Sarosa, Pandit
Unknown Affiliation

Published : 13 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 13 Documents
Search

Perbandingan Daya Guna Auto Ko-Induksi Propofol 0,25 mg/kgbb dengan 0,5 mg/kgbb dalam Mengurangi Dosis Induksi Propofol pada Operasi Elektif dengan Anestesi Umum Krisdiyantoro, Nova; Sarosa, Pandit; S, Bambang
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 2 No 1 (2014): Volume 2 Number 1 (2014)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v2i1.7192

Abstract

Latar belakang: propofol sebagai induksi tunggal dapat menyebabkan penurunan tekanan darah arteri dan curah jantung cukup bermakna, pemberian intravena secara cepat dapat mengakibatkan henti napas yang bersifat sementara akibat depresi ventilasi. Untuk mendapatkan efek samping minimal dan ringannya biaya, diperlukan auto ko-induksi.Tujuan penelitian: untuk mengetahui bahwa daya guna auto ko-induksi propofol 0,25 mg/kgbb intravena sama dengan auto ko-induksi propofol 0,5 mg/kgbb intravena dalam mengurangi dosis induksi propofol pada operasi elektif dengan anestesi umum.Metode penelitian: penelitian ini menggunakan rancangan uji klinis secara acak buta berganda (double blind randomized controlled trial/RCT). Subyek penelitian 90 pasien yang dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok A adalah kelompok yang mendapatkan auto ko-induksi propofol 0,25 mg/kgbb intravena dan kelompok B adalah kelompok yang mendapatkan auto ko-induksi propofol 0,5 mg/kgbb intravena yang masuk dalam kriteria inklusi. Pengukuran dilakukan terhadap data demografi pasien: umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan, BMI (Body Mass Index), status fi sik (ASA) dan hemodinamik awal (tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, rata-rata tekanan darah arteri dan denyut jantung). Pencatatan selanjutnya adalah dosis induksi propofol, hemodinamik setelah induksi dan efek samping yang terjadi .Data dianalisis dengan Independent t-test dan chi-square dengan derajat kemaknaan p<0,05.Hasil Penelitian : Terdapat perbedaan bermakna pada dosis induksi yang dibutuhkan pada keduakelompok yaitu perbedaan sebesar 16,13 mg (p=0,001) dimana hasil kelompok A (119,5911 ± 12,24973) dan kelompok B (135,7222 ± 12,93408), sehingga pemberian auto ko-induksi propofol 0,25 mg/kgbb memiliki potensi yang lebih baik dibandingkan dosis 0,5 mg/kgbb dalam mengurangi dosis induksi propofol. Nilai IoC yang didapatkan setelah satu menit pemberian dosis auto ko-induksi menunjukkan nilai kelompok A (81,69 ± 2,26) dan kelompok B (80,84 ± 1,99) dimana hasil ini menunjukkan perbedaanyang tidak bermakna (p=0,063). Perubahan hemodinamik diukur sebelum auto ko-induksi dan sesudah induksi propofol pada kedua kelompok masih dalam batas aman dan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p>0,05)Kesimpulan : Auto ko-induksi propofol 0,25 mg/kgbb intravena mempunyai daya guna yang lebih baik dibandingkan auto ko-induksi propofol 0,5 mg/kgbb intravena dalam mengurangi dosis total induksi propofol pada operasi elektif dengan anestesi umum dengan perbedaan kebutuhan dosis propofol sebesar 16,13 mg (p = 0,001).
Tata Laksana Pasien Neurotoksik Snake Bite di Perawatan Intensif Marthysal, Audhiaz; Widodo, Untung; Sarosa, Pandit
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 2 No 2 (2015): Volume 2 Number 2 (2015)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v2i2.7208

Abstract

Pasien laki-laki usia 29 tahun masuk perawatan ICU dengan permasalahan penurunan kesadaran dan apneu setelah diketahui tergigit oleh ular, pasien didiagnosa dengan neurotoksik snakebite. Pasien dilakukan tindakan intubasi dan stabilisasi respirasi dengan pemasangan ventilator mode disesuaikan dengan kebutuhan. Pasien mendapat pertolongan pertama di rumah sakit sebelumnya dengan dilakukan pemberian anti bisa ular, bentuk dan jenis ular tidak diketahui. Setelah di RSUP Sardjito pasien di rawat di ICU selama 13 hari. Selama di ICU manajemen yang dilakukan berupa monitoring hemodinamik dan respirasi, manajemen luka gigitan, manajemen tetraparese dengan menggunakan reversal pelumpuh otot. Permasalah yang timbul selama perawatan berupa pneumonia akibat penggunaan ventilator yang lama, kultur darah dan sputum, perubahan komponen metabolik seperti elektrolit dan albumin. Pasien keluar perawatan ICU dengan perbaikan dari parese otot pernapasan, ekstrimitas, dan komponen metaboliklainnya.
Manajemen Akhir Hayat pada Pasien Kritis dI ICU Nur, Rifdhani Fakhrudin; Suryono, Bambang; Sarosa, Pandit
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 2 No 2 (2015): Volume 2 Number 2 (2015)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v2i2.7209

Abstract

Telah dilakukan manajemen akhir hayat pada pada seorang perempuan usia 63 tahun, dengan diagnosis ROSC pascahenti jantung, edema serebri difus, asidosis metabolik, anemia, dan hipoalbumin yang dirawat di ICU. Keadaan akhir hayat ditunjukkan dengan adanya tanda-tanda kematian batang otak dan kegagalan fungsional berupa kegagalan usaha nafas yang menetap pada pasien yang dapat menyebabkan kematian pada hari ke-3 perawatan. Dokter menjelaskan tentang kondisi akhir hayat pasien berupa tanda-tanda kematian batang otak, prognosis dan kemungkinan yang akan terjadi dan keputusan yang harus diambilkeluarga mengenai keadaan akhir hayat pada pasien. Keluarga memutuskan menerima kondisi pasien, meminta untuk meneruskan bantuan yang sekarang diberikan namun tidak melakukan pertolongan lanjut jika kondisi memburuk. Rohaniwan melakukan pendampingan berupa bimbingan rohani, konselingspiritual akhir hayat, bimbingan ibadah dan doa untuk pasien. Belum ada komunikasi yang intensif antara tim medis tentang kondisi akhir hayat pada pasien. Pendampingan dilakukan sampai saat kematian dengan mengundang keluarga, tidak melakukan resusitasi jantung paru sesuai permintaan keluarga dan menyatakan kematian pasien di hadapan keluarga.
Sindrom Emboli Lemak (Fat Embolism Syndrome) Fauzani N, Achmad; Sarosa, Pandit; Yudo P, Bhirowo
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 2 No 2 (2015): Volume 2 Number 2 (2015)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v2i2.7210

Abstract

Emboli lemak merupakan kondisi patologik yang biasa terjadi pada pasien multipel trauma atau bedah ortopedik, tetapi hanya sebagian kecil yang berkembang menjadi sindrom klinis FES.Walaupun demikian kondisi yang berat seperti FES fulminan akut yang bermanifestasi pada beberapa sistem organ seperti kegagalan pernapasan, disfungsi cerebral, dan terkadang gangguan fungsi ginjal dapat terjadi dengan mortalitas sekitar5-15%. Sampai saat ini diagnosis FES masih mengandalkan kriteria klinis dari Gurd yang sudah ada sejak 40 tahun lalu, dan beberapa peneliti lainnya mencoba mengembangkan scoring untuk diagnosis klinis FES. Perkembangan teknologi diagnostik imaging dan laboratorium dapat membantu diagnostik FES namun belum ada yang cukup spesifik untuk FES. Tatalaksana FES berfokus pada suportif kegagalan fungsi organ, seperti oksigenasi dan ventilasi yang adekwat sesuai beratnya gangguan respirasi dan optimalisasi hemodinamik dangan kecukupan cairan intravaskular. Beberapaobat juga telah diuji untuk terapi FES namun belum ada yang menunjukkan hasil yang cukup memuaskan. Stabilisasi dini dari fraktur dan dan minimal manipulasi intramedullar tulang dipercayadapat menurunkan risiko terjadinya sindrom ini.
Perbandingan Efek Penambahan antara Klonidin (50 μg) dan Fentanyl (25 μg) sebagai Adjuvan Bupivacain Hiperbarik 0,5% 12,5 mg Intrathekal sebagai Anestesi Spinal Setiawan, Yosy Budi; Sarosa, Pandit; Widodo, Untung
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 2 No 3 (2015): Volume 2 Number 3 (2015)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v2i3.7217

Abstract

Latar belakang. Penambahan obat adjuvan pada anestesi spinal mempunyai beberapa tujuan, salah satunya adalah untuk memperpanjang durasi blok sensorik (analgesia) subarachnoid block (SAB). Klonidin merupakan salah satu obat adjuvan dalam anestesi spinal yang mempunyai efek memperkuat analgesi pada teknik blokade neuroaksial dengan cara berikatan pada reseptor adrenergik α-2 postsinaps kornu dorsalis medulla spinalis. Keuntungan klonidin di antaranya tidak menyebabkan depresi pernafasan dan pruritus, namun dapat menyebabkan hipotensi dan bradikardi. Fentanil mempunyai efek analgesi, sedasi, depresi pernafasan, dapat menyebabkan penurunan kesadaran pada dosis tinggi, serta efek samping berupa pruritus.Tujuan penelitian. Untuk mengetahui perbandingan efek penambahan klonidin 50 μg dan fentanyl 25 μg sebagai adjuvan bupivacain 0,5% hiperbarik 12,5 mg intratekal pada anestesi spinal meliputi: onsetanestesi spinal, lama kerja blok sensorik dan motorik serta efek samping seperti hipotensi, bradikardi, mual dan muntah.Metode penelitian. Rancangan penelitian menggunakan uji klinis acak terkontrol dengan pembutaan ganda. Subyek penelitian 80 pasien, usia 18-66 tahun, berat badan 40-75 kg, status fi sik ASA I & II. Pengamatan dilakukan terhadap onset SAB, durasi blok sensorik dan motorik SAB dengan metode Pinprick dan skala Bromage, serta terjadinya efek samping. Analisis data menggunakan independent samples t-testdan chi- square, bermakna bila p < 0,05, dengan tingkat kepercayaan 95%.Hasil penelitian. Diperoleh onset analgesia maksimal klonidin dibanding fentanil (8,30 ± 1,471vs 8,10 ± 1,566 menit); regresi 2 segmen (104,22 ± 22,903 vs 79,32 ± 15,714), regresi sampai segmen S2 (251,25 ± 28,233 vs 181,62 ± 33,174), dan lama kerja blok motorik (229,38 ± 35,377 vs 160,38 ± 36,557). Secara statistik terdapat perbedaan bermakna (p < 0,05; p = 0,001) regresi 2 segmen, regresi sampai segmen S2, dan lama kerja blok motorik antara kelompok klonidin dan kelompok fentanil. Tidak ada perbedaan efek samping berupa hipotensi, bradikardi, dan mual-muntah pada kelompok klonidin 50 μg dan kelompok fentanyl 25 μg.Kesimpulan. Penambahan klonidin 50 μg pada bupivacain hiperbarik 0,5% 12,5 mg dapat memperpanjang blok sensorik dan motorik, serta meminimalisir efek samping dibandingkan penambahan fentanyl 25 μg pada bupivacain hiperbarik 0,5% 12,5 mg sebagai anestesi spinal.
Perbandingan antara Sniffing Position dan Simple Head Extension untuk Kemudahan Laringoskopi Pangroso, Agung Pangroso; Hadisajoga, Pandit Sarosa; Suryono, Bambang
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 3 No 1 (2015): Volume 3 Number 1 (2015)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v3i1.7225

Abstract

Latar belakang. Kesuksesan pada saat melakukan laringoskopi banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor, diantaranya adalah posisi. Posisi dari leher dan kepala merupakan bagian yang penting untuk visualisasi laring selama laringoskopi. Dengan pendekatan posisi yang benar, maka visualisasi glotis akan lebih baik sehingga mudah untuk dilakukan laringoskopi dan intubasi. Namun terkadang posisi tidak begitu diindahkan pada saat melakukan laringoskopi maupun intubasi sehingga visualisasi glotis yang dinilai dengan Cormack - Lehane tidak begitu baik. Terdapat beberapa bukti yang menyatakan bahwa sniffingposition dan simple head extension berkaitan dengan kesuksesan pada saat melakukan laringoskopi.Tujuan. Untuk mengevaluasi kemudahan visualisasi laring dengan direk laringoskopi antara posisi sniffing dan posisi simple head extension pada pasien operasi elektif yang dilakukan general anestesi. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian uji klinis acak terkontrol menyilang tersamar ganda. Ruang lingkup penelitian adalah pasien yang menjalani operasi elektif dengan anestesi umum di Gedung Bedah Sentral Terpadu RSUP Dr. Sardjito.Metode. Setelah mendapatkan persetujuan komite etik dan persetujuan tindakan medis penderita, 42 pasien (18-65 tahun, ASA I–II) yang menjalani pembedahan elektif dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok dengan sniffing position dan simple head extension dimana kemudian dilakukan silang perlakuan pada kedua kelompok tersebut (desain uji klinis menyilang). Keluaran primer adalah kemudahan laringoskopi berdasarkan derajat Cormack-Lehanne.Hasil. Dengan menggunakan skala derajat Cormack-Lehanne pada posisi sniffi ng, didapatkan 52 (94,5%) subyek dengan derajat I dan 3 (5,5%) subyek dengan derajat II, sedangkan pada posisi simple head extension, didapatkan derajat II menunjukkan 43 (78,2%) subyek, derajat III berjumlah 11 (20,0%) subyek dan derajat IV hanya 1 (1,8%) subyek. Hasil tersebut di atas dipertegas oleh hasil uji bivariat dengan Wilcoxon Signed Ranks Test yang menghasilkan nilai Z hitung sebesar –6,834 dengan p = 0,000. Ini menunjukkan adanya perbedaan yang signifi kan dalam hal skoring Cormack-Lehanne antara teknik Sniffi ng Position dan Simple Head Extension.Kesimpulan. Hasil utama penelitian ini menunjukkan bahwa visualisasi laring dengan direk laringoskopi lebih mudah dilakukan pada posisi sniffi ng dibandingkan dengan posisi simple head extension pada pasien operasi elektif yang dilakukan general anestesi.
Perbedaan Tingkat Kecemasan Antara Laki-Laki dan Perempuan yang akan Menjalani Operasi Elektif Post Premedikasi dengan Alprazolam Saputra, Rory Denny; Sarosa, Pandit; Sudadi
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 8 No 3 (2021): Volume 8 Number 3 (2021)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v8i3.7259

Abstract

Latar Belakang: Pada saat ini tingkat kecemasan yang dialami pasien menjelang operasi masih cukup tinggi yaitu sekitar 60%. Kecemasan ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan pasien dan dapat menggangguprosedur pembedahan. Perbandingan tingkat kecemasan antara pasien perempuan dan laki-laki adalah 2:1, baik kecemasan akut maupun kronik. Alprazolam terbukti efektif untuk mengatasi kecemasan preoperatif dengan angka penurunannya mencapai 80%, serta efek samping dari penggunaannya tidak ditemukan. Belum ada bukti alprazolam menurunkan tingkat kecemasan yang sama antara laki-laki dan perempuan.Tujuan Penelitian: Untuk mengetahui daya guna alprazolam dalam mencegah kecemasan pada pasien laki-laki dan perempuan yang akan menjalani operasi elektif.Metode Penelitian: Rancangan penelitian menggunakan uji klinis. Subyek penelitian sebanyak 106 pasien. Analisis data dilakukan untuk data nominal dan ordinal menggunakan uji statistik chi-square, sedangkan data interval dan rasio menggunakan independent t-tes. Nilai p<0,05 dinyatakan bermakna dengan tingkat kepercayaan 95%. Pengukuran yang dilakukan adalah skor tingkat kecemasan antara laki-laki dan perempuan yang diberikan premedikasi alprazolam.Hasil Penelitian: Skor rata-rata pasien laki-laki dibandingkan perempuan di ruang perawatan (45,75 ± 16,87 dibanding 52,48 ± 25,03), sedangkan di ruang persiapan (35,40 ± 18,07 dibanding 42,52 ± 22,13), secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna skor rata-rata tingkat kecemasan antara laki-laki dan perempuan baik di ruang persiapan (p > 0,05). Dari hasil ini dapat dibuktikan bahwa penggunaan alprazolam 0,5 mg dapat menurunkan tingkat kecemasan baik pada pasien laki-laki maupun perempuan, hal ini ditunjukkan dari hasil kategorisasi bahwa pasien yang tidak cemas saat pengukuran di ruang perawatan untuk lakilaki sebanyak 7 orang (13,5%) dan perempuan sebanyak 4 orang (7,4%), setelah dilakukan pengukuran di ruang persiapan pasien yang tidak cemas untuk laki-laki sebanyak 18 orang (34,6%), sedangkan perempuan sebanyak 17 orang (31,5%).Simpulan: Tingkat kecemasan pada pasien laki-laki dan perempuan yang akan menjalani operasi elektif post premedikasi dengan alprazolam tidak berbeda bermakna. Premedikasi alprazolam 0,5 mg terbukti dapat menurunkan tingkat kecemasan baik pada pasien laki-laki maupun perempuan yang akan menjalani operasi elektif.
Pengelolaan Pasien di Post Anestesi Care Unit (PACU) Sudadi; Sarosa, Pandit; Hamdany, Ferry
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 3 No 3 (2016): Volume 3 Number 3 (2016)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v3i3.7264

Abstract

Pengelolaan pasien pasca operasi dengan general maupun regional harus dilakukan dengan baik sampai pasien benar-benar layak dikembalikan ke bangsal. Nyeri, agitasi, menggigil, hipotermia, mual dan muntah merupakan masalah yang sering timbul di post anesthesia care unit. Komplikasi respirasi dan kardiovaskuler yang umum terjadi harus cepat dikenali dan manajemen yang tepat harus cepat dilakukan. Desain ruangan, sumber daya manusia, perlengkapan dan standar lainnya harus dipenuhi untuk mendapatkan sebuah post anesthesia care unit yang ideal.
Penatalaksanaan Kejadian Oculocardiac Reflex pada Trauma Tembus Mata yang Dilakukan GA Intubasi Endotracheal Pratama, Andhika Marthsyal; Sarosa, Pandit; Jufan, Akhmad Yun
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 4 No 1 (2016): Volume 4 Number 1 (2016)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v4i1.7271

Abstract

Operasi pada mata memerlukan beberapa perhatian yang unik bagi anesthesiologist termasuk didalamnya pengaturan tekanan intraokuler, pencegahan terjadinya reflek okulokardiak, bagaimana penatalaksanaan terjadinya reflek tersebut, kontrol terhadap penyebaran gas didalam bola mata dan efek sistemik daripenggunaan obat-obat pada mata. Laporan kasus berikut membahas tatalaksana anestesi pada trauma mata dimana pasien sempat mengalami reflek okulokardiak pada saat operasi.
Perbandingan Kejadian Laringospasme antara Ekstubasi Endotracheal Tube Sadar Tanpa Sentuhan dan Sadar dengan Sentuhan pada Operasi di Jalan Nafas Hartono, Dedy; Sarosa, Pandit; Widyastuti, Yunita
Jurnal Komplikasi Anestesi Vol 4 No 3 (2017): Volume 4 Number 3 (2017)
Publisher : This journal is published by the Department of Anesthesiology and Intensive Therapy of Faculty of Medicine, Public Health and Nursing, in collaboration with the Indonesian Society of Anesthesiology and Intensive Therapy , Yogyakarta Special Region Br

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22146/jka.v4i3.7302

Abstract

Latar Belakang: Laringospasme adalah salah satu komplikasi ekstubasi sadar yang dapat menimbulkan morbiditas maupun mortalitas. Beberapa cara digunakan untuk mengurangi laringospasme akibat dari ekstubasi yang dilakukan secara sadar. Ekstubasi sadar dengan tehnik no touch dapat digunakan untuk mengurangi laringospasme akibat ekstubasi sadar. Dengan teknik ekstubasi “no touch” pasien diposisikan dalam keadaan posisi pemulihan di akhir prosedur. Darah dan sekret dibersihkan dengan suction dan dilakukan dengan hati-hati pada faring sebelum penghentian anestesi volatil atau dalam pengertian lain pasien masih dalam keadaan teranestesi. Tidak ada stimulasi diperbolehkan lebih lanjut, Selain pemantauan terus-menerus dengan oksimetri, sampai pasien spontan terbangun, kemudian dilakukan ekstubasi.Tujuan : penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan kejadian laringospasme pada ekstubasi sadar dengan tehnik tanpa sentuhan (no touch) dengan ekstubasi sadar dengan sentuhan pada operasi di jalan nafas.Metode : Penelitian ini didesain dengan RCT, dilakukan pada 2 kelompok sampel pada pasien dengan operasi di jalan nafas (kelompok operasi dengan kejadian laringospasme paling tinggi), kelompok T : kelompok kontrol, dilakukan ekstubasi sadar dengan sentuhan,kelompok NT : kelompok perlakuan, dilakukan ekstubasi sadar dengan tehnik no touch. Dengan jumlah sampel masing-masing kelompok 34 pasien. Kriteria inklusi penelitian ini : Pasien berumur 8-60 tahun yang menjalani operasi pada jalan nafas elektif yang dilakukan anestesi umum dengan intubasi endotracheal tube lewat oral/nasal, Status fisik ASA I dan II, Body mass index (BMI) 18 – 25, Bersedia menjadi subyek penelitian, Kriteria Eksklusi : Terdapat perkiraan kesulitan intubasi dan ekstubasi, Pasien dengan penyakit jantung, Pasien dengan ISPA, Pasien riwayat asma/PPOK.Hasil : Penelitian ini didapatkan kejadian laringospasme pada kelompok no touch adalah 0% (0 kasus), sedangkan kejadian laringospasme pada kelompok kontrol adalah 16,7% (6 kasus), dan secara statistik berbeda secara bermakna (p < 0,05).Kesimpulan : Ekstubasi sadar dengan tehnik tanpa sentuhan (no touch) akan mengurangi kejadian laringospasme pada operasi di jalan nafas.