Ruli Herman Sitanggang
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran /RSHS Bandung

Published : 53 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Perbandingan Pemberian Cairan Ringerfundin Saat Anestesi Spinal (Coload) Dengan Cairan HES Sebelum Anestesi Spinal (Preload) Terhadap Hemodinamik Ibu Dan Skor APGAR BayiPada Seksio Sesarea Erik Efendi; Ruli Herman Sitanggang; Tinni T. Maskoen
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 1 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Hipotensi merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan pada anestesi spinal yang dilakukan pada bedah sesar. Salah satu usaha pencegahan yang dilakukan adalah dengan cara pemberian cairan kristaloid secara coloading atau cairan koloid dengan cara preloading. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis cairan dan teknik pemberian mana yang paling baik dalam menjaga hemodinamik ibu dan pengaruhnya terhadap bayi. Penelitian ini dilakukan dengan desain eksperimental acak tersamar tunggal mengikutsertakan42 ibu hamilASA II, yang menjalani operasi bedah sesardengan anestesi spinal. Setelah dilakukan randomisasi secara blok permutasi, subyek penelitian dikelompokkan menjadi dua yaitu 21 subyek masuk dalam kelompok kontrol mendapat preloading HES 6%sebanyak 7,5 cc/kgbb dan 21 subyek masuk dalam kelompok perlakuan mendapat coloading Ringerfundin sebanyak 20 cc/kgbb mL. Tekanan darah danlaju nadi diperiksa setiap satu menit sampai 15 menit setelah anestesia spinal. Setelah itu diperiksa tiap 3 menit sampai operasi selesai. Setelah bayi lahir dilakukan penilaian skor APGAR 1 menit dan 5 menit. Data hasil penelitian dianalisis dengan uji statistik yaitu uji t test, uji Mann Whitney dan uji Kolmogorov-Smirnov, di mana nilai p<0,05 dianggap bermakna. Analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara tekanan darah sistolik, tekanan diastolik, tekanan darah rerata dan laju nadi antara pemberian cairan ringerfundin secara coloading dibandingkan pemberian cairan HES 6% secara preloading (p>0,05). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok perlakuan terhadap skor APGAR 1 menit (p=0,309) dan 5 menit (p=0,154). Terdapat perbedaan bermakna terhadap jumlah pemakaian efedrin antara kedua kelompok (p=0,047). Simpulan dari penelitian ini adalah pemberian coloading ringerfundin dapat mencegah terjadinya hipotensi pasca anestesi spinal sama baiknya dengan pemberian preloading HES 6%. Tidak terdapat perbedaan skor APGAR antara preloading HES 6% dengan coloading ringerfundin. Terdapat perbedaan jumlah pemberian efedrin antara preloading HES 6% dan coloading ringerfundin.Kata Kunci:anestesi spinal, coloading, preloading, ringerfundin, seksio sesarea Comparison of Maternal Hemodynamic and APGAR Outcome between Ringerfundin Coload And HES Preload on Spinal Anesthesia for Sectio CesareaHypotension is the most common complication inspinal anesthesia in cesarean sections performed. One of the prevention neffort is made by way of a coloading crystalloid fluid administration or by preloading colloid fluid. This study aims to determine the effect of fluid types and techniques of which the most excellent in maintaining hemodynamic effects on mother and baby. The research was conducted with a single-blind randomized experimental design included 42 pregnant women ASAII, who underwent cesarean section surgery with spinal anesthesia. After randomization in blocks of permutations, subjects are grouped into two, 21 subjects included in the control group received. 6% HES preloading by 7.5 cc/kg and 21 subjects included in the treatment group received coloading Ringerfund in as much as 20 cc/kg. Blood pressure and pulse rate examined everyone minute until 15 minutes after spinal anesthesia. After it examined every 3 minutes until the operation is complete. After the baby is born an assessment of Apgar score 1 minute and 5 minutes. Data were analyzed with the results of statistical tests that test, Mann Whitney test and Kolmogorov – Smirnov test, where pvalues<0.05 were considered significant. Statistical analysis showed that there was no significant difference between the systolic blood pressure, diastolic pressure, mean blood pressure and pulse rate between the coloading ringer fund in than preloading HES 6% (p>0.05). There were no significant differences between the two treatment group sof1-minute Apgarscore (p =0.309) and 5 minutes (p=0.154). There is a significant difference to the amount of ephedrine usage between the two groups (p =0.047). The conclusions of this study is the provision of coloading ringer fundin can prevent hypotension after spinal anesthesia as well as HES 6% preloading. No difference between the Apgar scores of 6% HES preloading with coloading ringer fundin. There is a difference between the amount of ephedrine administration preloading HES 6% and coloading ringer fundin. Keyword: coloading, preloading, ringerfundin, sectio sesarea, spinal anesthesia DOI: 10.15851/jap.v1n1.157
Pengaruh Penambahan Petidin 0,25 mg/kgBB pada Bupivakain 0,25% untuk Blok Infraorbital terhadap Lama Analgesia Pascabedah pada Operasi Labioplasti Anak Anthon Vermana Ritonga; Ruli Herman Sitanggang; Ezra Oktaliansah
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 1, No 2 (2013)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (366.574 KB)

Abstract

Nyeri pascabedah labioplasti dapat dicegah dengan regional blok infraorbital bilateral. Bupivakain 0,25% biasa digunakan untuk blok infraorbital dan penambahan petidin akan memperpanjang lama kerjanya. Penelitian telah dilakukan dengan uji klinis acak terkontrol tersamar tunggal terhadap 40 pasien ASA II usia 3 bulan–1 tahun yang menjalani operasi labioplasti di ruang operasi bedah sentral Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Maret–Mei 2012. Setelah randomisasi secara blok permutasi, subjek dikelompokkan >menjadi dua, yaitu 20 subjek menggunakan bupivakain 0,25% 1 mL pada tiap sisi (kelompok B) dan 20 subjek menggunakan kombinasi bupivakain 0,25% dan petidin 0,25 mg/kgBB 1 mL pada tiap sisi (kelompok >BP) yang diberikan setelah induksi anestesi. Data tentang lama analgesi diuji dengan Mann-Whitney. Analisis statistik menunjukkan bahwa perbedaan lama analgesia antara kedua kelompok sangat bermakna (p<0,0001). Simpulan, peningkatan lama analgesia kombinasi bupivakain 0,25% dan petidin 0,25 mg/kg BB menghasilkan masa bebas nyeri sampai 36 jam, sedangkan pada bupivakain 0,25% lebih singkat sekitar 18 jam. Tidak dijumpai efek samping dalam penelitian ini.Kata kunci: Blok infraorbital, bupivakain, labioplasti, petidinComparison Between the Addition of Pethidine 0.25 mg/kgBW in Bupivacain 0.25% with Bupivacain 0.25% for Infraorbital Blockade in Labioplasty Surgery in Children to the Length of Post Operative AnalgesiaLabioplasty postoperative pain can be prevented by bilateral infraorbital regional block. Bupivacaine 0.25% is usually used in infraorbital block and pethidine as an adjuvant can prolong the postoperative analgesic. The research was a single-blind randomized clinical trial included 40 children ASA II aged 3 months–1 year underwent labioplasty surgery in central operating theatre Dr. Hasan Sadikin Hospital-Bandung during March–May 2012. After block of permutation randomization, the subjects were grouped into two, 20 subjects (group B) using bupivacaine 0.25% 1 mL on each side and 20 subjects (group of BP) using combination of pethidine bupivacaine 0.25% and 0.25 mg/kgBW 1 mL on each side after the induction of anesthesia. Measurement data of length of analgesia were tested with the Mann-Whitney Test. Statistical analysis showed that the difference of the length of analgesia between two groups analgesia was highly significant (p<0.0001). The conclusion of this study is that the increase of the length of analgesia in combination of bupivacaine 0.25% and pethidine 0.25 mg/kgBW produce pain-free period to 36 hours, whereas bupivacaine 0.25% is shorter, about 18 hours. The incidence of adverse effect was not found in this study.Key words: Bupivacaine, infraorbital block, labioplasty, pethidine DOI: http://dx.doi.org/10.15851/jap.v1n2.121
Pola Pneumonia Nosokomial di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode Januari–Desember 2017 Ronald Tikuali Salukanan; Ardi Zulfariansyah; Ruli Herman Sitanggang
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 2 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (249.88 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n2.1337

Abstract

Pneumonia merupakan salah satu jenis infeksi nosokomial dengan jumlah kasus tertinggi dibanding dengan infeksi nosokomial lain di unit perawatan intensif (ICU) disertai jumlah morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Pola pneumonia nosokomial merupakan suatu karakteristik pneumonia nosokomial yang digunakan untuk mengidentifikasi masalah dan dapat menjadi indikator untuk perbaikan terapi. Penelitian bertujuan menggambarkan pola pneumonia nosokomial di unit perawatan intensif RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari–Desember 2017. Metode penelitian menggunakan deskriptif observasional yang dilakukan secara retrospektif terhadap 70 objek penelitian yang diambil dari rekam medis dan dilakukan dalam waktu 3 bulan, yaitu Oktober–Desember 2017. Hasil penelitian jumlah kematian akibat pneumonia nosokomial masih tinggi, yaitu 60% terutama pada pasien laki-laki usia ≥ 65 tahun. Komorbid terbanyak pada pneumonia nosokomial, yaitu hipertensi (31,4%) diikuti penyakit neuromuskular (15,7%). Mikrob terbanyak penyebab HAP adalah A. baumannii (38,1%), P. aeroginosa (30,4%), dan K. pneumoniae (15,2%), sedangkan mikrob penyebab terbanyak ventilator associated pneumonia (VAP) adalah A. baumannii (32%), P. aeroginosa (30,5%), dan K. pneumoniae (22%). Mikrob A. baumannii juga menjadi penyebab mortalitas tertinggi dengan persentase 45,4% dan terapi empirik yang sering digunakan adalah kombinasi meropenem–levofloxacin (40%), terapi tunggal meropenem (34,3%), dan kombinasi ceftazidime-levofloxacin (20%). Simpulan, pola pneumonia nosokomial di ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari–Desember 2017 masih diperlukan perbaikan program penanganan terhadap infeksi ini untuk mencapai pelayanan yang baik.Kata kunci: Mikrob, mortalitas, pneumonia nosokomial, unit perawatan intensif Nosocomial Pneumonia Pattern in Intensive Care Unit (ICU) of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung from January to December 2017Pneumonia is the most common nosocomial infection in intensive care unit with high morbidity and mortality rates. Pattern of nosocomial pneumonia is an infection characteristic that helps the identification of a phenomenon or problem and serves as an indicator or model for predicting future behaviors. These patterns can be used for making a standardized therapy management for the disease. The aim of this study was to describe nosocomial pneumonia pattern in Intensive Care Unit (ICU) in Dr.  Hasan Sadikin Bandung from January to December 2017. A retrospective observational descriptive method on 70 samples from medical records with an observation period of three months starting from October to December 2017. It was shown that the mortality rate of nosocomial pneumonia was 60% with male patients aged ≥ 65 years old as the most affected group. The most common comorbid was hypertension (31.4%) followed by neuromuscular diseases (15.7%). The most common HAP-causing microbes were A. baumannii (38.1%), P. aeroginosa (30.4%), and K. pneumoniae (15.2%) and the most common microbes for VAP were A. baumannii (32%), P. aeroginosa (30.5%), and K. pneumoniae (22%). Acinetobacter baumannii caused most deaths (45.4%). The most common empirical therapy was meropenem–levofloxacin combination (40%), meropenem (34.3%), and ceftazidime–levoflocacin combination (20%). In conclusion, pattern of nosocomial pneumonia in ICU of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung reflects a situation that therapy management for this infection needs to be improved for a proper service.Key words: Intensive care unit, microbes, mortality, nosocomial pneumonia 
Chula Formula sebagai Prediktor Ketepatan Kedalaman Endotracheal Tube pada Intubasi Nasotracheal Akhmad Rhesa Sandy; Indriasari Indriasari; Ruli Herman Sitanggang
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 1 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (235.653 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n1.1491

Abstract

Intubasi nasotrakeal adalah salah satu metode yang umum digunakan pada operasi intraoral dan maksilofasial yang memiliki keunggulan untuk menyediakan akses yang lebih baik. Hal yang menjadi perhatian utama ketika memasukkan endotracheal tube (ETT) adalah penempatan yang tepat dan sesuai sehingga menghindari komplikasi akibat malposisi ETT. Fiberoptic bronchoscope (FOB) adalah cara yang paling pasti untuk menilai penempatan ujung ETT karena menyediakan visualisasi secara langsung sehingga dapat mengukur penempatan ETT yang ideal, tetapi FOB tidak selalu tersedia di rumah sakit. Penelitian ini bermaksud menilai kesesuaian Chula formula, yaitu rumus yang menggunakan tinggi badan untuk menempatkan ETT pada posisi yang tepat. Penelitian ini merupakan penelitian analitik yang dilakukan secara prospektif pada 59 subjek penelitian di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Juli sampai Agustus 2018. Subjek diintubasi nasotrakeal dengan kedalaman ETT dihitung menggunakan Chula formula, kemudian jarak ujung ETT ke carina dinilai menggunakan FOB. Hasil uji statistik dengan Guilford dan Spearman didapatkan nilai r 0,933 dan p 0,0001 yang menunjukkan kesesuaian yang sangat kuat pada Chula formula untuk menempatkan ETT pada kedalaman yang tepat. Simpulan, Chula formula dapat memprediksi kedalaman ETT dengan tepat pada intubasi nasotrakeal.Chula Formula as a Predictor for Correct Endotracheal Tube Placement for Nasotracheal IntubationNasotracheal intubation is a common method which provides better access for intraoral and maxillofacial operations. The main concern when inserting an endotracheal tube (ETT) is the correct and appropriate placement as there are many complications develop due to ETT malposition. A Fiberoptic Bronchoscope (FOB) is the best way to assess the placement of the tip of the ETT for it provides a direct visualization to measure the ideal ETT placement; however, it is not always readily available in hospitals. This study aims to assess the compatibility of Chula formula, a formula that utilizes height to determine the correct ETT placement. This study was a prospective analytical study on 59 research subjects in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung from July to August 2018. The subjects were nasotracheally intubated with the ETT depth measured using the Chula formula, afterwards the distance from the tip of the ETT to the carina was assessed using an FOB. The results from Guilford and Spearman’s were an r value of 0.933 and a p value of 0.0001, showing a statistically significant conformation of the Chula formula in correct ETT placement. It is concluded that Chula formula can be used as a predictor for correct ETT placement in nasotracheal intubation.
Perbandingan Pemberian Lidokain 2% 1,5 mg/kgBB Intravena dengan Propofol 0,3 mg/kgBB Intravena Setelah Anestesi Umum Dihentikan terhadap Kejadian Batuk Saat Ekstubasi Bangun Aris Gunawan; Erwin Pradian; Ruli Herman Sitanggang
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (690.983 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n2.1110

Abstract

Pipa endotrakeal (endotracheal tube; ETT) sering digunakan pada prosedur anestesi umum. Batuk saat ekstubasi merupakan komplikasi yang sering terjadi karena iritasi jalan napas akibat pelepasan ETT. Penggunaan lidokain intravena dan propofol intravena telah terbukti mampu menurunkan angka kejadian batuk saat ekstubasi. Tujuan penelitian ini membandingkan angka kejadian batuk saat ekstubasi bangun pemberian lidokain 2% 1,5 mg/kgBB intravena dengan propofol 0,3 mg/kgBB intravena dalam anestesi umum yang diberikan 3 menit setelah sevofluran dan N2O dihentikan pada akhir operasi. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2016 sampai dengan Februari  2017 di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimental dengan teknik acak terkontrol buta tunggal terhadap 72 subjek yang terdiri atas kelompok lidokain (n=36) dan kelompok propofol (n=36). Analisis statisika menggunakan uji chi-square dengan bantuan aplikasi statistical product and service solution (SPSS) versi 20.0 for windows taraf signifikasi 5% dan dianggap bermakna bila p<0,05. Pada hasil penelitian ini didapatkan angka kejadian batuk pada pemberian lidokain 2% 1,5 mg/kgBB lebih rendah dibanding dengan  pemberian propofol 0,3 mg/kgBB (p<0,05) dengan persentase 19,4% dan 44,4%. Simpulan penelitian ini adalah pemberian lidokain 2% 1,5 mg/kgBB intravena lebih baik dibanding dengan propofol 0,3 mg/kgBB intravena untuk menurunkan kejadian batuk pada saat ekstabasi.Kata kunci: Batuk, ekstubasi, lidokain, propofol Comparison between Intravenous Administration of 2% Lidocaine 1,5 mg/kgBW and Propofol 0,3 mg/kgBW after Discontinuation of General Anesthesia against Cough Incidence During Awake ExtubationEndotracheal tube (ETT) is often used in general anesthesia procedures. Coughing at the time of  extubation is a complication that often occurs due to respiratory irritation due to the release of ETT. The use of intravenous lidocaine and intravenous propofol has been shown to decrease the incidence of coughing at the time of extubation. This study aimed to compare the incidence of coughing during awake extubation between 2% of lidocaine 1.5 mg/kgBW intravenously with propofol administered 0.3 mg/kgBW intravenously in general anesthesia 3 minutes after sevoflurane and N2O was stopped at the end of the surgery. This study was conducted from December 2016 until February 2017 in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung. The research was done with experimental method with a single blind  randomized controlled trial and was carried out on 72 subjects consisting of lidocaine group (n=36) and propofol group (n=36). Statistic analysis using chi-square test with statistical product and service solution (SPSS) version 20.0 for windows with significance level 5% and considered significant if p<0,05. In the results of this study, the incidence of coughing in group of 2% of lidocaine 1.5 mg/kgBW was lower than group of propofol 0.3 mg/kgBW (p<0.05) with the respective percentages of 19.4% and 44.4%. The conclusion of this study was 2% of lidocaine 1.5 mg/kgBW intravenously is better compared to propofol 0.3 mg/kgBW intravenously to decrease the incidence of coughing at the time of extubation.Key words: Coughing, extubation, lidocaine, propofol
Gambaran Kontaminasi Bakteri pada Sirkuit Pernapasan Anestesi di Ruang Operasi Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Bulan Agustus 2015 Suryadi Suryadi; Iwan Fuadi; Ruli Herman Sitanggang
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 1 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (602.025 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n1.1001

Abstract

Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung memakai sirkuit pernapasan dalam melakukan tindakan anestesi di ruang operasi. Sirkuit tersebut digunakan berulang dan diganti setiap 24 jam. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran kontaminasi bakteri pada sirkuit pernapasan anestesi. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif observasional secara cross–sectional. Sebanyak 102 sampel dari 51 sirkuit pernapasan anestesi diperiksa kultur bakteri sebelum dan sesudah digunakan pada ruang operasi Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung selama 3 hari pada bulan Agustus 2015. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode apus pada konektor Y sirkuit pernapasan anestesi sebelum dan sesudah digunakan dalam 24 jam. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada kontaminasi bakteri pada sirkuit pernapasan anestesi sebelum digunakan pada ruang operasi Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung. Kontaminasi bakteri pada sirkuit pernapasan anestesi sesudah digunakan pada ruang operasi Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung adalah 25,49%. Gambaran pola bakteri yang teridentifikasi adalah bakteri Micrococcus spp., Bacillus spp., Streptococcus viridans, Serratia marcescens, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus hominis, dan Staphylococcus saprophyticus. Simpulan penelitian ini adalah tidak ditemukan kontaminasi bakteri pada sirkuit pernapasan anestesi sebelum digunakan dan ditemukan kontaminasi bakteri pada sirkuit pernapasan anestesi sesudah digunakan pada ruang operasi Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung.Kata kunci: Gambaran pola bakteri, kontaminasi bakteri, sirkuit pernapasan anestesi Description of Bacteria Contamination in Anesthesia Breathing Circuit in Operating Room Dr. Hasan Sadikin Bandung General Hospital in August 2015Breathing circuits have been used repeatedly to perform anesthesia in the operating theater of Dr. Hasan Sadikin General Hospital with a replacement interval of every 24 hours. This study was conducted to determine the contamination of bacteria in the anesthesia breathing circuits. This was an observational descriptive cross–sectional study on 102 samples from 51 anesthesia breathing circuits. These samples were cultured before and after the use of breathing circuit in the operating room of Dr. Hasan Sadikin General Hospital for 3 days in August 2015. Sampling was performed using swab method at the Y connector of anesthesia breathing circuit before and after use within a period of 24 hours. The results showed that no bacterial contamination was found in the anesthesia breathing circuit before use in the operating theatre of Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung. Bacterial contamination of anesthesia breathing circuit after use was 25.49%. The bacteria identified were Micrococcus spp., Bacillus spp., Streptococcus viridans, Serratia marcescens, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus hominis and Staphylococcus saprophyticus. It is concluded that no bacterial contamination of anesthesia breathing circuit before use; however, bacterial contamination was found after the use of anesthesia breathing circuits in the operating theatre of Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung.Key words: Anesthesia breathing circuits, bacterial contamination, description of the bacteria 
Perbandingan Pemberian Efedrin 30 mcg/kgBB dengan Efedrin 70 mcg/kgBB Intravena terhadap Skala Nyeri dan Efek Hipotensi pada Penyuntikan Propofol di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Afifuddin Afifuddin; Ruli Herman Sitanggang; Ezra Oktaliansah
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 3 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (650.194 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n3.1164

Abstract

Penyuntikan propofol menyebabkan  nyeri dan perubahan tekanan darah. Efedrin merupakan obat yang digunakan untuk mengurangi efek yang tidak diinginkan saat penyuntikan propofol. Penelitian ini bertujuan membandingkan pemberian efedrin 30 mcg/kgBB intravena dengan efedrin 70 mcg/kgBB intravena terhadap skala nyeri dan efek hipotensi pada penyuntikan propofol. Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan September hingga November 2015 terhadap 60 orang  pasien dengan  American Society of Anesthesiologist  (ASA) kelas I dan II, usia 18 hingga 60 tahun yang menjalani operasi elektif dengan anestesi umum secara uji acak kontrol buta ganda. Pasien dibagi menjadi dua kelompok, 30 orang menerima efedrin 30 mcg/kgBB dan 30 orang menerima efedrin 70 mcg/kgBB, diberikan 1 menit sebelum penyuntikan propofol. Analisis statistik menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukkan skala nyeri pada kelompok efedrin 30 mcg/kgBB dan efedrin 70 mcg/kgBB tidak berbeda bermakna (p>0,05), dan perubahan tekanan darah sistole dan diastole efedrin 30 mcg/kgBB dengan efedrin 70 mcg/kgBB berbeda bermakna (p<0,05). Simpulan, efedrin 30 mcg/kgBB dan efedrin 70 mcg/kgBB menurunkan skala nyeri saat penyuntikan propofol, dan efedrin 70 mcg/kgBB mencegah efek hipotensi lebih baik dibanding dengan efedrin 30 mcg/kgBB.  Comparison of 30 mcg/kgBW and 70 mcg/kgBW Intravenous Ephedrine on Pain Scale and Hypotension After Propofol Injection in  Dr. Hasan Sadikin General Hospital BandungInjection of propofol causes pain and blood pressure changes. Propofol can cause pain at the injection site and decrease the blood pressure while ephedrine is considered to minimize those adverse effect. The purpose of the study was to compare the effects of 30 mcg/kgBW and 70 mcg/kgBW intravenous ephedrine on pain score and blood pressure changes after propofol injection. This double-blind randomized control trial was conducted in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung, September to November 2015, on 60 patients with American Society of Anesthesiologist (ASA) physical status I and II, aged 18 to 60 years old. Patients were divided into 2 groups of 30 persons; the first group received 30 mcg/kgBW ephedrine and the second group received 70 mcg/kgBW ephedrine one minute before propofol injection. Statistical analysis was performed using the Mann-Whitney test. This study showed no significant difference in pain score between the group that received 30 mcg/kgBW ephedrine and 70 mcg/kgBW (p>0,05), but there were significant differences in blood pressure changes (p<0,05). It can be concluded that 30 mcg/kgBW and 70 mcg/kgBW ephedrine could reduce pain score following propofol injection with 70 mcg/kgBW ephedrine reduces the hypotension effect better than the 30 mcg/kgBW dose.  
Perbandingan Pemberian Informasi Verbal dengan Presentasi Video Terhadap Pengetahuan Prosedur Anestesi Umum pada Pasien yang Akan Menjalani Operasi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Yodi Suryo Arnanto; Ruli Herman Sitanggang; Nurita Dian Kestriani Saragi Sitio
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1882.817 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n3.1351

Abstract

Informasi mengenai indikasi, tujuan, prosedur, risiko, manfaat, dan alternatif tindakan anestesi yang akan dilakukan harus disampaikan kepada pasien. Pemberian informasi dilakukan secara verbal atau lisan pada saat proses persetujuan tindakan kedokteran. Kemampuan pasien yang berbeda-beda dalam menerima dan memahami informasi dapat menjadi penyebab tujuan penyampaian informasi tidak tercapai. Penelitian ini bertujuan membandingkan pemberian informasi verbal dengan presentasi video terhadap pengetahuan prosedur anestesi umum pada pasien yang akan menjalani operasi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Penelitian dilakukan pada 6 Februari–31 Maret 2018 dengan metode cross-sectional randomized study dan melibatkan 40 orang pasien yang akan menjalani operasi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Dilakukan penilaian pengetahuan subjek mengenai prosedur anestesi umum dengan menggunakan kuesioner. Data numerik dianalisis dengan uji t tidak berpasangan dan data kategorik dianalisis menggunakan uji chi-square. Penelitian ini memberikan hasil bahwa tidak terdapat perbedaan signifikan antara pemberian informasi dan metode verbal maupun presentasi video terhadap pengetahuan prosedur anestesi umum pada pasien (p>0,05). Sebagai simpulan, penelitian ini menunjukkan bahwa presentasi video yang tidak dibuat sesuai dengan kaidah pembelajaran kognitif dan teori multimedia tidak memberikan pengetahuan yang lebih baik dibanding dengan metode verbal.Kata kunci: Pengetahuan prosedur anestesi umum, pemberian informasi verbal, persetujuan tindakan kedokteran, presentasi videoComparison of Verbal and Video Presentation Method of Information Disclosure on Knowledge on General Anesthesia Procedure among Patients Undergoing Surgery in Dr. Hasan Sadikin General Hospital BandungInformation on the indication, purpose, procedure, risks, benefits, and alternatives of any medical action should be disclosed to the patient. Patient should be given verbal information on any medical action he/she was about to undergo during the informed consent process. The variations in patient’s ability to accept and understand information given to them could hinder the purpose of information disclosure during informed consent. The aim of this study was to assess the effect of video presentation on general anesthesia procedure on the knowledge of patients who were going to undergo surgery. This was a randomized cross-sectional study conducted from February 6–March 31, 2018 involving 40 patients who were about to undergo surgery in Dr Hasan Sadikin General Hospital. Afterwards, patient knowledge on the general anesthesia procedure was assessed. The numerical data were analyzed by unpaired t test and categorical data were analyzed using Chi-Square analysis. This study showed that there was no significant difference between verbal and video presentation method of giving information on patient’s knowledge regarding the general anesthesia procedure (p>0.05). In conclusion, a video presentation which is designed without paying attention to the principles of cognitive learning and multimedia theories does not lead to better knowledge compared to the verbal method.Key words: Informed consent, patient’s knowledge about general anesthesia procedure, verbal disclosure, video presentation
Efek Ondansetron Intravena terhadap Tekanan Darah dan Laju Nadi pada Anestesi Spinal untuk Seksio Sesarea Annisa Isfandiary Ismandiya; Tinni T. Maskoen; Ruli Herman Sitanggang
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 3, No 2 (2015)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1369.072 KB)

Abstract

Hipotensi merupakan komplikasi anestesi spinal yang sering ditemukan pada seksio sesarea. Pencegahan hipotensi dapat dilakukan dengan pemberian cairan, vasopresor, dan memperbaiki posisi uterus ibu saat terlentang dengan mengganjal punggung. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh ondansetron 8 mg yang diberikan 5 menit sebelum spinal anestesi dalam menjaga kestabilan hemodinamik. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Januari–Maret 2014 dengan desain eksperimental secara acak klinis terkontrol tersamar ganda yang mengikutsertakan 46 ibu hamil dengan status fisik American Society of Anesthesiologist (ASA) I−II yang menjalani seksio sesarea menggunakan anestesi spinal. Setelah randomisasi secara blok permutasi, subjek penelitian dikelompokkan menjadi 2, yaitu 23 subjek kelompok kontrol mendapat NaCl 0,9% dan 23 subjek kelompok perlakuan mendapat ondansetron intravena 8 mg. Tekanan darah dan laju nadi diperiksa setiap 1–15 menit setelah anestesia spinal, kemudian diperiksa tiap 3 menit sampai operasi selesai. Data hasil penelitian dianalisis dengan uji-t, Uji Mann-Whitney, dan Uji Kolmogorov-Smirnov. Analisis statistik menunjukkan perbedaan bermakna tekanan darah sistol, tekanan darah rata-rata, dan jumlah pemakaian efedrin antara kelompok kontrol dan kelompok ondansetron (p<0,05). Simpulan, pemberian ondansetron 8 mg dapat mengurangi hipotensi dan menurunkan jumlah pemberian efedrin pasca-anestesi spinal pada operasi seksio sesarea.Kata kunci: Anestesi spinal, hipotensi, ondansetron, seksio sesareaIntravenous Ondansetron Effect on Blood Pressure and Heart Rate in Caesarean Section under Spinal AnesthesiaHypotension is the most common complication in spinal anesthesia during cesarean sections. One of the prevention efforts includes administering a fluid vasopressor or placing a wedge under the right hip for left uterine displacement. This study aimed to determine the effect of ondansetron 8 mg, 5 minutes before spinal anesthesia, to maintain maternal hemodynamic stability. This double-blind randomized control experimental study was conducted in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung during the period of January to March 2014 on 46 pregnant women, American Society of Anesthesiologist (ASA) II, who underwent cesarean section with spinal anesthesia. After randomization, the subjects were grouped into two groups: 23 subjects were included in the control group receiving Nacl 0.9% and 23 subjects were included in the ondansetron group receiving 8 mg of ondansetro. Blood pressure and pulse rate were examined every minute until 15 minutes after spinal anesthesia and then every 3 minutes until the operation was complete. Data were analyzed statistically using t test, Mann Whitney Test, and Kolmogorov-Smirnov Test. The results show that there were significant differences in systol presure, average blood pressure, and use of ephedrine between the control and ondansetron group (p<0.05). In conclusion, the provision of 8 mg ondansetron can prevent hypotension and reduce ephedrine use after spinal anesthesia in caesarean section.Key words:  Spinal anesthesia, caesarean section, hypotension, ondansetron, sectio sesareaspinal anesthesia  DOI: 10.15851/jap.v3n2.572
Angka Mortalitas dan Faktor yang Memengaruhi pada Pasien Trakeoesofageal Fistula (TEF) yang Menjalani Operasi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Unang Sunarya; Ezra Oktaliansah; Ruli Herman Sitanggang
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 2 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (697.967 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n2.1111

Abstract

Trakeoesofageal fistula (TEF) merupakan kelainan esofagus yang bersifat kongenital ditandai dengan fistula antara trakea dan esofagus yang merupakan koneksi abnormal yang dapat disertai putusnya antara distal dan proksimal esofagus. Insidensi TEF kongenital mencapai 1:2.400‒4.500 kelahiran hidup. Tujuan penelitian ini mengetahui angka mortalitas dan faktor yang memengaruhi pada pasien TEF yang menjalani operasi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2010–2015. Metode penelitian ini bersifat deskriptif yang dilakukan secara retrospektif terhadap 35 rekam medik pasien TEF yang menjalani operasi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2010‒2015. Hasil penelitian ini menunjukkan angka mortalitas pascaoperasi pasien TEF sebesar 19 dari 34 dan mortalitas tertinggi terjadi pada perempuan 7 dari 12, bayi lahir lahir prematur 5 dari 5, berat badan lahir kurang dari 1.500 gram 1 dari 1, TEF tipe C 19 dari 32, riwayat persalinan di bidan/puskesmas 9 dari 11, disertai kelainan kongenital penyerta selain kelainan anorektal, usia saat operasi lebih dari 7 hari 15 dari 17, penyulit preoperatif lebih dari satu, lama operasi lebih dari 3 jam, tidak dilakukan ekstubasi 15 dari 20, kenaikan berat badan lebih dari 10% 14 dari 18, leakage pascaoperasi dan faktor penyulit pascaoperasi lebih dari satu. Simpulan Angka mortalitas pasien TEF yang menjalani operasi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2010–2015 sebanyak 54,3%. Kata kunci: Mortalitas pascaoperasi, operasi, trakeoesofageal fistula Mortality and The Influencing Factors of Trakeoesofageal Fistula (TEF)Patients which Operated in Dr. Hasan Sadikin General Hospital BandungTracheoesophageal fistula (TEF) is a disorder of the esophagus that is characterized by congenital fistula between the trachea and esophagus wich is an abnormal connection that can be accompanied by a break between the distal and proximal esophagus. The incidence of congenital TEF reached 1:2,400‒4,500 live births. The purpose of this study to determine mortality and factors affecting mortality in patients TEF in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in 2010‒2015. This research method was descriptive retrospectively of 35 patients taken from the medical records underwent surgery TEF in Dr. Hasan Sadikin Central Hospital Bandung in 2010‒2015. Results of this study showed a mortality rate of postoperative patients TEF rate of 19 from 34 and the highest mortality among women 7 from 12, premature birth, birth weigth less than 1,500 g, TEF type C 19 from 36, childbirth history at the midwife 9 from 11, congenital abnormalities other than anorectal disease, age at surgery of more than 7 days 15 from 17, preoperative complications more than one, the operating time of more than 3 hours, do not extubation 15 from 20, weight gain more than 10% 14 from 18, the leakage postoperative and more than one complications postoperative factors. In conclusion, mortality of trakeoesofageal fistula (TEF) patients which operated in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in 2010–2015 was 54.3%.Key words: Postoperative mortality, operatif, tracheoesophageal fistula
Co-Authors - Elvidiansyah - Elvidiansyah - Suwarman A. Himendra Wargahadibrata A. Himendra Wargahadibrata Afifuddin Afifuddin Afifuddin Afifuddin, Afifuddin Akhmad Rhesa Sandy Annisa Isfandiary Ismandiya Annisa Isfandiary Ismandiya, Annisa Isfandiary Anthon Vermana Ritonga Anthon Vermana Ritonga Ara Guntara Ara Guntara Ardi Zulfariansyah Ardi Zulfariansyah Ariaty, Geeta Maharani Aris Gunawan Arnanto, Yodi Suryo Budi Hartanto Budi Hartanto Budiana Rismawan Cindy E. Boom Cindy E. Boom Dadang Mulyawan Dadang Mulyawan Dear Mohtar Wirawijaya Dedi Fitri Yadi Dewi Yulianti Bisri Doddy Tavianto Erias, Muhammad Erik Efendi Erik Efendi Erwin Pradian Ezra Oktaliansah Geeta Maharani Ariaty Gunawan Mutiara Gunawan Mutiara, Gunawan Gunawan, Aris Harly, Patra Rijalul Harniati, Siti Ike Sri Redjeki Indriasari Indriasari Iwan Fuadi Lira Panduwaty M. Andy Prihartono M. Erias Erlangga M. Erias Erlangga, M. Erias Mahathir Harry Permana Muhammad Erias Nurita Dian Kestriani Oka Endarto Oktofina K. Mose Oktofina K. Mose Raditya Fauzan Raditya Fauzan, Raditya Ratu Lewi Ratu Lewi, Ratu Reza Widianto Sudjud Robert Sihombing Ronald Tikuali Salukanan Salukanan, Ronald Tikuali SATRIYAS ILYAS Selly Oktarina Rosita Selly Oktarina Rosita Sihombing, Robert Suryadi Suryadi Suryadi Suryadi Suwarman Suwarman Suwarman Suwarman Suwarman Suwarman, Suwarman Tatang Bisri Tatang Bisri Tatang Bisri Tatang Bisri Tinni T. Maskoen Tinni T. Maskoen Udin Sabarudin Udin Sabarudin Viana Wijayanti Viana Wijayanti Wirawijaya, Dear Mohtar Wirawijaya Wullur, Caroline Yodi Suryo Arnanto