Claim Missing Document
Check
Articles

Found 15 Documents
Search

Proporsi dan karakteristik koinfeksi servisitis gonore dan klamidia pada Wanita Pekerja Seksual (WPS) di lokalisasi Bandar Baru Kabupaten Deli Serdang Mohamad Mimbar Topik
Majalah Kedokteran Nusantara The Journal Of Medical School Vol 50, No 1 (2017): The Journal of Medical School
Publisher : Fakultas Kedokteran USU

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstrak Pendahuluan :Servisitis adalah sindrom peradangan serviks dan merupakan kondisi yang umum pada Wani1a Pekerja Seksual (WPS).Servisitis yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae dan serirg terjadi koinfeksi dengan Clamydia trachomatis. Proporsi dan karakteristik koinfeksi servisitis gonore dan klamidia pada WPS di lokalisasi Bandar Baru, Kabupaten Deli serdang saat ini belum diketahui. Untuk mengetahui proporsi dan karakteristik koinfeksi servisitis gonore dan klamidia pada WPS dengan mengidentifikasi faktor-faktor sosiodemografik, prilaku, cara melindungi diri dan gambaran endoserviks.Metode :Merupakan penelitian deskriptif, cross sectional. Subjek penelitian adalah seluruh WPS di Bandar Baru berjumlah 52 orang yang masuk dalam kriteria inklusi dan ekslusi serta menandatangani surat persetujuan. WPS dianamnesis kemudian dilakukan swab endoserviks untuk pemeriksaan pewarnaan gram. Hasil positif gonore pada pewarnaan gram dilanjutkan dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) klamidia. Hasil: Dari 52 orang WPS,38 positif gonore dan dari 38 positif gonore didapatkan 18 orang positif klamidia. Proporsi koinfeksi servistis gonore dan klamidia 34.6% dengan karakteristik terbanyak pada usia 20-24 tahun (55.6%), tingkat pendidikan SMP/sederajat (50%),status perkawinan janda (72.2%), usia pertama kali melakukan hubungan seksual usia 16-18 tahun (66.7%), lama bekerja sebagai WPS > 12 bulan (61.1%), frekuensi berhubungan seksual perminggu dalam satu bulan terakhir 21-30 kali(44.4%), penggunaan kondom yang tidak konsisten pada mitra seksual (94.4%) dan selalu rnenggunakan bahan atau cairan pencuci vagina (83.3%). Gambaran endoserviks adanya sekret mukopurulen, mukosa yang eritem dan mudah berdarah (83.3%). Simpulan :Proporsi koinfeksi servistis gonore dan klamidia 34.6% dengan karakteristik umumnya berusia 20-24 tahun, tingkat pendidikan SMP/sederajat, janda,pertama kali berhubungan seksual usia 16-18 tahun,lama bekerja >12 bulan,frekuensi berhubungan seksual perminggu dalam satu bulan terakhir 21-30 kali,pemakaian kondom yang tidak konsisten dan selalu menggunakan bahan atau cairan pencuci vagina. Gambaran endoserviks adanya sekret mukopurulen, mukosa eritem dan mudah berdarah.Kata kunci :Gonore, klamidia, koinfeksi, WPS. Abstract Introduction: Cervicitis is a syndrome of cervical inflammation and a common condition in Female Sex Workers (FSVv).Cervicitis caused by Neisseria gonorrhoeae is often co-infected with Clamydia trachomatis.The proportion and characteristics of cervisitis gonorrhea and chlamydia co-infec1ion in FSW at Bandar Baru localization, Deli Serdang Regency is currently unknown..Method :This is a cross-sectional descriptive study. Subjects of this study are all of FSW in Bandar Baru which totally 52 women. All of the FSW were interviewed and had an endocervical swab for gram staining examination.The positive results of gonorrhea in gram staining were followed by Polymerase Chain Reaction (PCR) assay for chlamydia examination.Result :Of the 52 FSW, 38 women were gonorrhea positive and from 38 women gonorrhea positive, 18 women were positive chlamydia.The proportion of cervistis gonorrhea and chlamyoia co-infection is 34.6% with the most characteristics are 20-24 years old (55.6%). completed junior high school/equal (50%). widow (72.2%) first sexual intercourse at 16-18 years old (66.7%). duration of work as FSW more than 12 months (61.1%), the frequency of sexual intercourse 21-30 times per week (44.4%), the use of condoms by sexual partners is inconsistent (94.4%) and always use of materials or vaginal douches is 83.3%. Endocervical features with mucopurulent exudates,mucosal erythema and easily bleeding found in most of FSW (83.3%).Conclusion: The proportion of cervicitis gonorrhea and chlamydia co-infection is 34.6% with FSW characieristics are generally 20-24 years old, completed junior high school/equal. widow, first sexual intercourse at ·16-18 years old, duration of work as FSW more than 12 months, the frequency of sexual intercourse 21-30 times per week,condom use inconsitent and always use of materials or vaginal douches. Endocervical features with mucopurulent exudates. mucosal erythema and easily bleeding. Keyword :Gonoffhea, Chlamydia, co-infection, FSW
Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) pada Laki-laki Dewasa Usia 46 Tahun: Laporan Kasus Aragibinafika Aragibinafika; Mohamad Mimbar Topik
Journal of Educational Innovation and Public Health Vol. 1 No. 1 (2023): Januari : Journal of Educational Innovation and Public Health
Publisher : Pusat Riset dan Inovasi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (363.996 KB) | DOI: 10.55606/innovation.v1i1.837

Abstract

Nekrolisis epidermal toksik (NET) adalah peradangan sistemik akut yang melibatkan kulit, membran mukosa, epitel pernafasan dan pencernaan. Dalam banyak kasus, obat-obatan merupakan penyebab utama NET akan tetapi dapat juga disebabkan oleh infeksi dan faktor-faktor resiko lainnya. Membran mukosa (rongga mulut, konjungtiva dan anogenital) adalah bagian tubuh yang paling awal terlibat pada NET. Lebih dari 200 obat dari berbagai golongan berhubungan dengan terjadinya NET. Penggunaan obat-obatan yang memiliki resiko tinggi dan sering menyebabkan terjadinya NET seperti antigout (allopurinol), antiepilepsi (carbamazepine, fenitoin, fenobarbital, lamotrigin), antibiotik (kotrimoksazol dan sulfonamid lain, floroquinolone), anti inflamasi (sulfasalazine), anti-HIV (nevirapine), obat anti inflamasi golongan oxicam(meloxicam), dan analgesik (parasetamol). Pengobatan NET adalah pendekatan multidisiplin dan hingga kini belum ada panduan yang diakui secara internasional untuk terapinya.Tujuan dari studi kasus adalah membahas mengenai Nekrolisis epidermal toksikyang dipicu oleh obat penurun panas serta manajemen terapinya.
Dermatitis Dishidrotik Mohamad Mimbar Topik; Dara Gebrina Rizki
USADA NUSANTARA : Jurnal Kesehatan Tradisional Vol. 1 No. 2 (2023): Juli: USADA NUSANTARA
Publisher : Institut Nalanda

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47861/usd.v1i2.373

Abstract

Dyshidrotic dermatitis is a form of hand and foot dermatitis characterized by fluid accumulation in the form of vesicles or bullae. Dyshidrotic dermatitis is the most common form of skin disease, accounting for up to 80% of people of all ages and genders. The etiology of dyshidrotic dermatitis is idiopathic, but some sources link the etiology with a history of atopy. There are also sources that state that the etiology of dyshidrotic dermatitis is a combination of various factors, such as environmental and genetic factors. Pathogenesis of dyshidrotic dermatitis, states that dyshidrotic dermatitis vesicles are caused by sweat gland dysfunction. However, it turns out that the histological examination of the sweat gland ducts is not abnormal. However, hyperhidrosis (excessive sweating) is found in almost a third of dyshidrosis dermatitis sufferers and can also be associated with atopic dermatitis, contact dermatitis, or reactions to systemic drugs. (anti-retrovirals, intravenous immunoglobulin, mycophenolate-mofetil immunosuppressant). Treatment can be in the form of corticosteroids and emollients are the main choice in management of dyshidrotic dermatitis. Other therapies such as retinoids and Immumomodulators may also be considered according to clinical conditions patient dyshidrotic dermatitis, is a chronic and recurrent disease, so the patient must be controlled periodically and receive education to avoid precipitating facto.
Hubungan Personal Hygiene dengan Kejadian Pediculosis Capitis di MTs Swasta Ulumuddin Uteunkot Cunda Kecamatan Muara Dua Kota Lhokseumawe Syukran, Rahmad; Rahayu, Mulyati Sri; Topik, Mohamad Mimbar
GALENICAL : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh Vol. 3 No. 1 (2024): Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh - Februari 2024
Publisher : Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jkkmm.v3i1.13011

Abstract

Pediculosis capitis adalah infeksi kulit dan rambut kepala yang disebabkan oleh Pediculus humanus var. Capitis. Penelitian bertujuan mengetahui hubungan antara personal hygiene dengan kejadian Pediculosis capitis. Jenis penelitian merupakan observasional analitik dengan pendekatan potong lintang (cross sectional). Teknik pengambilan sampel mengunakan sratified random sampling, dan pada pengambilan sampel Pediculosis capitis penelitian langsung pada santriwan dan santriwati mengunakan sisir kutu, personal hygiene menggunakan kuesioner yang dibagikan kepada santri. Prevalensi Pediculosis capitis menunjukan besar responden yang mengalami Pediculosis capitis sebanyak 194 responden (83%) dan paling banyak terjadi pada umur 13 tahun sebanyak 70 responden (86%). Pediculosis capitis paling banyak di temukan pada jenis kelamin perempuan dengan jumlah 114 responden (49,1%), sedangkan laki-laki seabanyak 80 responden (34,5). Skor personal hygiene paling banyak yaitu cukup sebanyak 134 responden (57%). Prevalensi Pediculosis capitis menunjukan besar responden positif sebanyak 194 responden (83,6%). Hubungan personal hygiene dengan kejadian Pediculosis capitis didapatkan hasil responden dengan tingkat pengetahuan cukup dan positif Pediculosis capitis sebanyak 101 (52,1%). Nilai p yang diperoleh dengan uji chi-square adalah p<0,001 lebih kecil dari pada batas kritis a=0,05, maka artinya ada hubungan yang signifikan atau bermakna antara personal hygiene dengan kejadian Pediculosis capitis pada santri di MTS swasta ulumuddin.
Peranan Jalur Hedgehog pada Karsinoma Sel Basal Topik, Mohamad Mimbar; Handayani, Melina
GALENICAL : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh Vol. 1 No. 3 (2022): GALENICAL : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh - Oktober 20
Publisher : Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jkkmm.v1i3.8964

Abstract

Abstrak Karsinoma sel basal  merupakan keganasan kulit yang berasal dari sel yang tidak mengalami keratinisasi dan terdapat pada lapisan basal di epidermis dan merupakan kanker kulit yang paling sering terjadi. Patogenesisnya berhubungan dengan faktor genetik, lingkungan, dan paparan sinar matahari (sinar uv). Secara molekuler, karsinoma sel basal disebabkan karena adanya mutasi pada gen supresor tumor. Komponen yang termasuk dalam gen supresor tumor yaitu, patch hedgehog-1 (Ptch 1) dan TP53. Patch hedgehog-1 merupakan komponen yang paling sering menjadi penyebab dari karsinoma sel basal melalui aktivasi kembali jalur pensinyalan Hedgehog. Sekitar 90% kasus karsinoma sel basal mengalami mutasi pada komponen ini. Sehingga hampir semua karsinoma sel basal menunjukkan aktivasi konstitutif dari jalur pensinyalan Hedgehog. Kata Kunci : Hedgehog pathway; karsinoma sel basal; sinar UV
Gambaran Tingkat Pengetahuan dan Sikap Mahasiswa Program Studi Pendidikan Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh Tentang HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Cut Meutia Pada Tahun 2022 Novita, Raudah; Sahputri, Juwita; Topik, Mohamad Mimbar
GALENICAL : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh Vol. 1 No. 2 (2022): GALENICAL : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh - Agustus 20
Publisher : Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jkkmm.v1i2.8158

Abstract

Penyakit infeksi HIV  tetap menjadi masalah utama kesehatan masyarakat yang mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit menular. Kurangnya kesadaran akan pencegahan menyebabkan meningkatkan kerentangan penularan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat pengetahuan dan sikap mahasiswa program studi pendidikan profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh tentang HIV/AIDS di Rumah Sakit Umum Cut Meutia pada tahun 2022. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional yang dilakukan pada bulan September 2021-Juni 2022 di Rumah Sakit Umum Cut Meutia. Pengambilan sampel menggunakan accidental sampling dengan jumlah 154 orang. Hasil penelitian ini didapatkan mayoritas karakteristik responden adalah kelompok masa Rentang umur 20-25 tahun (98,7%), jenis kelamin perempuan (74,7%) dan perolehan informasi pendidikan HIV/AIDS (100,0%). Pengetahuan terbanyak dengan pengetahuan yang baik (69,5%) dan sikap yang baik (63,6%). Peningkatan pengetahuan dan sikap dalam bentuk promosi kesehatan dapat meningkatkan pencegahan penyakit HIV/AIDS. 
Cutaneous Larva Migrans Mohamad Mimbar Topik; Rizky Adinda Nurhidayah Marpaung
Jurnal Ilmiah Kedokteran dan Kesehatan Vol 3 No 1 (2024): Januari : Jurnal Ilmiah Kedokteran dan Kesehatan
Publisher : Pusat Riset dan Inovasi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55606/klinik.v3i1.2257

Abstract

Introduction: Cutaneous larva migrans (CLM) is a parasitic infestation that commonly occurs in warm climates among people who have contact with contaminated soil. This is caused by the migration of hookworm larvae into human skin. Clinically, itchy, erythematous, linear serpiginous tracts appear within days to months after exposure to infected sand or soil. Diagnosis is based on clinical presentation. CLM can heal on its own and usually resolves within a few weeks to several months without treatment . Case report: This case report is about a 30-year-old female patient with complaints of itching on the little finger of the left foot since 4 days ago accompanied by multiple erythematous papules with serpiginous arrangement, the surface of the left dorsal leg. Conclusion: CLM associated with hookworm is diagnosed clinically based on the typical clinical appearance, as well as a history of travel to endemic areas and exposure to contaminated soil/sand.
Dermatitis Atopik: Laporan Kasus Mohamad Mimbar Topik; Yenza Fahera
Jurnal Mahasiswa Ilmu Kesehatan Vol. 1 No. 3 (2023): Juli : Jurnal Mahasiswa Ilmu Kesehatan
Publisher : STIKes Ibnu Sina Ajibarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59841/jumkes.v1i3.88

Abstract

Atopic dermatitis (AD) is a skin inflammation in the form of chronic, recidive dermatitis, accompanied by itching, and hitting certain parts of the body, especially on the face in the baby (infantile phase) and the flexible part of the extremities (in the child phase). Atopic dermatitis often occurs in infants and children, about 50% will disappear in adolescence, but sometimes it can also persist, or even only begin to appear in adulthood. The prevalence of AD is increasing and the increase in the incidence of AD is related to a history of atopy. The etiology of AD is not known with certainty, but it is known to be caused by the interaction of intrinsic and extrinsic factors in AD. Clinically, itching and skin disorders are found according to specific morphology and distribution. Risk factors that are proven to cause and induce AD are skin barrier disorders due to FLG mutations, environmental changes, and diet. FLG mutations can damage the skin barrier function with impaired pH and maintenance of skin hydration. It is known that the causes of multifactor AD and AD cannot be cured, however, only controlled. Therefore, preventive efforts are important, where doctors need to communicate with patients and their families, provide information and education on diseases, and how to treat and prevent recurrences. Because until now there is no ideal treatment regimen for AD patients, so thorough and appropriate management is needed, especially in reducing signs and symptoms, healing and preventing recurrences.
Case Report : Chromoblastomycosis Handayani, Melina; Topik, Mohamad Mimbar
Jurnal Kedokteran Diponegoro (Diponegoro Medical Journal) Vol 12, No 6 (2023): JURNAL KEDOKTERAN DIPONEGORO (DIPONEGORO MEDICAL JOURNAL)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/dmj.v12i6.38536

Abstract

Background: Chromoblastomycosis is a recurring deep mycosis of the skin and subcutaneous towel. Clinical features are characterized by verrucous shrine lesions, especially in the lower extremities. This disease is usually preceded by trauma in the form of a wound which is the initial implantation of the fungus. The fungus will be implanted in the dermis and will infect the skin with the subcutaneous towel. Chromoblastomycosis is caused by a fungus from the Dematiaceae family. Although Chromoblastomycosis occurs worldwide, it is most common (>70%) in tropical and subtropical regions. Case Presentation: We present a case in which a 72-year-old man came to the dermatovenereology polyclinic with the main complaint of thickening of the skin in the plantar of the right leg, the surface is rough, the skin looks dry, it doesn't itch and it doesn't hurt, it gets worse over time, widened. Based on the histopathology, the appearance of the epidermis in the form of pseudoepitheliomatous hyperplasia, hyperkeratosis, acanthosis, microabscesses with neutrophil inflammatory cells, lymphocytes, multinucleated giant cells, and spores. In the dermis, microabscesses were found, and no necrosis was seen. Conclusion: The diagnosis was chromoblastomycosis. This patient was given oral antimycotic Itraconazole 2 x 200 mg/day. There was a clinical improvement.
Manifestasi Klinis dan Penatalaksanaan Vaskulitis Aprilita, Rani; Topik, Mohamad Mimbar
GALENICAL : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh Vol. 3 No. 5 (2024): GALENICAL : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Mahasiswa Malikussaleh - Oktober 20
Publisher : Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29103/jkkmm.v3i5.13109

Abstract

Vaskulitis merupakan suatu peradangan pembuluh darah. Kerusakan pembuluh darah dapat disebabkan oleh mekanisme imunologi dan/atau inflamasi. Peradangan ini dapat terjadi pada arteri maupun vena, namun yang paling umum adalah vaskulitis pada arteri. Vaskulitis dikelompokkan menjadi vaskulitis primer dan sekunder. Penyebab vaskulitis masih idiopatik, namun telah diketahui bahwa sistem imun mempunyai peranan yang besar pada kerusakan jaringan akibat vaskulitis. Sistem imun pada orang dengan vaskulitis biasanya menjadi hiperaktif karena diransang oleh stimulus yang belum diketahui mengakibatkan terjadikan inflamasi. Manifestasi dari vaskulitis sangat erat hubungannya dengan klasifikasi vaskulitis. Klasifikasi vaskulitis ada tiga bagian besar yaitu vaskulitis pada pembuluh darah besar, sedang dan kecil. Klasifikasi tersebut nantinya akan bermanifestasi tergantung kepada arteri apa yang terjadi peradangan. Gejala klinis umum berupa demam, penurunan berat badan dan fatique. Gejala spesifik dari vaskulitis tergantung kepada organ yang di suplai oleh arteri yang terjadi peradangan yang nantinya akan terjadi iskemia pada organ target tersebut. Penatalaksanaan dari vaskulitis pada umumnya sama, yaitu dengan pemberian glukokorticoid. Glukokorticoid yang digunakan berupa Prednison dengan dosis awal 0,5-1 mg/kg per hari atau 40-60 mg per hari. Penatalaksanaan lain meliputi antihistamin H1 untuk mengurangi keluhan dan mengurangi deposit kompleks imun, pilihan lain adalah obat anti inflamasi non steroid antara lain indometasin, kolkisin, dapson dan hidroksiklorokuin. Pada kasus yang tidak berespons dengan pengobatan tersebut dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid sistemik, azatioprin, metotreksat, siklosporin, mofetil mikofenolat, siklofosfamid, imunoglobulin intravena, plasmaferesis atau agen biologis.