Claim Missing Document
Check
Articles

Found 39 Documents
Search

The management of traumatic and non traumatic dacryostenosis with endoscopy dacryocystorhinostomy Dolly Irfandy; Al Hafiz; Rimelda Aquinas; Hendriati -
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 51, No 2 (2021): VOLUME 51, NO. 2 JULY - DECEMBER 2021
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32637/orli.v51i2.337

Abstract

ABSTRACTBackground: Dacryostenosis is a condition of obstruction or stenosis of the nasolacrimal duct, causing excessive tearing. Endoscopic dacryocystorhinostomy (endo-DCR) is an endoscopic procedure for nasolacrimal duct obstruction management. Purpose: To report and analyze the result of endo-DCR in dacryostenosis cases that caused by traumatic and non-traumatic etiology. Case report: Two cases of nasolacrimal duct obstruction on 26 years old and 63 years old women. Endo-DCR was performed to the patients in join operation with the Ophtalmology Department. On 3 months follow up, there were no epiphora, nor recurrent infection. On anel test the nasolacrimal duct was patent. Clinical question: Is endo-DCR an appropriate procedure for traumatic and non-traumatic dacryostenosis cases? Review method: Literature search was performed with keywords: “dacryostenosis” AND “dacryocystorhinostomy” AND “endoscopy”. Result: The literature search through Cochrane Database, Science Direct, and Springer Link produced 104 published works, and after screening by entering keywords was carried out, resulting in 12 relevant literatures. Selection of the last 5 years produced 2 appropriate journals. Conclusion: Management of traumatic and non-traumatic dacryostenosis with endo-DCR provided excellent result. In these cases, the join operation between Otorhinolaryngologist and Ophthalmologist were very beneficial for the patients.Keywords: dacryostenosis, nasolacrimal duct, endoscopy, dacryocystorhinostomyABSTRAKLatar belakang: Dakriostenosis adalah kondisi obstruksi atau stenosis duktus nasolakrimal sehingga keluar air mata yang berlebihan. Dakriosistorinostomi per endoskopi merupakan prosedur endoskopi untuk penatalaksanaan obstruksi duktus nasolakrimalis. Tujuan: Melaporkan dan menganalisis hasil dakriosistorinostomi per endoskopi pada kasus dakriostenosis yang disebabkan oleh trauma maupun non-trauma. Laporan kasus: Dilaporkan 2 kasus obstruksi duktus nasolakrimalis pada wanita usia 26 tahun dan 63 tahun. Pada pasien dilakukan dakriosistorinostomi per endoskopi, operasi bersama dengan Bagian Ilmu Kesehatan Mata. Setelah follow up 3 bulan, tidak ada epifora dan infeksi pada mata. Dengan pemeriksaan tes anel didapati duktus nasolakrimalis paten. Pertanyaan klinis: Apakah tindakan dakriosistorinostomi per endoskopi merupakan tidakan yang tepat untuk kasus obstruksi duktus nasolakrimalis karena trauma maupun non-trauma? Telaah literatur: Pencarian bukti dilakukan melalui Cohchrane, Science Direct, dan Springer Link. Hasil: Didapatkan 104 literatur yang terkait. Setelah dilakukan skrining diperoleh 12 literatur yang relevan. Pemilihan jurnal 5 tahun terakhir dengan memasukkan kata kunci, diperoleh 2 jurnal yang sesuai. Kesimpulan: Penatalaksanaan dakriostenosis karena trauma ataupun non-trauma, dengan dakriosistorinostomi per endoskopi memberikan hasil yang memuaskan. Pada kedua kasus ini, kerja sama antara dokter spesialis THT-KL dan spesialis Mata memberikan manfaat untuk pasien.Kata kunci: dakriostenosis, duktus nasolakrimalis, endoskopi, dakriosistorinostomi
Pola Bakteri Pasien Rinosinusitis Kronik di RSUP Dr. M. Djamil Padang 2016-2017 Dolly Irfandy; Della Reyhani Putri; Dolly Irfandi; Novita Ariani
Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia Vol 1 No 2 (2020): Juli 2020
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1176.449 KB) | DOI: 10.25077/jikesi.v1i2.59

Abstract

Latar Belakang. Rinosinusitis kronik (RSK) adalah peradangan mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasal lebih dari 12 minggu. RSK merupakan salah satu masalah kesehatan yang sering kita temukan di kehidupan masyarakat, penyakit ini dapat menurunkan kualitas hidup. Dalam pengobatan RSK, peranan antibiotik penting. Pola bakteri dan kepekaannya terhadap terapi antibiotik dapat berubah karena banyaknya bakteri yang resisten terhadap antibiotika tertentu. Objektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola bakteri dan tes sensitivitas pada pasien rinosinusitis kronis polip dan non polip di RSUP Dr. M. Djamil Padang periode Januari 2016-Desember 2017. Metode. Penelitian ini merupakan deskriptif retrospektif dengan jumlah sampel 100 pasien RSK di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Penelitian ini dilakukan dari bulan November-Desember 2018. Teknik pengambilan sampel adalah total sampling selama tahun 2016-2017. Hasil. Prevalensi rinosinusitis kronik dengan polip lebih tinggi dibandingkan dengan rinosinusitis kronik non polip. Jenis bakteri yang ditemukan dengan persentase tertinggi pada RSK polip dan non polip adalah Staphylococcus aureus. Pada Rinosinusitis kronik, usia 41-50 memiliki prevalensi tertinggi yaitu 31 pasien. Kesimpulan. Sebagian besar jenis bakteri yang ditemukan resisten terhadap Ampicillin, dan sensitif terhadap Meropenem, Cefoperazone, dan Gentamisin. Usaha promotif dan preventif terhadap faktor risiko seperti merokok, polutan, dan lain-lain, perlu dilakukan karena prevalensi RSK yang tinggi pada kelompok usia tersebut. Kata kunci: rinosinusitis kronik polip dan non polip, pola bakteri, sensitivitas antibiotik.
Hubungan Antenatal Care terhadap Kejadian Stunting pada Balita Usia 0-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Seberang Padang Tahun 2019 Nurul Ramadhini; Delmi Sulastri; Dolly Irfandi
Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia Vol 1 No 3 (2020): November 2020
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1393.785 KB) | DOI: 10.25077/jikesi.v1i3.62

Abstract

Latar Belakang. Stunting atau disebut juga dengan kerdil adalah keadaan dimana tinggi badan anak tidak sesuai dengan usianya dikarenakan kekurangan asupan gizi pada saat didalam kandungan dan awal kehidupan. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting pada anak adalah riwayat antenatal care ibu selama hamil. Objektif. Mengetahui hubungan antenatal care terhadap kejadian stunting pada balita berusia 0 – 24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Seberang Padang tahun 2019. Metode. Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain cross sectional pada 79 anak usia 0-24 bulan di wilayah kerja Puskesmas Seberang Padang yang dipilih melalui simple random sampling. Analisis data dilakukan dengan uji chi square. Hasil. Penelitian dilakukan dengan wawancara dan observasi buku KIA serta hasil pengukuran panjang badan anak menggunakan infantometer. Prevalensi stunting (13,9%), sebagian besar ibu memiliki kunjungan antenatal care lengkap (19,4%) dan mendapatkan kualitas antenatal care yang baik (15,8%). Nilai signifikansi kunjungan antenatal care 0,325 dan kualitas antenatal care 0,720. Simpulan. Antenatal care tidak berhubungan secara signifikan dengan kejadian stunting karena p>0,05. Kata kunci : pemeriksaan rutin selama hamil, kerdil, puskesmas, balita 0-24 bulan. Background. Stunting or also called dwarf is a condition where the height of the child does not match his age due to lack of nutritional intake at the time during pregnancies and early life. One of the factors that influence stunting in children is a history of maternal antenatal care during pregnancy. Objective. To determine the relationship of antenatal care to the incidence of stunting in infants aged 0-24 months in the working area of ​​ Seberang Padang Primary Health Center Care in 2019. Methods. This research was an observational analytic study with cross sectional design in 79 children aged 0-24 months in the working area of ​​Seberang Padang Primary Health Care which was selected through simple random sampling. Data analysis was performed with the chi square test. Results. The research was conducted by interviews and observations of maternal and child health books and the results of measurements of children's body length using an infantometer. The prevalence of stunting (13.9%), most mothers have complete antenatal care visits (19.4%) and get good quality antenatal care (15.8%). The significance value of antenatal care visits is 0.325 and the quality of antenatal care is 0.720. Conclusion. Antenatal care is not significantly related to the incidence of stunting because of p>0.05. Keywords : antenatal care, stunting, primary health care, toddlers 0-24 month.
Karakteristik Pasien Rinosinusitis Kronik di Poliklinik THT-KL RSUP DR. M. Djamil Padang 2017-2019 Dolly Irfandy; Muhammad Farel Brian Nugraha; Dolly Irfandy; Satya Wydya Yenny
Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia Vol 2 No 4 (2021): Desember 2021
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jikesi.v2i4.493

Abstract

Latar Belakang: Rinosinusitis kronik (RSK) adalah peradangan pada hidung dan sinus paranasal yang terjadi ≥ 12 minggu. Objektif: Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik pasien RSK di Poliklinik THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang 2017-2019. Metode: Penelitian ini menggunakan desain deskriptif retrospektif. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik total sampling. Populasi pada penelitian ini adalah pasien RSK yang berobat di Poliklinik THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan jumlah sampel 239 orang. Data diperoleh dari rekam medis pasien RSK pada periode 2017-2019. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan jumlah kunjungan pada pasien RSK terbanyak pada tahun 2018, kasus ini lebih banyak ditemukan pada laki-laki dengan persentase sebesar 50,6% dengan kelompok usia terbanyak 46-55 tahun (22,2%). Rinosinusitis kronik disertai polip lebih banyak ditemukan pada pasien dengan persentase 50,6%. Ditemukan 20% rinitis alergi pada pasien, terapi kombinasi lebih banyak dijalani pasien dengan persentase sebesar 69,5%, terdapat 6% rekurensi polip, dan rata-rata kunjungan pasien paling banyak adalah 1-5 kali per tahun. Kesimpulan: Pada penelitian ini pasien RSK lebih banyak ditemukan pada laki-laki, usia 46-55 tahun, disertai polip hidung, dengan pilihan terapi kombinasi, dan rata-rata kunjungan 1-5 kali per tahun. Ditemukan lebih sedikit kasus rinitis alergi dan rekurensi polip.
Gambaran Riwayat Asma pada Pasien Rinitis Alergi di RSUP Dr. M. Djamil Padang Dolly Irfandy; Dolly Irfandy; Muhammad Farhan Ramadhan; Sabrina Ermayanti
Jurnal Ilmu Kesehatan Indonesia Vol 3 No 1 (2022): Maret 2022
Publisher : Fakultas Kedokteran, Universitas Andalas

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25077/jikesi.v3i1.874

Abstract

Latar Belakang: Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi pada hidung yang sering ditemukan pada masyarakat. Asma merupakan salah satu komorbid yang dapat ditemukan pada penderita rinitis alergi. Hubungan rinitis alergi dan asma dijelaskan melalui konsep united airway disease. Objektif: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran dan karakteristik riwayat asma pada pasien rinitis alergi. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif dengan desain cross-sectional. Penelitian ini dilakukan di RSUP Dr. M. Djamil Padang dengan jumlah sampel 78 pasien rinitis alergi. Hasil: Hasil penelitian didapatkan sebanyak 13 orang (16,7%) sampel memiliki riwayat asma. Karakteristik sampel dengan riwayat asma banyak ditemukan pada kelompok usia lebih dari 16 sampai 25 tahun (38,5%) dengan jenis kelamin terbanyak ditemukan pada perempuan (53,8%). Klasifikasi rinitis alergi persisten sedang-berat paling banyak ditemukan (46,2%). Gejala bersin-bersin ditemukan pada semua sampel dengan riwayat asma (100%). Riwayat atopi dalam keluarga ditemukan pada 12 orang (92,3%) sampel dengan riwayat asma. Kesimpulan: Kesimpulan penelitian ini yaitu riwayat asma ditemukan pada 1 dari 6 pasien rinitis alergi pada kelompok usia lebih dari 16 sampai 25 tahun. Pasien rinitis alergi dengan riwayat asma banyak ditemukan pada perempuan. Klasifikasi rinitis alergi terbanyak ditemukan berupa rinitis alergi persisten sedang-berat dengan gejala yang dominan yaitu bersin-bersin. Riwayat atopi dalam keluarga ditemukan pada sebagian besar pasien rinitis alergi disertai dengan riwayat asma.
Caldwell-Luc approach for odontogenic maxillary sinusitis Dolly Irfandy; Bestari Jaka Budiman; Putri Sari Ivanny
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 52, No 2 (2022): VOLUME 52, NO. 2 JULY - DECEMBER 2022
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRACTBackground: Maxillary odontogenic sinusitis is a maxillary sinusitis of dental origin. Odontogenic origin of infection must be suspected in those sinusitis patients who have symptoms of unilateral maxillary sinusitis, sinonasal symptoms such as nasal obstruction, rhinorrhea, and/or foul odour, a history of dental pain or dental/oral surgical treatment, and in those who are resistant to conventional treatment of sinusitis. Purpose: To report and analyze the result of Caldwell-Luc approach for odontogenic maxillary sinusitis. Case report: One case of odontogenic maxillary dextra sinusitis treated by Caldwell-Luc approach. After 2 months of follow-up, there was no thick and smelly discharge coming out of the nose, no complaints of pain in the nose, nor swelling and numbness of the cheeks and gums. Clinical question: “Does Caldwell-Luc approach provide good result for odontogenic maxillary sinusitis?” Review method: Literature searching was performed through Cochrane database, PubMed, ClinicalKey, and Google Scholar using keywords “Caldwell-Luc” and “odontogenic sinusitis.” Result: The search obtained 76 literatures which were related to clinical question. Afterwards filtered with eligible criteria, had resulted 21 relevant literatures. Conclusion: The choice of Caldwell-Luc approach for treating odontogenic maxillary sinusitis is a less invasive procedure and gave a satisfying result. Overlooking to identify a dental cause of maxillary sinusitis could lead to persistent symptoms, and failure of medical, as well as surgical intervention. ABSTRAKLatar belakang: Sinusitis maksilaris odontogenik adalah sinusitis maksilaris yang bersumber dari infeksi gigi. Sumber infeksi odontogenik harus dipikirkan ketika ditemukan gejala sinusitis maksila unilateral, gejala sinonasal seperti obstruksi hidung, rinorea dan bau busuk, riwayat infeksi gigi sebelumnya, trauma atau karena prosedur bedah pada tatalaksana gigi, dan pada pasien yang resisten terhadap pengobatan konvensional sinusitis. Tujuan: Melaporkan dan menganalisis hasil pendekatan Caldwell-Luc pada kasus sinusitis maksilaris odontogenik. Laporan Kasus: Satu kasus sinusitis maksilaris odontogenik dekstra yang ditatalaksana dengan pendekatan Caldwell-Luc. Setelah 2 bulan follow-up, tidak ada ingus kental dan berbau busuk yang keluar dari hidung, tidak ada keluhan nyeri di hidung, bengkak dan mati rasa pada pipi dan gusi. Pertanyaan klinis: “Apakah prosedur Caldwell-Luc memberikan hasil terbaik untuk kasus sinusitis maksilaris odontogenik?” Telaah literatur: Dilakukan pencarian melalui database Cochrane, PubMed, CinicalKey dan Google Scholar, menggunakan kata kunci “Caldwell-Luc” dan “sinusitis odontogenic”. Hasil: Diperoleh 76 literatur yang terkait dengan pertanyaan klinis. Setelah disaring dengan kriteria riset, terdapat 21 literatur yang relevan. Kesimpulan: Pemilihan tatalaksana sinusitis maksilaris odontogenik dengan pendekatan Caldwell-Luc merupakan prosedur invasif minimal, dan memberikan hasil yang memuaskan. Bila sumber infeksi dari gigi pada sinusitis maksilaris tidak terdeteksi, hal itu akan menyebabkan gejala persisten, dan kegagalan dalam tatalaksana medikamentosa maupun intervensi bedah.
Penggunaan terkini oksimetazolin pada praktik klinik sehari-hari dan rekomendasi Kelompok Studi Rinologi Indonesia Wardani, Retno Sulistyo; Zakiah, Azmi Mir’ah; Magdi, Yoan Levia; Irfandy, Dolly; Kusuma Dewi, Anna Mailasari; Sutikno, Budi; Hendradewi, Sarwastuti; Ratunanda, Sinta Sari; Munir, Delfitri; Dolly Irfandy
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 46, No 2 (2016): Volume 46, No. 2 July - December 2016
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (360.397 KB) | DOI: 10.32637/orli.v46i2.165

Abstract

Latar belakang: Oksimetazolin adalah bahan aktif dekongestan topikal yang digunakan untuk rinitis alergi maupun inflamasi mukosa hidung lainnya. Cara pemakaian oksimetazolin yang baik dan benar akan memengaruhi keberhasilan pengobatan. Efek samping rinitis medikamentosa merupakan komplikasi yang sering terjadi dan sebaiknya dapat dicegah. Tujuan: Penulisan tinjauan pustaka ini untuk memberikan pemahaman terkini tentang berbagai indikasi oksimetazolin pada praktik klinik Telinga Hidung Tenggorok sehari-hari, cara pemakaian yang tepat, efek samping dan komplikasi yang terjadi berdasarkan studi kepustakaan yang dipublikasikan di PubMed, Google Scholar, dan Scopus dalam 10 tahun terakhir (2007–2016) oleh tim adhoc anggota Kelompok Studi (KODI) Rinologi Indonesia. Tinjauan pustaka: Oksimetazolin memiliki indikasi yang diperluas jika digunakan bersama dengan bahan aktif lain. Oksimetazolin semprot hidung 0,05% yang digunakan bersama dengan steroid intranasal dilaporkan memberikan manfaat pada penatalaksanaan rinitis alergi, rinitis kronis, dan polip hidung. Oksimetazolin digunakan juga dalam bedah sinus endoskopik untuk mendapatkan visualisasi lapang operasi yang baik karena efek hemostatik vasokonstriktor intranasal. Keuntungan yang dilaporkan juga diiringi dengan kemungkinan efek samping dan komplikasi yang sudah dikenal sampai yang membahayakan hingga kematian akibat koarktasio aorta, infark miokard elevasi non-ST, dan krisis hipertensi. Kesimpulan: Rekomendasi yang dibuat oleh KODI Rinologi berdasarkan analisis secara sistematik dengan telaah kritis, diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang penggunaan oksimetazolin yang bermanfaat dan dapat mencegah efek samping yang berbahaya.Kata kunci: Oksimetazolin, dekongestan intranasal, indikasi, efek samping, komplikasiABSTRACT Background: Oxymetazoline is an active ingredient of topical decongestant in treating allergic rhinitis and other nasal mucosal inflammation. A good and proper usage of oxymetazoline will influence a beneficial outcome. Rhinitis medicamentosa is a common complication that should be avoided. Purpose: Content of the literature review is the indications of oxymetazoline usage in daily ENT clinical practice; the proper usage, side effects and complications are appraised from Pubmed, Scopus and Google Scholar publications within the last 10 years (2011 – 2015). The work was performed by adhoc team consisted of member of Rhinology Study Group Indonesia. Literature Review: Oxymetazoline broader indications obtained when applied together with other active ingredients. Oxymetazoline 0.05% nasal spray with topical intranasal steroid was reported as having efficacy in management of allergic rhinitis, chronic rhinitis and nasal polyps. Oxymetazoline is used as topical vasoconstrictor during endoscopic sinus surgery to get clear endoscopic visualization due to its hemostatic effect. Combination of oxymetazoline with topical intranasal steroid, was reported to be beneficial in the management of allergic rhinitis, chronic rhinitis and nasal polyps. Oxymetazoline is also used as topical vasoconstrictor during endoscopic sinus surgery to get clear endoscopic visualization due to its hemostatic effect. The good result of oxymetazoline was reported along with its side effects, which could be fatal, such as coarctation of the aorta, non-ST elevation myocardial infarction, and critical hypertension. Conclusion: Recommendation from Rhinology Study Group Indonesia based on systematic analysis with critical appraisal that has been made, may widen the knowledge and understanding of oxymetazoline usage and indications, and also avoiding the dangerous side effects and complications.Keywords: Oxymetazoline, topical intranasal decongestant, indication, side effect, complication
Endoscopic transsphenoidal resection of craniopharyngioma Dolly Irfandy; Esmaralda Nurul Amany; Bestari Jaka Budiman; Dolly Irfandy; Hesty Lidya Ningsih
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 50, No 2 (2020): Volume 50, No. 2 July - December 2020
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32637/orli.v50i2.338

Abstract

ABSTRACTBackground: Endoscopic surgery techniques had been advancing in this last two decades. Transsphenoidal approach endoscopic surgery to the skull base provides better visualization of the operation field compared to microscopic surgery, and also brought lower morbidity than other techniques. Purpose: To report a transsphenoidal endoscopic skull base surgery for craniopharyngioma resection. Case Report: A case of craniopharyngioma in a 47-year-old man. The tumor resection was performed with transsphenoidal endoscopic approach, in collaboration with a neurosurgeon. Clinical Question: Is transsphenoidal endoscopic skull base surgery approach, the appropriate surgical procedure for craniopharyngioma management? Review Method: Evidence based literature study of skull base surgery with transsphenoidal endoscopic approach in craniopharyngioma through database Cochrane library, Pubmed Medline, and hand searching. Result: Skull base surgery with transsphenoidal endoscopic approach was minimally invasive with maximally invasion compared to transcranial surgery, and  also provided better view, and could reduce complication rate. Conclusion: Skull base surgery with transsphenoidal endoscopic approach offers more advantage in skull base lesion management compared to other techniques. Collaboration between neurosurgeon and otorhinolaryngologist using this technique could reduce complication and morbidity rate.  ABSTRAKLatar belakang: Teknik operasi endoskopi mengalami perkembangan pesat dalam dua dekade terakhir. Bedah basis kranii dengan pendekatan endoskopi transfenoid memberikan kualitas visualisasi lapang pandang operasi lebih baik dibanding menggunakan mikroskop, dan juga mengakibatkan morbiditas lebih rendah dibanding teknik lainnya. Tujuan: Melaporkan keberhasilan bedah basis kranii dengan pendekatan endoskopi transfenoid pada kraniofaringioma. Laporan kasus: Seorang laki-laki 47 tahun dengan diagnosis kraniofaringioma yang dilakukan tindakan reseksi tumor dengan pendekatan endoskopi transfenoid berkolaborasi dengan ahli bedah saraf. Pertanyaan Klinis: Apakah bedah basis kranii dengan pendekatan endoskopi transfenoid merupakan teknik operasi yang tepat untuk tatalaksana kraniofaringioma? Telaah literatur: Telaah literatur berbasis bukti mengenai bedah basis kranii dengan pendekatan endoskopi transfenoid pada kraniofaringioma melalui database Cochrane library, Pubmed Medline, dan pencarian manual. Hasil: Bedah basis kranii dengan pendekatan endoskopi transfenoid memberikan akses minimal dengan invasi maksimal, visualisasi lebih baik, dan dapat menurunkan angka komplikasi. Kesimpulan: Bedah basis kranii dengan pendekatan endoskopi transfenoid merupakan teknik operasi lesi basis kranii yang lebih unggul dibandingkan teknik lainnya. Kolaborasi antara ahli bedah saraf dan THT dapat mengurangi angka komplikasi dan morbiditas tindakan ini.
Peran biofilm bakteri terhadap derajat keparahan rinosinusitis kronis berdasarkan skor Lund-Mackay Dolly Irfandy; Y Yolazenia; Bestari Jaka Budiman; Effy Huriyati; Aziz Djamal; Rizanda Machmud; Dolly Irfandy
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 47, No 2 (2017): Volume 47, No. 2 July - December 2017
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (402.193 KB) | DOI: 10.32637/orli.v47i2.220

Abstract

Latar belakang: Rinosinusitis kronis (RSK) adalah penyakit inflamasi mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Berbagai kondisi telah dikaitkan dengan patogenesis penyakit ini, seperti infeksi bakteri, jamur, superantigen, dan biofilm. Banyak penelitian telah menunjukkan terdapatnya biofilm bakteri pada pasien dengan RSK. Biofilm bakteri dapat memfasilitasi terjadinya resistensi pada antibiotik. CT Scan sinus paranasal (SPN) merupakan pemeriksaan penunjang pilihan untuk diagnosis radiologik RSK. Lund dan Mackay telah mengembangkan suatu sistem berdasarkan skor dari CT Scan SPN untuk menilai kuantifikasi proses peradangan pada sinus paranasal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien dengan biofilm bakteri memiliki skor Lund-Mackay CT Scan SPN yang lebih tinggi pada saat pra operatif. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran biofilm bakteri terhadap derajat keparahan RSK berdasarkan skor Lund-Mackay. Metode: Penelitian ini adalah penelitian cross-sectional dengan jumlah total sampel adalah 48 orang pasien RSK. Sekret hidung diambil menggunakan kapas lidi steril dengan swab pada meatus medius lalu dilakukan identifikasi bakteri dan pemeriksaan biofilm dengan tube method. Skor Lund-Mackay dihitung dari CT Scan SPN potongan koronal. Data dianalisis dengan uji Fisher. Hasil: Proporsi pasien RSK dengan skor Lund-Mackay yang tinggi lebih banyak pada pasien dengan biofilm (46,2%), dibandingkan tanpa biofilm (44,4%). Secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna pada skor Lund-Mackay antara pasien dengan biofilm dan tanpa biofilm (p=1,000). Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara biofilm bakteri dengan derajat keparahan RSK berdasarkan skor Lund-Mackay. Kata Kunci: Rinosinusitis kronis, biofilm bakteri, tube method, skor Lund-Mackay ABSTRACT Background: Chronic rhinosinusitis (CRS) is inflammation of the nose and paranasal sinuses with the symptoms duration more than 12 weeks. Many conditions have been linked to its pathogenesis such as bacterial and fungal infection, superantigens and biofilm. Many studies showed the presence of bacterial biofilms in patients with CRS. Bacterial biofilms can facilitate the resistance to antibiotics. Paranasal sinuses (PNS) CT scan is the method of choice for radiological diagnosis of CRS. Lund and Mackay has developed a scoring system based on the CT finding to assess the quantification of inflammatory process in PNS. Some research suggested that patients with bacterial biofilms have higher Lund-Mackay score pre-operatively. Purpose: To determine the role of bacterial biofilms to the severity of CRS according to Lund-Mackay score. Methods: This was a cross-sectional study with 48 CRS patient’s sample. Nasal discharges were taken by swab in middle meatal using sterile cotton buds, followed by identification of bacteria and detection of bacterial biofilms using tube method. Lund-Mackay score was counted from coronal section of PNS CT Scan. Data was analyzed by Fisher’s exact test. Results: Proportion of patients CRS with high Lund-Mackay score was more common in patient with biofilm (46.2%) compared to patients without biofilm (44.4%). Statistically, there was no significant difference of Lund-Mackay score between patient with biofilm and without biofilm (p=1.00). Conclusion: There was no relationship between the bacterial biofilm with the severity of CRS according to Lund-Mackay score. Keywords: Chronic rhinosinusitis, bacterial biofilm, tube method, Lund-Mackay scores
Effectiveness of immediate primary correction and medial canthopexy in bilateral naso-orbito-ethmoid fracture Dolly Irfandy; Al Hafiz; Dolly Irfandy; Bonny Murizky
Oto Rhino Laryngologica Indonesiana Vol 50, No 1 (2020): Volume 50, No. 1 January - June 2020
Publisher : PERHATI-KL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (388.377 KB) | DOI: 10.32637/orli.v50i1.357

Abstract

Background: The naso-orbito-ethmoid (NOE) region is a functionally and aesthetically important area of the face. Traffic accidents are the most often cause of NOE fracture and contribute about 35 to 60% of cases. Clinical symptoms are associated with location and the impact. The best way to make an assessment is by clinical examination combined with 3D CT scan. The management usually required reconstruction of the injured anatomical structures of the face with Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) method. Purpose: To report the result of immediate reconstruction surgery in a NOE fracture case. Case Report: A case of bilateral NOE fracture in a 24 years old woman, treated with ORIF. Clinical Question: Does immedate primary correction and medial canthopexy provides good result on face reconstruction of NOE fracture? Review Method: Literature searching through Cochrane database, Pubmed, Clinicalkey and Google Scholar, using keywords of correction procedure in NOE fracture, Open Reduction and Internal Fixation and medial canthopexy. Result: The search obtained 35 literatures published in the last 10 years, and found 21 articles relevant with the topics. Conclusion: NOE fracture is a fracture which often occurs as a result of traffic accidents. The diagnosis is established by anamnesis of patient’s complaints and symptoms, physical examination, and 3D CT scan. Immediate reconstruction in NOE fracture cases gives a better result compared to delayed surgical management, as implemented in this case.Keywords: Naso-orbito-ethmoid (NOE) fracture, Open Reduction and Internal Fixation (ORIF), immediate reconstruction ABSTRAK Latar belakang: Naso-orbito-etmoid (NOE) adalah daerah yang penting pada wajah secara fungsional dan estetika. Kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab terbanyak, dan menyumbang 35- 60% angka kejadian dari fraktur NOE. Gejala klinis berhubungan dengan lokasi dan tingkat keparahan cedera. Cara terbaik mendiagnosis adalah dengan pemeriksaan klinis dan CT scan 3D. Penatalaksanaan dilakukan dengan rekonstruksi struktur anatomi wajah yang terluka, menggunakan metode reduksi terbuka dan fiksasi internal (Open Reduction and Internal Fixation/ORIF). Tujuan: Melaporkan keberhasilan rekonstruksi segera pada fraktur NOE. Laporan kasus: Dilaporkan satu kasus fraktur NOE bilateral pada seorang perempuan usia 24 tahun, yang dilakukan reduksi terbuka dan fiksasi internal. Pertanyaan klinis: Apakah rekonstruksi segera dan kantopeksi medial pada fraktur NOE memberikan hasil yang baik? Metode telaah literatur: Penelusuran berbasis bukti melalui database Cohrane, Pubmed, Clinicalkey dan Google Scholar menggunakan kata kunci rekonstruksi pada fraktur NOE, Open Reduction and Internal Fixation, dan kantopeksi medial. Hasil: Diperoleh 35 literatur yang terbit dalam 10 tahun terakhir, dan didapati 21 artikel yang relevan dengan topik. Kesimpulan: Fraktur NOE merupakan fraktur yang sering terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis mengenai keluhan dan gejala yang dirasakan pasien, pemeriksaan fisik serta pemeriksaan CT scan 3D. Penatalaksanaan pembedahan pada kasus fraktur NOE sesegera mungkin, memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan tindakan pembedahan tertunda, seperti yang tergambar pada kasus yang dilaporkan ini.