Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search
Journal : Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya

Nowhere and everywhere: Navigating gendered urban spaces in Haruki Murakami’s After Dark Annisa Lista; M. Misbahul Amri; Kukuh Prayitno Subagyo
Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya Vol 49, No 2 (2021)
Publisher : Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (261.958 KB) | DOI: 10.17977/um015v49i22021p240

Abstract

Nowhere and everywhere: Navigating gendered urban spaces in Haruki Murakami’s After DarkUrban space has been one of the most underexplored elements analyzed in literary works. However, as urban space gradually emerges as a culturally influencing element, a casual perusal of any text that employs urban space might result in an oversimplified analysis. This study examines the urban space of After Dark (2004), authored by Japanese writer Haruki Murakami (b. 1949). Accounting for the ways urban space is interwoven with the socio-cultural context, this study establishes a spatial reading of Murakami’s After Dark through the description of the city. With a poststructuralist approach, this study discusses how urban space is utilized and how it serves as an important part of the text instead of a mere backdrop; it reinforces the possibilities of setting as a thematic approach to major issues such as self-identity and the marginalization of women. As it is concluded, the urban space the novel presents have succeeded to show that they form, to some extent, women’s behaviours both directly and indirectly. Hence, the setting may present the main theme further analysed.Keywords: urban space, spatiality, women, self-identity, marginalizationTak di sana dan di mana pun: Menavigasi ruang kota bergender pada novel After Dark karya Haruki MurakamiSelama ini ruang urban masih menjadi unsur yang paling kurang digali dalam menganalisis karya sastra. Namun demikian, seiring dengan kenyataan bahwa ruang urban lambat-laun hadir sebagai unsur yang secara kultural berpengaruh, kajian kasual mengenai suatu teks yang memanfaatkan ruang urban mungkin justru menghasilkan analisis yang terlalu sederhana. Kajian ini menelisik ruang urban After Dark (2004), hasil karya pengarang Jepang, Haruki Murakami (lahir 1949). Dengan berpusat pada cara-cara ruang urban berjalin berkelindan dengan kontek sosio-budaya, kajian ini menghadirkan pembacaan ruang terhadap karya Murakami yang berjudul After Dark melalui deskripsi tentang kota yang digunakan sebagai latar. Dengan pendekatan pascastruktural, kajian ini membahas bagaimana ruang urban dimanfaatkan serta bagaimana hal tersebut menjadi bagian penting dari teks dan bukan hanya sekadar latar belakang; hal ini mendorong hadirnya kemungkinan latar sebagai subjek tematik untuk membahas isu-isu besar seperti identitas diri dan marjinalisasi perempuan. Sebagaimana yang diperoleh di kesimpulan, ruang urban yang ditampilkan dalam novel ini telah berhasil menunjukkan kemampuannya untuk membentuk perilaku tokoh-tokoh wanitanya baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, latar tempat dapat menunjukkan tema utama sebuah karya yang layak diteliti lebih lanjut.Kata kunci: ruang urban, spatialitas, perempuan, identitas-diri, marjinalisasi
The Celebration: Analyzing realism in Dogme 95 Manifesto film Dimas Raditya Bagaskara; M. Misbahul Amri; Nabhan Fuad Choiron; Evi Eliyanah
Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya Vol 50, No 2 (2022)
Publisher : Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17977/um015v50i22022p196

Abstract

The Celebration: Analyzing realism in Dogme 95 Manifesto filmBelieving that the film industry is getting worse by utilizing simple plots and only emphasizing on the editing and the cosmetics, European filmmakers and theorists make their own style of realistic film movements as a reaction to Hollywood’s mainstream filmmaking style. One of which is the famed Dogme 95 Manifesto film movement in Denmark propagated by Lars von Trier. Dogme 95 Manifesto is a set of rules that needs to be followed by filmmakers in order to make a Dogme film. It is believed that by following this rule will restrain the filmmakers’ creativity, focusing more on the realism inside the film, and “purifying” the film industry. In this paper, we analyze realism in Dogme 95 through one of its successful milestones: The Celebration by Thomas Vinterburg through its cinematography and Dogme 95 rules within the film. We argue that as opposed to bringing realistic images on the screen, The Celebration brings atmospheric realism by providing a consistent feel of ‘relatability’ and presence inside the story to the spectators.The Celebration: Analisis realisme pada film Dogme 95 ManifestoSetelah mengetahui semakin parahnya industri film sekarang yang hanya menggunakan plot mudah dan lebih fokus kepada proses pengeditan dan kosmetik belaka, pembuat dan ahli film di Eropa telah membuat gaya film realis ciptaan mereka sendiri sebagai sebuah bentuk protes terhadap film-film mainstream ala Hollywood. Salah satunya adalah gerakan film Dogme 95 Manifesto asal Denmark yang digagas oleh Lars von Trier. Dogme 95 Manifesto berisi sebuah peraturan yang harus ditaati oleh pembuat film untuk membuat sebuah film Dogme. Mengikuti aturan-aturan ini akan lebih mengekang kreativitas para pembuat film, membuat film lebih realistis, dan mensucikan industri film. Dalam penelitian ini, kami menganalisis realisme dalam proyek Dogme 95 dari salah satu film mereka yang paling terkenal yaitu The Celebration yang disutradarai oleh Thomas Vinterburg dengan menggunakan analisis intrinsik berdasarkan aturan sinematografi dan aturan Dogme 95 yang ada di dalamnya. Para peneliti menyimpulkan bahwa tanpa perlu mempresentasikan kualitas gambar terbaik, The Celebration telah membawakan suasana  realisme dengan memberikan nuansa ‘berada dalam cerita’ kepada para penonton.
The preferences of MOOD realized in Folklore album by Taylor Swift Kamaliah, Adistia Mursyidatul; Masrokhin, Masrokhin; Amri, M. Misbahul; Laksmi, Ekaning Dewanti
Bahasa dan Seni: Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan Pengajarannya Vol 52, No 2 (2024)
Publisher : Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.17977/um015v52i22024p186

Abstract

Interpersonal meaning expresses the social role connections that exist between both parties in communication. The current study aimed at discovering interpersonal mean-ing in related to MOOD preferences from inside of Folklore album arranged by Taylor Swift. MOOD refers to the grammatical structure that indicates the function of a sen-tence in expressing the songwriter’s attitude. Using a qualitative research method, this paper reports on MOOD choices as well as speech functions from inside of the chosen tunes of Folklore album. This research revealed that MOOD type of declarative clause and speech function of statement dominate the lyrics of the chosen tunes, while speech function of offer does not appear. Thus, the songwriter transmits the thoughts on the lyrics to the audience by providing the information. Considering the supplied criteria, the use of the singular pronoun “I” as the primary subject effectively fosters a sense of interpersonal connections. However, a deeper investigation of interpersonal meaning is required in order to enhance students’ English skills, particularly in the expression of attitudes in various language capabilities in related to reading, listening, as well as speaking.