Claim Missing Document
Check
Articles

Found 32 Documents
Search

Response Time, Decision Time, and Delivery Time in Pediatric Emergency Unit of West Java Top Referral Hospital Ayu Sary Oktaviani; Dzulfikar D. Lukmanul Hakim; Suwarman Suwarman
Althea Medical Journal Vol 4, No 3 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (196.311 KB)

Abstract

Background: The number of visitors at pediatric emergency unit has increased around 25 million per year. This condition caused overcrowded in these units which would disrupt health care process. Waiting time is one indicator of health care quality. Prolonged waiting times is related to patient’s dissatisfaction and poor outcome. The aim of this study was to identify response time, decision time, and delivery time of Pediatric Emergency Unit in Dr. Hasan Sadikin General Hospital.Methods: This was a descriptive cross sectional study. Data from medical records of pediatric patients who attend Pediatric Emergency Unit, Dr. Hasan Sadikin General Hospital from August to September 2015 were collected. The data included sex, age, day of admission, time of admission, insurance status, triage status, disposition of care, response time, decision time, and delivery time. The collected data were analyzed and presented in percentage and peformed in tables. Results: A total of 201 data were collected during study period. The geometric mean of total waiting time in pediatric emergency department was 346.65 minutes (5 hours 46 minutes). Response time had a geometric mean of 4.07 minutes, meanwhile decision time and delivery time had geometric mean of 46.77 minutes and 181.97 minutes, respectively.Conclusions: Total waiting times of pediatric emergency department exceeds the standard time (4 hours). Meanwhile response time and decision time have already met the standard. 
Edema Paru Akut pada Pasien Eklampsia: Perlukah Penanganan di Ruang Perawatan Intensif? Roni Kartapraja; Suwarman Suwarman
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 2 (2019): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i2.13

Abstract

Eklampsia adalah kelainan pada kehamilan yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah disertai dengan proteinuria positif dan kejang yang muncul setelah minggu ke-20 kehamilan. Eklampsia dapat menimbulkan komplikasi terhadap ibu dan janin. Diantara komplikasi terhadap ibu yang muncul akibat eklampsia adalah edema paru akut. Edema paru akut terjadi pada 0,08% hingga 1,5% kehamilan dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu hamil sehingga tergolong suatu keadaan darurat dan memerlukan penanganan segera. Faktor sirkulasi angiogenik, penurunan tekanan onkotik koloid, disfungsi sel endotel, atau peningkatan tekanan intravaskular disertai dengan peningkatan beban jantung diduga menjadi faktor penyebab terjadinya edema paru akut pada eklampsia. Penegakan diagnosa serta pemberian terapi yang tepat pada edema paru akut harus dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditasnya. Terapi yang diberikan meliputi pemberian obat -obatan dan atau bantuan ventilasi mekanik. Penggunaan bantuan ventilasi mekanik dilakukan dengan pendekatan strategi lung recruitment yang bertujuan untuk memperbaiki oksigenasi paru dan mampu meningkatkan kemampuan penyapihan ventilator serta mencegah kerusakan paru iatrogenik. Disamping pemantauan hemodinamik secara berkesinambungan, penggunaan ventilasi mekanik merupakan indikasi bagi pasien eklampsia dengan edema paru akut untuk menjalani perawatan di ruang rawat intensif. Acute Pulmonary Edema in Patient with Eclampsia: are Really Need a Intensive Care Unit Treatment? Abstract Eclampsia is a disorder in pregnancy which is characterized by an increase in blood pressure accompanied by positive proteinuria and seizures that appear after the 20th week of pregnancy. Eclampsia can cause complications for the mother and fetus. Among the complications of the mother that arise due to eclampsia are acute pulmonary edema. Acute pulmonary edema occurs in 0.08% to 1.5% of pregnancy and is one of the causes of death of pregnant women so it is classified as an emergency and requires immediate treatment. Angiogenic circulation factors, a decrease in colloid oncotic pressure, endothelial cell dysfunction, or an increase in intravascular pressure accompanied by an increase in cardiac load are thought to be factors causing the occurrence of acute pulmonary edema in eclampsia. The diagnosis and the provision of appropriate therapy in acute pulmonary edema must be done as soon as possible to reduce its mortality and morbidity. The therapy provided includes the administration of medicines and or mechanical ventilation assistance. The use of mechanical ventilation assistance is carried out with a lung recruitment strategy approach that aims to improve lung oxygenation and be able to improve ventilator weaning capabilities and prevent iatrogenic lung damage. In addition to continuous hemodynamic monitoring, the use of mechanical ventilation is an indication for eclampsia patients with acute pulmonary edema to undergo treatment in the intensive care unit.
Kadar Hemoglobin, Jumlah Perdarahan dan Transfusi pada Pasien yang Menjalani Operasi Tumor Otak di Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Hasan Sadikin Bandung Tahun 2015–2016 Diana Fitria Ningsih; Suwarman Suwarman; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (263.852 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i2.4

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Operasi tumor otak berhubungan erat dengan risiko perdarahan dalam jumlah besar yang dapat menyebabkan anemia. Efek klinis anemia dapat diperbaiki dengan pemberian transfusi darah. Transfusi  diberikan dengan target level Hemoglobin (Hb) antara 9 sampai 10 gr/dL. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kadar Hb dan  hematokrit prabedah dan pascabedah, jumlah perdarahan serta pemberian transfusi darah pada pasien yang menjalani operasi tumor otak di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Juni 2015 sampai dengan Juni 2016.Subjek dan Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional yang dilakukan secara retrospektif terhadap 126 objek penelitian yang diambil di bagian rekam medis.Hasil dan Simpulan: Penelitian ini memperoleh hasil kadar Hb prabedah rata-rata sebesar 13,23±1,35 gr/dL dan hematokrit prabedah rata-rata sebesar 39,19±3,54%. Kadar Hb pascabedah 9 gr/dL sebanyak 15 pasien, Hb 9–10 gr/dL sebanyak 6 pasien dan Hb 10 gr/dL sebanyak 105 pasien. Hematokrit pascabedah rata-rata sebesar 34,03±6,03%. Jumlah perdarahan  rata-rata sebesar 1159±1032,66cc. Transfusi yang diberikan pada 56 pasien terdiri atas PRC dengan jumlah rata-rata sebesar 365,81±258,70cc,  FFP rata-rata sebesar 425,45±274,78cc dan WB 250cc.Hemoglobin Levels, Blood Loss and Transfusion in Patients Underwent Brain Tumor Surgery at Dr. Hasan Sadikin Bandung General Hospital During 2015–2016Background and Objective: Brain tumor surgery is closely related to the risk of numerous bleeding that can cause the patient to be in an anemic condition. The clinical effects of anemia can be improved by administered blood transfusions. Transfusion can be administered with target Hemoglobin (Hb) level between 9 to 10 gr/dL.The purpose of this study was to describe of preoperative and postoperative levels of Hb and hematocrit, blood loss and how blood transfusion administered in patients undergoing brain tumor surgery at Dr. Hasan Sadikin Bandung during June 2015 to June 2016.Subject and Method: This is a descriptive observational study with retrospective approach  to 126 objects taken at medical records.Result and Conclusion: The average of preoperative Hb level was 13,23±1,350 gr/dL and the average of preoperative hematocrit level was 39,19±3,54%. Number of patients with postoperative Hb level 9 gr/dL were 15 patients, Hb 9-10 gr/dL were 6 patients and Hb10 gr/dL were 105 patients. The average of postoperative Ht were 34,03±6,032%. The rate of blood loss was 1159±1032,66cc. The rate of transfusions administered to 56 patients was pack red cell 365,81±258,70cc, fresh frozen plasma 425,45±274,78cc and whole blood 250cc.
Pengelolaan Nyeri Pascakraniotomi S Suwarman; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 1 (2016)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3202.874 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol5i1.62

Abstract

Penanganan nyeri pascakraniotomi sampai saat ini masih belum begitu diperhatikan dan sering ditangani dengan kurang adekwat. Nyeri pascakraniotomi seringkali diabaikan karena adanya anggapan bahwa pasien pascakraniotomi tidak mengalami nyeri berat. Anggapan ini perlahan-lahan berubah dengan meningkatnya kesadaran tentang nyeri akut pascakraniotomi. Terdapat berbagai teknik yang dilakukan untuk menangani nyeri ini, dimana setiap teknik memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun, tidak ada satu pun modalitas yang dinyatakan sebagai yang terbaik dan dapat berlaku secara universal. Belum ada konsensus mengenai standar penanganan nyeri pada pasien ini. Masih terdapat berbagai ketidaksesuaian pendapat mengenai mana regimen terapi yang tepat untuk mengobati nyeri pasca kraniotomi. Pada dekade terakhir, meningkatnya kesadaran serta semakin canggihnya penatalaksanaan nyeri menyebabkan dilakukannya berbagai teknik untuk mencapai analgesia yang adekwat pada kelompok pasien ini. Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah serta kualitas penelitian mengenai nyeri pascakraniotomi. Ulasan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai patofisiologi, karakteristik, dan berbagai teknik yang dilakukan untuk penanganan nyeri akut pascakraniotomi. Nyeri kronis pasca kraniotomi yang merupakan gejala sisa yang sangat mengganggu juga dibahas secara singkat.Postcraniotomy Pain ManagementUntil recently, perioperative pain management in neurosurgical patients has been inconsistently recognized and inadequately treated. Pain following craniotomy has frequently been neglected because of the notion that postcraniotomy patients do not experience severe pain. However a gradual change in this outlook is observed because of awareness and understanding toward acute postcraniotomy pain. There are various technique exist for treating this variety of pain each with its own share of advantages and disadvantages. However, individually none of these modalities has been proclaimed as the best and applicable universally. There is no consensus regarding the standardization of pain control in this patient population. A considerable amount of dispute remains to ascertain the appropriate therapeutic regimen for treating postcraniotomy pain. In the last decade, improved awareness and advances in the practice of pain management have resulted in the implementation of diverse techniques to achieve adequate analgesia in this group of patients. This has led to an increased number and quality of studies about postcraniotomy pain. This article provides information about the pathophisiology, characteristic, and also various techniques and approaches for postcraniotomy pain management. Chronic postcraniotomy pain which can be debilitating sequelae is also discussed concisely.
Gambaran Faktor Risiko Kejadian Stroke di RSHS Bandung Periode Januari 2015– Desember 2016 Nur’aini Jamilatul Badriyah; Lisda Amalia; S Suwarman
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 7, No 3 (2018)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (436.553 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol7i3.18

Abstract

Latar Belakang dan Tujuan: Stroke merupakan masalah kesehatan di dunia yang menjadi penyebab kematian kedua tertinggi. Epidemiologi pasien stroke berdasarkan faktor risikonya masih sangat bervariasi dan belum ada data yang melaporkan di Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran faktor risiko kejadian stroke. Subjek dan Metode: Penelitian ini menggunakan studi desain deskriptif dengan rancangan potong lintang. Data diambil secara retrospektif dengan metode total sampling dari rekam medis pasien stroke di bangsal neurologi RSUP Dr. Hasan Sadikin periode Januari 2015–Desember 2016 yang memenuhi kriteri inklusi dan eksklusi.Hasil: Didapatkan 1044 subjek terdiri dari 486 laki-laki dan 558 perempuan. Kelompok usia 55-64 tahun (33,3%), pendidikan tamat SD (45,3%), dan tidak bekerja (56,4%) merupakan prevalensi tertinggi dari subjek yang diteliti. Stroke iskemik memiliki prevalensi lebih tinggi dibandingkan stroke perdarahan dengan lokasi sistem karotis lebih tinggi (89,6%) dibandingkan sistem vertebrobasilar (10,4%). Faktor risiko tertinggi yaitu hipertensi. Simpulan: Insidensi pasien stroke lebih tinggi terjadi pada wanita, kelompok usia tua, pendidikan rendah, dan tidak bekerja. Kasus pasien stroke iskemik lebih sering terjadi dibandingkan dengan stroke perdarahan dengan lokasi sistem karotis lebih banyak dibandingkan sistem vertebrobasilar. Hipertensi merupakan faktor risiko paling sering mengakibatkan stroke.Profile of Stroke Risk Factors in Hasan Sadikin General Hospital Bandung During January 2015–December 2016Background and Objective: Stroke is an important health issue causing the second most death worldwide. Epidemiology of stroke patients based on risk factors is highly variable without data to report regarding risk factors of stroke in West Java. Aim of this study is to find out profile of stroke risk factor.Subject and Method: This study is a descriptive study with cross section design. Data acquired retrospectively with total sampling method from medical records of stroke patients in Hasan Sadikin General Hospital from January 2015–December 2016 that fulfills inclusion criteria and exclusion criteria.Result: Obtained 1044 subjects consisted of 486 males and 558 females. Subjects with age 55–64 years old (33.3%), elementary school graduate (45.3%), and no occupation (56.4%) were the highest prevalence of studied subject. Ischaemic stroke had higher prevalence than haemorrhagic stroke with carotid system (89.6%) higher than vertebrobasilar (10.4%). Highest risk factor were hypertension. Conclusion: Incidence of stroke patients are higher in women, older age group, low education, and no occupation. Ischaemic stroke case patients were found more often than haemorrhagic stroke with carotid system more than vertebrobasilar system. Hypertension is the most common risk factor causing stroke.
Korelasi Skor Glasgow Coma Scale (GCS) pada Cedera Otak Traumatik Berat dengan Kejadian dan Derajat Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) Agus Junaidi; S Suwarman; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 2 (2016)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2108.356 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol5i2.65

Abstract

Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan salah satu komplikasi dari cedera otak traumatik (COT) berat, dapat disebabkan karena neurogenic pulmonary edema (NPE), pneumonia, aspirasi, dan emboli paru. Penelitian ini untuk mengetahui korelasi skor GCS pada cedera otak traumatik berat dengan kejadian dan derajat ARDS. Penelitian observasional prospektif cross sectional pada 32 orang pasien COT derajat berat di rumah sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung sejak Mei 2015 sampai September 2015. Pengambilan data dilakukan secara consecutive sampling. Parameter yang dicatat dalam penelitian ini antara lain usia, jenis kelamin, berat badan, GCS, rentang waktu, diagnosis, kejadian ARDS, dan derajat ARDS. Analisis korelasi linear dua variabel dihitung berdasarkan analisis korelasi Spearman dan korelasi ETA. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi antara skor GCS pada COT berat dengan kejadian ARDS dengan kekuatan korelasi searah, moderat, (r=0,402), bermakna (p0.05) dan derajat beratnya ARDS dengan kekuatan korelasi searah, kecil (r=0,389), bermakna (p0,05). Simpulan dari penelitian ini adalah semakin rendah skor GCS pada COT berat maka akan semakin besar kejadian ARDS dan semakin berat derajat ARDS.Correlation Glasgow Coma Scale (GCS) Score on Severe Head Injury with the Insidence and Degree of Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)Acute respiratory distress syndrome (ARDS) is one of the complications of severe traumatic brain injury (TBI), it can be caused by neurogenic pulmonary edema (NPE), pneumonia, aspiration, and pulmonary embolism. This study was determine the correlation glasgow coma scale score on severe head injury with insidence and degree of acute respiratory distress syndrome. This study was using prospective observational cross-sectional method in 32 patients with severe TBI at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung on May 2015 untill September 2015. Data collection was performed by consecutive sampling. Parameters were recorded in this study include age, gender, weight, GCS, time scales, diagnosis, incidence and degrees of ARDS. Linear correlation analysis was calculated based on two variables Spearman correlation analysis and correlation ETA. The results showed a correlation between GCS score on severe COT with the incidence of ARDS with the strength of the correlation moderate (r=0.402), significantly (p0.05), one direction and degrees of ARDS with the strength of the correlation small (r=0.389), significantly (p0.05), one direction. The conclusions of this study is the lower the GCS score on severe COT will lead to greater the incidence and the degree of ARDS.
Driving Pressure sebagai Bagian Strategi Ventilasi Mekanik pada Sindroma Gagal Napas Akut Pediatrik akibat Tenggelam Air Tawar Adika Putri Pratiwi; Suwarman
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 37 No 2 (2019): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (416.721 KB)

Abstract

Dilaporkan kasus anak laki-laki usia 14 tahun, datang dengan peningkatan work of breathing (WOB), desaturasi, penurunan kesadaran, dengan Quick sofa score 3. Klinis ronkhi kasar di kedua hemitoraks dengan edema paru dan pneumonia pada rontgen toraks. Diagnosis acute respiratory distress syndrome (ARDS) diekstrapolasi dari definisi Berlin. Strategi ventilasi mekanik sesuai protokol ARDS berupa target volume tidal ekspirasi (VTE) 6–8 mL/Ideal body weight, penggunaan kombinasi incremental positive end expiratory pressure (PEEP) dan FiO2, membatasi pPlateau <35 cmH2O, dan memasukkan unsur driving pressure (ΔP) yang dipertahankan kisaran 15–16. Tahap awal didapatkan ΔP≤8 dan ≥16, pada ΔP tersebut parameter oksigenasi tidak mengalami perbaikan. Nilai ΔP yang dipertahankan 15–16 membuat rasio PaO2/FiO2 (P/F) perbaikan, sehingga ΔP tidak hanya digunakan sebagai limit, namun dapat digunakan sebagai strategi ventilasi mekanik untuk optimalisasi oksigenasi. ARDS dengan penyebab pneumonia bilateral dan wet lung akibat tenggelam dapat segera diatasi dan menunjukkan perbaikan dengan tatalaksana diatas. Pemberat perawatan adalah adanya aspirasi pneumonia dan sepsis selama di intensive care unit (ICU). Terapi supportif lain berupa pemberian nutrisi, sedasi, analgesia, pelumpuh otot, antibiotik, ventilator associated pneumonia (VAP) bundle, dilakukan. Pada hari ke-7 klinis dan penunjang menunjukkan perbaikan, hari ke-8 pasien pindah ke ruang perawatan dan pulang pada hari ke-12.
Tatalaksana Intensive Care Unit Pasien Krisis Miastenia yang dipicu oleh Pneumonia Komunitas Agung Ari Budy Siswanto; Sobaryati; Nurita Dian Kestriani; Ardi Zulfariansyah; Erwin Pradian; Suwarman; Tinni T. Maskoen
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 38 No 1 (2020): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (479.622 KB)

Abstract

Krisis miastenia adalah suatu eksaserbasi akut dari miastenia gravis, dimana kelemahan yang terjadi sampai melibatkan otot-otot pernafasan sehingga mengakibatkan kegagalan napas akut dan memerlukan dukungan ventilasi mekanik. Krisis miastenia merupakan komplikasi miastenia gravis yang paling berbahaya dan mengancam jiwa bila tidak segera ditangani. Timbulnya krisis miastenia dapat dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya adalah infeksi paru yang didapat di masyarakat (pneumonia komunitas). Tatalaksana Intensive Care Unit (ICU) pasien krisis miastenia meliputi tatalaksana terhadap kegawatan respirasi, tatalaksana terhadap miastenia gravis, tatalaksana terhadap faktor pencetusnya dan dukungan nutrisi yang adekuat. Intubasi endotrakeal dan dukungan ventilasi mekanis merupakan pilihan utama tatalaksana kegawatan respirasi. Plasmaferesis adalah salah satu metoda terapi yang terbukti efektif dan efisien dalam menanggulangi krisis miastenia. Terapi lainnya adalah pemberian agen anticholinesterase, agen imunosupresif kronis, terapi imunomodulator cepat, dan timektomi. Terapi standar untuk menanggulangi pneumonia komunitas mengikuti panduan Infectious Diseases Society of America (IDSA) terkini. Dukungan nutrisi yang adekuat juga diperlukan untuk menunjang keberhasilan terapi. Diagnosis dini dan terapi yang adekuat diharapkan bisa memperbaiki prognosis pasien krisis miastenia. Pada laporan kasus ini kami sajikan tatalaksana ICU pasien krisis miastenia yang dipicu oleh pneumonia komunitas, yang dirawat di ICU RS. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Oktober 2019.
Tatalaksana syok septik dengan infeksi intraabdomen et causa perforasi gaster di ICU Dhanu Pitra Arianto; Suwarman Suwarman
Tarumanagara Medical Journal Vol. 2 No. 1 (2020): TARUMANAGARA MEDICAL JOURNAL
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/tmj.v2i2.7861

Abstract

Latar belakang: Syok septik didefinisikan sebagai bagian dari sepsis didasari oleh gangguan sirkulasi dan sel atau kelainan metabolik yang akan meningkatkan angka mortalitas secara bermakna.Laporan kasus: Laki-laki, 69 tahun, diagnosa syok septik dengan infeksi intrabdomen e.c. perforasi gaster dirawat di ICU setelah dilakukan operasi laparatomi eksplorasi. Pasien mendapatkan tindakan perawatan  dengan manajemen sepsis bundle segera setelah diagnosa ditegakkan, menjalani perawatan di icu selama tujuh hari. European Society of Intensive Care Medicine (ESCIM) pada tahun 2018 memperbaharui sepsis bundle dimana dari semua langkah perawatan sepsis awal yang sebelumnya harus diselesaikan dalam 3 dan 6 jam sekarang harus diterapkan dalam 1 jam (1-h bundles), segera setelah diagnosa sepsis ditegakkan. Pada kasus ini pasien dengan keluhan nyeri perut selama satu minggu sebelum masuk rumah sakit, pemeriksaan penunjang darah laktat 4,2 mmol/L, pemeriksaan rontgen abdomen terdapat pneumoperitonium, dilakukan sepsis bundle dalam 1 jam dan laparatomi emergensi. Perawatan dilanjutkan di ICU dengan antibiotik meropenem, support norepineprin dan ventilasi mekanik. Pasien berangsur pulih selama di ICU, ditandai dengan klinis, hasil penunjang laboratorium, dan rontgen yang membaik.Kesimpulan: Pada manajemen pasien sepsis, waktu sangatlah penting. Kecepatan diagnosis, pemberian antibiotik, dan menjaga kestabilan hemodinamik adalah komponen penting untuk mendapatkan luaran yang baik.  
Ketorolac Administration with Ketorolac and Bilateral Superficial Cervical Plexus Block's Comparison to Total Post-Thyroidectomy Analgesic Rescue Needs Sandi Fathir; Suwarman Suwarman; Muchammad Erias Erlangga
Indonesian Journal of Multidisciplinary Science Vol. 2 No. 8 (2023): Indonesian Journal of Multidisciplinary Science
Publisher : International Journal Labs

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55324/ijoms.v2i8.520

Abstract

Thyroidectomy is generally performed by a surgeon with a short operating duration. Inadequate postoperative pain treatment results in several physiological and psychological outcomes, including prolonged hospital stays and the development of chronic pain. This study aims to compare the administration of ketorolac with a combination of ketorolac and bilateral superficial cervical plexus blocks to the total need for analgetic rescue after thyroidectomy surgery. This study used an experimental study with a single-blind randomized control trial method for both study groups. After surgery, group A was given an IV injection of 30 mg ketorolac, while group B was given IV injections of 30 mg ketorolac and bilateral superficial cervical plexus block under ultrasound guidance and 10 ml of 0.25% bupivacaine on each side of the neck before surgery was completed. Both groups would be monitored for 2 hours. The average value of total analgetic rescue needs in the patient group given ketorolac was 195.24 ± 72.72 mcg. While the total need for analgetic rescue in the group of patients who were given a combination of ketorolac and bilateral superficial cervical plexus blocks was 44.05 ± 19.21 mcg. The results of the unpaired T-test showed a p-value of 0.001. There is a significant difference in the total need for analgetic rescue in patients receiving ketorolac.