Claim Missing Document
Check
Articles

Found 27 Documents
Search

PRODUKTIVITAS PERIKANAN PURSE SEINE MINI SELAMA MUSIM TIMUR DI DESA SATHEAN KABUPATEN MALUKU TENGGARA Erwin Tanjaya; M. Fedi A. Sondita; Roza Yusfiandayani
Buletin PSP Vol. 20 No. 4 (2012): Buletin PSP
Publisher : Institut Pertanian Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Salah satu jenis perikanan yang menonjol di Kabupaten Maluku Tenggara adalah perikanan purse seine mini yang diusahakan oleh perorangan. Perikanan ini berbasis di Desa Sathean. Jenis teknologi yang diterapkan tergolong modern namun jangkauan operasi terkonsentrasi di perairan pantai karena nelayan beroperasi dengan sistem one-day trip daribasis perikanan terdekat. Sistem operasi penangkapan ikan seperti ini dapat menyebabkan produktivitas yang rendah. Faktor yang dianggap sebagai penyebab rendahnya produktivitas ini di antaranya adalah keterampilan dan pengetahuan nelayan yang terbatas serta penggunaanteknologi alat dan kapal penangkapan ikan yang sederhana.  Hingga kini, produktivitas untuk armada purse seine mini di kabupaten ini belum diketahui.  Selain itu, belum diketahui dengan pasti dimana kapal-kapal tersebut dioperasikan. Perbandingan hasil penelitian menggunakantiga ukuran purse seine mini yang berbeda selama 14 trip operasi adalah; KM Virus dengan panjang jaring 400  meter menangkap 157.382 ekor ikan (37%) dengan berat 18.766 kg.  KM Mujur dengan panjang jaring 350 meter menangkap 139.985 ekor ikan (33%) dengan berat 15.502 kg.  KM Dewo dengan panjang jaring 300 meter menangkap 139.941 ekor ikan (30%) dengan berat 13.871 kg. Jenis hasil tangkapan dominan adalah layang (Decapterus russelli), tongkol (Auxis thazard) dan selar (Selaroides leptolepsis). Analisis ANOVA hasil tangkapan terhadap panjang jaring masing-masing kapal per trip menghasilkan nilai Fhit = 3,255 dan Ftab = 3,238 pada (α = 0,05) maka disimpulkan ada  perbedaan hasil tangkapan di antara ketiga kapal sedangkan lama  pelingkaran jaring menghasilkan nilai Fhit = 31,055 dan Ftab = 3,238 pada (α = 0,05).  Disimpulkan ada perbedaan nyata kecepatan pelingkaran jaring di antara ketiga kapal purse seine mini.Kata kunci: Kabupaten Maluku Tenggara, produktivitas, purse seine mini
PENGUATAN CAHAYA PADA BAGAN MENGGUNAKAN REFLEKTOR KERUCUT SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN HASIL TANGKAPAN CUMI-CUMI (Light Strengthening on Lift Net with Conical Reflectors to Squid Catch Improvement) Supriono Ahmad; Gondo Puspito; M. Fedi A. Sondita; Roza Yusfiandayani
Marine Fisheries : Journal of Marine Fisheries Technology and Management Vol. 4 No. 2 (2013): Marine Fisheries: Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Laut
Publisher : Bogor Agricultural University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (838.387 KB) | DOI: 10.29244/jmf.4.2.163-173

Abstract

ABSTRACTStudy of light strengthening on lift net with conical reflectors was conducted in Kao Bay waters. Three units of lift net were operated 14 nights at the full moon condition. Every lift nets were completed with three different kind of lamp cover, called tudung, reflector αr23,3o and αr32,6o. Fishing operation time of lift net were divided into two intervals of time i.e 20.00-01.00 and 01.00-05.00 WIT (East Indonesian Timezone). Total yield of lift net with reflector αr23,3o was 5.774 kg (41,45%), while that of the lift net with reflector αr 32,6o was 4.977 kg (35,72%), and that of total yield of the lift net with tudung was 3.180 kg (22,83 %). Fishing operation time of lift net at 01.00-05.00 WIT (East Indonesian Timezone) produced 12.661 kg (91 %) weight of total catch, higher than fishing operation of lift net at 20.00-01.00 am that produced 1.270 kg (9 %) weight of total catch. However, statistical analysis concluded that design of the reflector did not significantly affect the catch per trip (Pvalue > 0,05) while fishing time significantly affected the catch per trip (Pvalue < 0,05).Key words: Kao Bay, light, reflector, squid-------ABSTRAKPenelitian tentang pengaruh penguatan cahaya pada bagan dengan reflektor kerucut terhadap hasil tangkapan cumi-cumi dilakukan di perairan Teluk Kao. Tiga unit bagan dioperasikan selama 14 malam pada saat kondisi terang bulan. Masing-masing bagan dilengkapi penutup lampu berbeda, yaitu tudung standar, reflektor kerucut αr23,3o dan αr32,6o. Setiap pengoperasian bagan dibagi dalam dua interval waktu, yaitu antara 20.00-01.00 WIT dan 01.00-05.00 WIT. Hasil penelitian menunjukan bahwa penggunaan reflektor αr23,3o memberikan hasil tangkapan cumi-cumi paling banyak dengan bobot total 5.774 kg (41,45%), sedangkan bagan dengan reflektor αr32,6o seberat 4.977 kg (35,72%), dan bagan dengan tudung 3.180 kg (22,83%). Pengoperasian bagan pada interval waktu penangkapan 01.00-05.00 WIT menghasilkan bobot tangkapan 12.661 kg (91%), atau lebih tinggi dari interval waktu penangkapan 20.00-01.00 WIT (1.270 kg) atau 9% dari total hasil tangkapan. Namun hasil uji statistik menyimpulkan bahwa faktor tudung tidak berpengaruh nyata terhadap tangkapan cumi-cumi per trip sedangkan faktor interval waktu penangkapan berpengaruh nyata (Pvalue = 0,05).Kata kunci: Teluk Kao, cahaya, reflektor, cumi-cumi
KRITERIA ALOKASI TANGKAPAN TUNA UNTUK KOMISI TUNA SAMUDERA HINDIA (IOTC) . Darmawan; Aditya Setianingtyas; M. Fedi A. Sondita
Marine Fisheries : Journal of Marine Fisheries Technology and Management Vol. 9 No. 2 (2018): Marine Fisheries: Jurnal Teknologi dan Manajemen Perikanan Laut
Publisher : Bogor Agricultural University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (353.936 KB) | DOI: 10.29244/jmf.9.2.133-144

Abstract

ABSTRACTCatch allocation scheme generally establish based on country’s historic catch data.  Growing membership from coastal states in the Indian Ocean Tuna Commission (IOTC), raise issue about the importance of geographical position in determining a catch allocation criteria.  In 2009, Scientific Committee of IOTC estimated that landings of yellowfin tuna and bigeye tuna had nearly or even exceeded its maximum sustainable yield (MSY).  Therefore, in 2010, IOTC adopted resolution to establish a system and criteria on allocation of catch for yellow fin and bigeye tuna and invited member countries to submit proposal. Indonesia proposes criteria on historic catch, economic dependency toward tuna, coastal state status, bio-ecological significance of the fishing ground, IOTC membership and level of compliance. Japan, which represents the state long-distance fishing, proposes historic catch, sustainable management plan, IOTC membership, level of compliance, financial contribution, contribution to research and data collection, and utilization of allocated quota.Objective of the research is to analyse comparation of both proposals with regards to coastal states’ rights and jurisdiction in accord with UNCLOS 1982 and resource management rights concept in Schlager and Ostrom (1992).  The research used a qualitative approach in which literature and report reviews had been conducted as data collection method, strengthened with depth interviews of resource persons, particularly Indonesia’s delegates and other relevant parties. Data obtained were analyzed descriptively using simulation calculations according to the proposed criteria. Results show that Indonesian proposed criteriaprovide advantages for coastal states, but will be disadvantaged for Japan and other distant fishing countries.  It needs an approach and further deliberation to reach agreement on tuna catch allocation criteria in the IOTC.Keywords: catch allocation criteria, coastal states, management rights ABSTRAKSkema alokasi kuota tangkapan seringkali ditentukan berdasarkan catatan sejarah hasil tangkapan armada tiap negara. Meningkatnya keanggotaan Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) yang berasal dari negara pantai di Samudera Hindia, menjadikan kriteria alokasi tangkapan berdasarkan posisi geografis menjadi isu yang sangat penting.  Pada tahun 2009, stok tuna sirip kuning (yellowfin) dan tuna mata besar (bigeye) di Samudera Hindia diduga telah mendekati atau bahkan melebihi perkiraan nilai maximum sustainable yield (MSY) nya.  Oleh sebab itu tahun 2010, IOTC mengeluarkan resolusi untuk menyusun sistem dan kriteria alokasi tangkapan dan meminta usulan proposal. Kriteria yang diusulkan Indonesia meliputi sejarah penangkapan, ketergantungan ekonomi terhadap tuna, posisi negara pantai, signifikansi perairan negara, keanggotaan IOTC dan tingkat kepatuhan. Adapun Jepang yang mewakili negara penangkap ikan jarak jauh mengusung kriteria sejarah penangkapan, rencana perikanan berkelanjutan, keanggotaan IOTC, tingkat kepatuhan, kontribusi keuangan, kontribusi pada riset dan pendataan serta tingkat pemanfaatan alokasi kuota. Penelitian ini bertujuan membandingkan kriteria kedua usulan tersebut dari sudut pandang hak-hak negara pantai dalam konvensi hukum laut internasional dan konsep kepemilikan sumber daya ikan (Schlager dan Ostrom 1992). Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif dimana data dan informasi diperoleh melalui kajian pustaka dan wawancara terhadap ketua atau anggota delegasi Indonesia serta pihak-pihak terkait lainnya. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan simulasi perhitungan sesuai kriteria yang diusulkan.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria yang diusulkan Indonesia lebih menguntungkan bagi Indonesia, tetapi membuat Jepang dan negara penangkap ikan jarak jauh sulit untuk menerimanya. Diperlukan pendekatan dan diskusi lebih lanjut untuk mencapai kesepakatan kriteria alokasi tangkapan tuna di IOTC.Kata kunci: kriteria alokasi tangkapan, negara pantai, hak pengelolaan
Deteksi bakteri pembentuk amina biogenik pada ikan Scombridae secara multiplex PCR: Detection of Biogenic Amine Producing Bacteria in Scombridae Fish based on Multiplex PCR assay Rizsa Mustika Pertiwi; Mala Nurilmala; Asadatun Abdullah; Nurjanah; Roza Yusfiandayani; M. Fedi A. Sondita
Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia Vol 23 No 2 (2020): Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia 23(2)
Publisher : Masyarakat Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia (MPHPI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17844/jphpi.v23i2.31596

Abstract

Amina biogenik merupakan komponen basa nitrogen yang terbentuk oleh dekarboksilasi asam amino. Amina biogenik yang sering terdeteksi pada produk perikanan di antaranya histamin, tiramin dan kadaverin. Gen pengkode dekarboksilasi asam amino tersebut yaitu histidine decarboxylase (hdc), tyrosine decarboxylase (tdc) serta lysine decarboxylase (ldc). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat DNA bakteri beserta konsentrasi dan kemurniannya, menyeleksi media pertumbuhan bakteri, mendeteksi gen hdc, tdc dan ldc menggunakan multiplex PCR serta identifikasi bakteri.. Sampel yang digunakan yaitu ikan tuna beku, tongkol beku, cakalang beku, tuna loin, pindang tongkol potong dan pindang tongkol bumbu kuning serta kontrol positif menggunakan ikan tuna yang disimpan pada suhu ruang selama 3 hari. Penelitian terdiri dari tahap pra-pengayaan bakteri pada media marine broth dan lactose broth, isolasi DNA sampel tanpa dan hasil pra-pengayaan, uji kemurnian dan konsentrasi isolat serta amplifikasi gen target hdc, tdc, ldc menggunakan multiplex PCR. Hasil yang diperoleh yaitu kualitas isolat DNA bakteri pada umumnya sudah murni, dengan konsentrasi isolat 15,75-157,84 ng/µL. Teknik multiplex PCR berhasil mendeteksi gen hdc, tdc dan ldc pada ikan scombridae. Kondisi optimum amplifikasi PCR yaitu annealing pada suhu 50°C selama 90 detik. Gen yang terdeteksi pada sampel tanpa pra-pengayaan yaitu tdc, sedangkan ldc dan hdc ditemukan pada sampel hasil pra-pengayaan media lactose broth dan marine broth. Bakteri pembentuk amina biogenik teridentifikasi sebagai Enterococcus fecalis, M. morganii, E. aerogenes, Citrobacter sp., Hafnia paralvei dan Obesumbacterium proteus. Amina biogenik merupakan komponen basa nitrogen yang terbentuk oleh dekarboksilasi asam amino. Amina biogenik yang sering terdeteksi pada produk perikanan di antaranya histamin, tiramin dan kadaverin. Gen pengkode dekarboksilasi asam amino tersebut yaitu histidine decarboxylase (hdc), tyrosine decarboxylase (tdc) serta lysine decarboxylase (ldc). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan isolat DNA bakteri beserta konsentrasi dan kemurniannya, menyeleksi media pertumbuhan bakteri, mendeteksi gen hdc, tdc dan ldc menggunakan multiplex PCR serta identifikasi bakteri.. Sampel yang digunakan yaitu ikan tuna beku, tongkol beku, cakalang beku, tuna loin, pindang tongkol potong dan pindang tongkol bumbu kuning serta kontrol positif menggunakan ikan tuna yang disimpan pada suhu ruang selama 3 hari. Penelitian terdiri dari tahap pra-pengayaan bakteri pada media marine broth dan lactose broth, isolasi DNA sampel tanpa dan hasil pra-pengayaan, uji kemurnian dan konsentrasi isolat serta amplifikasi gen target hdc, tdc, ldc menggunakan multiplex PCR. Hasil yang diperoleh yaitu kualitas isolat DNA bakteri pada umumnya sudah murni, dengan konsentrasi isolat 15,75-157,84 ng/µL. Teknik multiplex PCR berhasil mendeteksi gen hdc, tdc dan ldc pada ikan scombridae. Kondisi optimum amplifikasi PCR yaitu annealing pada suhu 50°C selama 90 detik. Gen yang terdeteksi pada sampel tanpa pra-pengayaan yaitu tdc, sedangkan ldc dan hdc ditemukan pada sampel hasil pra-pengayaan media lactose broth dan marine broth. Bakteri pembentuk amina biogenik teridentifikasi sebagai Enterococcus fecalis, M. morganii, E. aerogenes, Citrobacter sp., Hafnia paralvei dan Obesumbacterium proteus.
MODEL BIOEKONOMI PERAIRAN PANTAI (IN-SHORE) DAN LEPAS PANTAI (OFF-SHORE) UNTUK PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PERAIRAN SELAT MAKASSAR Adam ,; Indra Jaya; M. Fedi A. Sondita
Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia Vol. 13 No. 1 (2006): Juni 2006
Publisher : Institut Pertanian Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (379.548 KB)

Abstract

Di perairan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan, Selat Makassar, produksi rajungan di perairan inshore pada tahun 2002 dan 2004 telah melewati biomassa optimal, yaitu sebesar 609.7 ton dan 607.5 ton. Masalah ini perlu segera ditangani, misalnya dengan mencari tingkat pemanfaatan yang optimal. Dalam makalah ini, diuraikan hasil pengembangan model bioekonomi perairan pantai (in-shore, 0 – 6 mil laut dari pantai) dan lepas pantai (off-shore, diatas 6 mil laut dari pantai) untuk menentukan jumlah biomassa yang dapat dimanfaatkan secara optimal dengan mempertimbangkan biaya operasi penangkapan dan nilai rajungan yang tertangkapdalam pengelolaan perikanan rajungan di perairan Selat Makassar (pantai barat Sulawesi Selatan). Data yang dikumpulkan adalah data produksi rajungan, upaya penangkapan, dan jumlah unit alat tangkap dari periode tahun 1995 sampai 2004, yang diperoleh dari instansi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan. Adapun harga rajungan diperoleh dari 3 kelompok nelayan dan 3 perusahaan pengolahan rajungan yang ada di lokasi penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rajungan di daerah ini, masih memungkinkan untuk diekploitasi dengan tetap memperhatikan konsep pengelolaan perikanan tangkap yang berkelanjutan. Model memberikan indikasi bahwa alokasi biomassa optimal pada perairan pantai adalah 180 ton/tahun, dan pada perairan lepas pantai adalah 771 ton/tahun. Hal ini disebabkan oleh pergerakan rajungan yang mempengaruhi jumlah populasi rajungan pada perairan pantai dan perairan lepas pantai.Kata kunci: model, bioekonomi, in-shore, off-shore, pertumbuhan.
DEVELOPING A FUNCTIONAL DEFINITION OF SMALL-SCALE FISHERIES IN SUPPORT OF MARINE CAPTURE FISHERIES MANAGEMENT IN INDONESIA Abdul Halim; Budy Wiryawan; Neil R. Loneragan; Adrian Hordyk; M. Fedi A. Sondita; Alan T. White; Sonny Koeshendrajana; Toni Ruchimat; Robert S. Pomeroy; Christiana Yuni
JFMR (Journal of Fisheries and Marine Research) Vol 4, No 2 (2020): JFMR VOL 4. NO.2
Publisher : JFMR (Journal of Fisheries and Marine Research)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jfmr.2020.004.02.9

Abstract

Small-scale capture fisheries have a very important place globally, but unfortunately are still mostly unregulated. Typically, they are defined based on capture fisheries characteristics, technical attributes of fishing vessels, and socio-economic attributes of fishers. Indonesia uses the term ‘small-scale fisher’ (nelayan kecil), currently defined to include fishing boats of ≤ 10 gross tons (GT), which previously covered only boats of ≤ 5 GT. Because small-scale fishers are by law granted a privilege by government to be exempted from fisheries management measures (e.g. fisheries licensing system), its current definition jeopardizes fisheries sustainability and significantly increases the size of unregulated and unreported fisheries. It is also unfair, as it legitimizes the payment of government support to relatively well-off fishers. This paper aims to develop a functional definition of small-scale fisheries (perikanan skala kecil) to guide policy implementation to improve capture fisheries management in Indonesia. A definition of small-scale fisheries is proposed as a fisheries operation, managed at the household level, fishing with or without a fishing boat of < 5 GT, and using fishing gear that is operated by manpower alone. This definition combines attributes of the fishing vessel (GT), the fishing gear (mechanization), and the unit of business decision making (household) to minimize unregulated and unreported fishing and focus government aid on people who are truly poor and vulnerable to social and economic shocks. The terms small-scale fisheries and small-scale fishers must be legally differentiated as the former relates to fisheries management and the latter relates to empowerment of marginalized fishers.
PERUBAHAN KIMIA, MIKROBIOLOGIS DAN KARAKTERISTIK GEN HDC PENGKODE HISTIDIN DEKARBOKSILASE PADA IKAN TONGKOL ABU-ABU Thunnus tonggol SELAMA PENYIMPANAN SUHU DINGIN Mala Nurilmala; Asadatun Abdullah; Vicentius Marco Matutina; Nurjanah; Roza Yusfiandayani; M. Fedi A. Sondita; Hanifah Husein Hizbullah
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis Vol. 11 No. 2 (2019): Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis
Publisher : Department of Marine Science and Technology, Faculty of Fisheries and Marine Science, IPB University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (942.362 KB) | DOI: 10.29244/jitkt.v11i2.23007

Abstract

Histamin merupakan senyawa amin biologis yang dapat terbentuk dari histidin bebas dalam daging ikan pada fase post rigor. Laju pertumbuhan histamin dapat diperlambat dengan cara menjaga mutu ikan menggunakan suhu dingin. Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan lama waktu penyimpanan, perubahan kimia dan mikrobiologis ikan tongkol Thunnus tonggol serta waktu terdeteksinya gen hdc selama penyimpanan suhu 8±3°C. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan parameter perbedaan waktu penyimpanan ikan (1,2,3,4,5,6,7 hari) dan perbandingan es 1:1. Hasil penelitian menunjukkan ikan tongkol abu-abu mengalami kemunduran mutu selama 7 hari penyimpanan. Nilai organoleptik dan pH mengalami penurunan selama penyimpanan dan pada hari ketujuh ikan berada pada fase rigormortis. Nilai TVB dan TPC meningkat selama penyimpanan dan pada penyimpanan hari keenam sudah melewati batas aman untuk dikonsumsi. Kadar histamin pada hari ketujuh yaitu 1,96 ppm. DNA berhasil di-isolasi dan terdeteksi gen hdc, namun hasil amplifikasi belum efektif, sehingga diperlukan optimalisasi metode PCR. Profil protein yang terbentuk selama penyimpanan berdasarkan hasil SDS-PAGE mulai terpisah karena adanya aktivitas enzim katepsin.