Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

PENATAAN PERMUKIMAN KUMUH TERINTEGRASI DI KOTA SEMARANG Risky Yustiani P; Retnayu Prasetyanti; Hamidah Rosidanti S
The Indonesian Journal of Public Administration (IJPA) Vol 7, No 1 (2021): INDONESIAN JOURNAL OF PUBLIC ADMINISTRATION (IJPA) | JANUARI - JUNI 2021
Publisher : Department of Public Administration, Faculty of Social and Political Science, Universitas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52447/ijpa.v7i1.4650

Abstract

ABSTRACT, The concentration of the population in urban areas, the number of decent housing that does not meet the needs, and the economic gap creates slum settlements that give rise to social, health problems and damage the aesthetics of urban planning. With the issuance of Law no. 1 of 2011 the government targets to increase the number of decent and healthy settlements, especially for 30 priority cities/regencies in Indonesia. This policy is in line with the implementation of the Sustainable Development Goals program on poverty, inequality and sustainable cities and communities. As one of the priority areas, the city of Semarang has succeeded in conjuring the face of the slums. This study tries to present an analysis related to the practice of structuring slums through a case study in Randusari Village. The main aspects analyzed are the form of integration, coordination, participation, and the model of slum settlement arrangement. This study uses a qualitative approach with descriptive research methods that combine literature review research techniques and secondary data. The results of the study explain that the KOTAKU program helps the government in overcoming the problem of slum settlements and the welfare of the local community. The thematic village and rainbow village schemes that are implemented have interrelated objectives, namely 4E (ethos, ecosystem, education and economy). The success of the top-down bottom-up policy model in this program is carried out with community participation from the planning to evaluation stages so as to create sustainable innovation in residential areas, either in cooperation or delegation of power.Keywords: Slums, Integration, Coordination, Participation  ABSTRAK, Terpusatnya penduduk di wilayah perkotaan, jumlah hunian layak yang belum mencukupi kebutuhan, dan gap  ekonomi menciptakan pemukiman kumuh yang melahirkan masalah sosial, kesehatan dan merusak estetika penataan kota. Dengan terbitnya UU No. 1 tahun 2011 pemerintah menargetkan peningkatan jumlah permukiman layak dan sehat terutama untuk 30 Kota/Kabupaten prioritas di Indonesia. Kebijakan ini senada dengan implementasi program Sustainable Develeopment Goals tentang kemiskinan, ketidaksetaraan serta kota dan komunitas berkelanjutan. Sebagai salah satu daerah prioritas, Kota Semarang berhasil menyulap wajah permukiman kumuh tersebut. Penelitian ini berusaha menyajikan analisis terkait praktik penataan permukiman kumuh melalui studi kasus di Kelurahan Randusari. Aspek utama yang dianalisis adalah bentuk integrasi, koordinasi, partisipasi, serta model penataan permukiman kumuh.  Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian deskriptif yang mengkombinasikan tenik penelitian literature review dan data sekunder. Hasil penelitian menjelaskan bahwa program KOTAKU membantu pemerintah dalam mengatasi masalah permukiman kumuh dan kesejahtraan masyarakat setempat. Skema kampung tematik dan kampung pelangi  yang diterapkan mempunyai tujuan yang saling berkaitan satu dan yang lainnya yaitu 4E (etos, ekosistem, edukasi dan ekonomi). Keberhasilan model kebijakan top-down bottom-up pada program ini terselenggara dengan keikutsertaan masyarakat mulai dari tahapan perencanaan hingga evaluasi sehingga menciptakan inovasi berkelanjutan di lingkungan pemukiman baik dalam kerjasama atau pendelegasian kekuasaan.Kata kunci: Pemukiman Kumuh, Integrasi, Koordinasi, Partisipasi
Quintuple Helix dan Model Desa Inovatif (Studi Kasus Inovasi Desa di Desa Panggungharjo, Yogyakarta) Retnayu Prasetyanti; Bayu Mitra A. Kusuma
Jurnal Borneo Administrator Vol 16 No 3 (2020): Desember 2020
Publisher : Puslatbang KDOD Lembaga Administrasi Negara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24258/jba.v16i3.719

Abstract

Innovation determines the future of village development. This qualitative case study presents an analysis of village governance best practices in economic, environmental, socio-cultural, and technological aspects. Unlike the majority of villages that duplicate innovation, Panggungharjo was able to develop a genuine innovation through the creation of a village-owned enterprise (BUMDes). This scientific paper concludes that participation and synergy among helixes/subsystems in the quintuple helix innovation model (government, industry, universities, civil society, and the natural environment) determine the success of continuing village innovation. In Panggungharjo village, there were 3 affecting factors in succeeding innovation, there were political and leadership capacity; process and bureaucratic capacity; and social and environmental capacity. The use of the top-down & bottom-up innovative village model was also crucial. As a lesson learned, this study formulated the stages of developing innovative villages. The figure of the village leader played a crucial role in the process of initiating innovation and optimizing the village bureaucracy politically and administratively. A set of development roadmap referring to the national priority of the village development program was fundamental. It is also urgent to maintain coordination among helixes so that village innovation can embrace the potential of the village and influence people's welfare. Keywords: Quintuple Helix, Innovation Model, Village Innovation, Village Development, Innovative Village Model Abstrak Inovasi menjadi penentu arah kemajuan desa. Studi kasus kualitatif instrumental ini menyajikan analisis best practice tata kelola inovasi desa pada aspek ekonomi, lingkungan, sosial-budaya, dan teknologi. Berbeda dengan sebagian besar desa yang melakukan duplikasi inovasi, Desa Panggungharjo mampu mengembangkan inovasi secara mandiri melalui pembentukan BUMDes, sebuah lembaga ekonomi-sosial desa. Artikel ini menunjukkan bahwa partisipasi dan sinergi antarsubsistem dalam model inovasi quintuple helix (pemerintah, industri, universitas, masyarakat sipil, dan lingkungan alami) menjadi penentu keberhasilan inovasi desa yang berkelanjutan. Terdapat tiga faktor penentu keberhasilan inovasi, mengacu pada istilah Kepala Desa Panggungharjo, didefinisikan sebagai tiga kapasitas (kompetensi) utama, yaitu; (1) kapasitas politik dan kepemimpinan; (2) kapasitas proses dan birokrasi; (3) kapasitas sosial dan lingkungan. Aspek penting lain yang perlu diperhatikan adalah penerapan model desa inovatif berbasis pendekatan top-down & bottom-up. Studi ini merumuskan tahapan pengembangan desa inovatif sebagai lesson learnt dari kesuksesan inovasi di Desa Panggungharjo. Sosok pemimpin desa memegang peran krusial terutama dalam proses inisiasi program inovasi dan optimalisasi birokrasi desa. Pemerintah desa dituntut untuk mampu menyusun roadmap perencanaan pembangunan desa sesuai arah kebijakan/program prioritas desa dalam lingkup nasional. Sebagai tindak lanjut, pengembangan inovasi harus didasarkan pada koordinasi dan penguatan jaringan kerja sama antar-helix sehingga dapat berimbas pada pemerataan kesejahteraan masyarakat. Kata Kunci: Quintuple Helix, Model Inovasi, Inovasi Desa, Pembangunan Desa, Model Desa Inovatif
MANAJEMEN DAN ADMINISTRASI ISLAM: TRAJEKTORI KEBANGKITAN AGAMA DI RUANG PUBLIK Retnayu Prasetyanti
Jurnal MD Vol 6, No 2 (2020)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Di era disrupsi yang sangat dipengaruhi oleh internet of things melalui hadirnya media sosial ini, umat beragama dimanjakan dalam memilih akses konten keagamaan sesuai dengan preferensinya. Kemudahan akses tersebut mendorong munculnya elit keagamaan baru konservatif yang menantang kemapanan otoritas keagamaan tradisional yang telah lebih lama eksis. Mereka mengemas berbagai konten dengan label dakwah, hijrah, dan istilah keagamaan populer lainnya. Kemasan yang mereka tawarkan cenderung lebih simple untuk dipahami sehingga mampu menarik khalayak, terutama kaum muda Muslim urban yang cenderung gandrung dengan budaya pop dan ingin belajar agama secara instan. Munculnya elite keagamaan baru tersebut memicu reaksi dari kelompok moderat untuk memberikan wacana tandingan. Hal ini mengakibatkan media sosial berubah menjadi arena kontestasi perebutan otoritas keagamaan. Bila kita perhatikan, fenomena tersebut jelas bertentangan dengan teori sekularisasi yang menggambarkan bahwa di era modern agama bukanlah sesuatu yang populer. Nyatanya saat ini kita justru melihat kebangkitan agama atau religious revival di ruang publik. Jurgen Habermas mengatakan bahwa ruang publik merupakan wahana diskursus demokratis masyarakat dimana setiap warga negara dapat menyatakan opini ataupun kepentingan secara diskursif. Opini dan kepentingan tersebut selanjutnya dimanifestasikan dalam berbagai trajektori. Terkait isu kebangkitan agama, salah satu trajektori tersebut adalah manajemen dan administrasi Islam. Untuk melihat bagaimana kebangkitan agama bekerja di sektor manajemen dan administrasi Islam, maka kita dapat mendiskusikannya lebih mendalam melalui tujuh naskah yang terbit pada Jurnal MD Volume 6 Nomor 2 Tahun 2020 ini.