Claim Missing Document
Check
Articles

Daud Meloncat-loncat dan Menari-nari: Aspek Teologis Bahasa Tubuh dalam Ibadah Kristiani Sonny Eli Zaluchu; Yesaya Bangun Ekoliesanto
KHARISMATA: Jurnal Teologi Pantekosta Vol 3, No 2: Januari 2021
Publisher : Sekolah Tinggi Alkitab Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47167/kharis.v3i2.60

Abstract

The use of expressive body languages, such as jumping and dancing, is often underestimated in Christian worship. Its existence is often labeled with the Charismatic church. This paper will discuss the use of dance and other expressive gestures in Christian worship based on the story of David jumping and dancing (2 Sam 6: 14-16). The method used in this paper is the study of literature. This study will analyze David's dance in the Old Testament and the essential meaning of Christian service. It may be concluded that David who jumped and danced could be used as a theological basis for body language in Christian Worship, as long as these expressive body languages are used responsibly with the faithful essential meaning of worship.AbstrakPenggunaan bahasa tubuh ekspresif, seperti meloncat-loncat dan menari-nari sering dipandang sebelah mata dalam ibadah Kristiani. Keberadaannya sering dilabelkan dengan gereja karismatik. Makalah ini akan membahas penggunaan tarian dan bahasa tubuh ekspresif lain dalam ibadah Kristiani berdasarkan kisah Daud yang meloncat-loncat dan menari-nari (2Sam 6:14-16). Metode yang digunakan adalah kajian literatur yang menganalisa tarian Daud dalam Perjanjian Lama dan esensi ibadah Kristiani. Berdasarkan studi literatur tersebut, dapat disimpulkan bahwa Daud yang meloncat-loncat dan menari-nari dapat digunakan sebagai dasar teologis bahasa tubuh di dalam ibadah Kristiani, dengan catatan bahwa hal ini dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan memiliki esensi ibadah yang benar. 
Komitmen Organisasi dalam Perspektif Alkitabiah: Sebuah Studi Kuantitatif di Yayasan C Surabaya Sonny Eli Zaluchu
KHARISMATA: Jurnal Teologi Pantekosta Vol 1, No 2 (2019)
Publisher : Sekolah Tinggi Alkitab Jember

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (520.871 KB) | DOI: 10.47167/kharis.v1i2.17

Abstract

Commitment in the organization consists of three, namely affective commitment, continuous commitment, and normative commitment. This commitment can develop with training in professionalism and the planting of Christian values. This study aims to see the extent to which organizational commitment is practice in a Christian foundation by leaders who are directly responsible for running the organization and to find out what spiritual value is the most active form of that commitment. The study was conducted quantitatively using a questionnaire as a data collector. Data is processed to find the position of the confidence interval values in the interval class (high, medium and low). The results of the study show that the dominant commitment affecting unit leaders at the foundation is a continuous commitment which in a biblical perspective is called a hired servant. AbstrakKomitmen di dalam organisasi terdiri dari tiga yakni komitmen afektif, komitmen kontinuans dan komitmen normatif. Komitmen ini dapat dikembangkan dengan pelatihan profesionalisme dan penanaman nilai-nilai kristiani. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana komitmen organisasi dipraktekan di dalam sebuah yayasan Kristen oleh para pemimpin yang bertanggung jawab langsung dalam menjalankan roda organisasi dan untuk menemukan nilai rohani apa yang paling kuat membentuk komitmen tersebut. Penelitian dilakukan secara kuantitatif menggunakan angket sebagai pengumpul data. Data diolah untuk menemukan posisi nilai interval kepercayaan di dalam klas interval (tinggi, sedang dan rendah). Hasil penelitian memperlihatkan, bahwa komitmen yang dominan mempengaruhi para pemimpin unit di yayasan tersebut adalah komitmen kontinuans yang dalam perspektif Alkitabiah disebut sebagai hamba upahan.
Analisis Kisah Para Rasul 15 Tentang Konflik Paulus dan Barnabas serta Kaitannya dengan Perpecahan Gereja Sonny Eli Zaluchu
KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) Vol 4, No 2 (2018): Oktober 2018
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Pelita Bangsa, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30995/kur.v4i2.83

Abstract

AbstractThe separation of Paul and Barnabas in Acts 15 is often used as a ground of foundation for the occurrence of separation or precisely, division, in the church and ministry. This article attempts to review the root causes of the conflict between Paul and Barnabas as a reflection for the church in dealing with and managing conflict. The separation of Paul and Barnabas as a biblical foundation for supporting church division/service for the noble purpose of evangelism is not right and out of biblical paradigm. The ongoing conflict between Paul and Barnabas was not a conflict that gave rise to hostility, rivalry or an attitude of attack as the phenomenon commonly encountered in church or ministry. The separation of Paul and Barnabas is a strategic decision that results in expanding the range of the spread of the gospel of Christ.AbstrakPerpisahan Paulus dan Barnabas di dalam Kisah Para Rasul 15 sering menjadi alasan bagi terjadinya permisahan, atau tepatnya perpecahan, di dalam gereja dan pelayanan. Artikel ini mengulas akar masalah konflik Paulus dan Barnabas sebagai refleksi bagi gereja dalam menghadapi dan mengelola konflik yang mengarah pada perpecahan. Menggunakan perpisahan Paulus dan Barnabas sebagai patron alkitabiah untuk mendukung perpecahan gereja atau pelayanan dengan alasan demi pekabaran Injil, rasanya kuranglah tepat. Konflik yang berlangsung antara Paulus dan Barnabas bukanlah konflik yang melahirkan sikap permusuhan, persaingan atau sikap saling serang sebagaimana fenomena yang umum ditemui di dalam perpecahan gereja/pelayanan. Perpisahan Paulus dan Barnabas adalah sebuah keputusan strategis yang menghasilkan perluasan jangkauan penyebaran Injil Kristus.
Mengkritisi Teologi Sekularisasi Sonny Eli Zaluchu
KURIOS (Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen) Vol 4, No 1 (2018): April 2018
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Pelita Bangsa, Jakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30995/kur.v4i1.31

Abstract

The theology of secularization was a product of a changing age that was triggered by a shift in philosophical thought at the time of enlightenment. Rationalism put human hegemony over dogmatic issues so that theology also ought to be able to answer a changing need for the postmodern era. This article aimed to show a reflection presented by secularisation theology in post-liberalism. The method used was descriptive historical, to explain the theology of secularization in the context of changes and needs of modern humans until today. The conclusion is that secularization theology is an actualization of modern thought that seeks to apply the values of Christianity in the context of a wider world, independent of its religious and dogmatic hegemony.AbstrakTeologi sekularisasi merupakan produk dari sebuah perubahan jaman yang dipicu oleh pergeseran pemikiran filsafat pada masa pencerahan. Rasionalisme mengembalikan hegemoni manusia di atas persoalan dogmatis, sehingga teologi juga harus dapat menjawab sebuah kebutuhan jaman yang sedang menuju ke arah posmodern. Artikel ini bertujuan untuk menunjukkan sebuah refleksi yang dihadirkan oleh pemikiran teologi sekularisasi pada masa post-liberalisme. Metode yang digunakan adalah deskriptif historis, untuk menjelaskan tentang teologi sekularisasi pada konteks perubahan dan kebutuhan manusia jaman modern hingga saat ini. Sebagai kesimpulan, teologi sekularisasi merupakan aktualisasi pemikiran modern yang mencoba menerapkan nilai-nilai kekristenan dalam konteks dunia yang lebih luas, yang terlepas dari hegemoni agama dan dogmatikanya.
Janji Pemulihan Israel dalam Kitab Zefanya: Refleksi Teologi Kovenan Daniel Pesah Purwonugroho; Sonny Eli Zaluchu
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 2, No 1 (2019): September 2019
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v2i1.21

Abstract

The God of the Israelites is a God of covenants that bind covenants with humanity. Agreement between them has a binding nature to one another. Throughout the history of the Israelites recorded in the Old Testament, God often spoke through His prophets. God delivered a special message about the lives of the Israelites and also what He promised them through these prophets. All messages in the Old Testament and the prophetic books refer to a conditional Covenant. On the one hand, God pursues and punishes, but on the other hand, He restores. The Covenant theology reveals God's intention to punish and repair that is manifested in Christ's mission. This paper analyzes the implementation of the covenant theology in the ministry of the Prophet Zephaniah through the study of literature and sees its implementation for the presence of Christ in the world.Abstrak: Allah adalah Allah perjanjian yang mengikat perjanjian kepada umat manusia. Perjanjian yang terjalin antara Allah dengan manusia memiliki sifat yang sangat mengikat. Di dalam kehidupan bangsa Israel yang terekam sepanjang kitab Perjanjian Lama, Allah bersabda melalui nabi nabiNya. Allah memberikan pesan secara spesifik perihal kehidupan bangsa Israel dan juga apa yang menjadi janjiNya kepada mereka. Seluruh pesan Perjanjian Lama dan khususnya kitab Nabi-nabi mengarah pada satu perjanjian atau kovenan bersyarat. Pada satu sisi, Allah menuntut dan menghukum tetapi pada sisi lain, Allah memulihkan. Teologi kovenan menampilkan maksud Allah untuk menghukum dan memulihkan yang tergambar di dalam misi Kristus. Tulisan ini menganalisis implementasi Teologi kovenan di dalam pelayanan Nabi Zefanya melalui studi literatur dan  melihat implementaisnya bagi kehadiran Kristus di dunia. 
Metode Penelitian di dalam Manuskrip Jurnal Ilmiah Keagamaan Sonny Eli Zaluchu
Jurnal Teologi Berita Hidup Vol 3, No 2 (2021): Maret 2021
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Berita Hidup

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.38189/jtbh.v3i2.93

Abstract

A common problem regarding the method section in the structure of scientific journals is that they are written in general and not typical. A research method must report the procedures the researcher takes to carry out his research. The contents are not the same as the method descriptions in other studies. Therefore, this paper aims to explain the importance of methods in the structure of writing scientific journal articles. In particular, several methods commonly referred to in theological research are presented descriptively and topically. The conclusion obtained is, with the correct understanding of the research method, lecturers or researchers can produce theological research work that can be accounted for its academic validity. Research contribution: This paper provides insights to lecturers and researchers in writing and formulating methods in scientific journal papers and contributing material in writing scientific papers.Permasalahan umum mengenai bagian metode di dalam struktur jurnal ilmiah adalah ditulis secara umum dan tidak khas. Padahal, sebuah metode penelitian harus melaporkan prosedur yang ditempuh peneliti untuk menjalankan penelitiannya. Isinya tidak sama dengan penjelasan metode pada penelitian lain. Oleh karena itu paper ini bertujuan menjelaskan tentang pentingnya metode di dalam struktur penulisan artikel jurnal ilmiah. Secara khusus dipaparkan secara deskriptif dan topikal beberapa metode yang umum dirujuk dalam penelitian teologis. Kesimpulan yang diperoleh adalah, dengan pemahaman yang benar tentang metode penelitian, dosen atau peneliti dapat menghasilkan karya penelitian teologis yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya secara akademik. Kontribusi penelitian: Paper ini memberikan wawasan kepada dosen dan peneliti di dalam menulis dan merumuskan metode dalam paper jurnal ilmiah dan menyumbang materi dalam penulisan karya ilmiah.
Telaah Prinsip Good-Relationship di Dalam Kepemimpinan dan Organisasi Sonny Eli Zaluchu; Mesirawati Waruwu
EDULEAD: Journal of Christian Education and Leadership Vol 1, No 2 (2020): Pendidikan Kristen dan Kepemimpinan
Publisher : Sekolah Agama Kristen Terpadu Pesat Salatiga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47530/edulead.v1i2.36

Abstract

AbstractThis research was conducted with a literature study that utilizes concepts, theories, and explanations from primary sources in books, journal papers, and other academic sources. The analysis presented descriptively to explore the principle of "good-relationship," a pattern of relationships created in leadership. The deepening of guides focuses on the efforts that need to be developed by a leader in influencing and functioning optimally for his followers to move together to achieve organizational goals. It can be concluded that transformative leadership is leadership that develops aspects of good-relationship through four main components, namely: leaders who get rid of the practice of fear, leaders who communicate effectively, leaders who are open or transparent, and leaders who are empathetic and listening. All of these components provide strong support for the formation of good-relationship patterns in any organization. Even though it can get affective commitment among followers, it was also found that these four components are an essential part of Christian leadership practice.AbstrakPenelitian ini dilakukan dengan studi literatur yang memanfaatkan konsep, teori dan penjelasan dari sumber-sumber primer berupa buku, paper jurnal dan sumber akademik lainnya. Analisis disajikan secara secara deskriptif untuk mendalami prinsip ‘good-relationship’ sebuah pola hubungan yang tercipta di dalam kepemimpinan. Pendalaman prinsip difokuskan pada usaha yang perlu dikembangkan oleh seorang pemimpin dalam memengaruhi dan berfungsi maksimal terhadap para pengikutnya untuk bergerak bersama-sama mewujudkan tujuan organisasi. Diperoleh kesimpulan bahwa kepemimpinan transformatif adalah kepemimpinan yang mengembangkan aspek good-relationship melalui empat komponen utama yakni: pemimpin yang menyingkirkan psikologi ketakutan, pemimpin yang berkomunikasi efektif, pemimpin yang bersifat terbuka atau transparan dan pemimpin yang bersifat empati dan mendengarkan. Seluruh komponen tersebut ternyata memberikan dukungan kuat bagi terbentuknya pola good-relationship di dalam organisasi manapun. Bahkan melaluinya dapat diperoleh komitmen afektif di kalangan pengikut. Juga ditemukan bahwa keempat komponen ini merupakan bagian penting di dalam praktik kepemimpinan Kristen.
Eksegesis Kisah Para Rasul 2:42-47 untuk Merumuskan Ciri Kehidupan Rohani Jemaat Mula-mula di Yerusalem Sonny Eli Zaluchu
EPIGRAPHE: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani Vol 2, No 2 (2018): Gereja dalam Perubahan Zaman
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Torsina Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (621.088 KB) | DOI: 10.33991/epigraphe.v2i2.37

Abstract

The life of the first Christian community in Jerusalem was a pattern of true church life. This pattern should be seen in the modern church. The pattern is found through the method of exegesis in Acts 2: 42-47. As a result, there are four characteristics of the spiritual life of the early church community: strong in the Word of God, living consistently in fellowship, having a lifestyle of prayer and caring for others.AbstrakKehidupan jemaat mula-mula di Yerusalem adalah sebuah pola (pattern) dari kehidupan gereja yang sejati. Pola seperti ini seharusnya terlihat di dalam gereja modern. Penggalian terhadap pola itu ditemukan melalui metoda eksegesa di dalam Kisah Para Rasul 2:42-47. Sebagai hasilnya terdapat empat ciri kehidupan rohani jemaat mula-mula, yakni: berakar kuat di dalam Firman, hidup di dalam persekutuan, memiliki gaya hidup doa dan peduli terhadap sesama.
(De)Legitimasi Hukuman Pidana Mati: Sebuah Pertimbangan Etis Sonny Eli Zaluchu; Eirene Kardiani Gulo
EPIGRAPHE: Jurnal Teologi dan Pelayanan Kristiani Vol 3, No 1 (2019): Gereja dan Pendidikan Kristiani
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Torsina Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (638.137 KB) | DOI: 10.33991/epigraphe.v3i1.54

Abstract

The death penalty is always in controversy. Ethical considerations in terms of ethics, principle, and criminality always produce two strong opinions, which are the pros and cons. The two opposing views have strong arguments and considerations concerning the maximum punishment for particular crimes. Countries in the world divided into two acts. Some chose the moratorium option, but there were also those who continued to defend it. This article describes that there are indeed substantive difficulties in an attempt to legitimize or delegitimize the death penalty. These difficulties are presented and analyzed in this paper by using theological approaches, especially in a legal perspective, the right to human life and biblical orders not to kill. The descriptive analysis was carried out by utilizing a literature review and research results.AbstrakHukuman mati selalu di dalam kontroversi. Pertimbangan moral dalam hal etika, azasi dan pidana selalu menghasilkan dua kubu pendapat yang sama-sama kuat yakni yang pro dan kontra. Kedua pandangan yang saling bertolak belakang tersebut memiliki argumentasi dan pertimbangan yang kuat menyangkut hukuman maksimal terhadap kejahatan istimewa. Negara-negara di dunia terbagi dua. Ada yang memilih opsi moratorium tetapi ada juga yang terus mempertahankannya. Artikel ini memaparkan secara deskriptif bahwa memang terdapat kesulitan-kesulitan substantif dalam setiap usaha legitimasi dan atau delegitimasi terhadap hukuman mati. Kesulitan-kesulitan tersebut dipaparkan dan dianalisis di dalam paper ini dengan menggunakan pendekatan teologis khususnya dalam persepektif hukum, hak hidup manusia dan perintah Alkitab untuk jangan membunuh. Analisis dilakukan secara dengan memanfaatkan tinjauan literatur dan hasil-hasil penelitian.
Sudut Pandang Etika Kristen Menyikapi Pembangkangan Sipil (Civil Disobedience) Sonny Zaluchu
DUNAMIS: Jurnal Teologi dan Pendidikan Kristiani Vol 3, No 1 (2018): Oktober 2018
Publisher : Sekolah Tinggi Teologi Intheos Surakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30648/dun.v3i1.176

Abstract

Abstract. Disobedience to the government can be realized in two ways. First by peaceful means and second by fighting against using violence. This happens because the interests of the community are sacrificed and or fulfilled so that there is a crisis of relations between the community and the government. This article discusses the ins and outs of the occurrence of civil disobedience and the way it is addressed regarding Christian ethics. Even though Biblical justification is only in favor of the conditional opposition, the reality, the various forms, and practices of opposition to the government take place around us. Especially if we are in a critical situation such as repression or repressive action, our human nature immediately responds. So as Christians, of course, our response must be different. Biblical considerations are our only choice when in crisis and oppression. That's where we determine the attitude towards the government.Abstrak. Pembangkangan terhadap pemerintah dapat diwujudkan dengan dua cara. Pertama dengan cara damai dan kedua dengan melawan menggunakan kekerasan. Hal ini terjadi karena kepentingan masyarakat dikorbankan dan atau terbaikan sehingga terjadi krisis hubungan antara masyarakat dengan pemerintah. Artikel ini membahas tentang seluk beluk terjadinya pembangkangan (civil disobedience) dan cara menyikapinya ditinjau dari sudut pandang etika Kristen. Sekalipun pembenaran Alkitabiah hanya memihak pada penentangan bersyarat, tetapi kenyataan-nya, berbagai bentuk dan praktek penentangan terhadap pemerintah, berlangsung disekeliling kita. Terutama jika kita berada di dalam sebuah situasi kritis seperti penindasan atau tindakan represif, natur manusiawi kita langsung memberikan responnya. Maka sebagai orang Kristen, tentu saja respon kita harus berbeda. Pertimbangan Alkitabiah menjadi satu-satunya pilihan kita saat berada di dalam  krisis dan penindasan. Dari sanalah kita menentukan sikap terhadap pemerintah.