Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

REFORMULASI PENGATURAN HUKUMAN MATI DALAM UNDANG- UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI Budimansyah, Budimansyah; Arabiyah, Syarifah
TANJUNGPURA LAW JOURNAL Vol 7, No 1 (2023): VOLUME 7 NUMBER 1, JANUARY 2023
Publisher : Faculty of Law, Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26418/tlj.v7i1.50432

Abstract

AbstractCorruption is a criminal act that causes state financial losses, hampers national development, loses of social and economics community rights. But, the perpetrators of corruption cannot be sentenced to death, except in certain circumstances as regulated in the elucidation of Article 2 paragraph (2) of Law Number 20 of 2001 concerning Amendments to Law Number 31 of 1999 concerning Eradication of Corruption. That vacum of norm of the death penalty against the perpetrators of corruption causes for the inequality between the impact of corruption with that punishment. Different way to punish in the application of nisab restrictions for theft in islamic law, namely theft with a minimum loss of 1/4 dinar victims can be sentenced to cut off hands. The purpose of this study is to reformulate the regulation of the death penalty in the Eradication of Corruption act based on the application of nisab restrictions for theft in islamic law. This study is a normative legal research with the legislation and comparative approach. Legal material collection techniques by the literature study, and legal material analysis techniques by descriptive method of analysis with deductive reasoning. Based on this study revealed that the need for changes in the Eradication of Corruption act by expanding the meaning of certain circumstances in the explanation of Article 2 Paragraph (2), namely determining the minimum limit for state financial losses that can be sentenced to death. AbstrakTindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan keuangan negara, menghambat pembangunan nasional, merugikan hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat. Namun terhadap pelaku tindak pidana korupsi tidak dapat dijatuhi hukuman mati kecuali dalam keadaan tertentu sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tidak diaturnya hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi berimplikasi terhadap ketimpangan antara dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman yang dianggap terlalu ringan. Cara berhukum tersebut berbeda dengan penerapan batasan nisab dalam jarimah pencurian yaitu pencurian dengan minimal kerugian korban 1/4 dinar dapat dijatuhi hukuman potong tangan. Tujuandari penelitian ini adalah untuk melakukan reformulasi pengaturan hukumam mati dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi berdasarkan batasan nisab dalam jarimah pencurian. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan. Teknik pengumpulan bahan hukum melalui studi kepustakaan, sedangkan teknik analisis bahan hukum menggunakan metode deskriptif analisis dengan penalaran deduktif. Adapun temuan dalam penelitian ini adalah perlunya dilakukan perubahan terhadap undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan memperluas makna keadaan tertentu dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu kerugiaan keuangan negara dalam batas minimal tertentu dapat dijatuhi hukuman mati.
Strategi Pengembangan Institusi Pemberi Bantuan Hukum Sebagai Jembatan Akses Keadilan Purwanto, Purwanto; Arabiyah, Syarifah; Wagner, Ivan
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Volume 5, Nomor 3, Tahun 2023
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jphi.v5i3.389-410

Abstract

Bantuan hukum untuk masyarakat miskin dan terpinggirkan adalah prioritas, dan ketimpangan akses menjadi alasan utama. Lembaga bantuan hukum (LBH) pelayanannya dirasa belum merata, terutama untuk mengentaskan akar permasalahan seperti kemiskinan struktural, khsususnya di Kalimantan Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan strategi pengembangan institusional LBH, yang inisiasinya dilakukan kelompok masyarakat sipil di Kalimantan Barat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan riset aksi partisipatoris. Hasil penelitian menunjukan, para pengusung pembentukan LBH Kalimantan Barat menyadari sifat relasional antara akses keadilan, konsep bantuan hukum struktural (BHS), dan keberadaan lembaga bantuan hukum. Refleksi membawa pembentukan institusi menjadi pilihan aksi sadar, demi menanggapi berbagai permasalahan. Basis refleksi didasarkan pada isu hak asasi manusia khususnya isu berbasis agama, keyakinan, dan etnis, isu gender, dan isu ekologi. Aksi diteruskan dengan menginternalisasi konsep BHS yang dapat menumbuhkan nilai-nilai inti kehidupan, dan berbasis pada kebutuhan kehidupan rakyat. Simpulan penelitian menunjukkan kerangka strategis yang disiapkan dalam menumbuhkan institusi yang otonom memerlukan aksi kolaboratif sekaligus partisipatif melalui enam tahapan konkrit.
Inheritance Rights of Children Born Out of Wedlock and Children from Unregistered Marriages: Juridical Problems and the Maqashid Shariah Approach Arabiyah, Syarifah; Wahyuni, Afidah; Muyassar, Ya` Rakha
Jurnal Kepastian Hukum dan Keadilan Vol 7, No 1 (2025): Jurnal Kepastian Hukum dan Keadilan
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palembang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.32502/khk.v7i1.9738

Abstract

Artikel ini mengkaji hak waris anak luar kawin dan anak dari perkawinan siri dalam konteks hukum waris Islam dan perkembangan hukum positif di Indonesia. Dengan pendekatan yuridis-normatif berbasis maqashid syariah, penelitian ini menganalisis implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 yang mengakui hubungan perdata antara anak biologis dan ayahnya dalam kondisi tertentu. Ditemukan adanya ketegangan antara prinsip hukum waris Islam klasik—yang umumnya tidak mengakui hak waris bagi anak luar kawin—dan kebutuhan hukum modern untuk melindungi hak anak tanpa diskriminasi status kelahiran. Studi ini menawarkan reinterpretasi kontekstual terhadap hukum Islam agar selaras dengan tujuan maqashid syariah, khususnya perlindungan nasab (hifz al-nasl) dan keadilan (‘adl). Temuan ini berkontribusi terhadap wacana pembaruan hukum keluarga Islam agar lebih responsif terhadap realitas sosial masyarakat Muslim kontemporer di Indonesia. 
The Existence of Marriage Guardians in Tunisia`s Islamic Family Law Arabiyah, Syarifah
Interdisciplinary Social Studies Vol. 4 No. 3 (2025): Regular Issue: April-June 2025
Publisher : International Journal Labs

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55324/iss.v4i3.825

Abstract

The issue of marriage guardianship (wali) has become a significant topic in the reform of Islamic family law across Muslim-majority countries, including Tunisia. While most classical scholars consider a marriage guardian essential for a valid marriage, Tunisia allows adult women to contract marriage independently. This study aims to examine the legal status of marriage guardianship in Tunisia’s Islamic family law and compare it with Indonesia’s legal framework. The research uses a normative juridical method, a library research approach, and comparative analysis. The findings reveal that although Tunisia predominantly follows the Maliki school, it adopts the Hanafi opinion in granting mature women the right to marry without a guardian, as formalized in Article 3 of Law No. 39 of 2010. The implication is that Tunisia’s legal system reflects a progressive blend of historical, cultural, and jurisprudential factors, offering a gender-sensitive approach to Islamic legal reform. This study contributes to the broader discourse on contextual reinterpretation of Islamic law and encourages other Muslim countries to consider reforms aligned with the objectives of Sharia (maq??id al-shar?‘ah).
Globalisasi dan Implikasinya Terhadap Pelindungan serta Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Budaya Tradisional dalam Sektor Pariwisata Arabiyah, Syarifah; Prabowo, Agung Dwi
KAMBOTI: Jurnal Sosial dan Humaniora Vol. 2 No. 2 (2022): KAMBOTI: Jurnal Sosial dan Humaniora
Publisher : Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah XII

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.51135/kambotivol2issue2page91-98

Abstract

Intellectual property (IP) protection is the important thing in protecting and utilizing the creations of human ideas. Creations can take many forms including inventions, arts and literaries, industrial designs, and others. IP not only regulates individual ownership but also concerns about communal ownership based on local culture. Nowdays, globalization affects the protection and utilization of IP including local culture. As one of important factor in global business, recognition of IP based on local culture has the opportunity to become a new advantage for the tourism sector in globalization era especially for tourism which managed by local communities. For example is the utilization of digital technology for tourism business based on local cultural IP which is useful for improving community welfare in terms of economic and moral benefits. the business will be globalized and opportunities for equitable use of local cultural IP will be widely opened. Digitalization will also facilitate the protection and utilization of local cultural IP in order to gain global recognition easily and make tourism sector based on local cultural IP to be more competitive with other countries in order to attract the attention of foreign tourists. This article is a normative with non judicial case study. The methods are statute and conceptual approaching method. The purpose of this article is to determine the form of protection and utilization of IP based on local culture that is ideal for tourism sector in the era of globalization.
Progresifitas Kedudukan Boru Batak dalam Adat Batak Toba Arabiyah, Syarifah; Hazdan , M Fahmi; Yus, Thadeus; Pratiwilayan, Prisila Rieska; Astono, Agustinus
Arus Jurnal Sosial dan Humaniora Vol 4 No 3: Desember (2024)
Publisher : Arden Jaya Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.57250/ajsh.v4i3.898

Abstract

Indonesia memiliki keragaman budaya dengan adat istiadat unik di setiap daerah yang mencerminkan identitas khas. Prinsip "hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum" menegaskan bahwa hukum harus menyesuaikan perkembangan masyarakat. Hukum adat sering dianggap statis, seperti hukum adat Batak Toba yang menganut sistem kekerabatan patrilineal. Sistem ini mengutamakan anak laki-laki sebagai ahli waris, mencerminkan struktur patriarkal di mana laki-laki memegang peran dominan dalam keluarga dan masyarakat. Penelitian ini mengkaji peran Boru Batak dalam hukum adat Batak Toba, khususnya terkait hak waris. Tujuannya adalah menunjukkan pengakuan yang semakin meningkat terhadap perempuan dalam sistem ini, menciptakan keadilan dan kesetaraan yang lebih baik. Pendekatan yang digunakan adalah sosiologis-yuridis dengan data primer dari wawancara, diskusi, dan kuesioner, serta data sekunder dari peraturan perundang-undangan, buku, jurnal, dan sumber referensi lainnya. Analisis data dilakukan secara kualitatif dengan metode deduktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun hukum adat Batak Toba masih sering dianggap tidak adil terhadap Boru Batak, ada perkembangan dalam pengakuan hak waris perempuan. Studi ini menekankan perlunya penelitian lanjutan untuk memperkuat kedudukan hukum perempuan dalam sistem adat Batak Toba.
The Development of Intellectual Property Law: A Comparison of Northern and Southern Countries Arabiyah, Syarifah
Pena Justisia: Media Komunikasi dan Kajian Hukum Vol. 23 No. 002 (2024): Pena Justisia (Special Issue)
Publisher : Faculty of Law, Universitas Pekalongan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31941/pj.v23i3.5605

Abstract

The development of intellectual property rights (IPR) law in the world has experienced significant dynamics along with technological advances and globalization. A comparison between Northern countries (developed countries) and Southern countries (developing countries) shows profound differences in the way IPR law is protected and implemented. Northern countries have more mature legal systems, strong infrastructure, and the ability to encourage innovation and effectively protect intellectual property rights. Digital technology, patents, copyrights, and trademarks in these countries are strictly protected, which drives the growth of a knowledge-based economy. On the other hand, Southern countries face major challenges related to IPR law enforcement, limited access to technology, and limited resources to protect and optimally utilize IPR. Although technology provides opportunities for developing countries to access global knowledge, gaps in protection and enforcement systems hinder their potential to innovate and compete in the international market. This article aims to analyze these differences and explore the challenges and opportunities that exist for Southern countries in facing increasingly complex and global IPR law developments