Maryuliyanto, Maryuliyanto
Unknown Affiliation

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

IMPLEMENTASI KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA HASIL PILKADA Maryuliyanto, Maryuliyanto; Zham-Zham, Lelly Muridi; Mustariyanto, Wahyu; Lutfianidha, Redyana
JURNAL LAWNESIA (Jurnal Hukum Negara Indonesia) Vol. 1 No. 2 (2022): Jurnal Lawnesia
Publisher : Faculty of Law Universitas Bakti Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi kewenangan sementarayang diamanatkan kepada Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikansengketa hasil pilkada. Selain itu juga untuk mengetahui dampak danefektivitas penerapan regulasi penyelesaian Pilkada mengenai ketentuanambang batas selisih suara yang kontradiktif dengan asas kepastian hukum.Penelitian ini menggunakan metode penelitian studi kepustakaan yangdikolabirasikan dengan metode pengamatan atau observasi prosespenyelesaian sengketa hasil pilkada pada persidangan di MK menggunakantinjauan literature resmi yang dipublikasikan oleh lembabga MahkamahKonstitusi tersebut. Dengan argumentasi dan putusan hakim yang telah tercatatatau terkodifikasi dengan baik seiring berjalanya pelanggaran. Prosespenyelesaian sengketa didominasi perkara yang gugur akibat tidak memenuhi ambang batas selisih penghitungan suara yang terdapat pada pasal 158Undang-Undang Pilkada.Jumlah perkara yang teregistrasi ke MahkamahKonstitusi yakni 53 perkara sedangkan yang lolos hingga melaju ke prosessidang hanya 7 perkara. Hasil penelitian menunjukkan bahwasanyapelanggaran terstruktur sistematis dan masif dijadikan dalil utama oleh pihakyang berperkara demi mengesampingkan ketentuan ambang batas.Implementasi dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penyelesaiansengketa tersebut berkiblat pada keadilan yang substansial dengan tetaptunduk terhadap konstitusi, serta sebagai upaya perlindungan terhadap hakkonstitusional warga negara. Namun di sisi lain unsur kepastian hukum dalammenjalankan amanat Undang-Undang Pilkada bagi pihak yang bersengketatidak terpenuhisecara maksi
PENERAPAN HUKUM TERHADAP PEMBERHENTIAN ANGGOTA POLRI YANG MENGALAMI GANGGUAN KEJIWAAN Zham-Zham, Lelly Muridi; Nurfransiska, Ferika; Maryuliyanto, Maryuliyanto; Apriyani Livinea , Demu
JURNAL LAWNESIA (Jurnal Hukum Negara Indonesia) Vol. 2 No. 1 (2023): Jurnal Lawnesia
Publisher : Faculty of Law Universitas Bakti Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bermula dari upaya pencarian keadilan oleh Petrus KopongEban Atakelan ditempuh melalui gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara.Kapolda NTT menyanksi Petrus Kopong Eban Atakealan dengan hukumanPemberhentian Tidak Dengan Hormta (PTDH) terhadapnya. Petrus Kopong EbanAtakelan dan tim kuasa hukumnya menggugat keputusan Kapolda NTT saat itu,karena dianggap melakukan kewenang-wenangan. Hal ini terjadi, karena PetrusKopong Eban Atakelan tidak pernah di sidang pengadilan pidana umum. PetrusKopong Eban Atakelan mengganggap cacat administrasi karena Kapolda NTTmenjalankan rekomendasi sidang banding Komisi KEPP, tanpa ada putusan pengadilan pidana umum. Oleh sebab itu, rumusan masalah penelitian iniadalah: Pertama, bagaimana proses penerapan hukum dan pelaksanaankeputusan kapolda NTT terjadi pada kasus pemberhentian dengan tidak hormatanggota polri dalam perkara nomor 30/G/2021/PTUN.KPG? Kedua, Apa yangmenjadi pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan sengketa Tata UsahaNegarapemberhentian tidak dengan hormatkepada anggota polri yangmengalami gangguan kejiwaan? Penelitian ini bertujuan untuk menganalisisproses PTDH dalam institusi Polri, sekaligus untuk melihat mekanisme hukumdi Institusi Polri dalam perspektif Sistem Peradilan di Indonesia. Penelitian inimenggunakan pendekatan normatif yuridis, dengan analisis deskripsi melaluiberbagai putusan sidang yang telah terjadi. Penelitian ini memperoleh hasilbahwa: Pertama, Upaya Proses Pencarian keadilan oleh Petrus Kobong EbanAtakelan dan upaya proses hukum di Institusi Polri telah sesuai dengan proseshukum administrasi negara. Dalil gugatan Petrus Kopong Eban Atakelan ditolak,dan jawaban tergugat diterima di segala jenis persidangan. Kedua, proseshukum sudah memenuhi ketentuan hukum administrasi negara, baik secaraformil maupun materiil sesuai dengan sistem peradilan di Indonesia.
PELAKSANAAN PEMBERIAN REMISI TERHADAP WARGA BINAAN LAPAS KELAS II A BANYUWANGI Maryuliyanto, Maryuliyanto; Nurfransiska, Ferika; Andika, Cahya; Hartopo, Arie Mukti
JURNAL LAWNESIA (Jurnal Hukum Negara Indonesia) Vol. 2 No. 1 (2023): Jurnal Lawnesia
Publisher : Faculty of Law Universitas Bakti Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 22 tahun 2022tentang Pemasyarakatan bahwa salah satu hak narapidana adalah berhakmendapatkan remisi. Adapun rumusan masalah yang dibahas di dalam skripsi iniyaitu bagaimana pelaksanaan pemberian remisi terhadap warga binaan di LapasKelas II A Banyuwangi dan apa saja kendala dan Solusi atas pelaksanaan pemberianremisi terhadap warga binaan di Lapas Kelas II A Banyuwangi. Penelitian inimenggunakan metode hukum empiris dengan cara mengumpulkan fakta-faktasosial di lapangan melaui wawancara, dan dokumendokumen yang berkaitan denganmasalah dalam penelitian ini, setelah itudilakukan penarikan kesimpulan secarainduktif. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan pemberianremisi terhadap warga binaan di Lapas Kelas II A Banyuwangi merupakan pelaksanaan salah satu hak narapidana, setelah narapidana memenuhi syaratsubstantif, dan syarat admisnistratif maka narapidana bisa mendapatkan remisi.Adapun kendala dan solusi dalam pelaksanaan pemberian remisi terhadap wargabinaan di Lapas Kelas II A Banyuwangi yaitu eksekusi dari pihak kejaksaan yanglambat sehingga narapidanatidak dapat diusulkan remisi, dengan demikian perluadanya kerjasama dan koordinasi yang lebih intensif antara pihak kejaksaan danlapas. Kemudian yang menjadi kendala lain adalah pindahan dari Unit PelaksanaTeknis (UPT) yang sebelumnya belum diusulkan remisi sehingga harus melengkapiberkasnya terlebih dahulu, dan diusulkan untuk pemberian remisi susulan.Selanjutnya kendala lain yaitu dari perilaku narapidana itu sendiri dimananarapidana melakukan tindakan pelanggaran sehingga hak untuk memperolehremisi dicabut, maka diperlukan usaha olch petugas permasyarakatan dengandidasari jiwa pengabdian yang tinggi dan tekun serta mempunyai kemampuan yangmemadai, baik itu dari segi perilaku atau moral sebagai petugas yang memilikikualitas kualifikasi tertentu untuk melaksanakan tugas pembinaan agar narapidanabisa berubah menjadi pribadi yang lebih baik dan tidak melakukan pelanggaran lagi.
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI TERHADAP LIMBAH PRODUKSI DALAM PERSPEKTIF TINDAK PIDANA LINGKUNGAN HIDUP (Studi Putusan Nomor: 5054 K/Pid.Sus-LH/2022) Mustariyanto, Wahyu; Lutfianidha, Redyana; Maryuliyanto, Maryuliyanto; Putri, Fitria
Bureaucracy Journal : Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance Vol. 5 No. 3 (2025): Bureaucracy Journal : Indonesia Journal of Law and Social-Political Governance
Publisher : Gapenas Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.53363/bureau.v5i3.780

Abstract

This research discusses: "CORPORATE CRIMINAL LIABILITY FOR PRODUCTION WASTE FROM THE PERSPECTIVE OF ENVIRONMENTAL CRIMES (Study of Decision Number: 5054 K/Pid.Sus- LH/2022)". This study presents two main problems, namely: 1. How is the criminal liability of corporations and corporate managers in Decision Number 5054 K/Pid.Sus-LH/2022 based on the principle of strict liability and the principle of vicarious liability?, 2. How is the urgency of strengthening criminal liability for managers or leaders in corporations, in order to create a deterrent effect and prevent environmental crimes from occurring? The objectives of the study are: 1. To determine the criminal liability of corporations and corporate managers in Decision Number 5054 K/Pid.Sus- LH/2022 related to environmental pollution crimes through the approach of the principle of strict liability and the principle of vicarious liability. 2. To examine the urgency of strengthening criminal liability for managers or leaders in corporations in order to create a deterrent effect, increase legal compliance, and prevent the recurrence of criminal acts of pollution or environmental destruction by business entities in the future. This study uses a normative juridical research approach with the specifications of the statutory approach, conceptual approach, and case approach. The results of the study show that: 1. In Decision Number 5054 K / Pid.Sus-LH / 2022 there is a lack of law enforcement in the use of articles already available in the Environmental Protection and Management Law Number 32 of 2009 where Article 116 paragraph 1 point b and Article 116 paragraph 2 and Article 117 are not used in the decision. then the Supreme Court only uses the principle of strict liability to ensnare the corporation (PT. SASS) as the perpetrator of environmental crimes. Meanwhile, the managers or leaders of corporations who give orders or lead activities are not held criminally responsible even though it is regulated in Article 116 paragraph 1 point b and Article 116 paragraph 2 and Article 117 which are not used in the decision. 2. By combining the principles of strict liability (against corporations) and the principle of vicarious liability (against managers), it is very important that law enforcers should conduct a comprehensive evaluation and consider the use of the provisions of the articles and principles as a legal basis in every decision. Ignoring the use of Article 116 paragraph (1) letter b, Article 116 paragraph (2), and Article 117 of Law Number 32 of 2009 on Environmental Protection and Management, along with the principle of vicarious liability, has the potential to result in an absence of a deterrent effect on the individuals involved, considering that criminal responsibility is not only attached to the corporation, but also to the leaders who give orders. This condition will ultimately have an impact on suboptimal protection of the public interest and environmental sustainability.