Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Formulation of Islamic Education in Digital Society Kusnawan; Alijaya, Adudin
International Journal of Contemporary Sciences (IJCS) Vol. 2 No. 3 (2025): January 2025
Publisher : PT FORMOSA CENDEKIA GLOBAL

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.55927/ijcs.v2i3.13599

Abstract

This article discusses the formulation of Islamic education in the context of an evolving digital society. The main focus is on how Islamic values and principles can be integrated with modern technology to create a relevant and effective education system. The article analyses the challenges facing Islamic education in the digital era, such as uncontrolled information penetration and the influence of global culture that can erode local values. On the other hand, it also explores the opportunities offered by digital technology in expanding the reach of Islamic education, such as e-learning, educational apps, and social media that can be used for dawah and interactive learning. With a holistic approach, this article aims to provide strategic recommendations to optimise Islamic education in utilising digital technology, so as to create a society that is not only digitally literate but also has strong spiritual intelligence.
Integrasi Nilai Lokal Dalam Pendidikan Islam: Tinjauan Perspektif Al-Qur’an dan Hadis Wahyuni, Neneng Sri; Alijaya, Adudin; Komarudin, Edi
Jurnal Pendidikan Indonesia : Teori, Penelitian, dan Inovasi Vol 5, No 3 (2025): Jurnal Pendidikan Indonesia : Teori, Penelitian, dan Inovasi
Publisher : Penerbit Widina, Widina Media Utama

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59818/jpi.v5i3.1547

Abstract

Education plays a strategic role in shaping national character. In Indonesia’s culturally rich context, an educational approach based on local wisdom is essential to preserve traditional values. This article aims to explain the concept of local wisdom-based education, examine its relevance from the perspective of the Qur’an and Hadith, and explore its application in Islamic education. Employing a qualitative content analysis of relevant literature, this study reveals that integrating local values—when not in conflict with Islamic principles—can strengthen cultural identity and foster noble character in students. The theoretical contribution of this study lies in reinforcing a contextual Islamic education paradigm through the synergy between local culture and Islamic values. Key implementation aspects include curriculum integration, contextual learning methods, and the role of religious institutions.ABSTRAKPendidikan memiliki peran strategis dalam membentuk karakter bangsa. Dalam konteks Indonesia yang kaya akan budaya, pendekatan pendidikan berbasis kearifan lokal menjadi penting sebagai bentuk pelestarian nilai-nilai tradisional. Artikel ini bertujuan untuk menjelaskan konsep pendidikan berbasis kearifan lokal, menelaah relevansinya dalam perspektif Al-Qur’an dan Hadis, serta mengeksplorasi implementasinya dalam pendidikan Islam. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis isi (qualitative content analysis) terhadap literatur yang relevan. Hasil kajian menunjukkan bahwa integrasi nilai-nilai lokal yang tidak bertentangan dengan syariat Islam dapat memperkuat identitas budaya sekaligus membentuk akhlak mulia peserta didik. Kontribusi teoritis kajian ini terletak pada penguatan paradigma pendidikan Islam yang kontekstual melalui sinergi budaya lokal dan nilai-nilai keislaman. Integrasi nilai lokal dalam kurikulum, metode pembelajaran, serta peran lembaga keagamaan menjadi kunci dalam implementasinya.
Rethinking the Minimum Age of Marriage Law in Indonesia: Insights from Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī’s Epistemology Ropei, Ahmad; Alijaya, Adudin; Hasan, Muhammad Zaki Akhbar; Fadhil, Fakhry
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 56 No 2 (2022)
Publisher : UIN Sunan Kalijaga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.v56i2.1111

Abstract

Abstract: This article analyzes the renewal of Indonesia’s minimum age of marriage law. Previously, the legal age for men was 19 years, and for women was 16 years. However, Law No. 16 of 2019 amended the law, setting the minimum age of marriage at 19 years for both genders. Notably, this increase for women contradicts certain fiqh texts and is the highest age limit among several Muslim countries. This study employs Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī’s bayānī (indication/explication) and burhānī (demonstration/proof) epistemology to examine the subject. This article identifies the ideal age range for marriage as 19 to 25 years, when individuals reach balig (maturity) and rusydan (legal capacity), demonstrating readiness and mental maturity for marital life. The renewal of Indonesia’s marriage age limit aligns with Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī’s epistemology, which integrates naṣ (Al-Qur’an and hadīth) with rational reasoning and empirical evidence.   Abstrak: Artikel ini menganalisis pembaruan ketentuan batas usia perkawinan di Indonesia. Sebelumnya, batasan usia perkawinan bagi laki-laki adalah 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Setelah diubah melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2019, ketentuan batas usia perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah sama, yaitu 19 tahun. Peningkatan batas usia perkawinan bagi perempuan di Indonesia ini menarik untuk dikaji dan dianalisis, karena bertentangan dengan sejumlah teks fikih dan sekaligus paling tinggi di antara beberapa negara muslim lainnya. Artikel ini merupakan hasil penelitian kepustakaan yang dianalisis menggunakan epistemologi bayānī dan burhānī Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī. Artikel ini menemukan bahwa kriteria ideal batas minimal usia perkawinan berada pada rentang usia 19 sampai dengan 25 tahun. Pada rentang usia tersebut, pasangan calon pengantin telah memasuki masa baligh dan sekaligus cakap hukum (rusydan) sehingga mereka telah memiliki kesiapan dan kematangan mental untuk melangsungkan perkawinan dan menjalani kehidupan rumah tangga. Pembaruan batas usia perkawinan di Indonesia tersebut sesuai dengan epistemologi bayānī dan burhānī Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī karena ketentuan tersebut tetap mengacu pada naṣ (Al-Qur’an dan hadis) yang dilengkapi dengan penalaran rasional dan bukti-bukti empiris.   Keywords: Minimum age of marriage; bayānī; burhānī; marriage law; Muḥammad ‘Ābid al-Jābirī
Corak Pendidikan Teologis dalam Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib Alijaya, Adudin; Narlina; Maulida, Nuroh; Nurhayati
AL-IBANAH Vol. 10 No. 1 (2025): Journal Al-Ibanah
Publisher : Institut Agama Islam Persis Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54801/1banah.v10i1.494

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi corak pendidikan teologis dalam Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib karya ar-Razi serta relevansinya terhadap pendidikan Islam kontemporer. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi pustaka, menelaah struktur pemikiran dan pendekatan epistemologis yang digunakan ar-Razi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan aspek ketuhanan, keimanan, dan nalar keagamaan. Ar-Razi dikenal sebagai mufasir yang mengintegrasikan pendekatan rasional dan teologis, serta menjadikan akal sebagai mitra aktif wahyu dalam proses penafsiran. Penelitian ini menemukan bahwa tafsir ar-Razi menyajikan model pendidikan teologis yang kritis, argumentatif, dan reflektif, yang sangat relevan bagi pengembangan pendidikan Islam berbasis nilai, logika tauhid, dan penguatan akal. Implikasi dari corak pendidikan teologis dalam tafsir ini menunjukkan urgensi pembaruan model pendidikan Islam agar mampu menjawab tantangan zaman secara ilmiah dan spiritual tanpa kehilangan akar wahyu.
Corak Pendidikan Teologis dalam Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib Alijaya, Adudin; Narlina; Maulida, Nuroh; Nurhayati
AL-IBANAH Vol. 10 No. 1 (2025): Journal Al-Ibanah
Publisher : Institut Agama Islam Persis Bandung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.54801/1banah.v10i1.494

Abstract

Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi corak pendidikan teologis dalam Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib karya ar-Razi serta relevansinya terhadap pendidikan Islam kontemporer. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi pustaka, menelaah struktur pemikiran dan pendekatan epistemologis yang digunakan ar-Razi dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan aspek ketuhanan, keimanan, dan nalar keagamaan. Ar-Razi dikenal sebagai mufasir yang mengintegrasikan pendekatan rasional dan teologis, serta menjadikan akal sebagai mitra aktif wahyu dalam proses penafsiran. Penelitian ini menemukan bahwa tafsir ar-Razi menyajikan model pendidikan teologis yang kritis, argumentatif, dan reflektif, yang sangat relevan bagi pengembangan pendidikan Islam berbasis nilai, logika tauhid, dan penguatan akal. Implikasi dari corak pendidikan teologis dalam tafsir ini menunjukkan urgensi pembaruan model pendidikan Islam agar mampu menjawab tantangan zaman secara ilmiah dan spiritual tanpa kehilangan akar wahyu.
Peta Al-Jashshash Dalam Kajian Tafsir Fiqhy (Analisis terhadap Kitab Ahkam Al-Qur’an) Alijaya, Adudin
AL-KAINAH: Journal of Islamic Studies Vol. 1 No. 2 (2022): Al-Kainah: Journal of Islamic Studies
Publisher : Institute for Research and Community Services (P3M), The Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Miftahul Huda in Subang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.69698/jis.v1i2.12

Abstract

Al-Jashshash memiliki kapasitas yang sangat mumpuni baik sebagai mufassir dalam pengertian universal, maupun sebagai fuqaha dalam perspektif mujtahid. Kitab Ahkam Al-Qur’an dipandang cukup representatif untuk dijadikan sebagai bentuk konsistensinya dalam wilayah tafsir Fiqh. Adapun kecenderungannya pada manhaj Hanafi, ini tidak terlepas dari background lingkungan dan aspek politis yang mempengaruhinya. Al-Jashshash lahir di Baghdad yang kental dengan madzhab Hanafi baik secara sosiologis dan politis. Hal ini berimplikasi pada corak dan metode bil Ma’tsur dan Bil Ra’yi yang ia gunakan dalam menafsirkan ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an. Kitab Ahkam Al-Qur’an disajikan dengan sistematika yang sangat apik dan rinci. Bukan tanpa alasan jika masterpiece dari al-Jashshash ini dijadikan sebagai pelopor tafsir Fiqh yang sistematis. Hal lain yang penting untuk dikemukakan oleh mufasir masa kini adalah kemampuan untuk mengkomparasikan aspek hukum dari berbagai pendapat para tokoh madzahib. Ia paparkan secara elegan, dan al-Jashshash senantiasa menyajikan pendapatnya secara proporsional.
MANAGING ‘BALIGH’ IN FOUR MUSLIM COUNTRIES: Egypt, Tunisia, Pakistan, and Indonesia on the Minimum Age for Marriage Ropei, Ahmad; Huda, Miftachul; Alijaya, Adudin; Fadhil, Fakhry; Zulfa, Fitria
Al-Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam Vol. 16 No. 1 (2023)
Publisher : Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ahwal.2023.16106

Abstract

In Islamic law, the concept of baligh has long been debated among clerics. The debate also appears to have resulted in different rules regarding the minimum age of marriage among Muslim countries. This paper aims to reveal the maturity standard regarding the minimum age of marriage in four Muslim countries: Egypt, Pakistan, Tunisia, and Indonesia. This paper is based on library research and employs a comparative study approach. This paper argues that Egypt, Pakistan, Tunisia, and Indonesia have a different minimum age for marriage. In Egypt and Pakistan, the minimum age for marriage is 18 years for men and 16 years for women. However, Pakistan has gone further by instituting legal sanctions if the regulation of the minimum age is violated. In Tunisia, the minimum age for marriage is 18 years for men and women, while in Indonesia it is 19 years for men and women. The determination of the minimum age for marriage is intended for several purposes, including limiting the number of early marriages, reducing the divorce rate, and preparing a strong national generation through the maturity of the marriage age. These interests, from the perspective of Islamic law, are the manifestation of the principle of maslahah (fundamentally aimed at achieving goodness and rejecting harm concerning marital life).[Dalam hukum Islam, konsep balig sudah lama diperdebatkan di kalangan ulama. Perdebatan tersebut juga tampaknya telah menghasilkan aturan yang berbeda mengenai usia minimum pernikahan di antara negara-negara Muslim. Tulisan ini bertujuan untuk mengungkapkan standar kedewasaan mengenai usia minimum menikah di empat negara Muslim: Mesir, Pakistan, Tunisia, dan Indonesia. Makalah ini didasarkan pada penelitian kepustakaan dan menggunakan pendekatan studi komparatif. Tulisan ini berpendapat bahwa Mesir, Pakistan, Tunisia, dan Indonesia memiliki perbedaan usia minimum untuk menikah. Di Mesir dan Pakistan, usia minimum untuk menikah adalah 18 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Namun, Pakistan telah melangkah lebih jauh dengan memberikan sanksi hukum jika peraturan usia minimum dilanggar. Di Tunisia, usia minimum untuk menikah adalah 18 tahun untuk pria dan wanita, sedangkan di Indonesia adalah 19 tahun untuk pria dan wanita. Penetapan usia minimal menikah dimaksudkan untuk beberapa tujuan, antara lain membatasi jumlah pernikahan dini, menekan angka perceraian, dan mempersiapkan generasi bangsa yang kuat melalui pendewasaan usia pernikahan. Kepentingan-kepentingan tersebut, dalam perspektif hukum Islam, merupakan manifestasi dari prinsip maslahah (menarik kebaikan dan menolak keburukan dalam kehidupan berumah tangga).]