R. Herman Katimin
Universitas Galuh

Published : 15 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

TINJAUAN VIKTIMOLOGI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DI KABUPATEN CIAMIS Herman Katimin; Ida Farida; Wildan Sany Prasetiya
Case Law Vol. 2 No. 1 (2020): Case Law
Publisher : Program Studi Hukum Program Pasca Sarjana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (300.489 KB)

Abstract

Peneliti memfokuskan penelitian ini pada berbagai aspek yang menjadi permasalahan terhadap Tinjauan Viktimologi Korban Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Dibawah Umur Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di Kabupaten Ciamis. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengkajian mengenai Viktimologi Korban Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Dibawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis sosiologis. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi observasi (pengamatan), interview (wawancara), dan dokumentasi. Teknik analisis data yang dilakukan secara interaktif melalui proses reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan pengambilan keputusan (verification). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Anak sebagai korban kejahatan pencabulan di Kabupaten Ciamis memiliki peran secara aktif yang mendorong dirinya menjadi korban dengan menimbulkan rangsangan sehingga terjadi kejahatan terhadap dirinya dan ada pula yang berperan secara pasif yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban. 2) Kendala perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual beragam, mulai dari instrumen hukum atau peraturan hukum sendiri yang sebahagian muatan norma dalam pasal masih bias dan multitafsir serta belum ada koherensi antara tiap peraturan perundang-undangan antara UURI Perlindungan anak dan Peraturan Menteri Sosial Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pedoman Rehabilitasi Sosial Anak. 3) Upaya-upaya pencegahan terhadap fenomena kejahatan pencabulan anak yang dilakukan sebagai upaya pre-emtif yang dilakukan orang tua yakni menanamkan nilai-nilai agama dan moral kepada anak, upaya preventif yang dilakukan oleh pihak kepolisian yakni mengadakan sosialisasi disekolah dan juga melakukan penertiban di tempat-tempat yang dianggap rawan terjadi tindak pidana dan penjatuhan hukuman sanksi pidana yang tepat oleh hakim sebagai upaya represif.
PERANAN INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR (IPWL) DALAM REHABILITASI BAGI PECANDU DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI KABUPATEN CIAMIS (STUDI KASUS: IPWL INABAH II PUTRI SIRNARASA PANJALU): Array Sirrinawati; Herman Katimin; Dhanang Widijawan; Hadi Winarso
Case Law Vol. 3 No. 1 (2021): Case Law
Publisher : Program Studi Hukum Program Pasca Sarjana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (553.782 KB)

Abstract

Kasus penyalahgunaan Nar Rusdiyanto, kotika di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan yang terus meningkat, tidak terkecuali di Kabupaten Ciamis. Penyalahgunaan narkotika di Indonesia telah mencapai pada situasi darurat, sehingga membutuhkan penanggulangan yang cepat dan tepat. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan rehabilitasi untuk menanggulangi permasalahan narkotika, mewujudkan kepulihan dari ketergantungan narkotika dan mengembalikan keberfungsian sosial pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan hukum pidana terkait rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, peran IPWL dalam pelaksanaan rehabilitasi di Kabupaten Ciamis serta faktor yang menghambat dan mendukung keberhasilan IPWL dalam rehabilitasi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Adapun metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian yuridis normatif-empiris (socio legal), sebagai penelitian hukum non doctrinal. Lokasi Penelitian yaitu di Badan Narkotika Nasional Kabupaten Ciamis dan Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) Inabah II Sirnarasa, dengan Teknik pengumpulan data menggunakan studi dokumentasi dan wawancara. Kebijakan rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tidak bertentangan dengan kebijakan hukum pidana, karena pada tataran konsep dan teorinya hal itu dibenarkan, karena secara yuridis hal ini diatur melalui Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pelaksanan wajib lapor di IPWL Yayasan Inabah II Putri telah sesuai alur pelaksanaan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Adapun IPWL Yayasan Inabah II Putri memiliki kekhasan metode dalam pelaksanaan rehabilitasi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika yaitu melalui metode inabah. Faktor yang menjadi penghambat dan pendukung keberhasilan rehabilitasi di IPWL Yayasan Inabah II Putri dapat ditinjau dari faktor internal dan faktor eksternal.
PERUBAHAN DELIK INTERSEPSI DALAM UNDANG-UNDANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK DENGAN RANCANGAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA DARI PERSPEKTIF TEORI HUKUM PEMBANGUNAN Widiya Yusmar; Herman Katimin
Jurnal Ilmiah Galuh Justisi Vol 9, No 1 (2021): Jurnal Ilmiah Galuh Justisi
Publisher : Universitas Galuh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25157/justisi.v9i1.4878

Abstract

Pengaturan tentang intersepsi atau yang biasa disebut dengan penyadapan dalam bidang penegakan hukum baru dikenal pada tahun 1999 semenjak UU Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi diundangkan. Intersepsi diatur di dalam RKUHP 2019 dalam Pasal 257 mengenai penyadapan. Aturan baru ini akan mencabut aturan mengenai intersepsi sebagaimana telah diatur dalam Pasal 30 ayat (2), Pasal 31 dan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang ITE. Bagaimana perubahan delik intersepsi dalam Undang-undang ITE dengan RKUHP dan Bagaimana perubahan delik intersepsi ditinjau dari perspektif teori hukum pembangunan. Pendekatan tulisan menggunakan yuridis normatif.  Penelitian ini memiliki sifat deskriptif analitis. Ketentuan perekaman diatur mengenai larangan untuk melakukan perekaman pada “suatu tempat tertentu”, pengaturan ini cukup baik karena pengaturan sebelumnya di UU ITE balum membahas ketentuan dalam hal perekaman dan perekaman di tempat terbuka. Perbedaan yang terlihat jelas dalam UU ITE dengan RKUHP adalah ancaman hukuman yang lebih ringan. Intersepsi yang dilakukan oleh negara, intersepsi illegal juga dapat dilakukan oleh sesama warga negara. Karena sifatnya yang berbahaya apabila disalahgunakan, maka hanya dapat dilakukan dalam penegakan hukum. Selain itu, intersepsi harus dilarang karena berhubungan erat dengan perlindungan hak asasi manusia.
URGENSI PENGATURAN ILLICIT ENRICHMENT DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA Novalinda Nadya Putri; R. Herman Katimin
Jurnal Ilmiah Galuh Justisi Vol 9, No 1 (2021): Jurnal Ilmiah Galuh Justisi
Publisher : Universitas Galuh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25157/justisi.v9i1.4233

Abstract

Salah satu faktor penyebab maraknya tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang di Indonesia dikarenakan upaya penegakkan hukum melalui penjatuhan pidana kepada para pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang, maupun upaya memiskinkan koruptor melalui pengembalian aset dinilai belum terlaksana secara maksimal, maka diperlukan upaya lain dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Salah satu ketidakmaksimalan Undang-Undang pemberantasan tindak pidana korupsi dalam memulihkan uang negara yang telah dikorupsi disebabkan karena belum adanya aturan mengenai illicit enrichment. Padahal, didalam United Nation Convention Againts Corruption, 2003 (selanjutnya disebut UNCAC) aturan mengenai illicit enrichment sudah diatur didalam beberapa pasal dalam konvensi tersebut. Indonesia merupakan negara pihak ke 57 yang telah menandatangani UNCAC pada tanggal 18 Desember 2003 dan meratifikasinya melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2006 tentang pengesahan United Nation Convention Againts Corruption 2003, namun delik illicit enrichment belum menjadi delik pidana dalam sistem hukum Indonesia. Permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah urgensi pengaturan illicit enrichment dalam hukum Indonesia sebagai salah satu upaya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang serta implementasi konsep illicit enrichment dalam Hukum Indonesia. Pengaturan mengenai illicit enrichment dapat menutupi kelemahan yang terdapat didalam Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu kerugian negara yang tidak dapat dikembalikan. Untuk dapat diterapkan illicit enrichment dengan baik diperlukan beberapa prasyarat, yaitu harus dilakukannya perbaikan pada administrasi LHKPN dan perpajakan dengan sistem administrasi kependudukan, administrasi pertanahan serta administrasi kendaraan bermotor. Diperlukan pengaturan mengenai illicit enrichment  dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang. Pengaturan mengenai illicit enrichment sebaiknya diatur dalam pasal tersendiri agar lebih optimal.
Perspektif Hak Asasi Manusia Terhadap Penerapan Perbuatan Melawan Hukum Pada Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang Menjadi Polemik di Masyarakat Herman Katimin; Ida Farida
Jurnal Ilmiah Galuh Justisi Vol 8, No 1 (2020)
Publisher : Universitas Galuh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (265.603 KB) | DOI: 10.25157/justisi.v8i1.3160

Abstract

Perbuatan melawan hukum terhadap Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, sebelumnya telah dirumuskan dalam KUHP yang merupakan warisan zaman kolonial Hindia Belanda maka melalui Putusan Mahkamah Konstitusi telah menghapus pasal-pasal tersebut karena bertentangan dengan hak setiap orang dalam menyampaikan pendapat sesuai hati nuraninya sebagaimana ditegaskan dalam Pancasila dan UUD 1945 akan tetapi pada kenyataannya tidak memperhatikan norma hukum dan nilai-nilai agama, kesusilaan, kesopanan atau kepatutan, ketertiban, kepentingan umum serta keutuhan bangsa maka dirumuskan kembali dalam RKUHP 2019, yang pada akhirnya menimbulkan polemik dikalangan masyarakat.            Dari pembahasan masalah tersebut, menunjukan bahwa perbuatan pidana yang dirumuskan pada Pasal 264, Pasal 265 dan Pasal 266 RKUHP 2019, telah memenuhi sifat melawan hukum pidana baik formil maupun materil. Pada Pasal 264 RKUHP  merupakan delik biasa sedangkan Pasal 265 dan Pasal 266 RKUHP termasuk delik aduan. Keberadaan tindak pidana terhadap martabat Presiden dan Wakil Presiden dalam RKUHP 2019, tidak membatasi hak asasi manusia untuk menyampaikan kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat sesuai sesuai dengan hati nuraninya, yang sifatnya mengawasi, mengkontrol dan mengkritisi kebijakan presiden dan wakil presiden dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan, akan tetapi tidak menyerang fisik/jiwa/nyawa, menista dengan surat, memfitnah atau mencaci maki dengan bahasa/kata-kata tidak beradab, menghina dengan tujuan mengfitnah atau menyiarkan, mempertunjukan atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman yang yang tidak pantas dalam budaya Indonesia.            Oleh karena itu, disarankan kepada DPR dan Pemerintah agar merumuskan kembali secara jelas dan tegas terkait batasan-batasan dari bentuk-bentuk penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang dapat dipidanakan sehingga ada keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi setiap warga negara Indonesia dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, kesopanan atau kepatutan, ketertiban, kepentingan umum dan keutuhan bangsa. Kata Kunci : Perbuatan melawan hukum serta Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden
UPAYA KRIMINALISASI TERHADAP PENGGUNA JASA PROSTITUSI DALAM PERPSEKTIF HUKUM POSITIF DI INDONESIA Yolanda Islamy; Herman Katimin
Jurnal Ilmiah Galuh Justisi Vol 9, No 1 (2021): Jurnal Ilmiah Galuh Justisi
Publisher : Universitas Galuh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25157/justisi.v9i1.4212

Abstract

Perkembangan teknologi membawa perubahan baru dalam kehidupan masyarakat, tidak hanya memiliki sisi positif akan tetapi juga berdampak negatif termasuk dibidang kesusilaan yang akhir-akhir ini marak terjadi seperti prostitusi yang mulanya konvensional merambat menjadi berbasi online. Perbuatan tersebut dapat dikatakan tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial masyarakat. Pemerintah Indonesia tidak tegas dalam melarang adanya praktek-praktek prostitusi maupun dalam hal pertanggungjawaban pidana terhadap pengguna jasa prostitusi, hal ini terlihat dari ketiadaan aturan yang dapat menjerat pengguna jasa prostitusi.. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaturan pertanggungjawaban pidana pengguna jasa prostitusi dalam  hukum positif dan upaya kriminalisasi terhaap pengguna jasa prostitusi dalam hukum positif di indonesia. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang bersifat deskriptif. Hasil dari penelitian yaitu ketiadaan pengaturan pertanggungjawaban pidana terhadap pengguna jasa prostitusi membuat perbuatan tersebut semakin marak terjadi. Untuk itu diperlukan suatu upaya kriminalisasi  terhadap pengguna jasa prostitusi dalam hukum positif agar perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai masyarakat tersebut dapat diproses secara hukum.
Faktor-Faktor Sulitnya Penerapan Hukuman Mati pada Korupsi Terkait Kerugian Keuangan Negara Dalam Studi Kasus Keadaan Tertentu Herman Katimin; Somarwidjaya Somarwidjaya; Dewi Kania Sugiharti
Jurnal Ilmiah Galuh Justisi Vol 9, No 2 (2021): Jurnal Ilmiah Galuh Justisi
Publisher : Universitas Galuh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25157/justisi.v9i2.5401

Abstract

Keadaan tertentu merupakan salah satu unsur pidana yang memberatkan pelaku tindak pidana korupsi kerugian keuangan negara sehingga pidana mati dapat dijatuhkan sebagaimana Pasal 2 ayat 2 UUPTPK. faktanya jumlah kerugian keuangan negara yang mencapai jutaan hingga triluan rupiah dan telah memenuhi unsur keadaan tertentu akan tetapi penegak hukum tidak menerapkan pidana mati. Dari masalah tersebut diatas, penelitian ini bertujuan agar pembentuk undang-undang menjadikan indikator jumlah kerugian keuangan negara sebagai salah satu unsur keadaan tertentu dengan merevisi Pasal 2 ayat 2 UUPTPK.Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dengan meneliti, mengkaji dan menganalisa data sekunder yang berhubungan dengan perkara korupsi kerugian keuangan negara yang dilakukan dalam keadaan tertentu dengan ancaman pidana mati            Hasil pembahasan adalah sulitnya diterapkan hukuman mati tindak pidana korupsi kerugian keuangan negara karena ketidakpastian hukum dan ketidakadilan antara jumlah kerugian keuangan negara yang tidak sebanding dengan perbuatan pelaku sehingga menghendaki penegak hukum secara psikologis praktek sangat berhati-hati, yang pada akhirnya menggunakan undang-undang lain, menyelesaikan secara kekeluargaan dan Jaksa Penuntut Umum dalam membuat surat dakwaan tidak cermat, jelas dan tidak lengkap serta hakim menjatuhkan putusan mempertimbangkan rasa keadilan bahwa tujuan pemidanaan adalah bukan untuk pembalasan melainkan pencegahan.Oleh karena itu, jumlah kerugian keuangan negara dalam menentukan hukuman mati pada tindak pidana korupsi hendaknya menjadikan sifat melawan hukum sebagai syarat mutlak pidana materiil dan memberatkan unsur keadaan tertentu sehingga mempermudah penegak hukum khusus Jaksa Penuntut Umum dalam membuat surat dakwaan secara cermat, jelas dan lengkap sebagai syarat formil dan materiil serta Hakim hendaknya kreatif dan berani menerapkan hukuman mati dengan mempedomani Perma No 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan Pasal 3 UUPTPK.
URGENSI RATIFIKASI PERJANJIAN BANTUAN HUKUM TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA MELALUI KEPUTUSAN PRESIDEN TERHADAP PENGEMBALIAN ASSET-ASSET HASIL KEJAHATAN TINDAK PIDANA KORUPSI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN KONFEDERASI SWISS : Array Herman Katimin; Dewi Mulyanti; Iis Yeni Idaningsih; Amir Hussein Saleh
Case Law : Journal of Law Vol. 1 No. 1 (2020): Case Law : Journal of Law | Juli 2020
Publisher : Program Studi Hukum Program Pasca Sarjana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25157/caselaw.v1i1.2286

Abstract

After the international agreement on Reciprocal Assistance in Criminal Matters between the Republic of Indonesia and the Swiss Confederation on 4 February 2019 in order to speed up criminal law processes in the Requesting State, at the level of implementation it is still not effective and there are no concrete steps in returning assets resulting from corruption in Switzerland. From these problems, the research method used is normative legal research by reviewing and analyzing international law and national law, including the agreement concerned. The results of the discussion are that in substance the agreement does not specifically or specifically confirm the resolution of the dispute and does not formulate provisions for ratification. In addition, it takes a long time to ratify the agreement into law through the DPR's approval process. Therefore, the substance of the agreement needs to be amended again and in a state of urgency by observing the principle of pacta servanda and the principle of freie emmessen. The ratification of the agreement should be through a presidential decree or presidential regulation to assist state resources in sustainable development and to be able to prosper the people, nation and Indonesian state.
TINJAUAN VIKTIMOLOGI KORBAN TINDAK PIDANA PENCABULAN TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK DI KABUPATEN CIAMIS Herman Katimin; Ida Farida; Wildan Sany Prasetiya
Case Law : Journal of Law Vol. 2 No. 1 (2021): Case Law : Journal of Law | Januari 2021
Publisher : Program Studi Hukum Program Pasca Sarjana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25157/caselaw.v2i1.2507

Abstract

Peneliti memfokuskan penelitian ini pada berbagai aspek yang menjadi permasalahan terhadap Tinjauan Viktimologi Korban Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Dibawah Umur Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di Kabupaten Ciamis. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pengkajian mengenai Viktimologi Korban Tindak Pidana Pencabulan Terhadap Anak Dibawah Umur Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis sosiologis. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi observasi (pengamatan), interview (wawancara), dan dokumentasi. Teknik analisis data yang dilakukan secara interaktif melalui proses reduksi data (data reduction), penyajian data (data display), dan pengambilan keputusan (verification). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Anak sebagai korban kejahatan pencabulan di Kabupaten Ciamis memiliki peran secara aktif yang mendorong dirinya menjadi korban dengan menimbulkan rangsangan sehingga terjadi kejahatan terhadap dirinya dan ada pula yang berperan secara pasif yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban. 2) Kendala perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kejahatan seksual beragam, mulai dari instrumen hukum atau peraturan hukum sendiri yang sebahagian muatan norma dalam pasal masih bias dan multitafsir serta belum ada koherensi antara tiap peraturan perundang-undangan antara UURI Perlindungan anak dan Peraturan Menteri Sosial Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pedoman Rehabilitasi Sosial Anak. 3) Upaya-upaya pencegahan terhadap fenomena kejahatan pencabulan anak yang dilakukan sebagai upaya pre-emtif yang dilakukan orang tua yakni menanamkan nilai-nilai agama dan moral kepada anak, upaya preventif yang dilakukan oleh pihak kepolisian yakni mengadakan sosialisasi disekolah dan juga melakukan penertiban di tempat-tempat yang dianggap rawan terjadi tindak pidana dan penjatuhan hukuman sanksi pidana yang tepat oleh hakim sebagai upaya represif.
PERANAN INSTITUSI PENERIMA WAJIB LAPOR (IPWL) DALAM REHABILITASI BAGI PECANDU DAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA DI KABUPATEN CIAMIS (STUDI KASUS: IPWL INABAH II PUTRI SIRNARASA PANJALU): Array Sirrinawati Sirrinawati; Herman Katimin; Dhanang Widijawan; Hadi Winarso
Case Law : Journal of Law Vol. 2 No. 2 (2021): Case Law : Journal of Law | Juli 2021
Publisher : Program Studi Hukum Program Pasca Sarjana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25157/caselaw.v2i2.2516

Abstract

Kasus penyalahgunaan Nar Rusdiyanto, kotika di Indonesia menunjukkan adanya kecenderungan yang terus meningkat, tidak terkecuali di Kabupaten Ciamis. Penyalahgunaan narkotika di Indonesia telah mencapai pada situasi darurat, sehingga membutuhkan penanggulangan yang cepat dan tepat. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan rehabilitasi untuk menanggulangi permasalahan narkotika, mewujudkan kepulihan dari ketergantungan narkotika dan mengembalikan keberfungsian sosial pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika di masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan hukum pidana terkait rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, peran IPWL dalam pelaksanaan rehabilitasi di Kabupaten Ciamis serta faktor yang menghambat dan mendukung keberhasilan IPWL dalam rehabilitasi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Adapun metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian yuridis normatif-empiris (socio legal), sebagai penelitian hukum non doctrinal. Lokasi Penelitian yaitu di Badan Narkotika Nasional Kabupaten Ciamis dan Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) Inabah II Sirnarasa, dengan Teknik pengumpulan data menggunakan studi dokumentasi dan wawancara. Kebijakan rehabilitasi bagi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tidak bertentangan dengan kebijakan hukum pidana, karena pada tataran konsep dan teorinya hal itu dibenarkan, karena secara yuridis hal ini diatur melalui Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pelaksanan wajib lapor di IPWL Yayasan Inabah II Putri telah sesuai alur pelaksanaan berdasarkan Undang-Undang yang berlaku. Adapun IPWL Yayasan Inabah II Putri memiliki kekhasan metode dalam pelaksanaan rehabilitasi pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika yaitu melalui metode inabah. Faktor yang menjadi penghambat dan pendukung keberhasilan rehabilitasi di IPWL Yayasan Inabah II Putri dapat ditinjau dari faktor internal dan faktor eksternal.