Claim Missing Document
Check
Articles

Found 30 Documents
Search

Implementasi Batas Umur Pernikahan (Studi Kasus di Mahkamah Rendah Syari’ah Bukit Mertajam Pulau Pinang) Yuhermansyah, Edi; Mohd Akhir, Mohd Hakim Bin
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam Vol 2, No 2 (2018): Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam
Publisher : Islamic Family Law Department, Sharia and Law Faculty, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (725.221 KB) | DOI: 10.22373/sjhk.v2i2.4749

Abstract

Dalam Islam, tidak ada batasan umur untuk seseorang menikah , tetapi di Negeri Pulau Pinang terdapat ketentuan yang membatasi umur minimal untuk menikah. Artikel ini mengkaji penetepan Usia perkawinan di dalam Undang-undang Perkawinan di Malaysia, status serta konsekuasi hukum terhadap pernikahan anak di bawah umur tanpa persetujuan Mahkamah Rendah Syariah. Dalam pembahasan artikel ini, penulis menggunakan data primer dan sekunder, data primer diperoleh dari penelitian lapangan yaitu observasi ke beberapa tempat di Bukit Mertajam dan wawancara dengan pegawai di Mahkamah Rendah Syariah dan pihak-pihak terlibat langsung dalam proses pernikahan anak di bawah umur. Menyangkut ketentuan pernikahan anak di bawah umur di Negeri Pulau Pinang disebabkan oleh keinginan anak itu sendiri seperti terlanjur melakukan hubungan badan, tidak berminat untuk bersekolah, suka sama suka,dan sebagainya. Status dan konsekuasi hukum terhadap pernikahan anak di bawah umur tanpa persetujuan Mahkamah Rendah Syariah yaitu, Status nikahnya sah menurut syara’ tetapi tidak menurut undang-undang dan pernikahan yang dilangsungkan menyalahi ketentuan Enakmen Undang-Undang Keluarga Islam Negeri Pulau Pinang tahun 2004. Konsekuansi Hukumnya, pernikahan itu perlu diajukan untuk mengesahkan pernikahan tersebut agar sah menurut undang-undang. Jika tidak disahkan, pernikahan mereka tidak didata dalam negeri yang menyatakan bahwa mereka pernah menikah dan dampaknya mereka tidak dapat berbuat apapun tuntutan di mahkamah jika terjadi musibah dalam masa pernikahan mereka.
IPLEMENTASI PERMENKUMHAM NOMOR 6 TAHUN 2013 TENTANG TATA TERTIB LAPAS DAN RUTAN KELAS IIB BANDA Yuhermansyah, Edi; Zairah, Nur
LEGITIMASI: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Islam Vol 8, No 1 (2019)
Publisher : Criminal Islamic Law, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v8i1.5010

Abstract

Abstrak Lahirnya Permenkumham Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lapas dan Rutan adalah untuk menjamin terselenggarakannya tertib kehidupan di Lapas dan Rutan. Setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan yang tidak menaati tata tertib sebagaimana yang telah diatur disebut dengan pelanggaran disiplin. Terhadap narapidana yang melakukan pelanggaran disiplin maka akan dikenakan hukuman disiplin. Namun jika dilihat menurut hukum pidana Islam, tidak ada ketentuan atau penjelasan secara rinci yang mengatur mengenai bentuk hukuman disiplin terhadap narapidana. Berdasarkan hal tersebut, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana penerapan hukuman disiplin terhadap narapidana di Rutan Kelas IIB Banda Aceh. Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran serta hukuman disiplin yang diterapkan terhadap narapidana serta tinjauan hukum pidana Islam terhadap penerapan hukuman disiplin tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris. Dengan menggunakan dua metode pengumpulan data yaitu dokumentasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara garis besar, hukuman disiplin serta prosedur penanganan yang diterapkan terhadap narapidana di Rutan Kelas IIB Banda Aceh sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun penjatuhan hukuman disiplin pada beberapa pelanggaran masih tergolong ringan, Seperti penjatuhan hukuman disiplin terhadap narapidana yang tidak mengikuti program pembinaan, seharusnya berdasarkan aturan mendapatkan hukuman disiplin tingkat berat, namun oleh pihak Rutan dijatuhi hukuman disiplin tingkat ringan, hal ini berdasarkan pertimbangan dari pihak Rutan, seperti kurangnya fasilitas untuk menjalankan program pembinaan tersebut. Ditinjau menurut hukum pidana Islam maka penerapan  hukuman disiplin di Rutan Kelas IIB Banda Aceh merupakan bentuk hukuman ta?zir dari ulil amri, karena baik Al-Quran maupun As-Sunnah tidak mengatur secara rinci mengenai hal tersebut. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pihak Rutan Kelas IIB Banda Aceh dalam menjatuhkan hukuman disiplin terhadap narapidana berlandaskan pada Permenkumham Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lapas dan Rutan dan juga berdasarkan pertimbangan dari pihak Rutan sendiri, serta sudah sesuai dengan ketentuan hukum pidana Islam.   Kata Kunci: Hukuman Disiplin-Pelanggaran Disiplin-Narapidana-Ta?zir
Analysis of the Supreme Court's Decision Regarding the Judicial Review of the Governor of Aceh Regulation Number 5/2018: The Siyasah Al-Qadhaiyyah Approach [Analisis Siyasah Al-Qadhaiyyah Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 39 P/Hum/2018 tentang Uji Materil Peraturan Gubernur Aceh Nomor 5/2018] Syuhada Syuhada; Edi Yuhermansyah; Ulfa Yuranisa
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 10, No 1 (2021)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v10i1.10514

Abstract

Abstract: This paper aims to examine the Supreme Court's (MA) Decision Number 39-P/HUM/2018 regarding the right to judicial review of the Aceh Governor's Regulation Number 5/2018 concerning the Jinayat Procedural Law. This decision relates to the petition for judicial review of the applicant regarding Article 30 of the Governor's Regulation which states that the caning is carried out in an open place at the Correctional Institution, or Detention Center, or Detention Center Branch. In essence, the Supreme Court does not accept applications from applicants. The problem is how the Supreme Court Judges consider the rejection of the request for review of the Aceh Governor Regulation, and how the siyasah al-qadha'iyah analysis of the Supreme Court judge's decision. The results of the analysis that the consideration of the Supreme Court Judge in the case of the Supreme Court's decision refers to the legal standing of the applicant. According to the Supreme Court, the petitioners have absolutely no legal standing because the provisions of Article 31 paragraph (2) of Law Number 3 of 2009 concerning the Supreme Court have not been fulfilled. The applicant is in an inappropriate position and has no legal standing. The applicant is unable to prove the loss of his rights to the enactment of the Pergub. The Supreme Court judge's decision is under the siyasa al-qadha'iyah review. The Supreme Court Justice has the right to reject, accept, or cancel regulations that have been made by the government through examining articles based on clear reasons and arguments. The Supreme Court has very clearly and unequivocally stated its considerations in rejecting the application. The refusal is following the rules of Islamic law, requiring that a decision must be accompanied by certain arguments (al-dalil). The decision of the supreme judge is also determined based on considerations of benefit. Abstrak: Tulisan ini hendak mengkaji Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 39-P/HUM/2018 tentang hak uji materiil Peraturan Gubernur Aceh Nomor 5/2018 tentang Hukum Acara Jinayat. Putusan ini berhubungan dengan permohonan uji materiil pemohon menyangkut Pasal 30 Pergub yang menyatakan bahwa pencambukan dilakukan di tempat terbuka di Lembaga Pemasyarakatan, atau Rumah Tahanan, ataupun Cabang Rumah Tahanan. Intinya, MA tidak menerima permohonan dari pemohon. Permasalahan ialah bagaimana pertimbangan Hakim MA terkait penolakan permohonan pengujian Peraturan Gubernur Aceh tersebut, dan bagaimana analisis siyasah al-qada’iyah terhadap putusan hakim MA tersebut. Hasil analisis bahwa pertimbangan Hakim MA dalam perkara putusan MA mengacu pada legal standing pemohon. Menurut MA, para pemohon sama sekali tidak mempunyai legal standing karena ketentuan Pasal 31 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 2009 tentang MA tidak terpenuhi. Pemohon berada pada posisi yang tidak tepat dan tidak mempunyai legal standing. Pihak pemohon tidak mampu membuktikan kerugian haknya atas diberlakukannya Pergub tersebut. Putusan hakim MA sudah sesuai dengan tinjauan siyasah al-qadha’iyah. Hakim Agung memiliki hak untuk menolak, menerima, atau membatalkan peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah melalui pengujian pasal-pasal dengan berdasarkan pada alasan dan dalil yang jelas. MA dalam telah sangat jelas dan tegas menyatakan pertimbangannya dalam menolak permohonan tersebut. Penolakan tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah fikih, mengharuskan satu keputusan harus disertakan dengan dalil-dalil (al-dalil) tertentu. Putusan hakim agung juga ditetapkan berdasarkan pertimbangan kemaslahatan.
Kedudukan PSK Sebagai Korban dalam Tindak Pidana Prostitusi Edi Yuhermansyah; Rita Zahara
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 6, No 2 (2017)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v6i2.3960

Abstract

Prostitusi merupakan bentuk kejahatan kesusilaan yang dilarang dalam hukum Islam maupun hukum positif. Prostitusi adalah pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah-hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan. Berkaitan dengan prostitusi, hukum positif mengaturnya dalam KUHP pasal 296 dan 506. Selain itu, Ketentuan lain yang mungkin dapat digunakan dalam menjerat praktek prostitusi adalah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Dalam Pasal 1 ayat 8 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dinyatakan bahwa pelacur (PSK) yang terjerat dalam praktek prostitusi adalah sebagai korban. Karya ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan korban dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang  dan bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap kedudukan PSK sebagai korban dalam kasus prostitusi. Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, korban memiliki kedudukan dengan diberikan perlindungan terhadapnya sebagai akibat dari tindak pidana perdagangan orang. Perlindungan terhadap korban dapat diwujudkan dengan pemberian hak-hak atasnya berupa restitusi, rehabilitasi, pemulangan serta reintegrasi sosial. Mengenai PSK yang berkedudukan sebagai korban dalam Undang-undang tersebut tidak sesuai dengan hukum Islam. Karena perbuatan yang dilakukan oleh PSK dengan suka rela tanpa paksaan. Sebaliknya bisa dikatakan sebagai korban apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan paksaan baik dengan ancaman kekerasan maupun penggunaan kekerasan. Dengan demikian, wanita yang terjerat dalam praktek prostitusi tidak bisa dijadikan korban karena tidak sesuai dengan hukum Islam dan juga tidak memenuhi unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang.
Urgensi Perlindungan Saksi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Edi Yuhermansyah
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 1, No 2 (2012)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v1i2.1427

Abstract

Protection of witnesses is not based on charity law enforcers, but a right guaranteed by law. Government with members of the legislature has enacted a law on protection of witnesses and victims. The impact of the birth of this legislation to guarantee the physical protection of witnesses from threats and protection of freedom of the witness to ensure the information it conveys no intervention from certain parties. Guarantee the protection of witnesses to be strong after the birth of the witness and victims protection agency is given authority to handle the implementation of protection, the protection of policy-making and supervision. Although this form of protection provided in the statute has not been given guarantees legal protection that is always necessary witness in the face of serious criminal cases.
Implementasi PERMENKUMHAM Nomor 6 Tahun 2013 Tentang Tata Tertib Lapas dan Rutan Kelas IIb Banda Edi Yuhermansyah; Nur Zairah
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 8, No 1 (2019)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v8i1.6438

Abstract

Lahirnya Permenkumham Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lapas dan Rutan adalah untuk menjamin terselenggarakannya tertib kehidupan di Lapas dan Rutan. Setiap ucapan, tulisan, atau perbuatan yang tidak menaati tata tertib sebagaimana yang telah diatur disebut dengan pelanggaran disiplin. Terhadap narapidana yang melakukan pelanggaran disiplin maka akan dikenakan hukuman disiplin. Namun jika dilihat menurut hukum pidana Islam, tidak ada ketentuan atau penjelasan secara rinci yang mengatur mengenai bentuk hukuman disiplin terhadap narapidana. Berdasarkan hal tersebut, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana penerapan hukuman disiplin terhadap narapidana di Rutan Kelas IIB Banda Aceh. Adapun tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran serta hukuman disiplin yang diterapkan terhadap narapidana serta tinjauan hukum pidana Islam terhadap penerapan hukuman disiplin tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris. Dengan menggunakan dua metode pengumpulan data yaitu dokumentasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara garis besar, hukuman disiplin serta prosedur penanganan yang diterapkan terhadap narapidana di Rutan Kelas IIB Banda Aceh sudah sesuai dengan aturan yang berlaku. Namun penjatuhan hukuman disiplin pada beberapa pelanggaran masih tergolong ringan, Seperti penjatuhan hukuman disiplin terhadap narapidana yang tidak mengikuti program pembinaan, seharusnya berdasarkan aturan mendapatkan hukuman disiplin tingkat berat, namun oleh pihak Rutan dijatuhi hukuman disiplin tingkat ringan, hal ini berdasarkan pertimbangan dari pihak Rutan, seperti kurangnya fasilitas untuk menjalankan program pembinaan tersebut. Ditinjau menurut hukum pidana Islam maka penerapan  hukuman disiplin di Rutan Kelas IIB Banda Aceh merupakan bentuk hukuman ta’zir dari ulil amri, karena baik Al-Quran maupun As-Sunnah tidak mengatur secara rinci mengenai hal tersebut. Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa pihak Rutan Kelas IIB Banda Aceh dalam menjatuhkan hukuman disiplin terhadap narapidana berlandaskan pada Permenkumham Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tata Tertib Lapas dan Rutan dan juga berdasarkan pertimbangan dari pihak Rutan sendiri, serta sudah sesuai dengan ketentuan hukum pidana Islam.   
Pidana Mati dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi: Kajian Teori Zawajir dan Jawabir Edi Yuhermansyah; Zaziratul Fariza
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 6, No 1 (2017)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v6i1.1848

Abstract

Tindak pidana korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa (extraordinary crime), sehingga dalam pemberantasannya harus dilakukan dengan langkah-langkah yang luar biasa (extraordinary measure), serta menggunakan instrument-instrument hukum yang luar biasa pula (extraordinary instrument). Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo 20 Tahun 2001 dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan; pidana mati terhadap koruptor dapat dijatuhkan dalam keadaan tertentu. Pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah bagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo 20 Tahun 2001 tentang ancaman pidana mati terhadap tindak pidana korupsi, dan bagaimana tinjauan teori zawajir dan jawabir terhadap pidana mati bagi koruptor. Bahan yang penulis gunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Metode yang penulis gunakan adalah kajian kepustakaan (library research) yaitu dengan membaca dan menelaah bahan-bahan yang bersifat teoritis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pidana mati dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo 20 Tahun 2001 dapat dijatuhkan kepada koruptor dalam keadaan tertentu. Berhubung yang digunakan adalah kata dapat dalam Pasal 2 ayat (2), maka penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi tersebut sifatnya adalah fakultatif. Artinya, meskipun tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), dapat saja tidak dijatuhi pidana mati. Sedangkan pidana mati terhadap koruptor menurut teori zawajir dan jawabir, hanya memiliki fungsi sebagai zawajir saja, dosa terpidana tidak terhapus karena hukuman itu. Karena sanksi ini merupakan jarimah ta’zir yang hukumannya ditentukan oleh penguasa. Sementara teori jawabir hanya berlaku bagi jarimah yang dijatuhi hukuman hadd, contohnya zina, sariqah (pencurian), qadhf (tuduhan zina), dan lain-lain, yang perbuatan dan sanksinya sudah ditentukan oleh Allah SWT.
The Implementation of Qanun Jinayah in Aceh Singkil from Multiculturalism Perspective Edi Yuhermansyah; Mukhlis Mukhlis
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 7, No 2 (2018)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v7i2.3973

Abstract

Pembahasan hukum dan masyarakat tidak bisa dilepaskan dari budaya hukum. kebudayaan sangat berperan dalam menentukan keberadaan hukum di tengah-tengah masyarakat. Kemajemukan budaya di tengah-tengah masyarakat senantiasa memperlihatkan sudat pandang berbeda antar satu dengan yang lainnya. Aceh Singkil sebagai kabupaten yang berbatasan langsung dengan propinsi Sumatera Utara, mau tidak mau tradisinya akan dipengaruhi oleh tradisi masyarakat Batak. Begitu juga kehadiran kelompok transmigrasi yang berasal dari Jawa. Selama melakukan penelitian, kami tim peneliti menemukan, bahwa kemajemukan suku, ras, dan agama di singkil tidak banyak berpengaruh terhadap eksistensi hukum khususnya qanun jinayah. Hal yang paling dominan dalam menentukan kesadaran dan ketaatan hukum masyarakat ternyata bukan karena mereka berbeda, akan tetapi lebih didominasi lemahnya upaya penegakan hukum oleh aparat penegak hukum. Secara sosial kemasyarakatan, mayoritas masyarakatnya menerima kehadiran qanun jinayah di tengah-tengah mereka, bahkan ada diantara anggota masyarakatnya beragama non-Islam. Mereka menyadari, bahwa qanun jinayah bisa menjadi alat pengatur kehidupan bermasyarakat sekaligus sebagai alat penyelesai konflik di tengah-tengah mereka. Namun, karena rendahnya upaya penegakan hukum oleh aparat serta adanya keterlibatan oknum aparat penegak hukum dalam pelanggaran qanun jinayah, maka terlihat seoalah-olah adanya ketidapedulian terhadap larangan-larangan yang dimuat dalam Qanun Jinayah.
TANGGAPAN MASYARAKAT KECAMATAN PULAU BANYAK TERHADAP PEMBERLAKUAN QANUN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM JINAYAT Edi Yuhermansyah; Meri Andani
Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum Vol 7, No 1 (2018)
Publisher : Islamic Criminal Law Department, Faculty of Sharia and Law, UIN Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/legitimasi.v7i1.3964

Abstract

Qanun Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat yang mulai diberlakukan pada tanggal 23 Oktober 2015 merupakan hukum pidana terkodifikasi, yang mana sebelumnya qanun ini terpisah-pisah seperti qanun tentang Khamar, Khalwat, dan Maisir. Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh diatur secara legal formal dalam UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraaan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. Kedua undang-undang ini menjadi dasar kuat bagi Aceh untuk menjalankan Syari’at Islam di seluruh wilayah Aceh. Namun sangat disayangkan belum semua daerah-daerah seperti daerah Kecamatan Pulau Banyak Kabupaten Aceh Singkil  yang berada dalam wilayah Provinsi Aceh belum melaksanakan atau menjalankan ketentuan-ketentuan syari’at Islam, khususnya tentang Qanun Hukum Jinayat. Pemahaman masyarakat khususnya daerah terpencil yang jauh dari pusat kota tentang Qanun Hukum Jinayat masih sangat minim, sehingga berpengaruh terhadap respon mereka tentang Qanun Hukum Jinayat. Oleh karena itu penelitian ini melihat bagaimana respon dan pemahaman masyarakat Kecamatan Pulau Banyak terhadap Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian lapangan (empiris) yaitu penelitian yang dilakukan secara langsung ke lapangan dan mewawancarai beberapa responden untuk memperoleh data yang diperlukan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan bahwa masyarakat Kecamatan Pulau Banyak belum memahami dengan baik secara keseluruhan tentang Hukum Jinayat, dan masyarakat Kecamatan Pulau Banyak memberikan respon yang kurang baik terhadap Qanun Hukum Jinayat. Hal ini dilihat dari beberapa tingkah laku dan perbuatan-perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan syari’at yang terjadi di lingkungan masyarakat Kecamatan Pulau Banyak. Dapat disimpulkan bahwa respon masyarakat Kecamatan Pulau Banyak terhadap Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat kurang baik (negatif). Maka dapat dikatakan pemberlakuan Qanun Hukum Jinayat belum berhasil dan maksimal, sehingga pemerintah perlu upaya ekstra untuk mensosialisasikannya di lingkungan masyarakat. 
SISTEM GARANSI BARANG ELEKTRONIK DALAM FIQIH MUAMALAH DAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Syahrizal Abbas; Edi Yuhermansyah; Dara Masyittah
Dusturiyah: Jurnal Hukum Islam, Perundang-undangan dan Pranata Sosial Vol 9, No 2 (2019)
Publisher : Universitas Islam Negeri Ar-Raniry

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22373/dusturiyah.v9i2.5317

Abstract

In a transaction, especially elecronic goods can not be separated from the possibility of defects or damage to goods traded in the future, causing electronic goods manufacturers to provide guarantess ( warranty ) and impose and right to consumers with certain conditions. Regarding the time or warranty period for an item according to Malikiyah scholars whose nature is not perishable takes longer. In general, currently electronic goods are only given a one-year warranty period. Whereas in Law Number 8 Article 27 of 1999 concerning the Consumer Protection Law, the risk period for goods traded within a period of 4 years has been contained. The formulation of the problem and the pupose of this study is to find out how the warranty system is in muamalah fiqh and how is the guarantee system in the consumer protection law. The research method used can be classified as a descriptive analysis of reseach in two perspectives, namely in muamalah fiqh and UUPK, and with a qualitative approach, data is obtained through library research. The resulth of this study show that the warranty system in muamalah fiqh shows that the khiyar system for goods that have defects or damage in them ( disgrace ) applies when there is a defect ( disgrace ) damage to goods that are not easily damaged. Regarding the time to sue for losses is not set a definite time limit because items that are not easily damaged, especially electronics require a long time. And the results of research into the warranty system in the UUPK stipulate that the seller or business actor is obliged to provide guarantess for goods sold as a form of warranty for damaged goods, and the seller will be subject to criminal sanctions when compensation claims made by the consumer are rejected or not fulfilled. Regarding the time limit for the prosecution of damaged goods is set for 4 ( four ) years.