Articles
PELAKSANAAN SYARI’AT ISLAM DI ACEH SEBAGAI BAGIAN WILAYAH NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI)
Syamsul Bahri
Jurnal Dinamika Hukum Vol 12, No 2 (2012)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Jenderal Soedirman
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.20884/1.jdh.2012.12.2.62
The application of Sharia law is not a new thing in Indonesia, especially in Aceh. Since pre independent day of Indonesia, Aceh had been famous with its Islamic Empires, such as Samudra Pasai and Aceh Darussalam empires. Nowadays, such law is still applied by the people. However, in applying such law there are some constraints as a result of there is no fix and clear form that can be guidance in Aceh. The efforts done to find the suitable formula for such application are still conducted in every life activity that in the future might give its own characteristic in legal and political studies in Indonesia. Key words : Sharia Law, special authonomy and Qanun
CERAI GUGAT KARENA FAKTOR KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (Suatu Penelitian di Wilyah Hukum Mahkamah Syar’iyah Bireun)
Maya Syirurrifka;
Syamsul Bahri
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 5, No 2: Mei 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa alasan diperbolehkannya perceraian. Pada dasarnya perceraian akan sah jika dilakukan oleh pihak laki laki. Namun dalam peraturan ini menentukan bahwa perceraian dapat saja dilakukan dengan alasan-alasan tertentu oleh pihak wanita sehingga atas adanya peraturan ini menjadi salah satu faktor banyaknya terjadi cerai gugat. Terhitung dari tahun 2018 hingga 2020 di Mahkamah Syar’iyah Bireuen terdapat 36 kasus cerai gugat yang terjadi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan alasan terjadinya cerai gugat serta mengetahui pertimbangan hakim dalam menyelesaikan perkara cerai gugat karena faktor KDRT di Mahkamah Syar’iyah Bireuen. Metode penelitian yang digunakan dalam jurnal ini adalah metode hukum yuridis empiris. Hasil penelitian menunjukan bahwa alasan-alasan perceraian karena KDRT disebabkan karena faktor ekonomi, perselisihan yang berkepanjangan. Adapun dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara yaitu dengan menggunakan fakta persidangan. Disarankan kepada suami dan istri untuk menyelesaikan permasalahan dengan menciptakan hubungan komunikasi yang baik dengan pasangannya dan musyawarah secara kekeluargaan dengan tidak melanggar hukum positif. Peran keluarga sangat dibutuhkan untuk mendapat nasehat tentang kehidupan dalam rumah tangga terkait hak dan kewajiban satu sama lain.Kata Kunci : Cerai gugat, perceraian, KDRT
Penyelesaian Sengketa Menurut Hukum Adat Pada Tingkat Mukim
Siti Thali’ah Athina;
Syamsul Bahri
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 3, No 4: November 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Dasar hukum penyelesaian sengketa secara adat telah diatur dalam Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim. Menurut Qanun Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, penyelesaian sengketa secara adat di tingkat Mukim dilaksanakan oleh suatu majelis yakni Imuem Mukim, Imuem Chiek, Tuha Peut, Sekretaris Mukim dan Ulama, Cendikiawan dan Tokoh Adat lainnya. Dalam penyelesaian sengketa secara hukum adat pada tingkat Mukim di Kecamatan Seunuddon Kabupaten Aceh Utara, tidak semua unsur majelis hadir sebagaimana yang disebutkan dalam Qanun tersebut. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan prosedur penyelesaian sengketa secara hukum adat pada tingkat mukim di Kecamatan Seunuddon Kabupaten Aceh Utara dan untuk mengetahui dampak dari putusan hukum majelis adat pada tingkat mukim kepada para pihak yang berselisih. Jenis penelitian pada artikel ini adalah yuridis empiris. Data yang diperoleh dalam penulisan artikel ini berupa data penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas, sedangkan penelitian lapangan dimaksudkan untuk memperoleh data primer dengan mewawancarai responden dan informan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa penyelesaian sengketa di tingkat Mukim di Kecamatan Seunuddon kabupaten Aceh Utara dilaksanakan oleh suatu majelis yang anggota majelisnya tidak dihadiri oleh semua unsur majelis. Penyelesaiannya tetap dilaksanakan sesuai dengan mekanisme yang ada, mulai dari pemanggilan para pihak sampai sidang diputuskan. Penyelesaian sengketa yang tidak dihadiri oleh semua unsur majelis dianggap sah secara hukum adat, karena dalam penyelesaiannya para majelis yang dapat hadir bermusyawarah dan mengambil keputusan untuk tetap melaksanakan sidang, maka penyelesaian dapat dilaksanakan. Terhadap semua hasil penyelesaian sengketa secara adat dapat diterima dan dilaksanakan oleh para pihak dengan tidak ada unsur keterpaksaan.
STUDI KASUS PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI NOMOR 470/PK/PDT/2015 TENTANG PENOLAKAN WARISAN KEPADA ANAK ANGKAT MENURUT HUKUM WARIS ADAT
Andi Rionaldi;
Syamsul Bahri
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 1, No 2: November 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (246.315 KB)
Negeri Amahai yang terletak di kabupaten Maluku Tengah memiliki istiadat yang berhubungan dengan pewarisan bagi anak angkat dimana pada penetapan warisan kepada anak angkat terjadi karena menurut hukum waris setempat, anak angkat merupakan pewaris yang sah menurut hukum waris adat yang berlaku dan juga menurut hukum adat setempat dapat melalukan perbuatan hukum. Oleh karena itu dilakukan penelitian terhadap putusan Peninjauan Kembali Nomor 470/PK/Pdt/2014 tentang penolakan pemberian warisan kepada anak angkat menurut hukum waris adat. Tujuan penulisan studi kasus ini untuk menjelaskan pertimbangan hakim pada putusan nomor 470/PK/Pdt/2014 yang telah menolak permohonan Peninjauan Kembali untuk seluruhnya dan menguatkan putusan Kasasi yang terdahulu. Pada studi kasus ini juga menjelaskan tentang penetapan warisan kepada anak angkat menurut hukum waris adat. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dimana pengumpulan data dilakukan dengan cara meneliti bahan pustakaan yang berupa undang-undang, dan literatur mengenai Hukum Adat Negeri Amahai, putusan pengadilan dan buku-buku lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Mahkamah Agung memutuskan untuk menolak permohonan Peninjauan Kembali yang dilakukan oleh pemohon peninjauan kembali dengan perkara Nomor 470/PK/Pdt/2014 tentang menolak pemberian sebidang tanah kepada anak angkat akan tetapi menurut Hukum Adat Negeri Amahai bahwa apabila seorang anak angkat yang telah mengurusi hal-hal dan kepentingan pewaris, anak angkat tersebut berhak mendapatkan harta warisan sama seperti anak-anak sah pewaris. Pertimbangan hakim dalam hal memutuskan perkara penolakan warisan kepada anak angkat menurut hukum waris adat tidak melihat kepada nilai-nilai keadilan dan tidak melihat hukum adat setempat. Disarankan perlu adanya pertimbangan hakim yang lebih melihat kepada kearifan lokal dan sebaiknya dilakukan penelaah-penelaah yang lebih lanjut sehingga hakim lebih cermat untuk menjembatani hubungan antara waris menurut hukum perdata indonesia dan hukum waris menurut adat sehingga tidak akan ada kekosongan hukum yang timbul dan agar dapat dijadikan yurisprudensi untuk putusan hakim kedepannya.
Perlindungan Hukum Terhadap Pelanggan Jasa Telekomunikasi Dalam Registrasi Kartu Seluler Prabayar Melalui Gerai
Zawil Fadhli;
Syamsul Bahri
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 2, No 4: November 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (566.461 KB)
Peraturan Menteri Kominfo Nomor 23/M.KOMINFO/10/2005 Tentang Registrasi Terhadap Pelanggan Jasa Telekomunikasi menyebutkan bahwa apabila pelanggan jasa telekomunikasi diketahui menggunakan identitas tidak benar maka wajib dinonaktifkan oleh penyelenggara jasa telekomunikasi. Namun kenyataannya yang terjadi di Banda Aceh masih ditemukan pelaku usaha yang melakukan registrasi tidak sesuai dengan identitas pelanggan. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya registrasi kartu seluler prabayar tidak menggunakan identitas pelanggan. Metode penelitian bersifat yuridis empiris dengan pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang mengakibatkan terjadinya registrasi kartu seluler prabayar tidak menggunakan identitas pelanggan diantaranya karena selama ini kartu telah diregistrasi sendiri penjual sebelum dijual kepada pelanggan. Maka untuk itulah diharapkan agar berjalannya pengawasan untuk melindungi hak-hak konsumen oleh Penyelenggara Jasa Telekomunikasi terhadap penjual yang tidak memberikan informasi yang benar tentang kondisi produk dengan memberikan sanksi. Selain itu, penjual dan pelanggan harus memiliki itikad baik dengan kesadaran untuk melakukan registrasi secara benar.
WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN SEWA MENYEWA PAPAN BUNGA DI KECAMATAN SYIAH KUALA, BANDA ACEH
Munawir Mirza;
Syamsul Bahri
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 5, No 1: Februari 2021
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Perjanjian sewa menyewa papan bunga dibuat atas dasar saling percaya dan dilakukan secara lisan. Hal ini menyebabkan timbul berbagai masalah dikarenakan dalam pelaksanaannya masih ada pihak yang tidak memahami kewajibannya. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan bagaimana perjanjian sewa menyewa papan bunga dilaksanakan, bentuk wanprestasi dalam perjanjian sewa menyewa papan bunga, dan menjelaskan bagaimana cara penyelesaian wanprestasi. Penelitian ini menggunakan metode yuridis empiris dan data dalam penelitian ini diperoleh dari studi kepustakaan dan studi lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian sewa menyewa papan bunga dilakukan secara lisan. Bentuk wanprestasi dalam perjanjian ini adalah tidak dibayarnya uang sewa sama sekali oleh penyewa dan yang menyewakan terlambat mengantar papan bunga ke tempat tujuan. Wanprestasi dalam perjanjian sewa menyewa papan bunga diselesaikan secara musyawarah dan kekeluargaan. Disarankan kepada para pihak agar menerapkan kedisiplinan dalam pelaksanaan kewajiban dan dalam penyelesaian wanprestasi harus melibatkan pihak mediator.
STATUS DAN KEDUDUKAN HAK WARIS ANAK DARI PERKAWINAN SENASAB (SEDARAH) DALAM PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI)
Janiar Rizki;
Syamsul Bahri
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 4, No 4: November 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Larangan perkawinan senasab disebutkan dalam Pasal 39 KHI. Pasal 99 huruf a dan b KHI disebutkan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah dan hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Pasal 171 huruf c KHI dinyatakan bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan nasab atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Setiap anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah maka anak tersebut memiliki status sebagai anak sah dan kedudukan hak waris yang melekat pada anak tersebut untuk menjadi pewaris dari kedua orang tuanya. Namun di masyarakat ditemukan adanya anak yang lahir dari perkawinan yang tidak sah karena perkawinan senasab yang berdampak pada status dan kedudukan hak waris anak. Hasil penelitian menunjukan bahwa status anak dari perkawinan senasab adalah anak sah dan kedudukan berhak mendapatkan warisan dalam perspektif KHI. Sedangkan menurut pendapat ulama MPU Aceh menyatakan bahwa status anak tidak sah dan tidak dinasabkan kepada ayahnya dan anak tidak berhak mendapatkan warisan apabila perkawinan senasab dilakukan dengan sengaja dan status anak sah dan berhak mendapatkan warisan jika perkawinan tersebut tidak disengaja. Disarankan sebaiknya para pihak memeriksa terlebih dahulu nasab atau keturunan dari calon mempelai sebelum perkawinan karena dapat berdampak pada status dan kedudukan hak waris anak dan dibutuhkan aturan hukum yang eksplisit dalam aturan status dan kedudukan hak waris anak dari perkawinan senasab.
WANPRESTASI DALAM PELAKSANAAN PERJANJIAN JASA FOTOGRAFI PERNIKAHAN (Suatu Penelitian di Kota Banda Aceh)
Nadya Dwina Shavira;
Syamsul Bahri
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 4, No 3: Agustus 2020
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Pasal 1338 ayat (2) menyebutkan bahwa “Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”. Dalam sebuah perjanjian jasa fotografi pernikahan, pengguna jasa diwajibkan untuk melakukan pembayaran atas biaya jasa fotografi bertahap dengan tepat waktu dan melaksanakan perjanjian sesuai dengan yang disepakati oleh kedua belah pihak. Namun dalam pelaksanaannya, terdapat ketidaksesuaian sehingga perjanjian tersebut tidak berjalan sesuai dengan sebagaimana mestinya. Artikel ini bertujuan menjelaskan bentuk-bentuk wanprestasi yang dilakukan oleh pengguna jasa fotografi pernikahan, faktor-faktor yang menyebabkan pengguna jasa fotografi pernikahan melakukan wanprestasi, dan menjelaskan penyelesaian wanprestasi antara pengguna jasa dan penyedia jasa fotografi pernikahan. Artikel ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan lapangan. Data sekunder dilakukan dengan cara membaca dan menganalisis peraturan perundang-undangan, serta buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini. Penelitian lapangan dilakukan untuk mendapatkan data primer melalui wawancara dengan responden dan informan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa bentuk wanprestasi yaitu telat melakukan pembayaran biaya jasa fotografi, pembayaran biaya jasa fotografi yang dilakukan hanya sebagian dan pembatalan perjanjian secara sepihak. Faktor yang menyebabkan terjadinya wanprestasi ialah pihak pengguna jasa lupa akan jatuh tempo pembayaran, kurangnya dana yang diperlukan untuk pembayaran, dan pengguna jasa beralih ke penyedia jasa lain. Penyelesaian wanprestasi yang ditempuh para pihak yaitu melalui cara negosiasi atau berunding guna mencapai kesepakatan bersama. Disarankan kepada pihak penyedia jasa fotografi pernikahan agar mencantumkan secara tertulis mengenai akibat dari wanprestasi yang dilakukan oleh para pihak kedalam kontraknya. Disarankan kepada para pihak dalam perjanjian jasa fotografi pernikahan agar penyelesaian wanprestasi dilaksanakan dengan cara musyawarah.
STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 92/Pdt.G/2009/PA-Mdn TENTANG PEMBAGIAN WARISAN SAMA RATA ANAK LAKI-LAKI DAN ANAK PEREMPUAN
Azka Anwar;
Syamsul Bahri
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 1, No 2: November 2017
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (329.214 KB)
Pasal 176 KHI menyatakan bahwa bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. Pada putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 92/Pdt.G/2009/PA-Mdn dalam penelitian ini, hakim tidak menerapkan Pasal 176 KHI sebagaimana mestinya. Penerapan hukum dalam putusan tingkat pertama menyatakan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan mendapatkan bagian yang sama rata. Tetapi putusan ini diterima oleh kedua belah pihak dilihat dari tidak adanya upaya hukum yang dilakukan oleh penggugat. Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan studi kasus ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan pertimbangan Hakim Pengadilan Agama Medan Nomor 92/Pdt.G/2009/PA-Mdn tentang bagian anak laki-laki dan anak perempuan sama rata dan pandangan hukum Islam terkait pembagian warisan sama rata anak laki-laki dan anak perempuan serta pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara Nomor 92/Pdt.G/2009/PA-Mdn sudah sesuai dengan asas keadilan dan kemaslahatan. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif melalui penelitian kepustakaan yang mengkaji Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 92/Pdt.G/2009/PA-Mdn berdasarkan norma-norma hukum yang ada. Pengolahan dan analisis data menggunakan pendekatan metode kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam Putusan Nomor 92/Pdt.G/2009/PA-Mdn Hakim memutuskan perkara tidak sesuai dengan aturan yang ada. Menurut ijtihad Majelis Hakim, pembagian harta warisan baik dalam Al-Qura’an maupun KHI bukanlah ketentuan yang tidak dapat berubah lagi, terutama ketika permasalahannya terkait dengan rasa keadilan. Di dalam Islam bahwa bagian waris anak laki-laki dua berbanding satu bagian anak perempuan karena seorang laki-laki diberi tanggung jawab lebih besar maka pembagian itu wajib diberikan sesuai ketentuan yang telah dijelaskan oleh Al-Qur’an, kecuali ahli waris sepakat untuk membagi sama rata. Terpenuhinya rasa keadilan dan kemaslahatan dengan cara tercapainya kesepakatan keluarga dan tidak akan menimbulkan konflik di kemudian hari. Dalam hal perkara kewarisan, hendaknya dilakukan pembagian harta sesuai ketentuan hukum waris Islam, yaitu dua berbanding satu jika ahli warisnya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ketentuan ini dikecualikan dalam hal-hal tertentu (kasuistis) seperti adanya kesepakatan semua ahli waris dengan menyamakan banyaknya bagian hak maka dimungkinkan untuk dilakukan pembagian sama rata, seperti yang telah dibahas dalam tulisan studi kasus ini.
PROSES PENYELESAIAN PERKARA PATAH TITI SECARA KEKELUARGAAN
Riski Ramadana;
Syamsul Bahri
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Keperdataan Vol 2, No 2: Mei 2018
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (478.041 KB)
Dalam pembagian warisan di Aceh yang mengikuti hukum Islam dan juga hukum adat, dikenal suatu aturan yaitu patah titi. Aturan ini dipakai pada suatu keadaan dimana ahli waris meninggal terlebih dahulu dari pewaris dan ahli waris tersebut meninggalkan anak. Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor l Tahun l99l mengenai Kompilasi Hukum Islam menghapus aturan tentang patah titi dan menyatakan bahwa adanya ahli waris pengganti bagi keturunan dari ahli waris yang meninggal terlebih dahulu untuk mendapatkan haknya. Namun pada masyarakat Kabupaten Aceh Besar Kecamatan Ingin Jaya khususnya, masih melaksanakan aturan tentang patah titi dalam menyelesaikan pembagian warisan yaitu jika ahli waris meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris maka anak dari ahli waris tidak dapat menggantikan kedudukan orang tuanya sebagai ahli waris. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk menjelaskan pelaksanaan patah titi dalam pembagian warisan di Kabupaten Aceh Besar, untuk menjelaskan proses penyelesaian perkara adat patah titi dalam pembagian warisan di Kabupaten Aceh Besar dan Akibat hukum dari penyelesaian perkara adat patah titi di Kabupaten Aceh Besar. Untuk memperoleh data dalam penulisan artikel ini dilakukan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dengan metode penelitian yuridis empiris. Penelitian kepustakaan dilaksanakan untuk mendapat data hukum sekunder dengan mempelajari buku-buku dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer dengan cara wawancara dengan responden dan informan. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa ketentuan patah titi masih dipakai dalam pembagian warisan secara adat di Aceh Besar, yaitu jika ahli waris meninggal lebih dahulu dari pewaris maka anak dari ahli waris tidak bisa menggantikan ahli waris untuk mendapatkan warisan dari pewaris. Meskipun aturan tentang patah titi telah dihapuskan seperti yang telah disebutkan dalam pasal 185 KHI, namun pada kenyataannya masyarakat di Aceh Besar masih memakai aturan tentang patah titi dalam menyelesaikan pembagian warisan. Disarankan kepada Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh Besar agar dapat mensosialisasikan mengenai ahli waris pengganti yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pada pengajaran lembaga pendidikan. Selain itu Majelis Adat Aceh kabupaten Aceh Besar dan juga kepada sebagian tokoh agama agar mempertimbangkan kembali terhadap aturan patah titi ini karena banyak menimbulkan efek negatifnya.