Claim Missing Document
Check
Articles

Found 32 Documents
Search

NUTRISI ENTERAL PADA PASIEN DENGAN VENTILATOR Irwan, -; Suwarman, -
E-Journal Widya Kesehatan dan Lingkungan Vol. 1 No. 3 (2020)
Publisher : E-Journal Widya Kesehatan dan Lingkungan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pasien dengan ventilator amat bergantung pada nutrisi enteral sebagai sumber pemenuhan kebutuhan energi dan protein. Nutrisi enteral termasuk terapi pendukung dan dapat mempengaruhi luaran pasien. Inisiasi dini nutrisi enteral telah menunjukkan penurunan komplikasi dan masa rawat di rumah sakit serta meningkatkan prognosis. Pemberian nutrisi enteral mempertimbangkan total energi dan protein yang diberikan dan bagaimana cara pemberiannya. Tujuan penulisan ini berfokus pada ulasan literatur dan bukti klinis mengenai terapi nutrisi enteral pada pasien kritis yang membutuhkan ventilator. Metode yang digunakan dengan melakukan penelusuran kepustakaan terkait atas makalah-makalah ilmiah hasil penelitian mengenai nutrisi enteral pada pasien dengan ventilator. Kesimpulannya adalah rekomendasi berdasarkan SCCM/ASPEN, dapat diberikan total energi harian 25-30 kkal/kgBB dengan komponen protein 1,2–2 gr/kgBB. Pemberian nutrisi sesuai dengan protokol per institusi dapat berupa volume-based feeding atau trophic.
Perbandingan Ketinggian Bantal 4,5 cm dan 9 cm terhadap Visualisasi Glotis Saat Laringoskopi di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Mohamad Deny Saeful Alam; Suwarman Suwarman; Ike Sri Redjeki
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 3 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (675.71 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n3.1170

Abstract

Intubasi ialah prosedur baku mempertahankan patensi jalan napas dengan melihat secara langsung glotis melalui alat laringoskop. Visualisasi glotis akan lebih jelas pada saat tindakan laringoskopi langsung pada sniffing position. Ketinggian bantal yang berbeda akan memberikan visualisasi glotis yang berbeda pula. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen kuasi. Jumlah sampel penelitian 30 orang dengan 2 perlakuan berbeda, yaitu bantal dengan ketinggian 4,5 cm dan 9 cm. Pemilihan subjek penelitian dilakukan secara consecutive sampling dengan mengambil setiap subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Subjek penelitian semua pasien yang menjalani operasi elektif dengan anestesi umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Juli 2015 yang memenuhi kriteria inklusi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemakaian bantal 4,5 cm dibanding dengan bantal 9 cm terhadap nilai visualisasi glotis.  Visualisasi glotis dengan ketinggian bantal yang berbeda pada saat tindakan laringoskopi langsung dinilai menggunakan skala kelas Cormarck–Lehane (CL) dan skor percentage of glotic opening (POGO). Distribusi data dengan uji Shapiro Wilks, nilai p ditentukan menggunakan uji Wilcoxon dan bermakna jika p<0,05. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai skala CL modifikasi kedua bantal berada pada kisaran  skala 1 hingga 2c (p=0,007). Skor  POGO bantal ketinggian 4,5 cm berada pada kisaran  20–100% dengan rata-rata 69,33±21,48%. Bantal ketinggian 9 cm skor POGO berada pada kisaran 30,00–80,00% dengan nilai rata-rata 58,333±15,33% (p=0,001). Simpulan, penggunaan bantal ketinggian 4,5 cm memberikan visualisasi glotis yang lebih baik saat laringoskopi langsung dibanding dengan  bantal ketinggian 9 cm.Comparison of 4.5 cm and 9 cm Pillow Height in Glottis Visualization on Laryngoscopy at Dr. Hasan Sadikin General HospitalIntubation is a standard procedure to maintain patency of the airway by  directly visualizing glottis with a laryngoscope. Visualization of the glottis will be clearer when direct laryngoscopy is performed in sniffing position. Different pillows heights will provide different visualization of the glottis. This study was a quasi-experimental study on 30 subjects who were divided into 2 experimental groups of 4.5 cm and 9 cm pillow heights. Subjects were sampled consecutively according to the inclusion and exclusion criteria. The population was all patients underwent elective surgery with general anesthesia at Dr. Hasan Sadikin Hospital Bandung during the period of July 2015. The purpose of this study was to determine the effect of using a pillow height of 4.5 cm when compared to 9 cm pillow height on glottis visualization based on an assessment using Cormarck–Lehane (CL) scale and percentage of glotic opening (POGO) scores. Data distribution was tested by Shapiro Wilks while the p values were determined using Wilcoxon test and was considered meaningful if p<0.05. The results showed that the value of modified CL–class scale for both pillow heights were in the range scale of 1 to 2c (p=0.007). The POGO scores of the 4.5 cm pillow height was in the range of 20–100% with an average percentage of 69.33±21.48%, while the POGO scores of the 9 cm pillow height were in the range of 30.00–80.00% with an average score of 58.333±15.33% (p=0.001). Therefore, the use of 4.5 cm pillow height gives better glottis visualization in direct laryngoscopy compared to the 9 cm pillow height.
Kesesuaian Pengkajian Nyeri Pascaoperasi dan Tidak Lanjutnya dengan Standar Prosedur Operasional Asesmen Nyeri pada Pasien Pediatrik di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2016 Iervan Churniawan Tanjung; Doddy Tavianto; Suwarman Suwarman
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (805.121 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n3.1347

Abstract

Nyeri bukan hanya persepsi sensorik, tetapi juga emosi, kognitif, dan perubahan perilaku Pengkajian nyeri pada anak dinilai dengan berbagai sistem skoring. Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung telah membuat Standar Prosedur Operasional untuk menilai nyeri di ruang perawatan. Penelitian bertujuan mengetahui kesesuaian pengkajian nyeri pascaoperasi dan tindak lanjutnya dengan SPO asesmen nyeri pada pasien pediatrik di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2016. Penelitian menggunakan metode deskriptif observasional retrospektif terhadap 158 rekam medis pasien pediatrik yang dirawat pada tahun 2016. Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Hasan Sadikin sejak Februari sampai dengan Maret 2018. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa pengkajian nyeri sesuai SPO adalah 150 pasien (94,9%), tidak sesuai SPO 8 pasien (5,1%). Tindak lanjut pengkajian nyeri yang sesuai SPO adalah 138 pasien (87,4%), tidak sesuai SPO 13 pasien (8,2%), dan tidak dilakukan tindak lanjut 7 pasien (4,4%). Evaluasi ulang setelah tindak lanjut pengkajian nyeri sesuai SPO adalah 130 pasien (82%) dan tidak sesuai SPO 28 pasien (18%). Simpulan penelitian ini bahwa pengkajian nyeri pascaoperasi dan tindak lanjutnya sebagian besar sudah sesuai dengan Standar Prosedur Operasional. Kata kunci: Nyeri pascaoperasi, pediatrik, pengkajian nyeriCompliance of Postoperative Pain and Follow Up Assessment with Painful Assessment Standard Operating Procedures in Pediatric Patientsin Dr. Hasan Sadikin Bandung Year 2016Pain does not only involve sensoric perception. It also involves emotional, cognitive, and behavioral changes. Pain assessment inf children is performed using various scoring systems. Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung has developed Standard Operating Procedures to assess pain in treatment rooms. The objective of this study was to determine the compliance of postoperative pain assessment and its follow-up to the SOP on pediatric pain assessment in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in 2016. This was a retrospective observational descriptive study on 158 medical records of pediatric patients who were treated during the period of 2016. The study was conducted from February to March 2018. It was revealed that pain assessment was assessed in compliance to the SOP in 150 patients (94.9%) while the remaining 8 patients (5.1%) were not assessed according to the SOP. The follow-up of pain assessment was performed in compliance with the SOP in 138 patients (87.4%), Thirteen patients (8.2%) were followed up using procedures that are not in compliance with the SOP while 7 patients (4.4%) were not followed up at all. Reevaluation after pain assessment follow up was performed in compliance with the SOP in 130 patients (82%) while the remaining 28 patients (18%) were reevaluated without using the SOP. It is concluded that most postoperative pain assessments and their follow-up are conducted in compliance with the Standard Operating Procedures.Key words: Postoperative pain, pediatric, pain assessment
Perbandingan Intubasi Endotrakea Menggunakan Clip-on Smartphone Camera Videolaryngoscope dengan Laringoskop Macintosh pada Manekin Fariz Wajdi Latuconsina; Dedi Fitri Yadi; Suwarman Suwarman
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 1 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (930.841 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n1.1287

Abstract

Intubasi endotrakea merupakan gold standard dalam manajemen jalan napas. Teknik laringoskopi direk merupakan teknik yang sulit sehingga berpotensi menyebabkan kegagalan khususnya pada orang yang tidak berpengalaman. Tujuan penelitian ini menilai keberhasilan, lama waktu, dan kemudahan intubasi endotrakea pada manekin menggunakan clip-on smartphone camera videolaryngoscope dibanding dengan laringoskop Macintosh. Penelitian dilakukan menggunakan metode crossover randomized study melibatkan 23 orang mahasiswa kedokteran di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Oktober 2017. Dari penelitian ini didapatkan keberhasilan intubasi endotrakea menggunakan clip-on smartphone camera videolaryngoscope lebih tinggi (96%) dibandingkan dengan menggunakan laringoskop Macintosh (65%). Lama waktu intubasi endotrakea rata-rata juga terbukti lebih singkat menggunakan clip-on smartphone camera videolaryngoscope (32 detik) dibanding dengan laringoskop Macintosh (52 detik). Intubasi endotrakea menggunakan clip-on smartphone camera videolaryngoscope lebih mudah (4) dibanding dengan menggunakan laringoskop Macintosh (6). Ketiga variabel menunjukkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p<0,05. Simpulan, penggunaan clip-on smartphone camera video laryngoscope untuk intubasi endotrakea memiliki keberhasilan yang lebih tinggi, lama waktu intubasi endotrakea yang lebih singkat, dan intubasi endotrakea yang lebih mudah dibanding dengan menggunakan laringoskop Macintosh.Kata kunci: Clip-on smartphone camera videolaryngoscope, intubasi  endotrakea, laringoskopi direk, video-laryngoscope 
Efek Granisetron Intravena terhadap Perubahan Tekanan Darah pada Seksio Sesarea dengan Anestesi Spinal Jaya Supriyanto; Suwarman Suwarman; Iwan Abdul Rachman
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 8, No 2 (2020)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v8n2.2041

Abstract

Hipotensi merupakan komplikasi paling sering pada seksio sesarea dengan anestesi spinal. Pencegahan hipotensi dapat dilakukan dengan pemberian cairan, obat-obatan, pengurangan dosis obat anestesi lokal, dan intervensi mekanik. Granisetron sebagai antagonis reseptor 5hydroxytryptamine3 (5HT3) dapat digunakan untuk mencegah hipotensi pada seksio sesarea dengan anestesi spinal. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian granisetron 1 mg intravena terhadap perubahan tekanan darah pada seksio sesarea dengan anestesi spinal. Penelitian ini dilakukan periode Desember 2019–Februari 2020 di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Metode penelitian ini adalah uji klinis tersamar ganda pada 34 pasien ASA II yang menjalani seksio sesarea dengan anestesi spinal. Subjek penelitian dibagi secara acak menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kontrol diberikan NaCl 0,9% dan kelompok granisetron diberikan granisetron 1 mg intravena pada 5 menit sebelum anestesi spinal. Tekanan darah diperiksa setiap 1 menit selama 20 menit setelah anestesi spinal, kemudian setiap 2,5 menit sampai operasi selesai. Data dianalisis dengan uji t, Uji Mann Whitney, dan Uji kolmogorov-smirnov, nilai p<0,05 dianggap bermakna. Kejadian hipotensi pada kelompok kontrol (79%) lebih tinggi dari kelompok granisetron (29%). Penurunan tekanan darah pada kelompok kontrol lebih besar dibanding dengan kelompok granisetron dengan perbedaan signifikan (p<0,05). Simpulan, pemberian granisetron 1 mg intravena dapat mengurangi kejadian hipotensi pada seksio sesarea dengan anestesi spinal.Effect of Intravenous Granisetron on Blood Pressure in Cesarean Section under Spinal AnesthesiaHypotension is the most frequent complication in cesarean section with spinal anesthesia. The prevention of hypotension includes fluid and drugs administration, lower local anesthetic doses, and mechanic interventions. Granisetron is a 5HT3 receptor antagonist that can be used to prevent hypotension in cesarean section with  spinal anesthesia. This study aimed to determine the effects of intravenous administration of 1 mg granisetron on blood pressure in patients undergoing cesarean section with spinal anesthesia. This study was a double blinded clinical study on 34 patients ASA II undergoing cesarean sections with spinal anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung, Indonesia, during the period of December 2019 to February 2020. Subjects were  divided randomly into 2 groups; a control group that received 0.9% NaCl  and a granisetron group that received 1 mg intravenous granisetron 5 minutes before spinal anesthesia.  Blood pressure was evaluated every minute for 20 minutes after the spinal anesthesia, and then every 2.5 minutes until the surgery was  completed.  Data were analyzed using t-test, Mann Whitney test, and Kolmogorov-Smirnov test with p value<0.05 considered significant. Incidence of hypotension in the control group was higher than the granisetron group (79%vs29%) with blood pressure decrease significantly higher in the control group (p<0.05). Thus, administration of intravenous 1 mg granisetron may reduce the incidence of hypotension in cesarean sections with spinal anesthesia.
Survei Penggunaan, Jenis, Teknik, serta Obat Blok Saraf Perifer di Jawa Barat Tahun 2016 Ayu Puji Lestari; Suwarman Suwarman; M. Andy Prihartono
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (817.911 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n3.1346

Abstract

Blok saraf perifer merupakan salah satu teknik regional anestesi yang memiliki banyak manfaat. Penggunaan blok saraf perifer di Asia, Eropa, Amerika, dan Australia sudah mulai meningkat. Data yang ada saat ini menunjukan bahwa penggunaan, jenis, teknik, dan obat untuk blok saraf perifer di negara lain sangat bervariasi. Di Indonesia khususnya wilayah Jawa Barat belum terdapat data mengenai penggunaan, jenis, teknik, dan obat blok saraf perifer. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui penggunaan, jenis, teknik, dan obat yang digunakan untuk blok saraf perifer di Jawa Barat. Penelitian dilakukan selama bulan Maret 2018. Penelitian bersifat deskriptif dengan  menggunakan kuesioner yang dikirimkan kepada 120 dokter spesialis anestesi di Jawa Barat, 66 melalui  jasa pos dan 54 kuesioner diberikan langsung kepada dokter spesialis anestesi yang bekerja di Bandung. Angka respons yang didapatkan sebesar 51,3%. Dari penelitian ini didapatkan dokter spesialis anestesi yang melakukan blok saraf perifer pada tahun 2016 sebesar 44%, blok ankle sebanyak 56%, blok wrist sebanyak 53%, 71% menggunakan blind technique, serta obat paling banyak digunakan adalah bupivakain sebesar 91%. Permasalahan dokter spesialis anestesi di Jawa Barat yang berkaitan dalam pelaksanaan tindakan blok saraf perifer pada tahun 2016 paling banyak disebabkan dokter anestesi yang tidak familiar dengan tindakan blok saraf perifer sebesar 45%.Kata kunci: Blok saraf perifer, Jawa Barat, surveySurvey on Use, Type, Technique, and Drugs Used for Peripheral Nerve Block in West JavaPeripheral nerve block is a beneficial regional anesthesia technique. The use of peripheral nerve block across Asia, Europe, America and Australia has been increasing. Current data have shown a wide variety in the use, technique, and drugs selected for peripheral nerve block. In Indonesia, especially in West Java, no data available yet on the use, technique and drugs selected for peripheral nerve block. This study aimed to explore the use, technique, and drugs selected for peripheral nerve block in West Java. This was a descriptive study using a questionnaire as data collection tool to collect data on peripheral nerve block done in 2016. One hundred and twenty questionnaires were distributed to anesthesiologists in West Java area with 66 were sent via air mail and 54 were given directly to the anesthesiologists who work in Bandung area during the month of March 2018. The response rate was 51.3%. Result shown that in 2016, 44% anesthesiologists performed peripheral nerve blocks. Of these,56% were ankle block and 53% were wrist block with 71% of the respondents chose to usethe blind technique. The most widely used agent was bupivacaine, which was used in 91% of the procedures. The main challengeof peripheral nerve block implementation in West Java is unfamiliarity with the approach that 45% anesthesiologist are not used to use this technique.Key words: Peripheral nerve block, survey, West Java 
Evaluasi Kepatuhan Pelaksanaan Standar Prosedur Operasional Manajemen Nyeri pada Pasien Luka Bakar di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Yudhanarko Yudhanarko; Suwarman Suwarman; Ricky Aditya
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 2 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (810.529 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n2.1713

Abstract

Nyeri didefinisikan sebagai pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan terkait dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. Manajemen nyeri pada luka bakar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari terapi luka bakar. Nyeri pada luka bakar merupakan nyeri akut, penanganan yang tidak baik akan menyebabkan komplikasi, salah satunya nyeri kronik. Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Hasan Sadikin Bandung telah membuat Standar Prosedur Operasional (SPO) manajemen nyeri yang berguna untuk meningkatkan kepatuhan dalam pelaksanaan manajemen nyeri. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kesesuaian teknik pengkajian, tindak lanjut dan evaluasi ulang nyeri pada pasien luka bakar dengan SPO manajemen nyeri. Penelitian menggunakan metode deskriptif observasional retrospektif terhadap 99 rekam medis pasien luka bakar yang memenuhi kriteria inklusi di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2018. Hasil penelitian didapatkankan bahwa pengkajian nyeri yang dilakukan sesuai dengan SPO menggunakan numeric rating scale atau Wong Baker faces pain scale ditemukan pada 99 pasien (100%). Tindak lanjut hasil pengkajian nyeri luka bakar yang dilakukan sesuai dengan SPO sebanyak 71 pasien (72%). Evaluasi ulang setelah tindak lanjut pengkajian nyeri yang sesuai SPO pada 93 pasien (94%). Simpulan, pengkajian nyeri di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung sudah sesuai dengan SPO manajemen nyeri, namun tindak lanjut dan evaluasi ulang pada nyeri luka bakar belum sesuai dengan SPO manajemen nyeri.Evaluation of Compliance to Standard Operating Procedures for Pain Management in Patients with Burns in Dr. Hasan Sadikin General Hospital BandungPain is defined as an unpleasant sensory and emotional experience related to actual or potential tissue damage. Pain management for burns is an integral part of burn therapy. Pain in burns is an acute pain and poor management will lead to health complications including chronic pain. Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung has made a standard operating procedure (SOP) for pain management to improve compliance to pain management standard. This study aimed to evaluate the compliance to the standards in assessment techniques, follow-up, and re-evaluation of pain in patients with burn according to the applicable pain management SOP. This was a retrospective descriptive observational study on 99 medical records of burn patients who met the inclusion criteria in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung in 2018. The results of the study revealed that the pain assessment for these patient was carried out according to the SOP which refers to the use of a numeric rating scale or Wong Baker face pain scale in 99 patients (100%). In the follow-up, 71 were performed according to the SOP (72%) while the re-evaluation was performed in compliance with the SOP in 93 patients (94%). In conclusion, pain assessment in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung is performed in accordance with SOP on pain management but not all patients receive follow-up and re-evaluation of burn pain in accordance with the SOP on pain management. 
Perbandingan antara Uji Mallampati Modifikasi dan Mallampati Ekstensi Sebagai Prediktor Kesulitan Intubasi Endotrakeal di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung Girindro Andi Swasono; Suwarman Suwarman; Rudi Kurniadi Kadarsah
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 5, No 3 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (732.566 KB) | DOI: 10.15851/jap.v5n3.1168

Abstract

Evaluasi potensi intubasi sulit preoperatif sangat penting. Metode standar untuk menilai potensi intubasi sulit adalah metode Mallampati Modifikasi. Metode Mallampati Ekstensi merupakan metode Mallampati Modifikasi dengan ekstensi titik kranioservikal sehingga derajat bukaan mulut lebih lebar dan saluran napas terlihat lebih baik. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui ketepatan penilaian Mallampati Ekstensi dibanding dengan Mallampati Modifikasi sebagai prediktor dalam menilai kesulitan intubasi endotrakeal menggunakan laringoskop Macintosh langsung berdasar atas uji Cormack Lehane. Desain penelitian ini adalah observasional analitik dengan metode potong lintang dan uji diagnostik chi square. Hasil penelitian terhadap 382 subjek pada bulan September 2016 hingga bulan Desember 2016 di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung didapatkan jenis kelamin perempuan 69,9% dengan median usia 42 tahun. Frekuensi nilai uji Mallampati Ekstensi lebih banyak pada kelas yang lebih rendah dan berbeda secara signifikan dibanding dengan uji Mallampati Modifikasi. Kesesuaian penilaian kelas uji Mallampati Ekstensi dengan Cormack Lehane terdapat pada 318 subjek. Simpulan, uji Mallampati Ekstensi lebih baik daripada uji Mallampati Modifikasi sebagai prediktor menilai kesulitan intubasi endotrakeal menggunakan laringoskop langsung.Comparison between Modified Mallampati Test and Extended Mallampati Test as Predictor of Difficult Endotracheal Intubationat Dr. Hasan Sadikin Hospital BandungPreoperative evaluation of potentially difficult intubation is very important. The standard method for assessing potentially difficult intubation is the Modified Mallampati method. Extended Mallampati method is a Modified Mallampati method with cranioservical extension point that the degree of mouth opening is wider and airway becomes more visible. The purpose of this study was to determine the accuracy of the Extended Mallampati test compared to the Modified Mallampati test as predictors in assessing the difficulty of endotracheal intubation using direct Macintosh laryngoscope based on Cormack Lehane grading. This was a cross-sectional observational analytical study using chi square diagnostic test involving 382 subjects at Dr. Hasan Sadikin Bandung Hospital during the period of September 2016 to December 2016 with 69.9% women and  median age of 42 years. The frequency of the Mallampati Extension test scores was higher in the lower classes, which was significantly different from the results of the Modified Mallampati test. Better appropriateness of the Mallampati Extension test result with Cormack Lehane grading was found in 318 subjects. In conclusion, the Extended Mallampati test is better than Modified Mallampati test when it is used as a predictor in assessing difficult endotracheal intubation using direct laryngoscopy (Cormack Lehane test).  
Gambaran Penggunaan, Obat, Teknik, dan Permasalahan yang Dihadapi pada Blokade Kaudal di Kota Bandung Tahun 2016 Handoyo Harsono; Doddy Tavianto; Suwarman Suwarman
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 6, No 3 (2018)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (800.395 KB) | DOI: 10.15851/jap.v6n3.1487

Abstract

Penanganan nyeri pada pasien anak merupakan tantangan yang cukup besar bagi dokter spesialis anestesi. Blokade kaudal merupakan salah satu teknik anestesi regional yang mudah dan sangat efektif sebagai analgetik pada anak yang menjalani operasi di bawah umbilikus. Data yang diperoleh dari Inggris dan Irlandia selama bulan April sampai dengan Juni 2008 menunjukkan bahwa penggunaan blokade kaudal masih rendah ( 61% ). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui penggunaan, obat, teknik, dan masalah yang dihadapi pada blokade kaudal di Kota Bandung. Penelitian dilakukan selama bulan Maret hingga April 2018. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan  menggunakan kuesioner yang diberikan kepada 70 dokter spesialis anestesi di kota Bandung yang direspons oleh 64 orang (78%) dengan mengembalikan kuesioner. Dari penelitian ini didapatkan dokter spesialis anestesi yang melakukan blokade kaudal pada tahun 2016 sebesar 55%. Blokade kaudal digunakan untuk kombinasi anestesi dan analgesik pascaoperasi pada 62% responden. Teknik yang digunakan dalam blokade kaudal ini adalah blind technique tanpa alat bantu. Obat yang paling sering digunakan adalah bupivakain (91%). Permasalahan yang dihadapi di Kota Bandung yang mengakibatkan rendahnya penggunaan blokade kaudal adalah keterbatasan waktu tindakan (20%) dan ketersediaan obat dan alat (23%).Kata kunci: Blokade kaudal, bupivakain, teknik butaOverview on Usage, Drug, Technique and Problems on Caudal Blockade Procedure in Bandung City on 2016Pediatric pain management in pediatric is a big challenge for anesthesiologists. The caudal blockade is one of the easy and highly effective analgesic approaches for surgical procedure below umbilicus in children. Data from Ireland and United Kingdom show that the application of caudal blockade is relatively low (61%). The aim of this study was to explore the drug, technique, and challenges faced in caudal blockade application in Bandung City. This study was conducted from March to April 2018. This was a descriptive study using a questionnaire distributed to 70 anesthesiologist in Bandung city. The response rate was 77.65% (64 persons). This study found that 59.09% anesthesiologist had performed caudal block during 2016 which was used for anesthesia and post-operative analgesics by 61,54% respondents. Blind technique was used in this procedure without using additional equipment. The most frequently used was bupivacaine (97.44%). The low application of caudal block in Bandung during 2016 was caused by the limited time for the procedure (23.44%) and the availability of drug and equipment (23.44%).Key words: Caudal block, Bupivacaine, Blind technique
PENGARUH DEKSAMETASON 0,2 MG/KGBB SEBAGAI ADJUVAN ANALGESIA TERHADAP TERJADINYA NYERI PERTAMA KALI PASCAOPERASI DENGAN NRS> 3 PADA PASIEN ODONTEKTOMI DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr. HASAN SADIKIN BANDUNG Jose Domingos Alves; Suwarman Suwarman; Nurita Dian Kestriani
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 7, No 3 (2019)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (317.252 KB) | DOI: 10.15851/jap.v7n3.1826

Abstract

Deksametason merupakan kortikosteroid golongan glukokortikoid yang memiliki efek anti inflamasi yang adekuat. Penelitian ini bertujuan menilai waktu nyeri pertama kali dengan NRS >3 pada pasien pascaoperasi odontektomi. Penelitian ini merupakan uji acak terkontrol buta ganda pada 30 pasien dengan status fisik American Society of Anesthesiologist kelas 1 (ASA I) yang menjalani operasi odontektomi dalam anestesi umum di Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Agustus–September 2019. Pasien dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 15 pasien yang menerima deksametason (D) dan 15 pasien plasebo (K). Penilaian skala nyeri menggunakan nilai numeric rating scale pada NRS >3 pertama kali. Analisis statistika data hasil penelitian menggunakan chi square dan Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukkan waktu pertama kali terjadi nyeri dengan NRS >3 lebih lama pada kelompok D dibanding dengan kelompok plasebo dengan perbedaan bermakna (p<0,05). Simpulan penelitian ini adalah pemberian deksametason 0,2 mg/kgBB sebagai adjuvan analgesia terhadap waktu kejadian nyeri dengan NRS >3 pada pasien pascaoperasi odontektomi menghasilkan waktu yang lebih lama.Effect of Dexamethasone 0.2 mg/KgBW as Analgesia Adjuvant on Post-Operative Odontectomy Pain with Nrs >3 OccurenceDexamethasone is a glucocorticoid corticosteroid that has the strongest anti-inflammatory effect. The aim of this study was to assess the time of the first pain with NRS >3 in post-operative odontectomy patients. This study was an experimental randomized double blind controlled trial involving 30 patients with physical status ASA I whounderwent odontectomy under general anesthesia in Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung during August-September 2019. Patients were divided into two groups: 15 patients received dexamethasone and 15 patients received placebo. Pain scale assessment was performed using the numeric rating scale (NRS) in post-operative patients with first pain with NRS >3. Data collected were analyzed statistically using chi square and Mann-Whitney and the results showed a significantly longer first pain with NRS >3 in the placebo group (p<0.05). Hence, 0.2 mg/kg body weight dexamethasone as an adjuvant analgesia produces better analgesia against the occurrence of pain with NRS >3 in post-operative odontectomy patients that enable analgesic dose reduction.