu lembaga pendidikan yang masih setia pada sejarah Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi merasa selalu terpanggil untuk mencoba merumuskan ulang Pancasila. UNPAR sebagai sebuah universitas yang mendasari diri pada spirit multi-kultur dan muliti-religi menjadikan Pancasila sebagai falsafah. Hal ini pula yang membuat Mata Kuliah Pendidikan Nilai Pancasila tetap dipertahankan di kampus ini. Penelitian ini mencoba menggali dan menganalisis sejauh mana mahasiswa UNPAR menyadari spirit ini.Salah satu komponen penting dinamika pembelajaran mata kuliah ini adalah mahasiswa. Maka penelitian ini mencoba menggali pendapat akhir peserta mata kuliah. Pandangan atau pendapat ini berhubungan dengan pengalaman mereka mengikuti perkuliahan Pendidikan Pancasila selama satu semester. Dalam penelitian ini ada tiga pendapat yang coba digali diantara mahasiswa peserta mata kuliah. Ketiga pendapat itu berkaitan dengan pertama, pendapat akhir tentang materi; kedua, pendapat akhir terhadap metode yang digunakan; ketiga, pendapat akhir terhadap dosen atau pengajar mata kuliah Pendidikan Pancasila.Pendapat akhir mahasiswa ini yang kemudian ditangkap dan dianalisis sehingga akhirnya pendapat akhir dari peserta didik ini memperkaya pengembangan mata kuliah ini. Sehingga sebagai falsafah bangsa Pancasila tetap hidup dalam hati, pikiran dan tindakan manusia Indonesia pada umumnya dan civitas academica UNPAR pada khususnya.
PEMETAAN POTENSI EKONOMI UMAT DAN PENGEMBANGANNYA STUDI KASUS: STASI DAGAN-PAROKI SANTO MIKAEL INDRAMAYU Andreas Doweng Bolo; Cosmas Lili Alika; Damianus J. Hali
Research Report - Humanities and Social Science Vol. 1 (2011)
Publisher : Research Report - Humanities and Social Science

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2766.51 KB)

Abstract

Beriman dalam konteks, ini yang menjadi dasar pemikiran dalam karya ini. Iman tidak sekadar sesuatu yang murung dan terkurung dalam egoisme surga buatan kita sendiri tetapi iman berarti berani melangkah keluar tidak sekadar melongok dari jendala. Situasi dunia menjadi keprihatinan Allah sehingga Ia yang Agung rela datang ke bumi ini.Pastoral berbasis data merupakan sebuah tuntutan di zaman sekarang ini. Pelayanan dan kebijakan pastoral akan sungguh dirasakan ketika Gereja mengetahui, dan memahami situasi konkret umat kini dan disini. Konsili Vatikan II pun menyerukan bahwa Gereja harus ber-aggiornamento, Gereja harus sungguh mengerti, memahami serta berpijak pada situasi dunia. Data menjadi basis penting karena di sana pengalaman kehidupan manusia berada. Paus Leo XIII (1878-1903) merupakan tokoh penting yang menangkap dengan tangkas situasi masyarakat di zamannya dimana situasi sosial ekonomi dunia mengalami keguncangan. “Telah mulailah perkembangan baru di bidang industri, disertai penerapan teknik-teknik baru; terjadi perubahan-perubahan dalam hubungan antara majikan dan buruh; sekolompok kecil menjadi kaya raya, sedangkan besarlah orang yang dililit oleh kemiskinan; kaum buruh meningkat percaya dirinya dan bekerja sama lebih erat; dan akhirnya akhlak mengalami kemorosotan” (Rerum Novarum, art. 1). Dalam Ensiklik Populorum Progressio, Paus Paulus VI juga mengatakan kemajuan (progressio) adalah nama baru bagi perdamaian. Ensiklik ini lahir karena keprihatinan dan demi menunjang kemajuan bangsa-bangsa sehingga sanggup melepaskan diri dari jerat kemiskinan. Perdamaian abadi hanya bisa diciptakan manakala kemiskinan itu di atasi. Muhammad Yunus dan Grameen Bank dari Bangladesh membuktikan bahwa ada keterkaitan antara kemiskinan dan perdamaian. Bila kemiskinan di atasi maka perdamaian dengan sendirinya tercipta. Demikian juga Yesus dalam karya penyelamatannya sungguh mendarat dalam konteks kehidupan nyata. Peristiwa perbanyakan lima roti dua ikan, merupakan tanggapan Yesus atas situasi orang-orang yang sedang lapar setelah mengikuti Dia.Gereja yang hidup berarti Gereja yang sungguh mengerti dinamika umat, duka dan kecemasan umat termasuk potensi yang mereka miliki. Pengembangan perlu berangkat dari situasi ini.
POTRET KEBUDAYAAN MASYARAKAT PENGHUNI BANTARAN SUNGAI CITARUM: STUDI KASUS DI DESA CITEREUP-KEC. DAYEUHKOLOT Andreas Doweng Bolo; Hendrikus Endar Suhendar
Research Report - Humanities and Social Science Vol. 2 (2012)
Publisher : Research Report - Humanities and Social Science

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3369.752 KB)

Abstract

Kebudayaan merupakan strategi kehidupan. Pada hakekatnya manusia tidak hanya sekadar makhluk alami tetapi lebih‐lebih sebagai makhluk budaya. Manusia sebenarnya membentuk kebudayaan dan dibentuk oleh kebudayaan. Dalam realitas modern harus diakui bahwa terdapat benturan‐benturan antaran nilai‐nilai modern dan nilai‐nilai tradisional. Warga kota yang berdiam di wilayah pinggiran acapkali membentuk sebuah cara hidup dan pola pandang tertentu. Bandung yang dilalui beberapa sungai terutama Sungai Citarum menyimpan persoalan pelik salah satunya adalah banjir. Berbagai upaya dilakukan namun dari tahun ketahun banjir akibat luapan Sungai Citarum tetap terjadi di musim penghujan dan kekeruhan air yang parah di musim kemarau. Warga masyarakat penghuni bantaran Sungai Citarum dari masa ke masa senantiasa menyesuaikan diri dengan ritme sungai ini. Bila musim hujan maka warga penghuni bantaran bersiap untuk menghadapi bahaya banjir sedangkan pada musim kemarau mereka bersiap untuk mencium bau busuk sungai. Dengan modal sosial yang kecil kelompok masyarakat ini umumnya tidak mempunyai banyak pilihan. Mereka tidak sanggup berpindah mencari tempat agar terhindar dari banjir. Mereka melihat banjir sebagai bencana, yang diatasi dengan berbagai cara sambil tetap bertahan di rumahnya. Penelitian kecil ini ingin memetakan, membuat potret warga penghuni bantaran Sungai Citarum. Potret ini membantu penulis untuk merefleksikan makna kebudayaan secara lebih hidup. Kebudayaan tidak lagi sebagai sebuah definisi rigid tetapi kebudayaan sebagai sesuatu yang dinamis.
POLA KEBUDAYAAN MASYARAKAT PENGHUNI BANTARAN SUNGAI CITARUM Andreas Doweng Bolo; Hendrikus Endar Suhendar
Research Report - Humanities and Social Science Vol. 2 (2014)
Publisher : Research Report - Humanities and Social Science

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3833.241 KB)

Abstract

Kebudayaan an sich tidak mempunyai struktur. Namun, kebudayaan dapat dikenal melalui karya. Karyanyalah, sistem kegiatan-kegiatan manusiawilah, yang menentukan dan membatasi dunia “kemanusiaan”. Mengenal kebudayaan berarti mengenal kegiatan-kegiatan manusiawi yang dikerjakan dan menjadi kebiasaan (habitus) sebuah kelompok masyarakat.Upaya memahami pola kebudayaan masyarakat Sungai Citarum juga merupakan sebuah upaya melihat dimensi kebudayaan sebagai sesuatu yang abstrak itu. Untuk mengkonkretkannya, maka penulis menelaah dalam dua pola yang bisa dilihat secara gamblang yaitu pola hunian dan pola kerja.Dari dua pola ini penulis menemukan bahwa dinamika kebudayaan masyarakat penghuni bantaran Sungai Citarum berkaitan erat dengan modernitas itu sendiri. Dan bila menelaah modernitas maka revolusi industri abad 18 dan revolusi teknologi abad 20 menjadi basis penting modernitas itu sendiri. Sungai Citarum dan masyarakat penghuni bantaran Sungai Citarum pun mengalami langsung dampak modernitas itu. Penelitian ini dengan judul: “Pola Kebudayaan Masyarakat Penghuni Bantaran Sungai Citarum” merupakan sebuah upaya filosofis untuk merefleksikan pola kebudaaan yang hidup di tengah masyarakat.
PERAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN PEMUDA (OKP) DI WILAYAH BANDUNG DALAM MEMELIHARA RASA NASIONALISME Andreas Doweng Bolo; Masmuni Mahatma
Research Report - Humanities and Social Science Vol. 2 (2015)
Publisher : Research Report - Humanities and Social Science

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1260.111 KB)

Abstract

Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) merupakan salah satu sumber daya yang dimiliki bangsa Indonesia pada umumnya juga Kota dan Kabupaten Bandung pada khususnya. Penelitian ini ingin mengkaji peran OKP di Bandung (Kota, Kabupaten dan KNPI kota dan Provinsi) untuk menelusuri berbagai kegiatan yang dilakukan OKP. Penelitian ini mendasarkan diri pada metode dokumentasi tertulis (written document) dimana peneliti mengumpulkan berbagai data dari berbagai media online yang berkaitan dengan OKP sepanjang tahun 2015. Pengumpulan data ini dilakukan terutama di website Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) sebagai wadah bersama OKP juga dari berbagai berita di website Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kota dan Kabupaten Bandung. Selain itu peneliti juga mendasarkan diri pada website dalam Koran online yang ada di Bandung. Informasi yang dikumpulkan berkaitan dengan kegiatan OKP dari bulan Januari-November 2015.Dari berbagai informasi yang diuraikan secara naratif tersebut penulis mengkaji dua hal utama dalam kegiatan OKP di Bandung. Kedua, analisis itu mendasarkan diri pada teori sentripetal dan sentrifugal. Berdasarkan teori ini, penelitian ini menyimpulkan bahwa kegiatan dan kerja OKP di Bandung masih kuat terkait ketarikan sentripetal.Dengan demikian di bagian akhir penelitian, ada beberapa rekomendasi konkret. Inti rekomendasi ini adalah bahwa OKP perlu kembali pada politik kesejahteraan bersama sebagai bangsa dalam keberagaman sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh para pemuda pejuang kemerdekaan.
Implementasi Pandangan Plato tentang Negara Ideal dalam Toleransi Umat Beragama di Indonesia Andreas Doweng Bolo; Purwanti Purwanti; Vabianus Louk; Mateus Elbert Biliyandi; Frederikson Pehan Ritan; Belasius Pantur
FOCUS Vol. 3 No. 2 (2022): Focus
Publisher : Parahyangan Catholic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (225.113 KB) | DOI: 10.26593/focus.v3i2.6091

Abstract

Tulisan ini ditujukan untuk menumbuhkan rasa cinta pada negara sehingga masyarakat mampu menjadi manusia yang bernegara dan beragama. Rasa cinta pada negara menjadikan masyarakat mempunyai satu visi yang sama dengan negara. Menjadi manusia yang bernegara dan beragama memampukan seseorang dalam seluruh dirinya dituntun kepada panggilan hati nurani dan kesucian. Panggilan menjadi manusia bernegara tidak bisa tanpa menjadi manusia yang beragama, begitupun sebaliknya. Dengan metode kepustakaan dan analisis deskriptif, tulisan ini mencoba mengeksplorasi berbagai sumber literatur yang relevan. Melalui tulisan ini dapat dikatakan bahwa terwujudnya toleransi antar umat beragama berkaitan bagaimana menjadikan masyarakat memiliki kualitas hidup yang baik. Kualitas hidup yang baik ini bertitik tolak dari pandangan Plato mengenai negara ideal yang setiap orang memiliki kemauan untuk meningkatkan kualitas hidup. Manusia yang berkualitas adalah manusia yang mampu menjaga keharmonisan antara hidup bernegara dan beragama sehingga toleransi beragama dapat terwujud.
Telisik Seruak Fotografis dalam Karya Eksperimental Krishnamurti Suparka Andreas Doweng Bolo; Mardohar Batu Bornok Simanjuntak
Dekonstruksi Vol. 10 No. 03 (2024): Jurnal Dekonstruksi Volume 10.3
Publisher : Gerakan Indonesia Kita

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54154/dekonstruksi.v10i03.253

Abstract

Sejak proses fotografi analog ditemukan pada tahun 1822 oleh Joseph Nicéphore Niépce, persoalan ontologis dan epistemologis medium tersebut tidak pernah tuntas. Berbagai tawaran status pun dilekatkan pada fotografi dengan tujuan mendapatkan satu fondasi teoretik kokoh yang dapat menjawab pertanyaan mendasar seperti “apa itu fotografi” dan “bagaimana fotografi bekerja”. Problematika ini menjadi semakin kompleks saat fotografi digital dan kecerdasan buatan muncul. Konstruksi teori yang rapuh membuat jawaban definitif tentang disposisi fotografi menjadi semakin sulit untuk diraih. Tulisan ini mencoba menawarkan sebuah bangun pewacanaan yang menggamit sofistikasi persoalan semacam ini dengan menggunakan pendekatan seruak (emergence) sebagai titik awal. Upaya mengurai benang kusut diskursus fotografi ini kemudian dibenturkan dengan sebuah upaya eksperimental dari Krishnamurti Suparka dalam pameran dengan pendekatan proses dari bulan Maret hingga April 2024 di Galeri Orbital, Bandung. Dari telisik yang dipaparkan di makalah ini ditunjukkan bahwa seruak fotografis (terutama dari pendekatan Kant-Hawking) dalam karya Suparka berada dalam tahap formatif, yang sudah memberi ruang pada, tetapi masih menyisakan catatan panjang tentang kemenyeruakan sebuah karya.
The Ethics of Transhumanism from the Perspective of Gilbert Ryle Monist Ethics: Ambiguities and Prospects Simanjuntak, Mardohar Batu Bornok; Doweng Bolo, Andreas; Loho, Ambrosius Markus
Sapientia Humana: Jurnal Sosial Humaniora Vol 3 No 02 (2023): Vol 3 No 02 (2023)
Publisher : Universitas Katolik Parahyangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26593/jsh.v3i02.6940

Abstract

Transhumanism attempts to overcome human limitations through the use of technology, such as nanotechnology, artificial intelligence, and genetic modifications. In the monist ethical perspective, humans are considered complex material entities, and consciousness is understood as a product of the physical and chemical interactions in the brain with various other parts of the body. The problem is that with such artificial revolutions, ethical foundations based on corporeal limitations become irrelevant. Gilbert Ryle questions Platonistic dispositions that overly rely on reduction with the consequence of extractive knowledge rather than abstract knowledge. Plato's line of thought is then strengthened by Cartesian dualism, which, when applied in a monist perspective, can be reduced to an extraction of brain performance. Ryle proposes an abstraction that allows for the interaction between elements to form a unified understanding of the complex. Based on Ryle's thinking, a study of monist ethics can offer a thoughtful approach to constructing an ethical framework that aligns with the transhumanist era's revolution.
Memikirkan Ulang Fondasi Definitif Filosofis dari Fotografi Doweng Bolo, Andreas; Simanjuntak, Mardohar Batu Bornok
Sapientia Humana: Jurnal Sosial Humaniora Vol 4 No 01 (2024): Vol 4 No 01 (2024)
Publisher : Universitas Katolik Parahyangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26593/jsh.v4i01.7542

Abstract

This text discusses the problematic nature of photography since its inception. This disposition arises because photography is a manifestation of the dualistic thinking pattern matured by René Descartes and radicalized by Immanuel Kant. Photography, which began in the 19th century, was analog and relied on the permanent traces of time caused by chemical reactions. The strong claim of photography against the singularity of artistic work positions it as a threat to the value of art on one hand, while on the other, photography opens up various new approaches to artistic expression. Around 150 years after its birth, photography faced a serious challenge: even with digital technology, which eliminates the permanence of time traces, photography was considered "dead." This perceived death of photography led to ideological approaches viewing the existence of photography as post-medium discourse. By examining the development of major literature during the transition from analog to digital photography, this ideological approach further guides the discourse on photography as a metatheoretical and paradigmatic area. By shedding temporal elements, the discourse on photography moves more agilely within the framework of complex material monism—becoming a way of existing in a non-dualistic knowledge structure.
The Impact of Philosophy on Religious Education for High School Students Bolo, Andreas Doweng; Simanjuntak, Mardohar Batu Bornok; Mahatma, Masmuni
MELINTAS An International Journal of Philosophy and Religion (MIJPR) Vol. 38 No. 3 (2022)
Publisher : Faculty of Philosophy, Parahyangan Catholic University, Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26593/mel.v38i3.7405

Abstract

This article is a result of a research conducted to examine the interrelation between religion and philosophy and to measure how such interaction is embodied in religious subjects taught in middle-high schools in Indonesia. This is considered important because in Indonesian national education, the religious dimension is regarded fundamental and therefore must be emphasised. The classes are divided based on the students’ religion. In order to prevent such division becomes religious segregation that could lead to practices of intolerance, philosophy is proposed as a rational solution to bridge the discrepancy. This is considered imperative so that in school religion is not understood as an exclusive set of doctrines, but as a subject in education process that brings inclusive and pluralistic attitudes. Three basic and important characteristics are analysed in this article, that is, the breadth of perspective about God, the openness towards other religions, and the willingness to embrace science in general.