Suwarman Suwarman
Departemen Anestesiologi Dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran/Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung

Published : 28 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 28 Documents
Search

Response Time, Decision Time, and Delivery Time in Pediatric Emergency Unit of West Java Top Referral Hospital Ayu Sary Oktaviani; Dzulfikar D. Lukmanul Hakim; Suwarman Suwarman
Althea Medical Journal Vol 4, No 3 (2017)
Publisher : Faculty of Medicine Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (196.311 KB)

Abstract

Background: The number of visitors at pediatric emergency unit has increased around 25 million per year. This condition caused overcrowded in these units which would disrupt health care process. Waiting time is one indicator of health care quality. Prolonged waiting times is related to patient’s dissatisfaction and poor outcome. The aim of this study was to identify response time, decision time, and delivery time of Pediatric Emergency Unit in Dr. Hasan Sadikin General Hospital.Methods: This was a descriptive cross sectional study. Data from medical records of pediatric patients who attend Pediatric Emergency Unit, Dr. Hasan Sadikin General Hospital from August to September 2015 were collected. The data included sex, age, day of admission, time of admission, insurance status, triage status, disposition of care, response time, decision time, and delivery time. The collected data were analyzed and presented in percentage and peformed in tables. Results: A total of 201 data were collected during study period. The geometric mean of total waiting time in pediatric emergency department was 346.65 minutes (5 hours 46 minutes). Response time had a geometric mean of 4.07 minutes, meanwhile decision time and delivery time had geometric mean of 46.77 minutes and 181.97 minutes, respectively.Conclusions: Total waiting times of pediatric emergency department exceeds the standard time (4 hours). Meanwhile response time and decision time have already met the standard. 
Edema Paru Akut pada Pasien Eklampsia: Perlukah Penanganan di Ruang Perawatan Intensif? Roni Kartapraja; Suwarman Suwarman
Jurnal Anestesi Obstetri Indonesia Vol 2 No 2 (2019): September
Publisher : Indonesian Society of Obstetric Anesthesia and Critical Care (INA-SOACC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47507/obstetri.v2i2.13

Abstract

Eklampsia adalah kelainan pada kehamilan yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah disertai dengan proteinuria positif dan kejang yang muncul setelah minggu ke-20 kehamilan. Eklampsia dapat menimbulkan komplikasi terhadap ibu dan janin. Diantara komplikasi terhadap ibu yang muncul akibat eklampsia adalah edema paru akut. Edema paru akut terjadi pada 0,08% hingga 1,5% kehamilan dan merupakan salah satu penyebab kematian ibu hamil sehingga tergolong suatu keadaan darurat dan memerlukan penanganan segera. Faktor sirkulasi angiogenik, penurunan tekanan onkotik koloid, disfungsi sel endotel, atau peningkatan tekanan intravaskular disertai dengan peningkatan beban jantung diduga menjadi faktor penyebab terjadinya edema paru akut pada eklampsia. Penegakan diagnosa serta pemberian terapi yang tepat pada edema paru akut harus dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan angka mortalitas dan morbiditasnya. Terapi yang diberikan meliputi pemberian obat -obatan dan atau bantuan ventilasi mekanik. Penggunaan bantuan ventilasi mekanik dilakukan dengan pendekatan strategi lung recruitment yang bertujuan untuk memperbaiki oksigenasi paru dan mampu meningkatkan kemampuan penyapihan ventilator serta mencegah kerusakan paru iatrogenik. Disamping pemantauan hemodinamik secara berkesinambungan, penggunaan ventilasi mekanik merupakan indikasi bagi pasien eklampsia dengan edema paru akut untuk menjalani perawatan di ruang rawat intensif. Acute Pulmonary Edema in Patient with Eclampsia: are Really Need a Intensive Care Unit Treatment? Abstract Eclampsia is a disorder in pregnancy which is characterized by an increase in blood pressure accompanied by positive proteinuria and seizures that appear after the 20th week of pregnancy. Eclampsia can cause complications for the mother and fetus. Among the complications of the mother that arise due to eclampsia are acute pulmonary edema. Acute pulmonary edema occurs in 0.08% to 1.5% of pregnancy and is one of the causes of death of pregnant women so it is classified as an emergency and requires immediate treatment. Angiogenic circulation factors, a decrease in colloid oncotic pressure, endothelial cell dysfunction, or an increase in intravascular pressure accompanied by an increase in cardiac load are thought to be factors causing the occurrence of acute pulmonary edema in eclampsia. The diagnosis and the provision of appropriate therapy in acute pulmonary edema must be done as soon as possible to reduce its mortality and morbidity. The therapy provided includes the administration of medicines and or mechanical ventilation assistance. The use of mechanical ventilation assistance is carried out with a lung recruitment strategy approach that aims to improve lung oxygenation and be able to improve ventilator weaning capabilities and prevent iatrogenic lung damage. In addition to continuous hemodynamic monitoring, the use of mechanical ventilation is an indication for eclampsia patients with acute pulmonary edema to undergo treatment in the intensive care unit.
Pengelolaan Nyeri Pascakraniotomi S Suwarman; Tatang Bisri
Jurnal Neuroanestesi Indonesia Vol 5, No 1 (2016)
Publisher : https://snacc.org/wp-content/uploads/2019/fall/Intl-news3.html

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3202.874 KB) | DOI: 10.24244/jni.vol5i1.62

Abstract

Penanganan nyeri pascakraniotomi sampai saat ini masih belum begitu diperhatikan dan sering ditangani dengan kurang adekwat. Nyeri pascakraniotomi seringkali diabaikan karena adanya anggapan bahwa pasien pascakraniotomi tidak mengalami nyeri berat. Anggapan ini perlahan-lahan berubah dengan meningkatnya kesadaran tentang nyeri akut pascakraniotomi. Terdapat berbagai teknik yang dilakukan untuk menangani nyeri ini, dimana setiap teknik memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Namun, tidak ada satu pun modalitas yang dinyatakan sebagai yang terbaik dan dapat berlaku secara universal. Belum ada konsensus mengenai standar penanganan nyeri pada pasien ini. Masih terdapat berbagai ketidaksesuaian pendapat mengenai mana regimen terapi yang tepat untuk mengobati nyeri pasca kraniotomi. Pada dekade terakhir, meningkatnya kesadaran serta semakin canggihnya penatalaksanaan nyeri menyebabkan dilakukannya berbagai teknik untuk mencapai analgesia yang adekwat pada kelompok pasien ini. Hal ini menyebabkan meningkatnya jumlah serta kualitas penelitian mengenai nyeri pascakraniotomi. Ulasan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai patofisiologi, karakteristik, dan berbagai teknik yang dilakukan untuk penanganan nyeri akut pascakraniotomi. Nyeri kronis pasca kraniotomi yang merupakan gejala sisa yang sangat mengganggu juga dibahas secara singkat.Postcraniotomy Pain ManagementUntil recently, perioperative pain management in neurosurgical patients has been inconsistently recognized and inadequately treated. Pain following craniotomy has frequently been neglected because of the notion that postcraniotomy patients do not experience severe pain. However a gradual change in this outlook is observed because of awareness and understanding toward acute postcraniotomy pain. There are various technique exist for treating this variety of pain each with its own share of advantages and disadvantages. However, individually none of these modalities has been proclaimed as the best and applicable universally. There is no consensus regarding the standardization of pain control in this patient population. A considerable amount of dispute remains to ascertain the appropriate therapeutic regimen for treating postcraniotomy pain. In the last decade, improved awareness and advances in the practice of pain management have resulted in the implementation of diverse techniques to achieve adequate analgesia in this group of patients. This has led to an increased number and quality of studies about postcraniotomy pain. This article provides information about the pathophisiology, characteristic, and also various techniques and approaches for postcraniotomy pain management. Chronic postcraniotomy pain which can be debilitating sequelae is also discussed concisely.
Driving Pressure sebagai Bagian Strategi Ventilasi Mekanik pada Sindroma Gagal Napas Akut Pediatrik akibat Tenggelam Air Tawar Adika Putri Pratiwi; Suwarman
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 37 No 2 (2019): Juni
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (416.721 KB)

Abstract

Dilaporkan kasus anak laki-laki usia 14 tahun, datang dengan peningkatan work of breathing (WOB), desaturasi, penurunan kesadaran, dengan Quick sofa score 3. Klinis ronkhi kasar di kedua hemitoraks dengan edema paru dan pneumonia pada rontgen toraks. Diagnosis acute respiratory distress syndrome (ARDS) diekstrapolasi dari definisi Berlin. Strategi ventilasi mekanik sesuai protokol ARDS berupa target volume tidal ekspirasi (VTE) 6–8 mL/Ideal body weight, penggunaan kombinasi incremental positive end expiratory pressure (PEEP) dan FiO2, membatasi pPlateau <35 cmH2O, dan memasukkan unsur driving pressure (ΔP) yang dipertahankan kisaran 15–16. Tahap awal didapatkan ΔP≤8 dan ≥16, pada ΔP tersebut parameter oksigenasi tidak mengalami perbaikan. Nilai ΔP yang dipertahankan 15–16 membuat rasio PaO2/FiO2 (P/F) perbaikan, sehingga ΔP tidak hanya digunakan sebagai limit, namun dapat digunakan sebagai strategi ventilasi mekanik untuk optimalisasi oksigenasi. ARDS dengan penyebab pneumonia bilateral dan wet lung akibat tenggelam dapat segera diatasi dan menunjukkan perbaikan dengan tatalaksana diatas. Pemberat perawatan adalah adanya aspirasi pneumonia dan sepsis selama di intensive care unit (ICU). Terapi supportif lain berupa pemberian nutrisi, sedasi, analgesia, pelumpuh otot, antibiotik, ventilator associated pneumonia (VAP) bundle, dilakukan. Pada hari ke-7 klinis dan penunjang menunjukkan perbaikan, hari ke-8 pasien pindah ke ruang perawatan dan pulang pada hari ke-12.
Tatalaksana Intensive Care Unit Pasien Krisis Miastenia yang dipicu oleh Pneumonia Komunitas Agung Ari Budy Siswanto; Sobaryati; Nurita Dian Kestriani; Ardi Zulfariansyah; Erwin Pradian; Suwarman; Tinni T. Maskoen
Majalah Anestesia & Critical Care Vol 38 No 1 (2020): Februari
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif (PERDATIN) / The Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Care (INSAIC)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (479.622 KB)

Abstract

Krisis miastenia adalah suatu eksaserbasi akut dari miastenia gravis, dimana kelemahan yang terjadi sampai melibatkan otot-otot pernafasan sehingga mengakibatkan kegagalan napas akut dan memerlukan dukungan ventilasi mekanik. Krisis miastenia merupakan komplikasi miastenia gravis yang paling berbahaya dan mengancam jiwa bila tidak segera ditangani. Timbulnya krisis miastenia dapat dipicu oleh berbagai faktor, salah satunya adalah infeksi paru yang didapat di masyarakat (pneumonia komunitas). Tatalaksana Intensive Care Unit (ICU) pasien krisis miastenia meliputi tatalaksana terhadap kegawatan respirasi, tatalaksana terhadap miastenia gravis, tatalaksana terhadap faktor pencetusnya dan dukungan nutrisi yang adekuat. Intubasi endotrakeal dan dukungan ventilasi mekanis merupakan pilihan utama tatalaksana kegawatan respirasi. Plasmaferesis adalah salah satu metoda terapi yang terbukti efektif dan efisien dalam menanggulangi krisis miastenia. Terapi lainnya adalah pemberian agen anticholinesterase, agen imunosupresif kronis, terapi imunomodulator cepat, dan timektomi. Terapi standar untuk menanggulangi pneumonia komunitas mengikuti panduan Infectious Diseases Society of America (IDSA) terkini. Dukungan nutrisi yang adekuat juga diperlukan untuk menunjang keberhasilan terapi. Diagnosis dini dan terapi yang adekuat diharapkan bisa memperbaiki prognosis pasien krisis miastenia. Pada laporan kasus ini kami sajikan tatalaksana ICU pasien krisis miastenia yang dipicu oleh pneumonia komunitas, yang dirawat di ICU RS. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Oktober 2019.
Tatalaksana syok septik dengan infeksi intraabdomen et causa perforasi gaster di ICU Dhanu Pitra Arianto; Suwarman Suwarman
Tarumanagara Medical Journal Vol. 2 No. 1 (2020): TARUMANAGARA MEDICAL JOURNAL
Publisher : Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24912/tmj.v2i2.7861

Abstract

Latar belakang: Syok septik didefinisikan sebagai bagian dari sepsis didasari oleh gangguan sirkulasi dan sel atau kelainan metabolik yang akan meningkatkan angka mortalitas secara bermakna.Laporan kasus: Laki-laki, 69 tahun, diagnosa syok septik dengan infeksi intrabdomen e.c. perforasi gaster dirawat di ICU setelah dilakukan operasi laparatomi eksplorasi. Pasien mendapatkan tindakan perawatan  dengan manajemen sepsis bundle segera setelah diagnosa ditegakkan, menjalani perawatan di icu selama tujuh hari. European Society of Intensive Care Medicine (ESCIM) pada tahun 2018 memperbaharui sepsis bundle dimana dari semua langkah perawatan sepsis awal yang sebelumnya harus diselesaikan dalam 3 dan 6 jam sekarang harus diterapkan dalam 1 jam (1-h bundles), segera setelah diagnosa sepsis ditegakkan. Pada kasus ini pasien dengan keluhan nyeri perut selama satu minggu sebelum masuk rumah sakit, pemeriksaan penunjang darah laktat 4,2 mmol/L, pemeriksaan rontgen abdomen terdapat pneumoperitonium, dilakukan sepsis bundle dalam 1 jam dan laparatomi emergensi. Perawatan dilanjutkan di ICU dengan antibiotik meropenem, support norepineprin dan ventilasi mekanik. Pasien berangsur pulih selama di ICU, ditandai dengan klinis, hasil penunjang laboratorium, dan rontgen yang membaik.Kesimpulan: Pada manajemen pasien sepsis, waktu sangatlah penting. Kecepatan diagnosis, pemberian antibiotik, dan menjaga kestabilan hemodinamik adalah komponen penting untuk mendapatkan luaran yang baik.  
Gambaran Mortalitas dan Morbiditas Pasien Bedah Elektif di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung Ditinjau Berdasarkan Skor American Society of Anesthesiologists-Physical Status (ASA-PS) Alkadia Alfasha; Suwarman Suwarman; Dewi Yulianti Bisri
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 11, No 2 (2023)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Peningkatan kapasitas tindakan pembedahan tidak terlepas dari risiko mortalitas dan morbiditas yang meningkat. Sistem klasifikasi American Society of Anesthesiologists-Physical Status (ASA-PS) merupakan salah satu alat evaluasi pasien sebelum operasi yang dianggap mudah, akurat, dan komprehensif untuk memprediksi luaran pascaoperasi. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui gambaran mortalitas dan morbiditas pasien bedah yang ditinjau berdasarkan skor ASA-PS. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif dari data rekam medis pasien bedah elektif di RSUP Dr. Hasan Sadikin periode 2019−2022. Jumlah mortalitas dan morbiditas pada periode penelitian ini sebanyak 29 dan 25 kasus dan selanjutnya dikelompokan berdasarkan usia. Departemen obstetri dan ginekologi menjadi departemen tertinggi pada kedua kasus mortalitas dan morbiditas. Mortalitas tertinggi terjadi pada subjek dengan skor ASA-PS II (48,27%), diikuti oleh ASA III (31,03%), dan IV (20,68%), dan umumnya terjadi pascaoperasi. Morbiditas tertinggi juga terjadi pada subjek dengan skor ASA-PS II yaitu sebesar 64%, diikuti ASA-PS III sebesar 28%. Penyebab morbiditas subjek beragam pada berbagai sistem organ. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan mortalitas dan morbiditas didominasi oleh pasien dengan skor ASA-PS II dan umumnya disebabkan oleh henti jantung dan syok, baik intraoperatif maupun pascaoperasi. 
Korelasi Nilai Platelets to Lymphocyte Ratio Dengan Length of Stay ICU Pada Pasien Sepsis Erlina Ana Sepra Liber Sigai; Suwarman Suwarman; Ricky Aditya
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 12, No 2 (2024)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v12n2.3741

Abstract

Sepsis merupakan kondisi mengancam jiwa yang ditandai adanya disfungsi organ yang disebabkan oleh disregulasi respons imun terhadap infeksi. Pada sepsis dapat terjadi respons inflamasi yang tidak terkendali atau imunosupresi. Trombosit dan limfosit memainkan peran penting dalam proses imun dan rasionya dapat menggambarkan derajat keparahan pasien sepsis. Perawatan pasien sepsis di ICU seringkali membutuhkan waktu yang lama, tergantung pada keparahan penyakit dan topangan organ yang dibutuhkan pasien. Berdasarkan hal tersebut kami mencoba mengevaluasi korelasi nilai Platelets to Lymphocyte Ratio (PLR) dengan lama rawat ICU pada pasien sepsis di ICU. Penelitian ini merupakan studi observasional kuantitatif retrospekstif pada pasien sepsis yang dirawat di ICU RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada bulan Januari-Desember 2022. Uji Pearson digunakan untuk menganalisis korelasi antara nilai PLR dengan lama rawat pasien sepsis di ICU. Analisis regresi linear sederhana digunakan untuk mendapatkan persamaan prediksi antara nilai PLR dengan lama rawat pasien di ICU. Sebanyak 102 data rekam medis pasien sepsis diamati dalam penelitian ini. Dari analisis statistik nilai PLR terhadap lama rawat ICU diperoleh r=0,611 (p≤0,001). Dari regresi linear sederhana didapatkan prediksi lama rawat ICU=(0,11xnilai PLR)–7,96 hari. Berdasarkan penelitian ini, terdapat korelasi positif antara nilai PLR dan lama rawat pasien sepsis di ICU.