Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUTAN MANGROVE BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN (STUDI DI DESA KUALA KARANG KECAMATAN TELUK PAKEDAI KABUPATEN KUBU RAYA - A01110102, IVAN WAGNER
Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura Vol 3, No 3 (2015): JURNAL MAHASISWA S1 FAKULTAS HUKUM UNTAN
Publisher : Jurnal Hukum Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Untan (Jurnal Mahasiswa S1 Fakultas Hukum) Universitas Tanjungpura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Perlindungan hutan di jelaskan melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan dibagi berdasarkan fungsi kawasan yaitu kawasan hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi. Perlindungan hutan termasuk di dalamnya adalah perlindungan ekosistem hutan mangrove. Ekosistem hutan mangrove yang sangat khas, unik dan kompleks kemudian menyediakan sumberdaya alam yang melimpah sekaligus permasalahan yang kompleks melibatkan berbagai sektor. Hutan di Desa Kuala Karang yang berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 259/KPTS-II/2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Provinsi Kalimantan Barat masuk dalam kategori hutan lindung kemudian menjadi polemik akibat pembukaan lahan dan perusakan hutan mangrove seluas 350 hektar untuk ambak ikan sehingga menciptakan kerusakan. Disini kewenangan dinas terkait dalam mengelola hutan mangrove yang berada dalam kawasan hutan lindung di uji lewat pelaksanaan pengawasan, pencegahan, pengamanan dan penyuluhan terhadap perlindungan hutan serta koordinasi antar sektor terkait kewenangan pengelolaan hutan mangrove, selain itu penegakkan hukum yang belum berjalan ikut pula menjadi masalah karena kemudian tidak memberikan efek jera bagi para oknum untuk mendirikan tambak walaupun daerah tersebut merupakan kawasan hutan lindung yang seharusnya tidak boleh di manfaatkan sebagai tempat tambak ikan yang merusak kelestarian hutan. Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis, yakni dengan menggambarkan dan menganalisis keadaan yang sebenarnya atau sebagaimana adanya pada saat penelitian ini dilaksanakan. Hasil penelitian ini bahwa pelaksanaan perlindungan hutan mangrove berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan di Desa Kuala Karang belum optimal akibat dari belum optimalnya fungsi pengawasan, pengamanan serta penyuluhan, adanya saling lempar tanggung jawab dan kewenangan antar instansi terkait serta tidak berjalannya penegakkan hukum.       Keywords :  Perlindungan Hutan, Hutan Mangrove, Kewenangan.
INDEPENDENSI PENILAIAN AMDAL SEBAGAI WUJUD PERLINDUNGAN TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP Ivan Wagner; Suteki Suteki
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Volume 1, Nomor 3, Tahun 2019
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (173.564 KB) | DOI: 10.14710/jphi.v1i3.404-424

Abstract

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Amdal) telah menjadi instrumen perlindungan lingkungan hidup dalam UU No 32 Tahun 2009. Amdal selalu dikaitkan dengan sifat yang independen, ilmiah, objektif, bahkan netral. Hal demikian wajib dipertanyakan berkaitan dengan kandungan nilai-nilai inti kehidupan yang sering diabaikan, terutama karena menyebabkan konflik, bahkan membawa dampak rusaknya lingkungan hidup dan jatuhnya korban. Berdasarkan hal tersebut di atas, permasalahan yang diangkat adalah: Pertama, Mengapa penilaian Amdal perlu dilakukan secara independen?; dan Kedua, Bagaimana konsep ideal perencanaan berbasis independensi dalam rangka perlindungan terhadap lingkungan hidup? Penelitian menggunakan stand point paradigma critical theory et.al dan perspektif sosio-legal. Penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa independensi penilaian Amdal yang semula dimaksudkan sebagai upaya menghilangkan masuknya kepentingan politik dan kepentingan partikular lainnya dari pejabat pemberi izin lingkungan, merupakan sebatas “mitos” dan “ilusi”. Hal demikian memberi peluang untuk digunakan sebagai alat justifikasi normatif terhadap independensi, objektivitas dan kepakaran, dengan memanfaatkan dikotomi harfiah dan skalar antara kata tergantung/menjadi bagian (dependence) dengan tidak bergantung/terpisah (independence), untuk menutup-nutupi peran kekuasaan. Kemudian perlu dirumuskan konsepsi perencanaan dan penilaian dampak lingkungan yang mengusung pendekatan relasional, berbasiskan etika kepedulian, dan sentralitas dari kebutuhan rakyat itu sendiri yang menumbuhkan independensi/otonomi dan bukannya merusak nilai-nilai inti kehidupan.
Problematika Keputusan Tata Usaha Negara yang Dikecualikan dari Yurisdiksi Pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara Indonesia Rahmad Satria; Ivan Wagner; Setyo Utomo; Rizki Amalia Fitriani; Agustinus Astono
Arus Jurnal Sosial dan Humaniora Vol 2 No 3: Desember (2022)
Publisher : Arden Jaya Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.57250/ajsh.v2i3.88

Abstract

Pengadilan administrasi menjadi salah satu bagian dari tersedianya akses keadilan kepada rakyat yang disediakan dengan tujuan menyelesaikan sengketa administratif. Reformasi birokrasi, termasuk pada tubuh lembaga peradilan administrasi di Indonesia masih menyisakan sejumlah problematika. Terbitnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebagai hukum materil peradilan administrasi, telah menekankan penyimpangan pelaksanaan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap merupakan tindakan sewenang-wenang (willekeur). Dalam pelaksanaannya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) sebagai perwujudan peradilan administrasi di Indonesia masih menggunakan hukum acara lama. Undang-Undang Nomor  5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagai hukum acara pengadilan administrasi di Indonesia masih memuat sejumlah pembatasan yurisdiksi pemeriksaan PTUN. Khusus pada Pasal 2 huruf e, menjadi problematis apabila dikaitkan dengan keputusan administrasi yang menyimpang dari putusan badan peradilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Penyimpangan dari putusan badan peradilan yang berkekuatan hukum tetap pada dasarnya cacat hukum, sehingga ketentuan pembatasan yurisdiksi itu sudah seharusnya dipahami sekali lagi bahkan ditinjau ulang. Penelitian normatif ini berusaha untuk membahas seputar problematika tersebut dan menyiapkan argumen untuk mengatasi problematika itu.
Strategi Pengembangan Institusi Pemberi Bantuan Hukum Sebagai Jembatan Akses Keadilan Purwanto, Purwanto; Arabiyah, Syarifah; Wagner, Ivan
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia Volume 5, Nomor 3, Tahun 2023
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jphi.v5i3.389-410

Abstract

Bantuan hukum untuk masyarakat miskin dan terpinggirkan adalah prioritas, dan ketimpangan akses menjadi alasan utama. Lembaga bantuan hukum (LBH) pelayanannya dirasa belum merata, terutama untuk mengentaskan akar permasalahan seperti kemiskinan struktural, khsususnya di Kalimantan Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan strategi pengembangan institusional LBH, yang inisiasinya dilakukan kelompok masyarakat sipil di Kalimantan Barat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan riset aksi partisipatoris. Hasil penelitian menunjukan, para pengusung pembentukan LBH Kalimantan Barat menyadari sifat relasional antara akses keadilan, konsep bantuan hukum struktural (BHS), dan keberadaan lembaga bantuan hukum. Refleksi membawa pembentukan institusi menjadi pilihan aksi sadar, demi menanggapi berbagai permasalahan. Basis refleksi didasarkan pada isu hak asasi manusia khususnya isu berbasis agama, keyakinan, dan etnis, isu gender, dan isu ekologi. Aksi diteruskan dengan menginternalisasi konsep BHS yang dapat menumbuhkan nilai-nilai inti kehidupan, dan berbasis pada kebutuhan kehidupan rakyat. Simpulan penelitian menunjukkan kerangka strategis yang disiapkan dalam menumbuhkan institusi yang otonom memerlukan aksi kolaboratif sekaligus partisipatif melalui enam tahapan konkrit.
Maju Mundur Transformasi Aturan Mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup di Indonesia Wagner, Ivan; Pratama, Erwin Aditya
Diktum: Jurnal Ilmu Hukum Vol. 8 No. 2 (2020): November 2020
Publisher : Universitas Pancasakti Tegal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (629.958 KB) | DOI: 10.24905/diktum.v8i2.103

Abstract

Law Number 11 of 2020 concerning Job Creation has been legally enacted. The government claims that Law Job Creation is to improve the investment climate, especially in the global conditions that are being hit by the Covid-19 pandemic and are predicted to have a correlation with job creation for the peoples. However, from the time the law was proposed, discussed, endorsed, until it was signed, this law has resulted in problems, one of which is about Environmental Impact Assessment (EIA). The research questions formulated are: First, what is the historical trail of the birth and development of the EIA instrument? Second, based on the historical traces of its birth and development, is Law Job Creation a forward movement or is it a backward movement on the discourse of environmental protection? By focusing on the legal history side of EIA, using a socio-legal approach method, it can be conveyed that the traces of regulation on EIA from global discourse to national regulations are actually capable of capturing a value-based transformative vision of environmental awareness and justice. However, the transformation process was mostly carried out by the interests of foreign funding institutions that carried a vision of economic interests that reduced a value-based transformative vision. Law Job Creation is the next milestone in the transformation of regulations regarding EIA and environmental permits. If the vision for the transformation of environmental regulations is about a value-based vision towards a more environmentally aware and environment justice, it is clear that Law Job Creation is like bringing back to the starting point again.
Problematika Advokasi Kebijakan Publik Oleh Kelompok Masyarakat Sipil Di Kota Pontianak : (Studi Advokasi Kebijakan Publik Tentang Toleransi Di Kota Pontianak) Dawi, Klara; Wagner, Ivan; Yuliastiani, Anita; Loin, Raymundus; Pratama, Erwin Aditya
Diktum: Jurnal Ilmu Hukum Vol. 9 No. 2 (2021): November 2021
Publisher : Universitas Pancasakti Tegal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24905/diktum.v9i2.115

Abstract

One of the civil society groups currently advocating for public policy in Pontianak City is the Pontianak Bhinneka Network (PBN). As for public policy advocacy by the Pontianak Bhinneka Network regarding tolerance, it is interesting to examine the problems. The limitation scope of the problem is about problems of public policy advocacy by civil society groups. The PBN has made a fairly systematic and structured effort in advocating and encouraging policies on tolerance in Pontianak City. However, there are still problems faced by PBN in conducting policy advocacy covering internal and external aspects. From the internal aspect, it focuses on organizational capacity and relates to autonomy, especially related to funding and sustainability. Problems from the external aspect regarding relations with state actors and other actors, and managing public issues related to policy issues that are being pushed. The two external problems are interrelated, and related to sub-systems, namely legal substance, legal structure, and legal culture.
Rekonstruksi Perlindungan Hukum Hak Penguasaan Tanah Dan Bangunan Di Kawasan Sempadan Sungai Utomo, Setyo; Wagner, Ivan; Pratama, Erwin Aditya; Siswanto
Diktum: Jurnal Ilmu Hukum Vol. 10 No. 1 (2022): Mei 2022
Publisher : Universitas Pancasakti Tegal

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (372.17 KB) | DOI: 10.24905/diktum.v10i1.192

Abstract

The need for land for every human being is one of the basic rights that should be fulfilled by the State. But in the empirical fact that happens there is a small part of the community who owns most of the existing land, on the contrary most of the members of the community who only owns land on a small scale and even do not own the land. Government as the embodiment of the State should try how to make justice in land ownership for all citizens can be realized. The objective to be achieved in writing this scientific paper is that the human rights of every citizen to the needs of the land can be fulfilled. The writing method used in this scientific paper is descriptive method of analysis. The conclusion of the writing of this scientific paper is the redistribution of land as part of land reform is one effort that can be done by the Government in the fulfillment of the human rights of every citizen in the fulfillment of land ownership. The government should not hesitate to redistribute the land for the needy to get the land considering some of the existing legal umbrella allows for it
Navigating the Tensions Between Sharia and Human Rights in Regional Legislation Fadhil, Moh.; Herman, Herman; Wagner, Ivan; Simbolon, Subandri; Harefa, Safaruddin
De Jure: Jurnal Hukum dan Syari'ah Vol 16, No 2 (2024)
Publisher : Shariah Faculty UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/j-fsh.v16i2.29031

Abstract

The legacy of past conflicts has prompted the emergence of a civil society movement with the objective of transforming Pontianak City into a Human Rights City. This movement is pursuing this goal through the drafting of a Regional Regulation on Tolerance. Nevertheless, the legislative and political process within the Regional Houses of Representatives has given rise to paradigmatic debates concerning the concept of human rights. This article aims to elucidate the paradigmatic conflict between state actors and civil society during the drafting of the Regional Regulation on Tolerance in Pontianak City. The field study presented in this article is based on active participation in public hearings and dialogues between the Regional Houses of Representatives and civil society. The study employs a socio-legal approach, which reveals a contention between two distinct paradigms: the positivist paradigm (naive realism), as represented by state actors, and the critical paradigm (historical realism), as advocated by civil society. The Regional Houses of Representatives, as state actors, oppose the institutionalization of tolerance on the grounds that the Eurocentric concept of human rights may conflict with Sharia and local culture. In contrast, civil society views tolerance as a tool for addressing structural inequalities inherited from past conflicts. The inability of the two parties to reach a consensus led to the failure to ratify the Regional Regulation on Tolerance, which prioritizes human rights. This outcome underscores that human rights have not been a primary consideration in the formulation of local regulations on tolerance. This attitude contrasts with international and national human rights law, which has the effect of neglecting the aspiration to become a human rights city. This research contributes to changes in the strategy of the civil society movement in advocating for human rights law in regional policy.
Meningkatkan Kemampuan Analisis Kontrak dan Negosiasi Mahasiswa Fakultas Hukum dalam Transaksi E-commerce: Studi Kasus Marketplace dan Simulasi Interaktif Satria, Rahmad; Yuliastini, Anita; Sebayang, Aleksander; Wagner, Ivan; Fitrian, Yuko
Almufi Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 4 No 2: Desember (2024)
Publisher : Yayasan Almubarak Fil Ilmi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.63821/ajpkm.v4i2.379

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti dalam menganalisis kontrak dan melakukan negosiasi dalam transaksi e-commerce melalui pendekatan berbasis studi kasus dan simulasi interaktif. Subjek penelitian adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Panca Bhakti yang mempelajari hukum bisnis di Universitas Panca Bhakti. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif-deskriptif, data dikumpulkan melalui observasi, tes tertulis (pre-test dan post-test), kuesioner, serta dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan adanya peningkatan signifikan pada pemahaman mahasiswa terhadap klausul kontrak e-commerce, keterampilan negosiasi, dan kemampuan analisis hukum setelah mengikuti pelatihan. Pendekatan ini juga sejalan dengan prinsip experiential learning, yang mengedepankan pengalaman langsung dalam pembelajaran. Oleh karena itu, pendekatan studi kasus dan simulasi interaktif direkomendasikan untuk diintegrasikan ke dalam kurikulum Fakultas Hukum guna mempersiapkan mahasiswa menghadapi tantangan hukum di era digital.
Keabsahan Perjanjian Digital dalam Transaksi Elektronik Berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik: Validity of Digital Agreements in Electronic Transactions Based on the Electronic Information and Transactions Law Rahmad Satria; Anita Yuliastini; Aleksander Sebayang; Ivan Wagner; Yuko Fitrian
Jurnal Kolaboratif Sains Vol. 8 No. 1: Januari 2025
Publisher : Universitas Muhammadiyah Palu

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.56338/jks.v8i1.6708

Abstract

Transaksi elektronik semakin banyak digunakan oleh individu maupun badan hukum dalam berbagai industri, terutama dalam dunia bisnis, sebagai akibat dari pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Perjanjian digital, yang mengikat pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi, merupakan komponen penting dalam transaksi elektronik. Pertanyaan tentang keabsahan perjanjian digital masih ada dalam sistem hukum Indonesia meskipun transaksi elektronik semakin populer. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memeriksa keabsahan perjanjian digital dalam transaksi elektronik yang didasarkan pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), bersama dengan peraturan terkait lainnya. Pembicaraan ini mencakup elemen hukum yang berkaitan dengan perjanjian digital; persyaratan yang harus dipenuhi oleh perjanjian digital; masalah yang muncul saat menerapkannya; dan perlindungan hukum bagi pihak yang terlibat dalam transaksi elektronik.