Claim Missing Document
Check
Articles

Found 18 Documents
Search

PERANAN ORANG TUA TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER REMAJA PUTRI MENURUT ISLAM Rahim, Arhjayati
Al-Ulum Vol 13, No 1 (2013): Al-Ulum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Amai Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (232.845 KB)

Abstract

Tulisan ini membahas tentang peranan orang tua terhadap pendidikan karakter remaja putri menurut Islam. Masa remaja dalam kehidupan manusia hanya datang sekali, masa yang indah sekaligus rentan karena masa ini merupakan masa transisi fisik,emosi dan psikologi menuju ke fase hidup selanjutnya yang mengarah pada kedewasaan, kematangan berfikir dan bertindak sebagai eksistensi sisi manusia. Masa ini juga identik dengan pergaulan dan adaptasi dengan lingkungan sekitarnya sehingga tidak mengherankan ketika pola fikir dan tingkah laku masing-masing remaja di tiap negara berbeda karena terkait masalah kultur dan dominasi sosial lingkungannya. Remaja cenderung akan mengalami kondisi yang labil sehingga di perlukan pengawasan dan bimbingan dari orang tua terutama pada remaja putri, kondisi pengetahuan dan pemahaman orang tua baik dari segi kepribadian dan pengetahuan keagamaan sangat berpengaruh terhadap pola didik terhadap karakter remaja putri sehingga mereka dapat melewati masa remaja dengan baik dan sesuai ajaran Islam sehingga menghasilkan generasi yang tangguh,berprestasi serta taat dan selalu berada dalam jalur Islam. ------------------------This paperdiscusses about the role of parents on character-building education of girl teenagers in Islam view. Teenager phase in their live is only coming once in a life, the beautiful phase and at once crucial because this phase is transitional phase physically, emotionally and physiology to arrive to another phase which is referred to adultness, to properness thought and action. This phase is also identical with socialization and adaptation with the surrounding, so it is not amazing when we find that the point of view and the attitude of teenagers in every country is different because it is related to the culture and social domination of the surrounding. Teenagers tend to come to vulnerable condition;therefore,they need control and guidance from their parents primarily to theirages-phases, the condition of their parents’ idea and their understanding about personality, along with religious thought which are aimed to build their girls’ character. Then, the girls can face their teenager-phase properly and accordance with Islam teachings. Finally, these girls’ character will make them smarter, skilful, and faithful to their religion, namely Islam.
Praperadilan Sebagai Control Profesionalisme Kinerja Penyidik Rahim, Arhjayati
Jurnal Pelangi Ilmu VOL 05, NO 01, 2012
Publisher : Jurnal Pelangi Ilmu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (103.554 KB)

Abstract

Praperadilan adalah sebuah relisasi dari eksistensi keberadaan hak asasi manuasia dimana pra peradilan merupakan sarana untuk memeriksa dan memutuskan sah atau tidaknya penangjkapan, penahanan, pengehentian penyidikan atau penuntutan rehabilitasi dan kerugian, artinya ketika seseorang merasa telah dirugikan dalam beberapa proses diatas maka mereka berhak untuk menuntut dan mendapatkan keadilan lewat praperadilan. Dengan lahirnya lembaga praperadilan menuntut seorang penyidik untuk lebih fokus, teliti, dan profesional dalam menjalankan fungsinya demi menghindari kesalahan atau kekeliruan dalam proses-proses tersebut, karena segala yang di tuntut di ranah praperadialan adalah kewenagan dan tugas penyidik.
ANALISIS SUBSTANSI PIDANA UANG PENGGANTI DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI Rahim, Arhjayati; Asma, Noor
Gorontalo Law Review Volume 3 No. 1 April 2020, Gorontalo Law Review
Publisher : Universitas Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32662/golrev.v3i1.910

Abstract

Pasal 18  Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pidana pembayaran uang pengganti merupakan salah satu pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP. Mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi merupakan pidana tambahan yang diutuskan bagi pelaku tindak pidana korupsi.Adapun Rumusan masalah yang diangkat pada penelitian ini adalah, 1.Bagaimanakah  pelaksanaan pidana uang pengganti dalam tindak pidana korupsi 2. Faktor apakah yang mempengaruhi pelaksanaan pidana uang pengganti dalam tindak pidana korupsi. Adapun Jenis penelitian ini adalah Empiris atau Lapangan  yang dilakukan di Kejaksaan Negeri Gorontalo, Pengadilan Negeri Provinsi Gorontalo, Kejaksaan Negeri Makassar, Pengadilan Negeri Makassar.Hasil penelitian yakni: 1. Sistematika alur pembayaran uang pengganti   berdasarkan keputusan Jaksa Agung Nomor : Kep-518/J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 tentang mekanismen pembayaran uang pengganti. Penjatuhan sanksi tidak pidana uang pengganti bagi terdakwa tindak pidana korupsi yang telah dibuktikan dipengadilan seharusnya tidak diberi subsider pidana seperti pidana penjara atau kurungan, agar kerugian negara sebagai akibat dari tindak pidana korupsi dapat dikembalikan dengan mengoptimalkan penjatuhan pidana pengganti karena  Pidana penjara sebagai subsider dapat menutup kesempatan Negara untuk memperoleh kembali kerugian akibat korupsi.Pidana penjara subsider dapat dijatuhkan terhadap korupsi denganjumlah kerugian negara yang kecil, atau karena keadaan tertentu terdakwatidak mungkin membayar.     2. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pidana uang pengganti yakni para terpidana lebih memilih menjalani pidana penjara ketimbang harus membayar uang pengganti yang dibebankan dikarenakan substansi hukumnya memberikan kemudahan kepada hakim untuk memberi pidana subsider ketika pidana uang pengganti dijatuhkan dan memberikan pilihan kepada terdakwa untuk membayar uang pidana pengganti atau menggantinya dengan pidana penjara sehingga kebanyakan terdakwa kasus korupsi lebih memilih pidana penjara daripada membayar uang pengganti. Padahal tujuan dari pidana uang pengganti adalah mengembalikan keuangan negara akan tetapi tidak terlaksana karena telah digantikan dengan pidana penjara. Kurangnya koordinasi antara pihak yang terkait pengembalian kerugian negara. Pasal 18  Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan bahwa pidana pembayaran uang pengganti merupakan salah satu pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam KUHP. Mengembalikan kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi merupakan pidana tambahan yang diutuskan bagi pelaku tindak pidana korupsi.Adapun Rumusan masalah yang diangkat pada penelitian ini adalah, 1.Bagaimanakah  pelaksanaan pidana uang pengganti dalam tindak pidana korupsi 2. Faktor apakah yang mempengaruhi pelaksanaan pidana uang pengganti dalam tindak pidana korupsi. Adapun Jenis penelitian ini adalah Empiris atau Lapangan  yang dilakukan di Kejaksaan Negeri Gorontalo, Pengadilan Negeri Provinsi Gorontalo, Kejaksaan Negeri Makassar, Pengadilan Negeri Makassar.Hasil penelitian yakni: 1. Sistematika alur pembayaran uang pengganti   berdasarkan keputusan Jaksa Agung Nomor : Kep-518/J.A/11/2001 tanggal 1 November 2001 tentang mekanismen pembayaran uang pengganti. Penjatuhan sanksi tidak pidana uang pengganti bagi terdakwa tindak pidana korupsi yang telah dibuktikan dipengadilan seharusnya tidak diberi subsider pidana seperti pidana penjara atau kurungan, agar kerugian negara sebagai akibat dari tindak pidana korupsi dapat dikembalikan dengan mengoptimalkan penjatuhan pidana pengganti karena  Pidana penjara sebagai subsider dapat menutup kesempatan Negara untuk memperoleh kembali kerugian akibat korupsi.Pidana penjara subsider dapat dijatuhkan terhadap korupsi denganjumlah kerugian negara yang kecil, atau karena keadaan tertentu terdakwatidak mungkin membayar.     2. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan pidana uang pengganti yakni para terpidana lebih memilih menjalani pidana penjara ketimbang harus membayar uang pengganti yang dibebankan dikarenakan substansi hukumnya memberikan kemudahan kepada hakim untuk memberi pidana subsider ketika pidana uang pengganti dijatuhkan dan memberikan pilihan kepada terdakwa untuk membayar uang pidana pengganti atau menggantinya dengan pidana penjara sehingga kebanyakan terdakwa kasus korupsi lebih memilih pidana penjara daripada membayar uang pengganti. Padahal tujuan dari pidana uang pengganti adalah mengembalikan keuangan negara akan tetapi tidak terlaksana karena telah digantikan dengan pidana penjara. Kurangnya koordinasi antara pihak yang terkait pengembalian kerugian negara.
Diversion in the Form of Protection of Human Rights Arhjayati Rahim
Musamus Law Review Vol 1 No 2 (2019): MuLaRev
Publisher : Faculty of Law, Musamus University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35724/mularev.v1i2.1126

Abstract

Crimes committed by children in Indonesia has reached its peak it signified the increasing rate of crimes committed by children. A dilemma when it comes to handling the perpetrators of crimes committed by children, on the other hand children are vulnerable creatures and tend not to be accountable as a result of his actions, on the other hand the child has committed a criminal offense that harm others. That many regulations that have been published to address the issue. The most recent is the Law No. 11 Year 2012 on child criminal justice system, which emphasizes the process of diversion in solving criminal cases involving children. Diversion destination is clear in Act No. 11 of 2012 concerning juvenile justice system Article 6 of diversion aims: Achieving peace victims and children, Resolving cases of children outside the judicial process, Protects children from the deprivation of liberty, Encouraging people to participate, Instill a sense of responsibility answer to this Child. Hal accordance with the principle of fulfillment of children's rights. So in this paper will discuss setting How Diversion Law as a form of Human Rights Protection. The existence of a diversion process in some cases of child crime that must be sought, it is hoped that in the future it will provide ideal and comprehensive protection for handling cases of children facing the law so that the fulfillment of children's rights both as victims and perpetrators can be carried out effectively and lead to fulfillment human rights because the truth is that human rights are inherent rights and exist in every human being and must be protected by the state
The Existence of Legal Aid Institutions as Embodiments of Principle of Equality Before the Law Arhjayati Rahim; Noor Asma; Astika Hunawa
Al-Mizan (e-Journal) Vol. 14 No. 2 (2018): Al-Mizan
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (499.545 KB) | DOI: 10.30603/am.v14i2.937

Abstract

This study discusses the existence of Legal Aid Institutions in providing legal assistance, and the implementation of the provision of legal assistance to the community so as to realize the principle of equality before the law. Research locus was conducted in South Sulawesi Province (LBH Makassar, PBHI) and in Gorontalo Province (LBH FSE Sultan Amai Gorontalo IAIN, LBH Ichsan, YLBHI). The results showed that the existence of Legal Aid Institutions can provide satisfaction and a positive response from the community who consider that when dealing with the law it must be expensive but with the existence of legal aid institutions the poor can get free legal services at no cost, but there are still many poor who do not yet know about the existence of facilities and containers provided by the State in terms of providing free legal assistance. The implementation of legal assistance which is the goal of legal aid agencies for the poor has been carried out well even though in the field implementation many obstacles have been encountered in maximizing legal aid services at the research sites.
Analisis Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi: (Studi Perkara Nomor: 22/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Gto) Arhjayati Rahim; Madinah Mokobombang
Al-Mizan (e-Journal) Vol. 16 No. 2 (2020): Al-Mizan (e-Journal)
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Institut Agama Islam Negeri Sultan Amai Gorontalo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30603/am.v16i2.1897

Abstract

Evidence in criminal cases is generally borne by the public prosecutor. This is different from the criminal case of corruption, in addition to being proven by the public prosecutor, the defendant also has the right to prove that he did not commit a criminal act of corruption. This study aims to determine the arrangement of the shifting burden of proof system in cases of corruption and the application of the shifting burden of proof system in cases of corruption in Decision Number: 22/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Gto. This type of research is a literature analyzed with a normative juridical approach. The results of the research show that the Decision Number: 22/Pid.Sus-TPK/2018/PN.Gto, seen from the evidence that in terms of the application of reverse evidence, the defendant exercised his right to carry out shifting burden of proof. However, the defendant did not prove that the property he had obtained was not the result of a criminal act of corruption, even though it was his obligation to prove this, so that the right to shifting burden of proof evidence was not fully utilized by the defendant.
PENYELESAIAN TINDAK PIDANA RINGAN PADA PROSES PENYIDIKAN arhjayati rahim
Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Vol 5 No 2 (2018)
Publisher : Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum uin alauddin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24252/jurisprudentie.v5i2.6090

Abstract

ABSTRAK            Hukum merupakan sebuah hal mutlak yang harus dipatuhi dan dilaksanakan mengingat konsep negara kita Republik Indonesia adalah negara hukum, namun tidak menutup bahwa banyak beberapa pengaturan hukum yang telah terkodifikasi dan menjadi sumber hukum tidak lagi sesuai dan sejalan dengan perkembangan zaman, baik dari pengaturan pasal secara substantive maupun dari segi batasan jumlah kerugian dan pengenaan sanksinya.            Salah satu contohnya adalah pengaturan dalam hal penetapan batasan kerugian dalam tindak pidana ringan, meski secara gambalang istilah tindak pidana ringat tertulis dalam Kitab Undang Undang Hukum pidana namun kategori perbuatan yang tergolong ringan dapat dilihat dan digolongkan dengan jenis sanksi yang diberikan misalnya batasan denda sebagai tindak pidana ringan pendengan batas kerugian yang tidak lebih dari Rp.25 (Dua puluh lima rupiah), ketika tindak pidana menimbulkan kerugian yang melampauhi Rp.25,00, maka tindak pidana tersebut tidak dapat dikategorikan tindak pidana ringan, tentu jumlah tersebut sudah tidak relefan dengan nilai mata uang sekarang ini. Sehingga Tanggal 27 Februari 2012 Mahkamah Agung memberlakukan Peraturan Mahkamah Agung ( Perma ) Nomor 2 Tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP. Dalam Perma Nomor 2 Tahun 2012 Pasal 1, dijelaskan bahwa kata-kata "dua ratus lima puluh rupiah" dalam Pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000,00 atau dua juta lima ratus ribu rupiah, sehingga tentunya hal ini menjadi sebuah regulasi yang memberi semangat baru bagi penyelesaian tindak pidana ringan, sehingga dalam tulisan ini akan mencoba membahas bagaimana eksistensi peraturan tersebut dalam proses penyidikan.Kata Kunci : Tindak Pidana Ringan,Penyidikan.
Urgensi Ratifikasi Statu Roma Wujud Eksistensi Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) dalam Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Arhjayati Rahim
Jurnal Al Himayah Vol. 1 No. 1 (2017): Al Himayah
Publisher : Jurnal Al Himayah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (662.233 KB)

Abstract

Indonesia sebagai Negara Hukum sangat menjujung niali-nilai dan pengakuan akan hak asasi manusia banyak lanfkah yang telah ditempuh dalam merealisasikan ha tersebut misalnya dengan mempertimbangkan ratifikasi statuta roma yang didalamnya terdapat pembentukan International Criminal Court dengan tujuan untuk memelihara perdamaian dan keamanan. Tujuan penulisa ini adalah 1. untuk mengetahui gambaran umum Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) yakni pengadilan pidana internasional permanen yang pertama kali dibentuk yang berwenang melakukan penyelidikan, mengadili dan menghukum setiap orang yang melakukan kejahatan internasional yang paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional, Adapun Tujuan ICC adalah: (1) Mewujudkan keadilan global, antara lain dengan memberikan pengertian dan standar yang sama untuk kejahatan –kejahatan internasinal yang paling serius ; (2) Mencegah konflik yang memakan korban anak-anak, wanita dan orang-orang yang tidak berdosa (kekejaman yang mengguncangkan nurani umat manusia) ; (3) Menghapuskan impunitas terhadap pelaku dan berkontribusi bagi pencegahan terjadinya kembali kejahatan-kejahatan internasinal yang paling serius ; (4) Mengatasi kelemahan dari pengadilan-pengadilan pidana internasional sebelumnya ; (5) Menciptakan rasa keadilan bagi korban yang mencakup hak atas kebenaran, keadilan dan pemulihan ; (6) Lebih mengefektifkan hukum nasional dengan memberlakukan prinsip komplementaritas dan mencegah intervensi pengadilan internasional terhadap pengadilan nasional ; (7) Mencegah politisasi dalam mengadili pelaku kejahatan internasional dengan menjamin independensi dan imparsialitas peradilan ; (8) Mencegah kejahatan yang membahayakan keamanan dan perdamaian dunia serta kemanusiaan. Adapun tujuan yang kedua adalah mengetahui urgensi ratifikasi Statuta Roma bagi Indonesia yakni Jika di cermati dengan baik isi dari Statuta Roma mulai dari pembukaan hingga pengaturan akhir dalam Statuta Roma, maka penting dan wajar ketika hal tersebut diratikiasi ke dalam hukum Indonesia namun perlu sebuah komitmen dan batasan dalam pelaksanaannya sehingga kekhawatiran akan hal-hal yang negative bisa dinafikan, bahkan seharusnya Statuta Roma menjadi semangat baru dalam mereformasi sistem hukum di Indonesia
Internalisasi Nilai Sipakatau, Sipakalebbi, Sipakainge’ Dalam Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Arhjayati Rahim
Jurnal Al Himayah Vol. 3 No. 1 (2019): Al Himayah
Publisher : Jurnal Al Himayah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (474.402 KB)

Abstract

Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana yang tergolong dalam extra ordinary Crime, yang sampai saat ini menjadi masalah hukum yang terus menerus terjadi di negara kita Republik Indonesia, berbagai regulasi dengan segala pengaturan pasalnya dan diserta dengan ancaman pidana yang berat ditambah dengan di bentuknya sebuah badan khusus yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak lagi dirugan kapasitas dan integrasinya dalam upaya memberantas tindak pidana korupsi seakan tidak cukup membuat para pelaku korupsi menghentikan aksinya. Tulisan ini mencoba memberikan pandangan baru tentang bagaimana tidak hanya focus kepada tindakan penberantasn korupsi melalui jalur hukum tapi mencoba menelaah bagaimana agar tindak pidana korupsi ini dapat dicegah sedini mungkin dengan penerapan atau menerapkan serta menggali nilai-nilai yang bersumber dari kearifan local dan adat istiadat yang telah berakar dalam masyarakat, dalam tulisan ini mengkhususkan pada nilai sipakatau, sipalebbi dan sipakainge’ yang dikelan dan melekat dalam budaya suku Bugis yang berada di Sulawesi Selatan Sipakatau mengandung makna memanusiakan manusia, sipakalebbi artinya menyadari dan mengakui kelebihan setiap manusia, serta sipakainge’ mengandung makna saling memberi nasehat dan teguran ketika seseorang melakukan kesalahan dengan tentunya tidak melupakan tata karma dan sopan santun, dengan adanya nilai ini diharapkan dapat terinternalisasi kedalam sikap dan prilaku dalam menjalankan kehiduan sehari-hari sehingga dengan adanya sikap menghargai, menghormati serta selalu memberi nasehat kepada yang melakukan kesalan ketika dihubungkan dengan perilaku tindak pidana korupsi maka hal tersebut tentunya akan pantang untuk dilakukan karena ketika kejahatan ini dilakukan tidak hanya mencederai kehormatan diri pribadi tapi juga masyarakat Indonesia pada umumnya, sehingga dengan terinternalisasinya nilai-nilai ini dapat menciptaka individu yang teguh pada prinsip, berkarakter kuat sehingga sampai pada rasa malu untuk melakukan tindak pidana korupsi
MEDIATION IN HANDLING OF CRIMINAL HOUSEHOLD ACCIDENT AT THE LEVEL OF INVESTIGATION Arhjayati Rahim; Astika Hunawa
Jurnal Restorative Justice Vol 4 No 1 (2020): Jurnal Restorative Justice
Publisher : Musamus University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35724/jrj.v4i1.2735

Abstract

The crime of neglect of the household is one of the criminal acts of domestic violence that is categorized as a crime in the criminal law which solves its case through a criminal course, but because of its sphere in the family environment, the path of settlement through the criminal law will have an adverse impact on the survival and household harmony. This is contrary to the mandate of Law Number 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence, which is maintaining the integrity of a harmonious and prosperous household, so that in handling these criminal cases it is necessary to use a special approach, technique and effort so that the case does not lead to the downfall criminal but leads to Alternative Dispute Resolution (ADR) which is mediation based on the restorative justice theory approach. The research location in Gorontalo Regional Police uses Field Research type of research, qualitative research methods and analyzed using descriptive analysis. The results showed that the implementation of mediation in handling this criminal act had been carried out using the theory of restorative justice but there were still obstacles that affected the implementation of mediation. The need for formal regulations and SOPs as a reference in carrying out mediation in the investigation process.