Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

PELAKSANAAN PENYELESAIAN HAK ATAS TANAH EX EIGENDOM VERPONDING 2044 DI DESA NAGRAK KECAMATAN CIATER KABUPATEN SUBANG Ludy Awaludin; Uu Nurul Huda; Ine Fauzia
VARIA HUKUM Vol 2, No 1 (2020): VARIA HUKUM
Publisher : Ilmu Hukum, Sharia and Law Faculty, Sunan Gunung Djati Islamic State University of Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15575/vh.v2i1.14172

Abstract

Dalam peraturan undang-undang tanah Hak Milik (eigendom verponding) merupakan tanah yang terkuat dan turun termurun untuk  dinikmati dengan sepenuhnya dan menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya, kepemilikan atas suatu tanah tidak bisa hilang tanpa ada sebab hapusnya kepemilikian tanah tersebut. Meski begitu masih ada saja permasalahan dalam lingkup hak kepemilikan tanah, seperti halnya permasalahan yang terjadi atas tanah yang saat ini digunakan oleh PTPN yang memiliki hak guna usaha dengan M. Fatkhi yang menganggap bahwa tanah tersebut berada dibawah kepemilikannya yang berstatus eigendom verponding. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan Pasal 20 UUPA yang seharusnya tanah tersebut tidak bisa digunakan oleh siapapun tanpa ada izin dari pemiliknya. Bagaimana duduk permasalahan hak atas tanah ex eigendom verponding 2044 dihubungkan dengan Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)?; Bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur kepastian hak atas tanah di hubungkan dengan ex eigendom 2044 di Desa Nagrak Kecamatan Ciater Kabupaten Subang?; Bagaimana para pihak dapat menyelesaikan sengketa hak atas tanah yang semula merupakan hak eigendom verponding?; Tujuan penelitian ini adalah 1) untuk mengetahui duduk permasaahan hak atas tanah ex eigendom verponding 2044 dihubungkan dengan Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA); 2) Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur kepastian hak atas tanah dihubungkan dengan ex eigendom verponding 2044 di Desa Nagrak Kecamatan Ciater Kabupaten Subang; 3) Untuk mengetahui para pihak dapat menyelesaikan sengketa hak atas tanah yang semula merupakan hak eigendom verponding. Metode yang digunakan oleh penulis adalah metode deskriptif-analisis yaitu memberikan gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yang artinya adalah pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum utama dengan cara menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas hukum serta peraturan perundaang-undangan. Hasil dari penelitian yang dilakukan bahwa tanah ex eigendom verponding 2044 yang di klaim oleh M. Fatkhi berdasarkan data yang dimilikinya masih dikuasai oleh PTPN VIII dan hal itu bertentangan dengan UUPA. Berdasarkan UUPA dan PP No.40 tahun 1996 Para pihak yang bersengketa harus memberikan bukti kuat dengan menunjukan data-data atau dokumen hukum untuk menyatakan kepemilikan tanah. Upaya yang dapat dilakukan oleh Para pihak dalam menyelesaikan permasalahan sengketa pertanahan yaitu melalui jalur litigasi ataupun non litigasi dengan dengan merujuk UU No.30 tahun 1999 yang memiliki kewenangan dan akan memberikan keputusan yang seadil-adilnya untuk para pihak dengan mendapatkan kepastian hukum.
Kebebasan Berpendapat dan Jerat Digital: Analisis Nullum Crimen Sine Lege dalam Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang ITE dan Relevansinya dengan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Suhandry Aristo Sitanggang; Tajul Arifin; Ine Fauzia
As-Syar i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga  Vol. 7 No. 1 (2025): As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling Keluarga
Publisher : Institut Agama Islam Nasional Laa Roiba Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47467/as.v7i1.6423

Abstract

The fact that the ITE Law's implementation of Article 27 Paragraph 3 fails to meet one of the legality principle's requirements—nullum crimen, nulla poena sine lege certa—motivates this study. “The article does not give the community legal certainty because it is ambiguous and subject to multiple interpretations. One of the fundamental rights guaranteed by the Universal Declaration of Human Rights is the right to free speech. The purpose of this study is to examine digital traps and freedom of speech. It also examines the ITE Law's nullum crimen sine lege premise and how it relates to Article 19 of the Universal Declaration of Human Rights.” This study uses a descriptive analysis method and focuses on a normative legal approach. The information was gathered by searching and analyzing the legal materials in the library. With an emphasis on theoretical analysis of the concepts of freedom of speech and digital snares, the principle of nullum crimen sine lege against human rights, and its implementation in Indonesia, the data analysis technique employs a qualitative legal method, where the data obtained is analyzed deductively. According to the study's findings, Article 27 of the ITE Law is a rubber article that can be interpreted in a variety of ways, raising doubts about its legality. Despite being fundamental, this right might be restricted by law to ensure that human rights, other people's fundamental freedoms, morality, public order, and national interests are recognized and respected. The study's conclusions suggest that in order to prevent misunderstandings and misuse, the article must be precise and unambiguous. Its application must be supported by solid evidence and consistent with the principles of clear article formulation, and it must be balanced with the preservation of free speech. Furthermore, restrictions on freedom of communication must be explicitly outlined in legislation and can only be used to stop defamation, safeguard national security, and stop incitement to violence and hatred.
Relevance Between Article 6 of the Universal Declaration of Human Rights and the Al-Qur’an Solihan Makruf; Tajul Arifin; Ine Fauzia
al-Afkar, Journal For Islamic Studies Vol. 8 No. 2 (2025)
Publisher : Perkumpulan Dosen Fakultas Agama Islam Indramayu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31943/afkarjournal.v8i2.1751

Abstract

This research is motivated by the fact that the concept of human rights, as defined in Article 6 of the Universal Declaration of Human Rights (UDHR), is relevant to the values contained in the Qur'an. This research aims to analyse the relationship between Article 6 of the UDHR, which guarantees the right to legal recognition, and the principles contained in the Qur'an. This research adopts a normative legal approach and a descriptive method of analysis. Data were collected using literature review techniques by reviewing legal documents, Qur'anic commentaries and related literature. In addition, the data was analysed using qualitative data analysis techniques. The findings of this study show that there is conceptual harmony between Article 6 of the UDHR and the teachings of the Qur'an in upholding the right to recognition as a legal subject. The findings of this study imply the need for synergy between international law and religious values in order to strengthen respect for universal human rights.
Analisis Hukum Islam terhadap Perlindungan Hak atas Privasi dalam Pasal 12 The Universal Declaration of Human Rights Kuraesin, Siti; Tajul Arifin; Ine Fauzia
IN RIGHT: Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia Vol. 14 No. 1 (2025)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/inright.v14i1.3946

Abstract

This study examines the protection of the right to privacy from the perspective of Islamic law and Article 12 of the Universal Declaration of Human Rights (UDHR). The right to privacy is a fundamental human right, particularly in the modern era where rapid technological advancement has amplified the risks of data breaches and personal intrusion. The research aims to analyze the Islamic concept of privacy, compare it with international legal standards, and explore their implementation in daily life. Utilizing a qualitative-comparative method, this study reveals both the convergence of values and the divergence in approaches between maqāṣid al-sharīʿah in Islam and the principles of international human rights law. The findings indicate that both legal frameworks uphold privacy as an essential element of human dignity and individual freedom. Islamic law provides spiritual, moral, and legal foundations that align with the intent of Article 12 UDHR, while also emphasizing the social responsibility of respecting others’ privacy. These insights underscore the necessity of cultivating collective awareness of the right to privacy as a means to foster a just, civil, and respectful society.   Abstrak Penelitian ini mengkaji perlindungan hak atas privasi dari perspektif hukum Islam dan Pasal 12 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Hak atas privasi merupakan hak asasi manusia yang fundamental, terutama di era modern saat kemajuan teknologi pesat meningkatkan risiko pelanggaran data dan gangguan terhadap kehidupan pribadi. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis konsep privasi dalam Islam, membandingkannya dengan standar hukum internasional, serta mengeksplorasi implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menggunakan metode kualitatif-komparatif, studi ini mengungkapkan adanya kesesuaian nilai dan perbedaan pendekatan antara maqāṣid al-sharīʿah dalam Islam dan prinsip-prinsip hukum hak asasi manusia internasional. Temuan menunjukkan bahwa kedua kerangka hukum tersebut menempatkan privasi sebagai unsur penting dalam martabat manusia dan kebebasan individu. Hukum Islam memberikan landasan spiritual, moral, dan hukum yang sejalan dengan maksud Pasal 12 DUHAM, sekaligus menekankan tanggung jawab sosial untuk menghormati privasi orang lain. Temuan ini menegaskan pentingnya membangun kesadaran kolektif terhadap hak atas privasi sebagai sarana mewujudkan masyarakat yang adil, beradab, dan saling menghormati
KRIMINALITAS DALAM PERSPEKTIF STRAIN THEORY DAN GENERAL STRAIN THEORY: STUDI KASUS PERAMPOKAN DAN PEMBUNUHAN DI PASURUAN AKIBAT RASA IRI TERHADAP KESUKSESAN KORBAN DALAM USAHA SEMBAKO Siti Masyitoh; Dede Kania; Ine Fauzia
YUSTISI Vol 12 No 3 (2025)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v12i3.20465

Abstract

Penelitian ini membahas kasus pembunuhan dan perampokan yang terjadi di Pasuruan dengan pelaku berinisial M, yang termotivasi oleh rasa iri dan dengki terhadap kesuksesan usaha tetangganya. Kasus ini dianalisis menggunakan perspektif teori anomie dan teori strain yang dikemukakan oleh Emile Durkheim, Robert K. Merton, serta pengembangan selanjutnya oleh Robert Agnew dan Messner & Rosenfeld. Teori-teori tersebut menjelaskan bagaimana tekanan sosial, ekonomi, dan psikologis dapat mendorong individu melakukan penyimpangan sosial hingga tindakan kriminal. Ketegangan muncul akibat ketidaksesuaian antara tujuan yang ingin dicapai (kesuksesan ekonomi) dengan keterbatasan sarana yang tersedia untuk mencapainya secara legal. Selain itu, konsep deprivasi relatif juga digunakan untuk memahami perasaan ketertinggal yang dirasakan pelaku karena kesenjangan hasil usaha dengan korban. Hasil analisis menunjukkan bahwa pelaku mengalami tekanan emosional dan psikologis akibat ketimpangan sosial yang memicu tindakan kejahatan sebagai jalan yang ditempuh pelaku untuk mencapai tujuannya. Dengan demikian, teori strain memberikan pemahaman yang mendalam terhadap motif kejahatan yang dilatarbelakangi oleh kondisi sosial dan psikologis dalam masyarakat.
KRIMINALITAS DALAM PERSPEKTIF STRAIN THEORY DAN GENERAL STRAIN THEORY: STUDI KASUS PERAMPOKAN DAN PEMBUNUHAN DI PASURUAN AKIBAT RASA IRI TERHADAP KESUKSESAN KORBAN DALAM USAHA SEMBAKO Siti Masyitoh; Dede Kania; Ine Fauzia
YUSTISI Vol 12 No 3 (2025)
Publisher : Universitas Ibn Khaldun Bogor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32832/yustisi.v12i3.20465

Abstract

Penelitian ini membahas kasus pembunuhan dan perampokan yang terjadi di Pasuruan dengan pelaku berinisial M, yang termotivasi oleh rasa iri dan dengki terhadap kesuksesan usaha tetangganya. Kasus ini dianalisis menggunakan perspektif teori anomie dan teori strain yang dikemukakan oleh Emile Durkheim, Robert K. Merton, serta pengembangan selanjutnya oleh Robert Agnew dan Messner & Rosenfeld. Teori-teori tersebut menjelaskan bagaimana tekanan sosial, ekonomi, dan psikologis dapat mendorong individu melakukan penyimpangan sosial hingga tindakan kriminal. Ketegangan muncul akibat ketidaksesuaian antara tujuan yang ingin dicapai (kesuksesan ekonomi) dengan keterbatasan sarana yang tersedia untuk mencapainya secara legal. Selain itu, konsep deprivasi relatif juga digunakan untuk memahami perasaan ketertinggal yang dirasakan pelaku karena kesenjangan hasil usaha dengan korban. Hasil analisis menunjukkan bahwa pelaku mengalami tekanan emosional dan psikologis akibat ketimpangan sosial yang memicu tindakan kejahatan sebagai jalan yang ditempuh pelaku untuk mencapai tujuannya. Dengan demikian, teori strain memberikan pemahaman yang mendalam terhadap motif kejahatan yang dilatarbelakangi oleh kondisi sosial dan psikologis dalam masyarakat.
Protection of Citizenship Status in National Law as a Human Right is Linked to Article 15 Paragraph 2 of the Universal Declaration of Human Rights Rizal Agung Mufti; Tajul Arifin; Ine Fauzia
al-Afkar, Journal For Islamic Studies Vol. 8 No. 4 (2025)
Publisher : Perkumpulan Dosen Fakultas Agama Islam Indramayu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31943/afkarjournal.v8i4.1794

Abstract

This research aims to analyse the protection of citizenship status in Indonesian national law as part of human rights, with a focus on the implementation of Article 15(2) of the Universal Declaration of Human Rights (UDHR), which prohibits arbitrary deprivation of citizenship. The method used is a normative approach by analysing the laws and regulations governing citizenship in Indonesia and comparing them with the international principles in the UDHR. The results show that although Indonesia has regulated citizenship as a protected right, there are challenges in the implementation of these protections, such as administrative problems of citizenship, dual citizenship, and non-transparent loss of citizenship. The contribution of this research is to provide insight into the importance of protecting citizenship as a human right in the context of national and international law, and to suggest reforms to the administration of citizenship in order to guarantee this right more effectively.
Islamic Legal Perspective and Article 15 Paragraph (1) “The Universal Declaration of Human Rights” Concerning Legal Protection for Everyone to Have Rights Andri Suprihatno; Tajul Arifin; Ine Fauzia
al-Afkar, Journal For Islamic Studies Vol. 8 No. 4 (2025)
Publisher : Perkumpulan Dosen Fakultas Agama Islam Indramayu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31943/afkarjournal.v8i4.1803

Abstract

This research is motivated by the fact that legal protection of the right of every individual to have citizenship is one of the fundamental aspects regulated in international law and Islamic law. This research aims to analyze the perspective of Islamic law and Article 15 Paragraph (1) of the Universal Declaration of Human Rights which states that everyone has the right to nationality. This research applies a normative juridical approach with descriptive analysis method. Data were collected through document studies and relevant literature using purposive sampling techniques. Furthermore, the data was analyzed using qualitative data analysis techniques. The results of this study show that Islamic law and Article 15 Paragraph (1) of the Universal Declaration of Human Rights have harmony in guaranteeing the right of every individual to have citizenship as a form of protection of human dignity. The findings of this study imply the need to harmonize national regulations with the principles of Islamic law and international law to ensure that the right to citizenship can be effectively guaranteed.