Claim Missing Document
Check
Articles

Found 28 Documents
Search

Protective effects of Cyclea barbata Miers leaves against aspirin-induced gastric ulcer in mice Siregar, Iskandar Muda; Miladiyah, Isnatin
Universa Medicina Vol 30, No 2 (2011)
Publisher : Faculty of Medicine, Trisakti University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18051/UnivMed.2011.v30.88-94

Abstract

One side effect of non-steroidal anti-inflammatory drugs is gastric mucosal irritation, possibly causing gastric ulcers. The aim of this study was to evaluate the protective effect of cincau leaves (Cyclea barbata Miers) on aspirin-induced gastric ulcer in Balb/c mice. Twenty five Balb/c mice (20-30 g, 2-3 months old) were randomly divided into 5 groups. Group I-III were given cincau leave infusion at dosages of 2.5 mg/kg BW, 5 mg/kg BW, and 10 mg/kg BW, respectively, while group IV (positive control) received antacid at a dosage of 20 mg/kg BW, and group V (negative control) one milliliter of distilled water. All interventions were given by the oral route, once daily for seven days. On day 7, the mice were given aspirin (600 mg/kg BW) to induce gastric ulcer. After 30 minutes, all mice were sacrified, and their stomachs examined macroscopically for gastric ulcer, characterized by the presence of ulcer(s) and bleeding. Total ulcer scores were analyzed by one-way Anova to compare between-group protective effect of interventions against aspirin-induced gastric ulcer. Results showed that groups treated with cincau leaf infusion at all dosages experienced a gastric ulcer protective effect. There were significant differences (p=0.002) between treatments, compared to the negative control, but no significant differences (p>0.05) when compared to the positive control. Thus cincau leaves (Cyclea barbata Miers) at dosages of 2.5 mg/kg BW, 5 mg/kg BW, and 10 mg/kg BW, had a protective effect against aspirin-induced gastric ulcer in mice. Higher dosages of cincau leaf infusion have a correspondingly higher gastric ulcer protective power.
Analgesic activity of ethanolic extract of Manihot esculenta Crantz leaves in mice Miladiyah, Isnatin
Universa Medicina Vol 30, No 1 (2011)
Publisher : Faculty of Medicine, Trisakti University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18051/UnivMed.2011.v30.3-10

Abstract

Cassava (Manihot esculenta Crantz) leaves have long been used as a vegetable in many countries and empirically as a febrifuge. The aim of the present study was to evaluate the analgesic activity of an ethanolic extract of cassava leaves in mice. Thirty Balb/c mice (20-30 g, 2-3 months old) were randomly divided into 6 groups. Group I was given distilled water 1 mL as negative control, group II paracetamol 65 mg/kgBW as positive control, and group III-VI received an ethanolic extract of cassava leaves in 4 doses, i.e. 12.8 mg/kgBW, 25.6 mg/kgBW, 51.3 mg/kgBW, and 102.6 mg/kgBW, respectively. All interventions were administered as a single dose by oral route on a given day. Acetic acid 0.6% (w/v) was used as a pain inductor. Analgesic activity was measured by counting the percentage of writhing movements as a measure of the analgesic effect  produced by each intervention. Data were analyzed with one-way Anova to compare analgesic activity between treatment groups. The results showed that groups treated with ethanolic extract of cassava leaves at dosages of 12.8 mg/kgBW, 25.6 mg/kgBW, 51.3 mg/kgBW, and 102.6 mg/kgBW had an analgesic activity of 59.2%; 73.9%; 62.1%; and 55.9%, respectively. On statistical analysis there were significant differences (p=0.00) between these treatments compared to the negative control, but no significant differences (p>0.05) with the positive control (paracetamol). It may be concluded that the analgesic effect of an ethanolic extract of cassava (Manihot esculenta Crantz) leaves in mice was of similar potency as paracetamol.
Tinjauan Risiko dan Manfaat Hormone Replacement Therapy Miladiyah, Isnatin
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 3, No 2 (2003)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Until now, pharmacological options for the management of perimenopausal and postmenopausal syndromes have been dominated by HRT (hormone re¬placement therapy), with either estrogen alone or estrogen plus progestine. In the recent year, several prospective trials of HRT in postmenopausal women had been carried out. The first two studies about the risks and benefits of HRT were carried out by the Women ’s Health Initiative (WHI) and the Heart and Estrogen/progestin Replacement Therapy (HERS). The main focus of these studies were how menopausal woman can best achieves good quality of life. Those studies find that combination therapy with estrogen and progestine is associated with higher risk of stroke, venous thromboembolism, and a slightly risk of myocardial infarction, and breast cancer in women using HRT long term. This review discuss more detail about the risks and benefits of HRT sup¬ported by evidences. In addition, this review propose several recommenda¬tions about the use of HRT regarding those risks and benefits, though pre¬scribing of any HRT can really achieve qood quality of life of menopausal woman.Sampai saat ini pilihan terapi farmakologik untuk mengatasi sindroma perimenopause dan pasca menopause masih didominasi oleh penggunaan HRT {hormone replacement therapy atau terapi sulih hormon), baik dengan estrogen saja atau kombinasi estrogen dengan progestin. Dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak penelitian prospektif tentang penggunaan HRT pada wanita pasca menopause. Dua penelitian pertama yang membahas tentang risiko dan manfaat HRT ini adalah dari the Women ’s Health Initiative (WHI) dan the Heart and Estrogen/progestin Replacement Therapy (HERS). Fokus utama penelitian- penelitian ini terutama adalah agar wanita menopause dapat mencapai kualitas hidup yang baik. Hasil dari kedua penelitian tersebut adalah bahwa HRT dikaitkan dengan tingginya risiko mengalami stroke, tromboemboli vena, infark miokard, dan kanker payudara pada penggunaan HRT jangka panjang. Tulisan ini membahas tentang risiko dan manfaat HRT disertai dengan bukti-bukti penelitian yang mendukungnya. Selain itu, tulisan ini juga mengungkap beberapa rekomendasi penggunaan HRT berdasarkan pertimbangan risiko dan manfaat tersebut, sehingga keputusan pemberian HRT benar-benar akan memberikan peningkatan kualitas hidup wanita menopause.
Perbandingan Efektivitas Teofilin (1,3-Dimethylxanthine) dan Kafein (1,3,7-Trimethylxanthine) dalam Menunda Kelelahan Otot pada Tikus Miladiyah, Isnatin; Trunogati, Pranandito; Lestariana, Wiryatun
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 17 No 2: July 2017
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mm.170203

Abstract

Kelelahan otot merupakan suatu kondisi dimana otot kehilangan kemampuan berkontraksi karena stimuli terus menerus dan hal ini dikaitkan dengan penurunan cadangan glikogen. Obat derivat methylxanthine (kafein dan teofilin) bermanfaat untuk menghemat penggunaan glikogen. Penelitian ini bertujuan untuk menggali efektivitas kafein dan teofilin dalam menunda kelelahan otot sebagaimana yang diukur dalam lama struggling. Sebanyak 18 (delapan belas) ekor tikus berusia ± 3 bulan, berat 200-210 gram, kadar Hb 11,5-16 mg/dL dan kadar Hmt 35-51%, dibagi secara acak ke dalam 3 kelompok perlakuan: kontrol (akuades 1 mL/kgBB), kafein 3,78% (1 mL/kgBB) dan teofilin 3,15% (1 mL/kgBB). Kelelahan otot diukur dengan lama struggling dalam detik. Data rerata lama struggling antar kelompok dianalisis dengan one way ANOVA. Hasil menunjukkan bahwa lama struggling untuk kelompok kafein (286.83+7.11) detik dan teofilin (312.33+15.92) detik, lebih lama daripada kelompok kontrol (140.33+23.24) (p<0,05), sedangkan lama struggling kelompok kafein dengan teofilin tidak berbeda bermakna (p>0,05). Disimpulkan bahwa kafein dan teofilin mampu menunda kelelahan otot pada tikus dan efektifitasnya sebanding.
Penggunaan Khelator Besi dalam Terapi Miladiyah, Isnatin
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 8, No 2 (2008)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v8i2.1484

Abstract

Iron is essential for numerous crucial biochemical reactions ranging from cellular respiration in mitochondria to DNA synthesis. Neoplastic cells have a high iron requirement because of their rapid rate ofproliferation. The close linkage between cell proliferation and iron lead to suggestion that iron deprivation could be a useful strategy for inhibition of tumor cell growth. In vitro and in vivo studies showed that iron chelator desferrioxamine (DFO) that has been traditionally used in the treatment of iron overload, showed ability to limit growth of tumor cells. Iron chelators demonstrated ability to inhibit tumor cell growth by their activity to induce apoptosis and inhibit cell cycle progression, particularly the G/S transition. This article reviews role of iron in carcinogenesis and mechanism of actions of iron chelators in the treatment of cancer. Besi berperan dalam berbagai reaksi biokimia penting mulai dari respirasi seluler di mitokondria sampai sintesis DNA. Sel-sel neoplasma membutuhkan besi dalam jumlah besar karena pertumbuhannya cepat. Hubungan erat antara proliferasi sel dengan besi menimbulkan pemikiran bahwa pengurangan kadar besi mungkin dapat menjadi salah satu strategi dalam menghambat pertumbuhan tumor. Khelator besi desferioksamin (DFO) yang secara tradisional telah digunakan secara luas untuk terapi keracunan besi ternyata mampu menghambat pertumbuhan berbagai sel kanker baik in vitro maupun in vivo. Khelator besi mampu menghambat pertumbuhan tumor melalui induksi apoptosis dan hambatan pada siklus sel terutama pada fase G/S. Tulisan ini bertujuan untuk menelaah lebih lengkap mengenai peran besi dalam proses karsinogenesis dan bagaimana mekanisme keija khelator besi dalam terapi kanker.
SPKK Penentuan Diagnosis Penyakit TB Paru pada Orang Dewasa Sesuai dengan Strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) Agus Riyanto; Sri Kusumadewi; Isnatin Miladiyah
JUITA : Jurnal Informatika JUITA Vol. 6 Nomor 1, Mei 2018
Publisher : Department of Informatics Engineering, Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (609.966 KB) | DOI: 10.30595/juita.v6i1.2015

Abstract

strategi DOTS adalah satu strategi yang diterapkan dan sesuai dengan rekomendasi WHO untuk digunakan dalam penanggulangan penyakit menular khusus untuk TB paru. Strategi Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) mempunyai nilai ekonomis sangat efektif (cost-effective) dalam mengintervensi penurunan insiden TB sebesar 2% pertahun, dengan penghematan biaya sebesar US$ 55 selama 20 tahun. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien dengan prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB sehingga menurunkan insidensi TB di masyarakat. Berdasarkan uraian di atas terdapat berbagai masalah yang bisa dijadikan alasan untuk melakukan penelitian : 1) Tantangan P2PL TB yang terus meningkat. 2) Sumber daya yang terbatas khususnya terkait dengan tenaga kerja terampil dan terlatih (mengikuti pelatihan P2TB DOTS) yang belum bisa merata karena faktor mutasi staf yang tinggi sehingga  SDM yang memenuhi syarat DOTS (terampil dan terlatih) belum bisa tepenuhi secara tetap. 3) Kasus penemuan TB yang hilang atau kasus TB tidak terlaporkan Dari 3 (tiga) masalah tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitian di bidang teknologi informasi terkait dengan sistem pendukung keputusan klinik untuk diagnosis penyakit TB paru pada orang dewasa, untuk membantu meningkatkan kinerja program P2TB paru. Untuk membangun sistem pendukung keputusan klinik ini penulis akan memodelkan dengan metode tree dengan menggunakan basis pengetahuan yang diperoleh dari rule (aturan) yang terdapat dalam strategi DOTS dengan demikian dapat di istilahkan basis pengetahuan menggunakan Rule Base Sytem (RBR). Sedangkan penelusuran diagnosis penyakit berdasar pada gejala utama menggunkan penelusuran kearah depan yang sering disebut sebagai Forward Chaining (FC)Keywords: DOTS, Rule Base Reassoning, Forward Chaining, Decision Tree, TB paru, Tuberkulosis paru, SPKK
Penggunaan Khelator Besi dalam Terapi Isnatin Miladiyah
Mutiara Medika: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Vol 8, No 2 (2008)
Publisher : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18196/mmjkk.v8i2.1484

Abstract

Iron is essential for numerous crucial biochemical reactions ranging from cellular respiration in mitochondria to DNA synthesis. Neoplastic cells have a high iron requirement because of their rapid rate ofproliferation. The close linkage between cell proliferation and iron lead to suggestion that iron deprivation could be a useful strategy for inhibition of tumor cell growth. In vitro and in vivo studies showed that iron chelator desferrioxamine (DFO) that has been traditionally used in the treatment of iron overload, showed ability to limit growth of tumor cells. Iron chelators demonstrated ability to inhibit tumor cell growth by their activity to induce apoptosis and inhibit cell cycle progression, particularly the G/S transition. This article reviews role of iron in carcinogenesis and mechanism of actions of iron chelators in the treatment of cancer. Besi berperan dalam berbagai reaksi biokimia penting mulai dari respirasi seluler di mitokondria sampai sintesis DNA. Sel-sel neoplasma membutuhkan besi dalam jumlah besar karena pertumbuhannya cepat. Hubungan erat antara proliferasi sel dengan besi menimbulkan pemikiran bahwa pengurangan kadar besi mungkin dapat menjadi salah satu strategi dalam menghambat pertumbuhan tumor. Khelator besi desferioksamin (DFO) yang secara tradisional telah digunakan secara luas untuk terapi keracunan besi ternyata mampu menghambat pertumbuhan berbagai sel kanker baik in vitro maupun in vivo. Khelator besi mampu menghambat pertumbuhan tumor melalui induksi apoptosis dan hambatan pada siklus sel terutama pada fase G/S. Tulisan ini bertujuan untuk menelaah lebih lengkap mengenai peran besi dalam proses karsinogenesis dan bagaimana mekanisme keija khelator besi dalam terapi kanker.
Ethanolic extract of Anredera cordifolia (Ten.) Steenis leaves improved wound healing in guinea pigs Isnatin Miladiyah; Bayu Rizky Prabowo
Universa Medicina Vol. 31 No. 1 (2012)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Trisakti

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18051/UnivMed.2012.v31.4-11

Abstract

BACKGROUNDWound healing is a normal biological process in response to skin injury. Anredera cordifolia (Ten.) Steenis is used  traditionally to treat various diseases, including skin disease, hypertension, inflammation and gout. The aim of this study was to evaluate the wound healing activity of the leaves of binahong or Anredera cordifolia (Ten.) Steenis in guinea pigs. Methods Thirty guinea pigs (1.5-2 kg, 3-4 months old) were randomly divided into 5 groups. Group I was given distilled water (negative control), group II was treated with povidone iodine 10% (positive control), while groups III-V were treated with ethanolic extract of binahong leaves at concentrations of 10%, 20%, and 40%, respectively. Before treatment, a 2 cm long excision wound was made on each animal. All interventions were given by the topical route, twice daily for 15 days. At the end of 15th day, the wound lengths in each group were measured and compared to baseline wound lengths. Data were analyzed with one-way Anova to compare wound healing activity between groups. ResultsThis study showed that groups treated with ethanolic extract of binahong leaves at concentrations of 20% and 40% experienced better wound healing activity than negative and positive controls. There were significant differences (p=0.000) between treatments and negative and positive controls. ConclusionsThis research has succesfully show significance of the Binahong leaf extract has a potential for wound healing in guinea pig.
Pengembangan Self-Nano Emulsifying System (SNES) Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza): Formulasi, Karakterisasi, dan Stabilitas Hannie Fitriani; Annisa Fitria; Isnatin Miladiyah; Yandi Syukri
Jurnal Sains Farmasi & Klinis Vol 8, No 3 (2021): J Sains Farm Klin 8(3), Desember 2021
Publisher : Fakultas Farmasi Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (701.661 KB) | DOI: 10.25077/jsfk.8.3.332-339.2021

Abstract

Ekstrak temulawak (Curcuma xanthorrhiza) yang sukar larut dalam air sudah banyak dikaji dan potensial untuk pengobatan berbagai penyakit. Pembuatan Self-Nano Emulsifying System (SNES) merupakan salah satu metode yang mampu meningkatkan kelarutan dan ketersediaan hayati suatu zat aktif obat dengan mencampurkannya ke dalam pembawa yang sesuai. Penelitian bertujuan untuk memformulasi, karakterisasi dan menguji stabilitas SNES ekstrak temulawak. Pembuatan SNES dimulai dari skrining dan optimasi pembawa ekstrak temulawak yang terdiri beberapa minyak, surfaktan dan kosurfaktan. SNES ekstrak temulawak dikarakterisasi meliputi pengukuran transmittan, ukuran partikel, indeks polidispersi (IP), potensial zeta, penentuan stabilitas termodinamika, uji ketahanan dan uji stabilitas dipercepat. Formula optimal SNES ekstrak temulawak adalah kombinasi Labrasol (20%), Tween 20 (60%), dan propilenglikol (20%), dengan drug loading ekstrak temulawak adalah 23%. Nilai parameter karakterisasi yang didapatkan adalah transmittan 100,2 ± 0,0%, ukuran partikel 13,0±1,4 nm dengan IP 0,3 ± 0,1, dan potensial zeta -42,4 ± 0,6 mV. Uji stabilitas termodinamika menunjukkan tidak terjadi pemisahan fase. Uji ketahanan menunjukkan bahwa ukuran partikel stabil selama proses pengenceran. Selain itu, SNES ekstrak temulawak stabil selama uji stabilitas dipercepat selama 3 bulan. Disimpulkan bahwa, SNES ekstrak temulawak menghasilkan sediaan yang stabil dengan drug loading yang tinggi.
SISTEM PAKAR PEMILIHAN OBAT ANTIHIPERTENSI DAN INTERAKSI OBAT ATAU MAKANAN Nurhayati Nurhayati; Sri Kusumadewi; Isnatin Miladiyah
Jurnal Infokes Vol 6 No 1 (2016): INFOKES Volume 6 No 1 Juli 2016
Publisher : Universitas Duta Bangsa Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47701/infokes.v6i1.99

Abstract

Semakin meningkatnya jumlah penderita hipertensi dewasa ini berimbas pada tingginya penggunaan obat hipertensi baik tunggal maupun kombinasi. jumlah obat antihipertensi yang dikonsumsi. Dokter dituntut untuk memberikan obat yang sesuai dengan kondisi pasien dengan menimimalkan resiko yang merugikan bagi pasien. Masih ditemui beberapa permasalahan selama ini yaitu keterbatasan dokter untuk mengingat jenis, kegunaan, efek samping dan interaksi yang mungkin terjadi dari obat antihipertensi dan kurangnya pengetahuan penderita mengenai interaksi merugikan dari kandungan obat antihipertensi yang dikonsumsi. Solusi yang ditawarkan dari permasalahan tersebut adalah menggunakan sistem pakar pemilihan obat antihipertensi dan interaksi obat-makanan yang bekerja memberikan pilihan obat sesuai dengan klasifikasi hipertensi, penyakit penyerta, kondisi dan kontraindikasi sesuai dengan tata laksana hipertensi JNC 7.Kata Kunci : interaksi obat, pemilihan obat hipertensi, sistem pakar