Sunny Wangko
University of Sam Ratulangi Manado, Indonesia

Published : 55 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 37 Documents
Search
Journal : JURNAL BIOMEDIK

PERAN KOMPLEKS JUKSTAGLOMERULUS TERHADAP RESISTENSI PEMBULUH DARAH Toreh, Renny M.; Kalangi, Sonny J.R.; Wangko, Sunny
Jurnal Biomedik : JBM Vol 4, No 3 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.4.3.2012.1213

Abstract

Abstract: As the main structural component of the renin-angiotensin-aldosterone system (RAAS), the juxtaglomerular complex plays a very important role in the regulation of vascular resistance. The synthesis and release of renin into the circulation occurs due to the decrease of blood pressure, loss of body fluid, and a decrease of sodium intake. Renin converts angiotensinogen into angiotensin I, which is further converted by the angiotensin converting enzyme (ACE) into angiotensin II. This angiotensin II causes vasoconstriction of blood vessels, resulting in an increase of vascular resistance and blood pressure. The ACE inhibitors and the angiotensin receptor blockers (ARBs) do not inhibit the RAAS completely since they cause an increase of renin activity. The renin blockers are more effective in inhibiting RAAS activity; therefore, these renin blockers can be applied as antihypertensive agents with fewer side effects. The RAAS activity can be inhibited by a decrease of renin synthesis in the juxtaglomerular complex by blocking the signals in the juxtaglomerular complex that stimulate renin synthesis, and by blocking the gap junctions in the juxtaglomerular complex. Keywords: juxtaglomerular complex, vascular resistance, RAAS.   Abstrak: Kompleks jukstaglomerulus sebagai komponen struktural utama sistem renin angiotensin berperan penting dalam pengaturan resistensi pembuluh darah. Sintesis dan pelepasan renin ke sirkulasi terjadi karena tekanan darah yang rendah, kehilangan cairan tubuh, dan kurangnya intake natrium. Renin akan memecah angiotensinogen menjadi angiotesin I yang kemudian secara cepat dikonversi oleh enzim pengonversi angiotensin  menjadi angiotensin II. Angiotensin II menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah sehingga meningkatkan resistensi pembuluh darah yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. ACEinhibitor dan ARB kurang sempurna dalam menghambat kerja SRAA oleh karena keduanya memutuskan rantai mekanisme timbal balik sehingga meningkatkan aktifitas renin. Penghambat renin lebih efektif digunakan untuk menghambat aktifitas SRAA sehingga penghambat renin dapat digunakan sebagai obat anti-hipertensi dan memiliki efek samping yang rendah. Metode penghambatan SRAA yang juga dapat dikembangkan ialah penghambatan sintesis renin dalam kompleks jukstaglomerulus dengan cara menekan sinyal-sinyal dalam kompleks jukstaglomerulus yang merangsang sintesis renin dan menghambat fungsi taut kedap yang terdapat dalam kompleks jukstaglomerulus. Kata kunci: kompleks juksta glomerulus, resistensi vaskular, SRAA.
JARINGAN OTOT RANGKA Sistem membran dan struktur halus unit kontraktil Wangko, Sunny
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 3 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.3.2014.6330

Abstract

Abstract: There are three main components of skeletal muscle: connective tissue, muscle tissue, and membrane system. The connective tissue protects the muscle fibers and separate them into fasicles. The skeletal muscle consists of paralel muscle fibers with their myofibrils which are composed by smaller contractile units, thick myofilaments and thin myofilaments. The membrane system consists of sarcolemma, transverse tubules (TT), foot structure, and sarcoplasmic reticulum (SR) with its cisternae. Depolarization of the sarcolemma spreads to TT, foot structure, and SR, resulting in the release of Ca2+ ions from SR. These ions trigger the formation of cross bridges to begin a contraction.Keywords: sarcolemma, T tubule, sarcoplasmic reticulum, thick myofilament, thin myofilamentAbstrak: Terdapat tiga komponen utama jaringan otot rangka, yaitu: jaringan ikat, jaringan otot seran lintang, dan sistem membran. Jaringan ikat berfungsi melindungi serat-serat otot dan memisahkannya atas berkas-berkas otot. Jaringan otot rangka tersusun atas serat-serat otot yang bherjalan sejajar dengan miofibrilnya yang terdiri atas unit kontraktil yang lebih kecil yaitu miofilamen tebal dan tipis. Sistem membran terdiri atas sarkolema dimana terjadinya depolarisasi yang paling awal dan dihantarkan ke dalam serat otot melalui tubulus T, struktur kaki pada daerah triad, dan sisterna terminalis yang selanjutnya memicu pelepasan ion Ca2+ dari retikulum sarkoplasma. Ion Ca2+ merupakan pemicu untuk pembentukan jembatan silang yang mengawali suatu kontraksi otot.Kata kunci: sarkolema, tubulus T, retikulum sarkoplasma, filamen tebal, filamen tipis
HISTOFISIOLOGI RETINA Wangko, Sunny
Jurnal Biomedik : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.3.2013.4342

Abstract

Bola mata orang dewasa berdiameter sekitar 2,5 cm. Dari seluruh permukaan bola mata, hanya 1/6 bagian anterior yang tampak sedangkan 5/6 bagian posterior terletak dan terlindung di dalam ruang orbita. Secara histologik, dinding bola mata tersusun oleh 3 lapisan yaitu tunika fibrosa, tunika vaskulosa (uvea), dan tunika nervosa (retina). Retina merupakan tempat reseptor visual dengan tiga lapisan utama neuron retina yang dipisahkan oleh dua zona dimana terjadi sinaps, yaitu lapisan sinaps luar dan dalam. Ketiga lapisan ini (searah dengan input visualnya) ialah: lapisan sel fotoreseptor, lapisan sel bipolar, dan lapisan sel ganglion. Juga terdapat sel horisontal  dan sel amakrin; keduanya membentuk jalur lateral untuk mengatur sinyal yang  dihantarkan sepanjang jalur sel fotoreseptor ke sel bipolar dan ke sel ganglion.
GAMBARAN HISTOLOGIK HEPAR HEWAN COBA POSTMORTEM Pualilin, Novia K.; Wangko, Sunny; Kalangi, Sonny J. R.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 2 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Juli 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.2.2014.5550

Abstract

Abstract: The usage of postmortem histological changes of the liver in the medicolegal investigation is still very limited. This study aimed to obtain the histological changes of the liver postmortem. This was an experimental-descriptive study using one pig as model. Samples were taken from its liver after 0 minute; 15 minutes; 30 minutes; 45 minutes; 60 minutes; 12 hours; and 24 hours postmortem. The results showed that the first postmortem histological changes of the pig liver were observed 30 minutes postmortem. These changes were congestion of the liver parenchym and sinusoidal dilatation, which became more distinct after 45 and 60 minutes. At 12 hours postmortem, the hexagonal forms of lobuli could still be identified, however, most central veins and vessels in the portal areas could not be identified. At 24 hours  postmortem, liver lobuli and all the vessels could not be identified. Conclusion: The earliest histological changes, parenchym congestion and sinusoiodal dilatation, occured 30 minutes postmortem. At 12 hours postmortem, most ot the vessels could not be identified. Morover, at 24 hours postmortem, all liver structures could not be identified anymore. It is expected that these postmortem histological changes of the liver colud be applied in medicolegal investigation especially ≤24 hours postmortem. Keywords: postmortem interval, liver, postmortem.     Abstrak: Perubahan gambaran histologik hepar postmortem yang dijadikan dasar dalam penentuan lama kematian masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran histologik hepar postmortem. Penelitian ini bersifat deskriptif eksperimental dengan menggunakan babi sebagai hewan coba. Sampel jaringan hepar diambil pada interval waktu 0 menit; 15 menit; 30 menit; 45 menit; 60 menit; 12 jam; dan 24 jam postmortem. Hasil penelitian memperlihatkan perubahan histologik hepar babi mulai teridentifikasi pada 30 menit postmortem berupa kongesti parenkim hepar disertai dilatasi sinusoid. Pada 45 menit dan 60 menit postmortem, perubahan-perubahan di atas makin nyata dan meluas. Pada 12 jam postmortem, bentuk lobuli heksagonal masih dapat diidentifikasi tetapi sebagian besar vena sentralis dan pembuluh-pembuluh dalam area portal tidak dapat diidentifikasi lagi. Pada 24 jam postmortem, lobuli hepar, vena sentralis serta pembuluh-pembuluh dalam area portal tidak dapat diidentifikasi lagi. Simpulan: Perubahan gambaran histologik hepar babi mulai tampak pada 30 menit postmortem ditandai kongesti parenkim hepar disertai dilatasi sinusoid. Pada 12 jam postmortem, sebagian besar pembuluh-pembuluh tidak dapat diidentifikasi lagi. Pada 24 jam postmortem seluruh struktur hepar tidak dapat diidentifikasi lagi. Penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk kepentingan medikolegal, terutama pada kematian ≤24 jam. Kata kunci: lama kematian, hepar, postmortem.
PERAN RESEPTOR MELANOKORTIN 1 PADA MELANOGENESIS Pratama, Gunawan; Wangko, Sunny; Jacobs, Jemima N.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 2, No 2 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.2.2.2010.845

Abstract

Abstrak: Dewasa ini fenotip warna kulit secara alami maupun dengan perlakuan banyak menjadi perhatian terutama dalam aspek sosial dan kosmetik. Seiring dengan itu, berbagai penelitian dan pengembangan biomolekuler yang bertujuan mengendalikan melanogenesis telah berkembang pesat. Pada tingkat molekul, proses kompleks biosintesis polimer melanin di dalam melanosit ditentukan oleh reseptor melanokortin 1 (MC1R). Struktur proteinnya yang dikode oleh faktor genetik seseorang dapat mempengaruhi afinitas reseptor terhadap agonis atau ligan. Selanjutnya jalur lintas sinyal transduksi bergantung siklik adenosin mono-fosfat (cAMP) intrasel yang dicetuskannya akan menentukan tipe dan warna kulit. Faktor-faktor transkripsi pada lintasan sinyal cAMP berupa molekul-molekul protein akan menen-tukan sintesis enzim yang memainkan peran kunci pada arah pembentukan biopolimer mela-nin di dalam retikulum endoplasma, aparatus Golgi dan melanosom. Feomelanogenesis dengan hasil akhir polimer melanin yang berwarna kuning kemerahan adalah jalur pasti hilangnya sinyal reseptor melanokortin 1. Pemahaman pada lintasan sinyal reseptor melano-kortin 1 setidaknya dapat memberi informasi pada kelainan pigmentasi dalam terapan ilmu kedokteran klinik medik. Kata kunci: MC1R, cAMP, sinyal transduksi.     Abstract: Nowadays, natural or modified phenotype skin colors get more attention especially in social and cosmetic aspects. In fact, advanced biomolecular sciences have revealed a better understanding about controlling melanogenesis. In this molecular level, the complexity of melanin biopolymers produced in melanocytes is driven by melanocortin 1 receptors (MC1R). Coded by its genetic structure, this protein may affect receptors’ affinity to their agonists or ligands. Then the intracellular cAMP dependent signal transduction will determine consequently the hair and skin colors. Transcription factors in the cAMP signal line in protein molecule forms are involved in determining enzyme synthesis which plays the main role in directing the biopolymer melanin’s end products in endoplasmic reticulum, Golgi apparatus, and melanosome. Pheomelanogenesis is the consequense of melanocortin 1 receptors signal loss; its end product appears in yellow-red color melanin polymers. Understanding MC1R’s signal transduction gives additional information about pigmentation abnormality in medical practice. Key words: MC1R, cAMP, transduction signal.
SEL BETA PANKREAS SINTESIS DAN SEKRESI INSULIN Banjarnahor, Eka; Wangko, Sunny
Jurnal Biomedik : JBM Vol 4, No 3 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.4.3.2012.795

Abstract

Abstract: Insulin synthesis and secretion are done by pancreatic beta cells. Preceding the insulin synthesis, there is a gen translation in chromosome 11 that produces insulin, packed in secretory granules. Insulin secretion is induced by the alteration of blood glucose levels, resulting in the occurence of intracellular reactions preceded by changes of ATP/ADP ratios that trigger the depolarisation of plasma membranes. Furthermore, extracellular Ca2+ ions move inward to beta cells to activate exocytosis. There are still many unknown problems so far in either the synthesis or secretion of insulin that cause unfulfilled insulin needs in the body.Keywords: beta cells, insulin, synthesis, secretionAbstrak: Sintesis dan sekresi insulin dilakukan oleh sel beta pankreas. Sintesis insulin diawali oleh salinan gen pada kromosom 11, yang akan menghasilkan insulin, di kemas di dalam granul-granul sekretorik. Sekresi insulin diinduksi oleh perubahan kadar glukosa, yang berakibat terjadinya reaksi intrasel yang diikuti adanya perbedaan rasio ATP/ADP yang memicu reaksi depolarisasi membran plasma. Sebagai akibat lanjut Ca2+ ekstrasel akan masuk ke dalam sel beta yang berfungsi mengaktifkan eksositosis. Sampai saat ini masih banyak ditemui masalah baik dalam hal sintesis maupun sekresi insulin yang mengakibatkan kebutuhan insulin tubuh tidak terpenuhi.Kata kunci: sel beta, insulin, sintesis, sekresi
MUKOSA OLFAKTORIA Wangko, Sunny
Jurnal Biomedik : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.3.2013.4347

Abstract

Kavum nasi merupakan sepasang ruangan yang dipisahkan oleh septum terdiri dari tulang rawan dan tulang. Ruangan-ruangan tersebut berbentuk memanjang dengan dasar melebar, terletak pada palatum durum dan palatum mole. Bagaian apeks menyempit ke arah fosa kranialis anterior. Rangka kavum nasi dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang terletak di bagian tengah tengkorak, kecuali sebagian kecil di sebelah anterior yaitu hidung bagian luar. Ruangan kavum nasi terdiri atas tiga regio: vestibulum nasi, regio respiratoria dan regio olfaktoria. Vestibulum nasi adalah bagian kavum nasi yang berdilatasi tepat di bagian dalam lubang hidung dan dilapisi oleh kulit. Regio respiratoria merupakan bagian terbesar kavum nasi (sekitar 2/3 bagian sebelah inferior) dan dilapisi oleh epitel respiratoria. Regio olfaktoria terletak di apeks (1/3 bagian atas) kavum nasi dan dilapisi oleh mukosa olfaktoria yang merupakan indra penghidu.
NON-CALLIPHORIDAE-NECROPHAGOUS-DIPTERA SUCCESSION ON PIG CARCASSES IN MANADO, INDONESIA Wangko, Sunny; Sembel, Dantje T; Pinontoan, Oddi R; Posangi, Jimmy; Huijbregts, Hans
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 4, No 1 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.4.1.2012.749

Abstract

Abstrak. Penelitian mengenai suksesi Diptera nekrofagus non-Calliphoridae dilakukan di Manado, Indonesia pada tahun 2012. Tiga ekor bangkai babi domestik (berat badan 21-23 kg) dimatikan dengan tiga cara yang berbeda (dosis letal potasium sianida per oral, pukulan benda tumpul pada area osipital, dan tikaman benda tajam). Penelitian dilakukan selama 15 hari. Suhu udara ambien dan kelembaban, serta data suhu dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Kayuwatu. Babi yang dimatikan dengan potasium sianida memperlihatkan perlangsungan dekomposisi yang lebih panjang (10 hari) dibandingkan dengan lainnya (delapan hari). Simpulan: Terdapat empat famili dan dua spesies Diptera nekrofagus non-Calliphoridae yang mengunjungi bangkai hewan coba: Sarcophagidae, Piophilidae, Ophyra, Phoridae, Musca domestica, dan Hermetia illucens. Sarcophagidae dan Ophyra telah ditemukan sejak hari ke-1. Dari keenam jenis serangga non-Calliphoridae yang berkunjung, hanya empat jenis yang berkolonisasi pada bangkai hewan coba, yaitu: Ophyra, Phoridae, Musca domestica, and Hermetia illucens. Kata kunci: nekrofagus non-Calliphoridae, babi domestik, suksesi, kolonisasi Abstract. A study was conducted on Non-Calliphoridae-Necrophagous-Diptera succession on pig carcasses in Manado, Indonesia, in the year 2012. Three domestic pig carcasses (weighing 21-23 kg) were killed by using three different manners (a lethal oral dose of potassium cyanide, a blow with a blunt material, and a stabbing with a sharp material). This study was conducted for 15 days. Ambient air temperatures and humidity, and temperature data of the Climatology Station, Kayuwatu were recorded. The pig killed with potassium cyanide showed a longer decomposition duration (10 days) than the others (eight days). Conclusion: there were four families and two species of Non-Calliphoridae-Necrophagous Diptera visited the carcasses: Sarcophagidae, Piophilidae, Ophyra, Phoridae, Musca domestica, and Hermetia illucens. The first visitors (day 1) were Sarcophagidae and Ophyra. From the six visitors, there were only four that colonized on the carcasses: Ophyra, Phoridae, Musca domestica, and Hermetia illucens.Key words: Non-Calliphoridae-Necrophagous-Diptera, domestic pigs, succession, colo-nization
Ekek anti mikroba terapi larva Wangko, Sunny
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 8, No 1 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.8.1.2016.12332

Abstract

Abstract: Chronic wound is still a world-wide problem that spends a very high cost related to its management and treatment. Although there are a lot of promising studies about wound healing process, the prevalence and incidence of chronic wound and its complications are still high. Conventionally, the management of chronic wound consists of surgical debridement, manual irrigation, dressing, and antimicrobial therapy (topical and/or systemic). It is accepted that microbial biofilm and its complexity play important roles in non-healing wounds. This biofilm consists of polymicrobial colonies embedded in exopolymeric matrix produced by the biofilm itself and has a high tolerance to host defence mechanisme, antibiotics, and antiseptics. Larval therapy has been approved by FDA to be used in chronic wound management. It has antimicrobial effects besides its other effects on wound healing inter alia mechanical debridement, anti-inflammation, angiogenesis, and destabilization of biofilm enzymes. Further studies are needed to explore the effects of larval therapy, especially its excretion/secretion components, so that it can be applicated more aesthetically.Keywords: chronic wound, wound healing process, biofilm, larval therapyAbstrak: Luka kronis merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia yang telah memboroskan biaya cukup tinggi. Walaupun telah terjadi kemajuan dan pemahaman mengenai penyembuhan luka, prevalensi dan insidensi luka kronis dan komplikasinya tetap meningkat pesat. Secara konvensional, perawatan luka kronis terdiri dari debrideman, irigasi manual, dressing untuk mempertahankan kelembaban, dan terapi antimikroba (topikal dan atau sistemik). Adanya biofilm mikroba serta kompleksitasnya pada luka kronis telah disepakati sebagai salah satu kunci gagalnya penyembuhan luka. Biofilm mikroba terdiri dari koloni-koloni mikroorganisme polimikrobial terkemas dalam matriks eksopolimerik yang diproduksi olehnya sendiri dan memiliki toleransi tinggi terhadap pertahanan pejamu (host), antibiotik, dan antiseptik. Terapi larva telah diterima oleh FDA dan telah terbukti berefek antimikroba disamping efek lainnya terhadap penyembuhan luka, antara lain: debrideman mekanis, anti-inflamasi, angiogenesis, dan destabilisasi enzim biofilm pada luka. Studi lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi efek terapi larva terutama komponen ekskresi/skresi larva terhadap penyembuhan luka agar dapat diaplikasikan secara lebih estetik.Kata kunci: luka kronis, penyembuhan luka, biofilm, terapi larva
PATOFISIOLOGI RIGOR MORTIS Kristanto, Erwin; Wangko, Sunny
JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 6, No 3 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.3.2014.6331

Abstract

Abstract: As one of the death signs, rigor mortis is usually found in death cases. Most of the rigor mortis phenomenon can be explained thoroughly in forensic science. Understanding of this phenomenon can help the medical practitioners in analyzing forensic cases during their internship as well as during their works as medical doctors in hospitals or other medical facilities. In rigor mortis analysis, we can not avoid any variable which is found in the crime scenes since it will cause bias in the result.Keywords: rigor mortis, myofilaments, ATPAbstract: Kekakuan pada mayat merupakan salah satu tanda kematian yang sering ditemukan pada kasus kematian. Sebagian besar fenomena rigor mortis telah dapat dijelaskan lewat ilmu kedokteran forensik. Pemahaman tentang kaku mayat ini akan membantu dokter dalam membuat analisis forensik kasus yang ditanganinya, baik saat internship maupun dalam praktik kedokteran yang dilakukannya di rumah sakit, maupun fasilitas kesehatan lainnya. Analisis kaku mayat tidak boleh menyingkirkan variabel yang ditemukan pada pemeriksaan, karena akan membawa bias pada hasil analisis.Kata kunci: rigor mortis, miofilamen, ATP