p-Index From 2020 - 2025
0.817
P-Index
This Author published in this journals
All Journal ADIL : Jurnal Hukum
Lusy Liany
Unknown Affiliation

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Hapusnya Wewenang Executive Review Pemerintah terhadap Peraturan Daerah: Studi Pasca-adanya Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 dan Nomor 56/PUU XIV/2016 Lusy Liany
Jurnal ADIL Vol 10, No 2 (2019): DESEMBER 2019
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas YARSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33476/ajl.v10i2.1222

Abstract

The Constitutional Court, on April 4, 2017, through the Decision No.137/PUU-XIII/2015 has invalidated the enactment of the rules that enabled a Governor to annul Regency/City Laws. On June 14, 2017, with the Decision No.56/PUU-XIV/2016, the Court also invalidated the authority of Ministry of Internal Affair to void Provincial Laws. These decisions brought about a question on whether the government still has the authority to revise those regional laws or it can only be taken through the material review to the judiciary. Based on the background, the authors formulated two problems. Firstly, what is the mechanism of government control of the Regional Regulation after the Constitutional Court Decision Number 137 / PUU-XIII / 2015 and the Court's Decision Number 56/PUU-XIV/2016? Secondly, what are the obstacles to judicial review of regional regulations in the Supreme Court? The research method applied in this paper is a normative method in which qualitative data are gathered and the statute and conceptual approaches are employed. First result, the government, both the Minister of Internal Affairs and the Governor, can oversee the regional law-making process through the executive preview mechanism and the annulation of both Province and Regency/City Laws is in the domain of the Supreme Court's authority. Second, the judicial review process in the Supreme Court has not fully met the legal principles of judicial review process, as it is not open to public, there is no deadline to finish the trial, and the Supreme Court’s decision is not supported by sufficient details of judges’ legal opinion.
AKTUALISASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL (STUDI KASUS PERDA PROVINSI, KABUPATEN/KOTA DI INDONESIA) Lusy Liany
Jurnal ADIL Vol 11, No 2 (2020): Desember 2020
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas YARSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33476/ajl.v11i2.1650

Abstract

Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum terdapat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 alinea keempat. Ditegaskan dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. Pada penjelasan pasal 2 disebutkan bahwa Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus dasar filosofis negara sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Maka dari itu, untuk membangun hukum nasional yang berintegritas dan bersinergi diperlukan aktualisasi nilai-nilai Pancasila disetiap sendi-sendi setiap peraturan perundang-undangan dan harmonisasi hukum antara hukum yang berasal dari niliai-nilai yang hidup dan berkembang ditengah masyarakat dengan hukum modern yang positivis. Dengan mengaktualisasikan nilai-nilai etika dan moral dari Pancasila disetiap sendi-sendi setiap peraturan perundang-undangan diharapakan terciptanya pembangungan hukum nasional yang berintegritas dan bermoralitas sesuai dengan nilai jati luhur bangsa.
PENERAPAN HUKUMAN KEBIRI KIMIA MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 70 TAHUN 2020 Dhita Mutiara Putri; Lusy Liany; Nadya Bunga Khoirunnisa; Shafa Meutia Rahmah
Jurnal ADIL Vol 12, No 2 (2021): DESEMBER 2021
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas YARSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33476/ajl.v12i2.2117

Abstract

Hukuman bagi pelaku kekerasan seksual sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dianggap belum efektif sehingga Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 yang menerapkan pelaksanaan dari kebiri kimia. Penelitian ini mengkaji peraturan pelaksana dari hukuman pidana tambahan kebiri kimia di Indonesia. Implementasi kasus penerapan kebiri kimia pertama kali di Indonesia pada Putusan Nomor  69/Pid.sus/2019/PN.Mjk tanggal 2 Mei 2019. Penerapan kebiri secara kimia menimbulkan pro kontra pada penerapan kebiri kimia terkait efektifitasnya dan pemberlakuannya yang dianggap melanggar hak asasi manusia sebagaimana termuat dalam UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Terdapat juga pihak yang setuju terhadap pemberlakuan hukuman tambahan kebiri kimia. Namun, terlepas dari adanya pro kontra tersebut,  Pemerintah menerbitkan aturan mengenai pelaksanaan kebiri kimia yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020. Aturan ini dapat diberlakukan secara efektif, efisien, dan tepat sasaran guna mengurangi peningkatan jumlah kekerasan seksual dan timbulnya kejahatan yang berulang.
KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI SEBAGAI NEGATIVE LEGISLATOR DALAM PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Ika Kurniawati; Lusy Liany
Jurnal ADIL Vol 10, No 1 (2019): JULI 2019
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas YARSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (317.995 KB) | DOI: 10.33476/ajl.v10i1.1068

Abstract

Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga kekuasaan kehakiman yang salah satu kewenangannya menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945. Perkembangannya, akhir-akhir ini terdapat beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang menjadi pro-kontra baik terkait hak uji materiil maupun hak uji formil. Pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 1/PUU-XI/2013 yang amar putusannya mengubah isi Pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan menjadikan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dipercaya lagi sebagai lembaga peradilan yang bersifat sebagai Negative Legislator. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan petimbangan pengusulan revisi terkait UU Mahkamah Konstitusi kepada Pemerintah dalam hal ini lembaga yang berwenang DPR dan Presiden serta Mahkamah Konstitusi terkait pengujian formil dan diharapkan kedepannya Mahkamah Konstitusi dalam hak uji materiil tetap berpedoman pada peraturan yang mengaturnya.
PRO KONTRA PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2019 TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DI TINJAU DARI AZAS-AZAS PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN Devi Ariani; Lusy Liany
Jurnal ADIL Vol 12, No 1 (2021): Juli 2021
Publisher : Lembaga Penelitian Universitas YARSI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33476/ajl.v12i1.1917

Abstract

Proses  pembentukan  Undang-Undang  Nomor  19  Tahun  2019  tentang  Komisi Pemberantasan  Korupsi  (KPK)  tidak  terlepas  dari  Pro  Kontra  yang  dianggap bertentangan  dengan  Undang-Undang  Nomor  12  Tahun  2011  tentang Pembentukan  Peraturan  Perundang-Undangan.  Dimana  dalam  pembentukan  dan hingga  akhir  disahkan  berlangsung  dengan  cepat  itulah  yang  menjadi  polemik apakah sudah dibentuk melalui prosedural yang baik.  Berdasarkan latar belakang diatas  penulis  yang  menjadi  rumusan  masalah:  Pertama,  asas-asas  pembentukan peraturan  Perundang-Undangan  yang  Baik  ditinjau  dari  Undang-Undang  Nomor 12  Tahun  2011  tentang  Pembentukan  Peraturan  Perundang-Undangan    Kedua, proses  pembentukan  Undang-Undang  Nomor  19  tahun  2019  tentang  Komisi Pemberantasan  Korupsi  (KPK)  di  tinjau  dari  Undang-Undang  Nomor  12  Tahun 2011  tentang  pembentukan  Peraturan  Perundang-undangan  Metode  penelitian yang  digunakan  berupa  penelitian  yuridis  normatif  yang  biasa  disebut  dengan pendekatan  perundang-undangan  dengan  menggunakan  data  sekunder  yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Adapun hasil pembahasannya: pertama,pembentukan  Undang-Undang  Nomor  19  Tahun  2019  telah  melanggar asas  kedayagunaan  dan  kehasilgunaan,  asas  kejelasan  rumusan  dan  asas keterbukaan.  Kedua,  dalam  pembentukan  undang-undang  tidak  memenuhi  syarat formil  dan  pemberlakuan  undang-undangan  dalam  tata  cara  pembentukan peraturan  perundang-undangan.  Kedepannya  diharapkan  pemerintah  selaku lembaga  pembentukan  undang-undang  harus  sesuai  dengan  asas-asas pembentukan peraturan undang-undang yang baik, terutama asas keterbukaan dan memuat  sesuai  prosedural  Undang-Undang  Nomor  12  tahun  2011  Tentang Pembentukan  Peraturan  Perundang-Undangan  yang  telah  di  revisi  menjadi Undang-Undang  Nomor  15  Tahun  2019  Tentang  Pembentukan  Peraturan Perundang-undangan