Abdul Basith Junaidy
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Published : 19 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 19 Documents
Search

Memahami Maslahat Menggunakan Pendekatan Filsafat Utilitarianisme Menurut Muhammad Abû Zahrah Abdul Basith Junaidy
Islamica: Jurnal Studi Keislaman Vol. 8 No. 2 (2014): Maret
Publisher : Postgraduate Studies of Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (299.655 KB) | DOI: 10.15642/islamica.2014.8.2.341-367

Abstract

This paper seeks to describe the efforts of Abû Zahrah in making the philosophy of utilitarianism as a means of understanding the concept of maslahah mursalah in legal reasoning. In Zahrah?s view, the principle of utilitarianism can be taken into account as a guide to understand and apply the concept of maslahah. Zahrah goes on to argue that maslahah can be applied quantitatively using the hedonic calculus as a tool of measurement. Zahrah defines maslahah as an action that is valued as having the greatest benefit for the majority of people in the long term. In his opinion, there are seven factors that determine the level of satisfaction and pain resulted from an action, namely intensity, duration, certainty, propinquity, fecundity, purity, and extent. The calculation will produce positive balance if the credit (satisfaction) is much greater than the debt (pain). This calculus, according to Zahrah, can be applied to measure the benefit and loss in the discourses of maslahah mursalah.
Perang yang Benar Dalam Islam Abdul Basith Junaidy
Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam Vol. 8 No. 2 (2018): Oktober
Publisher : Prodi Siyasah (Hukum Tata Negara) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (466.607 KB) | DOI: 10.15642/ad.2018.8.2.486-512

Abstract

Artikel ini membahas tentang perang yang benar dalam Islam. Pada berbagai kesempatan, ketika al-Qur’an mewajibkan umat Islam untuk berperang, al-Qur’an selalu mensyaratkan agar hal itu dilakukan tanpa perilaku melampaui batas, sesuai kepantasan disertai sikap memaafkan dan mencari perdamaian. Islam melarang penyerangan terhadap orang-orang yang tidak ikut perang seperti anak-anak, perempuan, lansia, janda, pertapa, pendeta atau siapa pun yang tidak berusaha atau tidak bisa memerangi umat Islam. Pada setiap operasi militer, Nabi saw selalu melarang pasukannya melukai orang-orang yang tidak ikut berperang atau secara sia-sia merusak harta atau tumbuhtumbuhan. Nabi saw justru memerintahkan untuk merawat mereka yang terluka atau memberi makan bagi yang membutuhkan, termasuk tawanan perang.
Dialektika Hukum Islam pada Masa Awal Islam Abdul Basith Junaidy
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol. 2 No. 2 (2016): Desember 2016
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (124.153 KB) | DOI: 10.15642/aj.2016.2.2.420-439

Abstract

Abstract: The dynamic and dialectical theory of Islamic law had been since the time of the Prophet Muhammad (p.b.u.h). However, the theory of Islamic law in a comprehensive form had just started at the time of al-Shafi’i, and then continuously further developed and refined by the next future jurists of different schools of Islamic law there. The theory of classical Islamic law seeks to integrate the authoritative text (nushûsh) and the role of human reason (ra’y). However, the function of the human mind is at a lower level (subordinate) and additional (subsidiary) rather than function doctrine revealed by God (nushûsh). All schools of Islamic law that had developed at that time had to conform to the model of integration that had to do certain concessions if it wanted to gain recognition as a legitimate school of law. For example, traditionalists must accept ra’y in the form of qiyâs. For this reason, the schools of Islamic law which would not accept qiyâs, it would have been out of the circulation, such as Zahiri and Hasywiyah schools.Keywords: Islamic Law, Early time of Islam, nushûsh, ra’y. Abstrak: Teori hukum Islam yang dinamis dan dialektis sudah ada sejak masa Rasulullah saw. Namun, teori hukum dalam bentuknya yang komprehensif baru dimulai pada masa al-Syafi’i, kemudian secara berkesinambungan terus dikembangkan dan disempurnakan oleh para fuqaha masa berikutnya dari berbagai mazhab hukum Islam yang ada. Teori Hukum Islam klasik berupaya mengintegrasikan antara teks otoritatif (nushûsh) dan peran nalar manusia (ra’y).  Namun fungsi nalar manusia  berada pada tingkatan yang lebih rendah (subordinatif) dan tambahan (subsider) dibanding fungsi ajaran yang diwahyukan Tuhan (nushûsh). Semua aliran hukum yang berkembang pada saat itu harus menyesuaikan diri dengan model integrasi yang ada dengan melakukan konsesi-konsesi tertentu jika ingin mendapatkan pengakuan sebagai aliran hukum yang sah. Misalnya, aliran tradisionalis harus menerima ra’y dalam bentuk qiyâs. Atas dasar itu, aliran-aliran hukum yang tidak mau menerima qiyâs, dengan sendirinya hilang dari peredaran, seperti mazhab Zahiri dan mazhab Hasywiyah.Kata Kunci: Hukum Islam, Masa Awal Islam, nushûsh, ra’y.
Rekontruksi Dikotomi Dar al-Islam dan Dar al-Harb Abdul Basith Junaidy
Al-Jinayah: Jurnal Hukum Pidana Islam Vol. 4 No. 1 (2018): Juni 2018
Publisher : Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (5451.718 KB) | DOI: 10.15642/aj.2018.4.1.PDF

Abstract

Secara Historis diakui bahwa para ahli hukum Islam (fukaha) pada abad pertengahan pernah melakukan ijtihad pembagian dunia menjadi dua : Negara Islam (da@r al-Isla@m) dan Negara kafir (da@r al-h}arb) untuk tujuan-tujuan tertentu. Dalam merespon pembagian tersebut, para pemikir muslim kontemporer berbeda pendapat. Di satu sisi, sebagian pemikir muslim berpandangan bahwa pembagian tersebut dilakukan karena didasarkan pada falsafah bahwa basis hubungan antara muslim dan non-muslim adalah permusuhan permanen sampai seluruh dunia dikuasai oleh kaum muslim.Di sisi lain, ada sebagian pemikir pemikir muslim menyatakan bahwa basis hubungan antara muslim dan non-muslim adalah perdamaian. mereka menyatakan bahwa teori pembagian Dunia ke dalam negara Islam dan negara kafir dikemukakan dengan tujuan yang baik dan tidak dimaksudkan sebagai sarana membenturkan antara keduanya sebagaimana dipahami kelompok-kelompok radikal. Pembagian tersebut sesungguhnya dimaksudkan untuk mencari titik perbedaan antara hukum syariat yang stabil, sempurna dan normal dengan hukum syariat yang tidak sempurna,tidak stabil, tidak normal atau bersifat pengecualian. Pembagian wilayah ini ditujukan membantu penduduk muslim yang berada di wilayah yang mayoritas penduduknya non-muslim agar dapat menjalankan kehidupun dengan tetap menjalankan hukum syariat.Komunitas minoritas muslim tersebut memang membutuhkan penanganan khusus agar dapat tetap menjalankan hukum syariat di antara mereka. Namun seiring dengan perkembangan zaman, pembagian dunia menjadi 2 kategori (dikotomis) atau 3 kategori (trpartit) tidak berlaku lagi. Dunia sekarang memang sudah terbagi menjadi beberapa tipe wilayah, akan tetapi pembagian itu sama sekali tidak berdasarkan perbedaan agama para warganya. Akan tetapi karena perbedaan didasarkan pada perbedaan-perbedaan selain agama. Bagi kaum muslim, negara Islam, meminjam pandangan fukaha Hanafiyah dan Syafi’iyyah, dimungkinkan kepala negaranya bukan seorang muslim, sementara wilayahnya adalah da@r al-Isla@m karena kaum muslimin bisa menjalankan hukum-hukum Islam di dalamnya.
LARANGAN BERMAIN SMARTPHONE SAAT BERKENDARA BERDASARKAN PRESPEKTIF SAD-DHARIAH Cahyani, Alfia Nur; Junaidy, Abdul Basith
COURT REVIEW Vol 5 No 02 (2025): ILMU HUKUM
Publisher : COMMUNITY OF RESEARCH LABORATORY (KELOMPOK KOMUNITAS LABORATORIUM PENELITIAN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.69957/cr.v5i02.1772

Abstract

Penelitian ini berjudul “Larangan Bermain Smartphone saat Berkendara Berdasarkan Prespektif Sad-Dhariah”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggali dan menganalisis larangan melakukan aktivitas lain saat mengemudi, seperti menggunakan ponsel atau makan, dari sudut pandang hukum Islam, khususnya konsep Sadd al-Dhariah (salah satu prinsip dalam Fikih Islam yang bertujuan untuk mencegah perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya atau kerusakan). Metode penelitian yang digunakan adalah studi literatur dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa larangan melakukan aktivitas lain saat mengemudi sejalan dengan prinsip Sadd al-Dhariah, karena tindakan tersebut dapat menimbulkan potensi bahaya baik bagi pengemudi itu sendiri maupun pengguna jalan lainnya. Dengan menganalisis data dari berbagai sumber, antara lain literatur hukum Islam, fatwa, dan studi kasus kecelakaan lalu lintas, penelitian ini menegaskan bahwa menjaga konsentrasi penuh saat mengemudi adalah wajib dalam upaya melindungi kehidupan dan mencegah kerusakan, sesuai dengan maqasid al-syariah (tujuan syariah) yang utama adalah melindungi kehidupan. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemahaman yang lebih mendalam tentang pentingnya kebijakan keselamatan berkendara dalam perspektif hukum Islam dan mendukung upaya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap bahaya aktivitas lain saat berkendara.
POLEMIK SEXUAL CONSENT TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Dewi, Giyanti Puspita; Junaidy, Abdul Basith
COURT REVIEW Vol 5 No 01 (2025): ILMU HUKUM
Publisher : COMMUNITY OF RESEARCH LABORATORY (KELOMPOK KOMUNITAS LABORATORIUM PENELITIAN)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.69957/cr.v5i01.1781

Abstract

Polemik persetujuan seksual dalam peraturan perundang-undangan terus bergulir, berkembang dan menjadi topik pembahasan yang menarik. Polemik ini banyak mengundang perhatian dan kekhawatiran dari berbagai kalangan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkritisi dan menganalisis seberapa bermanfaat dan validnya konsep persetujuan seksual dalam peraturan perundang-undangan. Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan dengan mengkaji berbagai sumber seperti buku dan jurnal, hasil penelitian, dan draf Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual serta peraturan perundang-undangan lainnya berupa berita, baik cetak maupun elektronik. Berdasarkan kajian dan analisis yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa persetujuan seksual merupakan suatu persetujuan untuk melakukan aktivitas seksual dalam keadaan bebas secara sadar tanpa paksaan. Persetujuan seksual menuai pro dan kontra dalam berbagai kasus karena definisi persetujuan seksual itu sendiri belum jelas. Persetujuan seksual menjadi dasar penolakan oleh beberapa pihak karena persetujuan seksual sangat bertentangan dengan Sila Pertama Pancasila sebagai ideologi bangsa. Terdapat pula beberapa ketidakjelasan norma mengenai kekerasan seksual dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, khususnya norma agama dan nilai budaya Indonesia. Akan tetapi dari perspektif hak asasi manusia, memiliki nilai bahwa dalam konteks persetujuan seksual, negara tidak boleh mencampuri privasi warga negaranya. Terhambatnya pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual juga disebabkan oleh polemik persetujuan seksual, sehingga peraturan perundang-undangan terkait masalah seksual sangat penting untuk segera dilaksanakan karena dapat memperkuat payung hukum dalam kasus kekerasan seksual. Dengan adanya sistem hukum seperti peraturan perundang-undangan mengenai pembahasan persetujuan seksual, hal ini menjadi pedoman tentang apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan menurut peraturan negara. Persetujuan seksual juga dapat dijadikan sebagai tolok ukur bagi aparat penegak hukum dalam menentukan cukup tidaknya alat bukti untuk menilai unsur-unsur kekerasan seksual yang saat ini marak terjadi.
Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam Junaidy, Abdul Basith
Al-Hukama': The Indonesian Journal of Islamic Family Law Vol. 7 No. 1 (2017): Juni
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, UIN Sunan Ampel Surabaya, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/al-hukama.2017.7.1.76-99

Abstract

Divorce between husband and wife has consequences to child. Parental obligations to a child are not limited to the time of marriage, but continuing even if their marriage has been broken. The problem that arises is who between the two parents is more worthy of parenting. In principle, Islam provides provisions that mother is more worthy to nurture for a reason that mother is usually more loving than father. However, Islam as a religion with a rahmatan lil’alamin mision, sets a universal principle, namely the main requirement of a caregiver is to have an attitude of trust and ability. The term of trust (amanah) includes a good moral and not to damage the child's belief. Even, the non-Muslim caregiver is allowed as long as she is not concerned about damaging the child's belief. The term of “ability” requires a caregiver to spend time with the child. By this reason, the mother's position, for example, as a caregiver, can be replaced by a father if she is not trustful. Law on Marriage and Islamic Law Compilation (KHI) give strong emphasis on the trustworthy provision of a caregiver in the matter of maintenance and moral education to child. The Religious Courts is authorized to deprive the child’s custody of the untrust caregiver. In the matter of difference in religion, the Religious Courts is also authorized to decide whether it affects to the benefit of a child or not. [Perceraian yang terjadi antara suami isteri mengakibatkan konsekwensi terhadap pihak ketiga, yaitu anak-anak. Kewajiban orang tua terhadap anak tidak terbatas pada saat perkawinan masih utuh, akan tetapi kewajiban itu terus berlangsung meski perkawinan mereka telah putus. Persoalan yang muncul adalah mengenai siapa di antara kedua orang tua itu yang paling layak untuk melakukan pengasuhan. Secara prinsip, Islam memberikan ketentuan bahwa ibu lebih layak untuk mengasuh karena alasan biasanya ibu lebih memiliki kasih sayang dibanding ayah. Namun, Islam, sebagai ajaran yang memiliki misi Rahmatan lil Alamin, menetapkan prinsip universal dalam hal ini, yaitu syarat utama pengasuh anak adalah memiliki sikap amanah dan memiliki kecakapan. Syarat amanah meliputi  sikap moral yang baik dan tidak merusak agama anak. Pengasuh non muslim diperkenankan asalkan tidak dikhawatirkan merusak agama anak. Syarat kecakapan menuntut  kesediaan pengasuh untuk meluangkan waktu untuk anak.  Atas dasar itu, posisi ibu, misalnya,  sebagai pengasuh bisa saja digantikan ayah jika ia tidak amanah. Dan penentuan amanah atau tidaknya seorang pengasuh ditetapkan oleh Pengadilan Agama.]
Menakar Kebijakan Pendampingan Self Declare Halal oleh Perguruan Tinggi (Studi Kasus di Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo dan Uin Maulana Malik Ibrahim Malang) Junaidy, Abdul Basith; Ilmiyah, Zainatul
Wajah Hukum Vol 8, No 2 (2024): Oktober
Publisher : Universitas Batanghari Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.33087/wjh.v8i2.1556

Abstract

This study examines various government efforts to encourage halal product assurance, especially through the creation of derivative regulations and the establishment of the Halal Product Assurance Organizing Agency (BPJPH). However, small to micro-scale business actors still need help, especially related to registration fees and understanding the importance of halal certification. The study aims to explain the role of universities in East Java in assisting halal certification for Micro and Small Enterprises (MSEs) while analyzing the legal aspects and maqashid sharia. Using field research methods and qualitative approaches, it was found that the role of universities is as PPH assistants for MSEs who meet the halal certification criteria through the self-declare route. The implementation of self-declare halal assistance is faced with the obstacle of maintaining the activeness of registered PPH assistants, and there are still business actors who need to meet the requirements in the assistance process, such as lack of information on materials and expired material certification. An effective monitoring system is required to overcome potential errors in the halal certification process. Universities are also expected to be able to create program innovations to strengthen and activate the role of PPH assistants. The government, in this case, especially BPJPH, also needs to create a more consistent policy regarding halal certification registration through the application so that the criteria of the Halal Product Assurance System (SJPH), which is built on five basic principle frameworks (arkanul halal) can be met.
The Views of Al-Hidayah Mosque Congregation on the Presence of Children in the Mosque from the Perspective of Maṣlaḥah Mursalah A'yun, Qurrota; Junaidy, Abdul Basith
Ma’mal: Jurnal Laboratorium Syariah dan Hukum Vol. 7 No. 3 (2025): June
Publisher : Laboratorium Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya (https://uinsa.ac.id/fsh/facility)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15642/mal.v7i3.465

Abstract

Abstract: The presence of children in mosques is often a matter of debate in society. Its presence is considered to interfere with the solemnity of the congregation's worship, but on the other hand, prohibiting it can actually distance children from religious values. This article aims to analyze the presence of children in the mosque “al-Hidayah” in Geluran, Mloko, Sidoarjo, in relation to the theory of maṣlaḥah mursalah. This research employs a qualitative case study approach. Data collection was conducted through observation at the Al-Hidayah mosque and interviews with worshippers, mosque administrators, and children. The study's results showed that children's presence at the al-Hidayah Mosque was due to invitations from friends, parental orders, or the availability of activities in the mosque. This presence disturbs some pilgrims, while leaving others undisturbed. The presence of children in mosques aligns with the theory of maṣlaḥah mursalah, which defends the values of religion (hifdz al-dīn), education (hifdz al-aql), and the Islamic generation (hifdz al-nasl). In this case, the application of the principle of maṣlaḥah mursalah in the presence of children in the mosque is permissible on the condition that there is a good arrangement and guidance. Keywords: Maṣlaḥah Mursalah, children, mosque, worship.   Abstrak: Kehadiran anak-anak di masjid sering menjadi perdebatan dalam masyarakat. Kehadirannya dianggap menganggu kekhusyu’an ibadah jama’ah namun dalam sisi lain, melarangnya justru dapat menjauhkan anak-anak dari nilai-nilai keagamaan. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis kehadiran anak-anak di masjid al-Hidayah Geluran Mloko Sidoarjo untuk dianalisis dengan teori maṣlaḥah mursalah. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui observasi di masjid al Hidayah dan wawancara terhadap jama'ah, pengurus masjid, dan anak-anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran anak-anak di Masjid al-Hidayah karena ajakan teman, perintah orang tua, atau karena ada kegiatan di masjid. Kehadiran tersebut membuat jamaah ada yang terganggu dan ada yang tidak terganggu. Kehadiran anak-anak di masjid sejalan dengan teori maṣlaḥah mursalah dengan mempertahankan nilai agama (hifdz al-dīn), pendidikan (hifdz al-aql) dan generasi Islami (hifdz al-nasl). Maka dalam hal ini, penerapan prinsip maṣlaḥah mursalah dalam hadirnya anak-anak di masjid adalah diperbolehkan dengan syarat adanya pengaturan dan bimbingan yang baik. Kata Kunci: Maṣlaḥah Mursalah, anak-anak, masjid, ibadah