Claim Missing Document
Check
Articles

Found 27 Documents
Search

KEBIJAKAN TERTIB ADMINISTRASI PERTANAHAN DESA Umi Supraptiningsih
AL-IHKAM: Jurnal Hukum & Pranata Sosial Vol. 3 No. 1 (2008)
Publisher : Faculty of Sharia IAIN Madura collaboration with The Islamic Law Researcher Association (APHI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/al-lhkam.v3i1.2601

Abstract

Penertiban administrasi desa merupakan langkah awal menuju perlindungan dan kepastian hukum. Tindakan harus dilakukan oleh kepala desa atau kepala kelurahan dengan melakukan pencatatan atas bidang-bidang tanah, bilamana terjadi peralihan atau pembebanan hak atas tanah. Penerapan berbagai peraturan merupakan tindakan preventif dalam menjaga dan melindungi hak warganya serta tanah aset desa (tanah kas desa) tersebut. Berkenaan dengan tanah kas desa, perlu dilakukan pendaftaran tanah, sehingga ada kepastian hukum. Tidak dilakukan peralihan dan pembebanan hak atas tanah kas desa kecuali untuk kepentingan umum, begitu pula hasil pembayaran ganti ruginya harus dibelikan tanah kas desa lagi yang kualitasnya sama atau lebih bagus.
PERADILAN SATU ATAP SEBAGAI PERWUJUDAN KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA Umi Supraptiningsih
AL-IHKAM: Jurnal Hukum & Pranata Sosial Vol. 2 No. 2 (2007)
Publisher : Faculty of Sharia IAIN Madura collaboration with The Islamic Law Researcher Association (APHI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/al-lhkam.v2i2.2627

Abstract

Pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004 menyatakan bahwa “kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Maksud dari kekuasaan kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan kehakiman yang tidak dicampuri oleh kekuasaan eksekutif atau kekuasaan ekstrayudisial  dalam melaksanakan fungsi peradilan. Untuk menciptakan kekuasaan kehakiman dalam posisi “independen” tersebut, maka harus ada korelasi antara fungsi yudikatif/peradilan dan proses demokrasi, dimana pembentukan dan jaminan independensi atau kebebasan kekuasaan kehakiman seharusnya diciptakan secara aktif oleh semua sarjana hukum, polisi, kejaksaan dan penegak hukum lainnya. Dengan mewujudkan sistem satu atap (one roof  system) diharapkan apa yang menjadi cita-cita hukum (rechtsidee) untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka (independent) dalam rangka  penegakan hukum dan keadilan demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Marriage Settlement among Minority Moslem by Datok Imam Masjid in South Thailand Umi Supraptiningsih; Khoirul Bariyyah
Al-Ihkam, Jurnal Hukum dan Pranata Sosial Vol 14 No 2 (2019)
Publisher : Faculty of Sharia IAIN Madura collaboration with The Islamic Law Researcher Association (APHI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/al-lhkam.v14i2.2631

Abstract

Thailand is a Moslem minority country with most of Moslem community centered at the plateu of its South area. As the minority, they can not perform sharia laws formally under official acknowledgment. Therefore, in dealing with any law practice, particularly marriage settlement, they rely on the rules of fiqh school followed by each local Datok Imam Masjid. The Datok himself exists in every village even subvillage and is a delegation from the Commitee of Islam at Province serving to deal with any religious affairs. However, The Commitee does not arrange particular rules in the marriage settlement so the practice is fully guided and handled by the Datok. On the basis of that, this research would like to use a qualitative approach through descriptive method. It is found that the principles and requirements of marriage settlement are in line with common Islamic laws as stated in the Qur’an and hadith. Most of the Datok in the South Thailand serving as penghulu (staffs of marriage settlement) affiliate to Shafi’i school. However, as each datok has different views and beliefs on certain issues, the rules become too flexible such as in the matter of minimum age for the brides and bridegrooms or the existence of walī (Islamic guardian mainly from family line) as the marriage requirement. Additionally, the marriage settlement with a newly converted Moslem and “free” polygamy also become big issues as there found no exact rule governing all the details. The settlement is also often hard to hold due to the expensive request of mahr (dowry) which cause the high number of eloping cases as the consequence. (Minoritas Muslim di Thailand Selatan Dataran Tinggi merupakan wilayah yang tidak mendapat kesempatan untuk melaksanakan hukum syari’ah secara resmi yang dapat diakui oleh negara. Oleh karenanya, pelaksanaan pernikahan bagi minoritas Muslim di Thailand Selatan ini masih menggunakan peraturan sesuai dengan mazhab masing-masing yang diurus oleh Datok Imam Masjid di setiap kampung. Datok Imam Masjid tersebut merupakan utusan dari Komite Islam Provinsiyang berwenang mengurus segala bentuk urusan keagamaan khususnya Islam. Walaupun begitu, Komite Islam di Thailand tidak memiliki aturan yang pasti tentang pelaksanaan perikahan sehingga aturan dari pelaksanaan pernikahan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada Datok Imam Masjid. Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pernikahan bagi minoritas Muslim di Thailand Selatan dan kajian hukum Islam tentang pelaksanaan pernikahan tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis deskriptif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa, rukun dalam pelaksanaan pernikahan sudah sesuai dengan hukum Islam. Pada umumnya Datok Imam Masjid di Thailand Selatan yang menjadi juru nikah menggunakan mazhab Syafi’i, namun adanya perbedaan pengetahuan agama pada setiap Datok Imam Masjid menyebabkan longgarnya aturan-aturan yang digunakan dalam pelaksanaan pernikahan, seperti halnya syarat usia calon mempelai dan penggunaan wali hakim dalam pernikahan, pernikahan dengan muallaf tanpa adanya perhatian khusus serta maraknya pernikahan poligami tanpa adanya batasan-batasan tertentu. Selain itu, pelaksanaan pernikahan seringkali terhambat oleh adanya permintaan jumlah mahar yang tinggi dari pihak perempuan yang menyebabkan banyaknya kasus kawin lari)
KESIAPAN PENEGAK HUKUM DI KABUPATEN PAMEKASAN DALAM PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Umi Supraptiningsih
Perspektif Vol 19, No 2 (2014): Edisi Mei
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (767.269 KB) | DOI: 10.30742/perspektif.v19i2.13

Abstract

Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara RI Tahun 2012 Nomor 153 Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5332) merupakan harapan bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagai pelaku maupun sebagai korban untuk tetap mendapatkan hak-haknya. Hal penting yang diatur dalam UU-SPPA adalah pelaksanaan diversi. Hal-hal yang harus dipersiapkan dalam pemberlakuan UU-SPPA ada dua aspek, yaitu fisik dan non fisik. Persiapan secara fisik berupa sarana dan prasarana, yang selama ini masih belum ada Pemerintah daerah harus mempersiapkan lembaga-lembaga seperti Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Lembaga Penempatan Anak Sementara, Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Sedangkan persiapan non fisik meliputi penegak hukum yang mempunyai sertifikat sebagai penyidik anak, jaksa anak, dan hakim anak. Sedangkan faktor penghambat atas pemberlakuan UU-SPPA yang paling dominan ada pada UU-SPPA itu sendiri karena masih banyak aturan yang memerlukan petunjuk teknis untuk melaksanakannya, seperti aturan tentang prosedur diversi. Jika diversi merupakan amanat dalam UU-SPPA, maka selama lembaga-lembaga baru belum tersedia, maka pelaksanaan diversi akan mengalami hambatan. Demikian juga selama belum tersedia penegak hukum khusus anak, maka amanat UU-SPPA juga tidak akan terlaksana.The establishment of Law of Number 11, 2012 about the system of children penal judgment (government gazette 2012 number 153 and additional government gazette number 5332, abbreviated UU-SPPA) is “a hope” for children facing the law both as doers or victims to get their rights. The important thing arranged in UU-SPPA is the completion of children penal from penal judgment process out of penal judgment. There are two aspects to prepare in establishing UU-SPPA, namely physical and non physical. The local governmet has to prepare the institutions such as Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Lembaga Penempatan Anak Sementara, Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. This law accomodates children interest and protection that has given the completion of children cases facing the law. While the dominant inhibiting factor is in UU-SPPA its self since there are so many rules that need technical instructions to implement, such as the rule of diversion procedure. If the diversion is a mandate in UU-SPPA and the new institutions are not available so it will make the establishment of diversion  facing obstacle. Moreover, if there is no children law holder, the mandate of SPPA will not also be implemented.
PERKAWINAN ANAK: Pandangan Ulama dan Tokoh Masyarakat Pamekasan Umi Supraptiningsih; Erie Hariyanto
Jurnal Harkat : Media Komunikasi Gender JURNAL HARKAT : MEDIA KOMUNIKASI GENDER, 15(2), 2019
Publisher : Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3510.812 KB) | DOI: 10.15408/harkat.v15i2.13466

Abstract

Abstract. Child marriages as well as the prosession are happen due to the role of both ulama (the Islamic leaders) and the community leaders. This paper aimed at exploring the perception of ulama and the community leaders in line with the factors of child marriage as well as the minimum age of marriage. The descriptive qualitative were implemented in this study. Meanwhile, the data were gathered by conducting observation, interview, and documentation. The first finding of the study is in line with the factors of child marriages. The educational background of the parents and the children, economic factors, cultural factors, and the uncontrolled relationship among teens were regarded to influence the child marriage in Pamekasan. Second, the ulama and the community leader argued that the child marriage should be avoided because it determine the life of the spouse after marriage. It must be considered that marriage is a time to realize the happy family (sakinah). Therefore, maturation is important in attempt to mentally and economically prepare for the marriage. Also, the limitation of marriage is not merely about the minimum age, but also the preoparation and the in-depth understanding of the spouse. Third, there is no clear statement in Alquran regard to the minimum age of marriage. Alquran stated akil baligh as the requirement. Meanwhile, the marriage law stated that minimum age for man is 19 years old and 16 years old for woman. In child protection laws, the minimum age for both man and woman are 18 years old. Abstrak. Perkawinan Anak dapat terjadi karena peran serta dari para ulama atau tokoh masyarakat, begitu pula prosesi perkawinan dengan restu keduanya. Artikel ini bertujuan untuk mengetahui peranan ulama dan tokoh masyarakat Kabupaten Pamekasan dalam terwujudnya perkawinan anak serta pendapat tentang batasan usia perkawinan. Metode penelitian mengunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach) dan metode deskriptif, sedangkan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Ada beberapa temuan dalam penelitian ini yaitu pertama Perkawinan anak masih saja terjadi diwilayah Kabupaten Pamekasan, hal ini dilatar belakangi beberapa faktor, yaitu faktor rendahnya pendidikan baik dari orang tua maupun anak, tidak adanya aktifitas atau kegiatan karena selepas dari pesantren atau MA mereka menganggur, faktor ekonomi, faktor budaya atau tradisi, dan faktor pergaulan bebas; kedua Para ulama dan tokoh masyarakat berpendapat bahwa perkawinan anak harus dihindarikarena berdampak pada kelangsungan rumah tangga yang tentunya pasca perkawinan adalah waktu yang panjang untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah. Pendewasaan perkawinan penting karena untuk mempersiapkan mental dan ekonomi dalam sebuah perkawinan. Batasan perkawinan tidak hanya sekedar usia namun persiapan dan pemahaman hak dan kewajiban bagi pasangan yang harus matang. Ketiga Batasan usia pernikahan dalam Al Qur’an dan hadis tidak secara jelas disebutkan hanya menjelaskan akil baliq, sedangkan dalam Undang- Undang Perkawinan usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Dalam UU Perlindungan ana laki-laki dan perempuan sama yaitu 18 tahun ke atas.
Penerapan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak di Wilayah Kabupaten Pamekasan Umi Supraptiningsih
Al-Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam Vol. 9 No. 2 (2019): Oktober
Publisher : Prodi Siyasah (Hukum Tata Negara) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (433.786 KB) | DOI: 10.15642/ad.2019.9.2.300-322

Abstract

The problems of children are increasing and increasingly diverse. It causes them to be classified as Children in Conflict with Law (ABH), either as perpetrators or victims. The problems are sexsual crime, theft, scuffelling, mugging, and drug addictive cases.The existance of Law No. 11 of 2012 concerning the Act of Children Criminal Justice System (UU-SPPA) in lieu of Law No. 3 of 1997, is expected to give more rights to ABH. UU-SPPA has been implemented as it has been stated in the Act, such as the implementation of Diversification as regulated in the UU-SPPA and also Supreme Court Regulation No. 4 of 2014 concerning Guidelines for the Implementation of Diversity in the Children Criminal Justice System (UU-SPPA). The judges spesialized for Juvenil courts are already available, but the prosecutors and the police are not yet available. During the legal process, ABH is not detained except in certain cases (ultimum remidium). However, the implementation of the decision cannot be carried out perfectly due to the unavailability of facilities and infrastructure which are mandated by the SPPA, such as vocational training institutions, the Child Welfare Organization (LPKA).
UPAYA HUKUM DALAM PERLINDUNGAN TANAH KAS DESA Umi Supraptiningsih
Yuridika Vol. 25 No. 3 (2010): Volume 25 Nomor 3 September 2010
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (333.452 KB) | DOI: 10.20473/ydk.v25i3.257

Abstract

The protection toward the land, use for the village employees in place of salary, is really urgent to do. it is in order to avoid the distinction and the transferal of the land into irresponsible people. the land registration is one of the law protection forms in order to give law assurance as a preventive protection. in case, there are some actions causing the distinction and the transferal of the land, then there should be a firm lawenforcement and an explicit sanction.
KESIAPAN PENEGAK HUKUM DI KABUPATEN PAMEKASAN DALAM PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Umi Supraptiningsih
Perspektif Vol. 19 No. 2 (2014): Edisi Mei
Publisher : Institute for Research and Community Services (LPPM) of Wijaya Kusuma Surabaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30742/perspektif.v19i2.13

Abstract

Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara RI Tahun 2012 Nomor 153 Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 5332) merupakan harapan bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagai pelaku maupun sebagai korban untuk tetap mendapatkan hak-haknya. Hal penting yang diatur dalam UU-SPPA adalah pelaksanaan diversi. Hal-hal yang harus dipersiapkan dalam pemberlakuan UU-SPPA ada dua aspek, yaitu fisik dan non fisik. Persiapan secara fisik berupa sarana dan prasarana, yang selama ini masih belum ada Pemerintah daerah harus mempersiapkan lembaga-lembaga seperti Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Lembaga Penempatan Anak Sementara, Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Sedangkan persiapan non fisik meliputi penegak hukum yang mempunyai sertifikat sebagai penyidik anak, jaksa anak, dan hakim anak. Sedangkan faktor penghambat atas pemberlakuan UU-SPPA yang paling dominan ada pada UU-SPPA itu sendiri karena masih banyak aturan yang memerlukan petunjuk teknis untuk melaksanakannya, seperti aturan tentang prosedur diversi. Jika diversi merupakan amanat dalam UU-SPPA, maka selama lembaga-lembaga baru belum tersedia, maka pelaksanaan diversi akan mengalami hambatan. Demikian juga selama belum tersedia penegak hukum khusus anak, maka amanat UU-SPPA juga tidak akan terlaksana.The establishment of Law of Number 11, 2012 about the system of children penal judgment (government gazette 2012 number 153 and additional government gazette number 5332, abbreviated UU-SPPA) is “a hope” for children facing the law both as doers or victims to get their rights. The important thing arranged in UU-SPPA is the completion of children penal from penal judgment process out of penal judgment. There are two aspects to prepare in establishing UU-SPPA, namely physical and non physical. The local governmet has to prepare the institutions such as Lembaga Pembinaan Khusus Anak, Lembaga Penempatan Anak Sementara, Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. This law accomodates children interest and protection that has given the completion of children cases facing the law. While the dominant inhibiting factor is in UU-SPPA its self since there are so many rules that need technical instructions to implement, such as the rule of diversion procedure. If the diversion is a mandate in UU-SPPA and the new institutions are not available so it will make the establishment of diversion  facing obstacle. Moreover, if there is no children law holder, the mandate of SPPA will not also be implemented.
PROBLEMATIKA IMPLEMENTASI SERTIFIKASI TANAH WAKAF PADA MASYARAKAT Umi Supraptiningsih
NUANSA: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam Vol. 9 No. 1 (2012)
Publisher : Research Institute and Community Engagement of IAIN MADURA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/nuansa.v9i1.22

Abstract

Tanah wakaf adalah melanggengkan manfaat tanah untuk kepentingan umum, diharapkan dapat memberikan jaminan kepastian hukum. Tujuan penelitian, yaitu pertama, mendeskripsikan pemahaman masyarakat tentang syariat wakaf tanah dan keberlangsungan manfaatnya. Kedua, mendeskripsikan pola dan problem pelaksanaan perwakafan tanah hak milik. Ketiga, merumuskan jaminan kepastian hukum perwakafan tanah hak milik. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative approach) dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan Pertama, pemahaman masyarakat Kecamatan Pamekasan, Kabupaten Pamekasan tentang syariat wakaf tanah milik dalam rangka untuk tempat ibadah (masjid atau mushola), dan lembaga pendidikan. Kedua, Pemikiran masyarakat tentang wakaf banyak dipengaruhi oleh para tokoh dan para ulama. Problem yang sering terjadi dalam pelaksanaan wakaf adalah pada saat penyerahan harta wakaf oleh wakif kepada nazhir tanpa persetujuan dari calon ahli waris wakif, maka ahli warisnya terkadang menggugat tanah orang tuanya dikembalikan atau melakukan gugatan. Ketiga, Dalam pelaksanaan wakaf hak milik, jarang yang didaftarkan sehingga tidak Sertipikat.
KESIAPAN PENEGAK HUKUM DI KABUPATEN PAMEKASAN DALAM PEMBERLAKUAN UU NO. 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Umi Supraptiningsih
NUANSA: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam Vol. 11 No. 1 (2014)
Publisher : Research Institute and Community Engagement of IAIN MADURA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/nuansa.v11i1.185

Abstract

Lahirnya UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (Lembaran Negara RI Tahun 2012 No 153 Tambahan Lembaran Negara RI No. 5332, selanjutnya disingkat UU-SPPA) merupakan “harapan” bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagai pelaku maupun sebagai korban untuk tetap mendapatkan hak-haknya. Hal penting yang diatur dalam UU-SPPA adalah pelaksanaan diversi yaitu pengalihan penyelesaian pidana anak dari proses peradilan pidana di luar peradilan pidana. Langkah diversi tersebut dimaksudkan untuk memperoleh keadilan restorasi (restoratif justice) yaitu penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan untuk pembalasan. UU-SPPA merupakan penyempurna atas pelaksanaan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang berlaku selama ini. Hal-hal yang harus dipersiapkan dalam pemberlakuan UU-SPPA ada dua aspek, yaitu fisik dan non fisik. Persiapan secara fisik yang berupa sarana dan prasarana, yang selama ini masih belum ada karena semua persiapan itu membutuhkan ketersediaan dana yang tidak sedikit. Pemerintah daerah harus mempersiapkan lembagalembaga seperti Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS), Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Sedangkan persiapan non fisik meliputi penegak hukum yang mempunyai sertifikat sebagai penyidik anak, jaksa anak dan hakim anak. Faktor pendukung berlakunya UU-SPPA adalah UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU ini telah mengakomodir kepentingan dan perlindungan anak yang selama ini telah mewarnai penyelesaian kasus-kasus anak yang berhadapan dengan hukum. Sedangkan faktor penghambat atas pemberlakuan UU-SPPA yang paling dominan justeru ada pada UU-SPPA itu sendiri karena masih banyak aturan yang memerlukan petunjuk teknis untuk melaksanakannya, seperti aturan tentang prosedur diversi. Jika diversi merupakan amanat dalam UU-SPPA, maka selama lembaga-lembaga baru belum tersedia, maka pelaksanaan diversi akan mengalami hambatan, dimana anak harus ditampung? Demikian juga selama belum tersedia penegak hukum khusus anak, maka amanat UU-SPPA juga tidak akan terlaksana.