Helfi, Helfi -
Fakultas Syariah, Universitas Islam Negeri Sjech M Djamil DJambek, Bukittinggi

Published : 12 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 12 Documents
Search

Kritik Abdul Karim Amrullah terhadap Rābiṭah di Minangkabau dalam Tafsir al-Burhān Helfi Helfi
Islamica: Jurnal Studi Keislaman Vol. 12 No. 2 (2018): Maret
Publisher : Postgraduate Studies of Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (461.329 KB) | DOI: 10.15642/islamica.2018.12.2.481-506

Abstract

This article explores the thought of Abdul Karim Amrullah on the issue of rābiṭah in Minangkabau. He is regarded as very critical in responding social and cultural life, especially relating to tarekat. All behaviors of society should have basis from the Qur'ān and Sunnah. All acts which are not based on the Qur'ān and Sunnah are considered as innovation (bid'ah) that should be avoided. Amrullah categorically rejected rābiṭah for there was no sharī'ah basis for it, although the kaum tua (conservative) in Minangkabau attempted to conserve rābiṭah in their surau. Rābiṭah as one of wasīlah (mediator) is understood as a medium to reach God through substitute face. What is meant is the murshid who taught their followers to achieve the determined position in their own tarekat. Amrullah's criticism towards rābiṭah in Minangkabau initially resulted in resistance, especially among the founder of tarekat. However, in the course of time, the issue of tarekat declined and even underwent significant decay in Minangkabau.
Measuring "Village Regulations" in Urban Community Relations in the City of Bukittinggi, West Sumatra Helfi Helfi; Fajrul Wadi; Beni Firdaus; Dahyul Daipon
AL-IHKAM: Jurnal Hukum & Pranata Sosial Vol. 16 No. 1 (2021)
Publisher : Faculty of Sharia IAIN Madura collaboration with The Islamic Law Researcher Association (APHI)

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/al-lhkam.v16i1.4340

Abstract

Migrant workers usually come to a city for economic reason as cities are still deemed to provide much available economic opportunities. Urban communities, on the other hand, typically preserve village regulation that they specifically formulate in dealing with comers like what occurs in Bukittinggi, West Sumatra. On the basis of it, this article aims to portray the village regulation taking sample at the Campago Guguak Bulek Nagari, Mandiangin Koto Selayan, Bukittinggi, West Sumatra. The research problems are on the current village regulation from its establishment, form, dissemination, sanction, stratification of legal subjects, and the effect as well as how the regulation will look like in the future. This is a qualitative normative research using in-depth interview with comers who directly deal with local regulations as well as local communities as the one who preserve the regulation. It found that regulations at Bukittinggi emphasize protection of the local economy and socio-cultural aspect. More specifically, it aims to regulate life together, protect rights and obligations as well as social institutions, maintain safety and order, and improve community welfare. This all make the village regulation deserve for future preservation. (Salah satu alasan perantau mendatangi sebuah kota biasanya adalah faktor ekonomi. Kota-kota besar hingga hari ini masih dianggap menawarkan banyak peluang ekonomi. Masyarakat kota, di sisi lain, biasanya memiliki berbagai aturan khusus bagi para pendatang seperti yang terjadi di Bukittinggi, Sumatera Barat. Dari situ, artikel ini ingin memotret hubungan antara aturan lokal di Bukittinggi dengan para pendatang di situ, khususnya di Kelurahan Campago Guguak Bulek, Mandiangin Koto Selayan, Bukittinggi, Sumatra Barat. Pertanyaan penelitian ini adalah seputar peraturan kampung yang berlaku mulai dari pembentukan, bentuk-bentuk, sosialisasi, sanksi, subyek hukum, dan efeknya. Selain itu, akan dilihat juga bagaimana prediksi akan ‘nasib’ peraturan ini di masa mendatang. Penelitian ini bersifat normatif-kualitatif dengan wawancara mendalam kepada para pendatang maupun komunitas lokal sebagai salah satu metode penggalian data utamanya. Hasilnya menunjukkan bahwa aturan-aturan tersebut menitikberatkan pada perlindungan sosial—ekonomi lokal, utamanya perihal aturan-aturan hidup berdampingan, perlindungan hak dan kewajiban, pranata sosial, jaminan keamanan dan ketentraman, serta peningkatan kesejahteraan. Inilah yang membuat peraturan tersebut layak untuk tetap berlaku hingga di masa mendatang)
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MUSLIM KEPULAUAN DENGAN PENGUATAN ACHIEVEMENT MOTIVATION UNTUK MENGATASI PRILAKU HEDONISME DALAM MASYARAKAT DENDUN KECAMATAN MANTANG KEPULAUAN BINTAN Yanti Elvita; Silfia Hanani; Helfi Helfi
HUMANISMA : Journal of Gender Studies Vol 2, No 1 (2018): Januari - Juni 2018
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (406.418 KB) | DOI: 10.30983/jh.v2i1.810

Abstract

Dendun merupakan salah satu desa di kecamatan Mantang Kepulauan Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Jumlah pendudukanya pada tahun 2014 sebanyak 1035 jiwa dengan rincian laki-laki 656 orang dan perempuan 470 orang dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 273. Semua penduduk beragama Islam dan hanya ada satu masjid sebagai tempat ibadah masyarakat di desa ini.Dendun terdiri dari satu dusun, 2 RW dan 6 RT dengan luas wilayahnya 18 km2 dataran dan 67 km2 lautan.  Satu-satunya akses  transportasi ke desa ini adalah dengan transportasi laut dengan kapal kecil nelayan. Mata pencaharian secara mayoritas adalah sebagai nelayan, dengan penghasilan yang beragam mulai dari yang terendah Rp.85.000 sampai Rp.300.000,- perhari. Kota yang paling dekat dengan desa ini adalah kota Tanjung Pinang ibu kota dari Provinsi Kepulauan Riau, setiap hari ada satu kali kapal kecil pulang pergi kekota ini. Dari segi pendidikan, masyarakat Dendun masih memiliki tingkat pendidikan rendah dan sampai tahun 2015 ini belum ada penduduk Dendun yang sarjana. Masyarakat Dendun memiliki sala satu tradisi gaya hidup konsumerisme, yakni ada tradisi untuk menghabiskan tabungan pada waktu-waktu tertentu kekota, tradisi tersebut sudah berlangsung turun temurun. Saat turun ke kota itu, masyarakat Dendun tanpa perimbangan mengeluarkan uang mereka, mereka menghabiskan tabungannya dan pergi kekota untuk kepentingan tradisi ini merupakan prestise tersendiri bagi yang melakukannya. Tradisi ini mengalahkan orientasi masyarakat, sehingga mereka tidak mampu menyekolahkan anaknya pada jenjang yang lebih tinggi. Untuk menganggulangi prilaku tersebut, maka masyarakat Dendun perlu mendapatkan motivasi untuk berorientasi masa depan, salah satunya dengan melakukan apa yang disarankan oleh Mc Clelland dengan menebarkan virus need of achievement. Pembedayaan ini dilakukan untuk itu dengan mengembangkan program-program need of achievementmemotivasi dampingan untuk produktif.
BANK GELAP DI KOTA BUKITTINGGI (RESISTENSI EKONOMI MASYARAKAT PERKOTAAN DALAM MENGHADAPI PEMODAL ETNIK LAIN) Helfi - Helfi
Islam Realitas: Journal of Islamic and Social Studies Vol 1, No 2 (2015): December 2015
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30983/islam_realitas.v1i2.2

Abstract

The difficulties in getting the allowance from the public bank have some customers try to find the alternative way in having loan which is usually called as “Bank Gelap” or “ Bank 47”. “Bank 47” which is originally come from Batak has a simple process and does not need any prerequirements. The illegal financial activity is administered in almost all area in West Sumatera and Riau. When the local economy began in the grip of other ethnics, especially those in the heart of Bukittinggi, that the ownership shifted slowly disturbed the local community. The logical consequence of the local economy mastery will bring ripples that could cause conflict, the struggle for economic resources, and larger and wider tensions. They provide range of credits from hundreds of thousand rupiah till five thousands rupiah with 20 % of bank interest. The success implications of the capital trading from Batak is transformed as lands, business place, housing and etc. Kesulitan dalam mendapatkan tunjangan dari bank umum menyebabkan beberapa pelanggan mencoba untuk menemukan cara alternatif dalam pinjaman kredit yang biasanya disebut sebagai “Bank Gelap”. “Bank 47” memiliki proses yang sederhana dan tidak memerlukan prerequirements. Pemilik “Bank 47” awalnya berasal dari suku Batak. Aktivitas keuangan ilegal diberikan di hampir semua daerah di Sumatera Barat dan Riau. Ketika ekonomi lokal mulai dirasa berada dalam cengkraman etnik imigran lain khususnya yang berada di jantung-jantung kota Bukittinggi yang secara perlahan beralihnya kepemilikan tempat perdagangan sudah merisaukan komunitas lokal. Konsekwensi logis dari penguasaan ekonomi lokal akan memunculkan riak-riak yang dapat menyulut konflik, perebutan sumber ekonomi dan ketegangan yang lebih besar dan luas. Tradisi ekonomi mereka menyediakan berbagai kredit dari ratusan ribu rupiah hingga lima ribu rupiah dengan 20% dari bunga bank. Implikasi dari keberhasilan dalam perdagangan modal dari suku Batak ditransformasikan sebagai tanah, tempat usaha, perumahan dan sebagainya.
BANK GELAP DI KOTA BUKITTINGGI (RESISTENSI EKONOMI MASYARAKAT PERKOTAAN DALAM MENGHADAPI PEMODAL ETNIK LAIN) Helfi - Helfi
Islam Realitas: Journal of Islamic and Social Studies Vol 1, No 2 (2015): December 2015
Publisher : Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1151.604 KB) | DOI: 10.30983/islam_realitas.v1i2.2

Abstract

The difficulties in getting the allowance from the public bank have some customers try to find the alternative way in having loan which is usually called as “Bank Gelap” or “ Bank 47”. “Bank 47” which is originally come from Batak has a simple process and does not need any prerequirements. The illegal financial activity is administered in almost all area in West Sumatera and Riau. When the local economy began in the grip of other ethnics, especially those in the heart of Bukittinggi, that the ownership shifted slowly disturbed the local community. The logical consequence of the local economy mastery will bring ripples that could cause conflict, the struggle for economic resources, and larger and wider tensions. They provide range of credits from hundreds of thousand rupiah till five thousands rupiah with 20 % of bank interest. The success implications of the capital trading from Batak is transformed as lands, business place, housing and etc. Kesulitan dalam mendapatkan tunjangan dari bank umum menyebabkan beberapa pelanggan mencoba untuk menemukan cara alternatif dalam pinjaman kredit yang biasanya disebut sebagai “Bank Gelap”. “Bank 47” memiliki proses yang sederhana dan tidak memerlukan prerequirements. Pemilik “Bank 47” awalnya berasal dari suku Batak. Aktivitas keuangan ilegal diberikan di hampir semua daerah di Sumatera Barat dan Riau. Ketika ekonomi lokal mulai dirasa berada dalam cengkraman etnik imigran lain khususnya yang berada di jantung-jantung kota Bukittinggi yang secara perlahan beralihnya kepemilikan tempat perdagangan sudah merisaukan komunitas lokal. Konsekwensi logis dari penguasaan ekonomi lokal akan memunculkan riak-riak yang dapat menyulut konflik, perebutan sumber ekonomi dan ketegangan yang lebih besar dan luas. Tradisi ekonomi mereka menyediakan berbagai kredit dari ratusan ribu rupiah hingga lima ribu rupiah dengan 20% dari bunga bank. Implikasi dari keberhasilan dalam perdagangan modal dari suku Batak ditransformasikan sebagai tanah, tempat usaha, perumahan dan sebagainya.
CONTRIBUTIONS OF KAMPUNG INGGRIS PARE AND ITS IMPLICATIONS FOR UNSKILLED MUSLIM MIGRANT WORKERS Helfi Helfi
Islam Realitas: Journal of Islamic and Social Studies Vol 5, No 1 (2019): June 2019
Publisher : Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (691.626 KB) | DOI: 10.30983/islam_realitas.v5i1.936

Abstract

The advantages of becoming Indonesian Muslim migrant workers abroad (known as TKI) are likely under expectation. Most of the workers engage in the informal sector without proper skills. The income generated from them is marked as the second-largest income after the energy sector. Ironically, most of them are regarded as becoming unavailable to access all form of worker rights appropriately. This research is qualitative research that aimed to describe and analyse the problem which relates to the circumstance of the people of Kediri who have the hight interest of working abroad at informal sector mainly, but without proper skills. The establishment of Kampung Inggris (Village for Learning English) located in Pare, the district of Kediri in East Java offers the people of Kediri many business opportunities since many visitors come to spend their money and time to learn English in Kampung Inggris. It is a highly potential circumstance that can be managed to transform a new economic sector behind the existing sectors such as the existing agricultural sector.  This research is qualitative in the form of field research which is narrated analytically descriptively. This study attempts to capture directly how inequality occurs in Kediri people who have a strong interest in becoming an informal worker who does not have adequate skills abroad. The development of English villages in Kediri Regency is a promising business space for indigenous people and other communities around Kediri. The presence of academic tourists to study English has become a prospective economic gap. Ranging from regional tours to culinary, from lodging to bicycle sports, from laundry to stationery. A local potential that has gone international to change the agrarian economy towards a skill-based economy with various subsectors that can be developed with various variants in it.Ngaung indahnya jadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) memang tidak semanis yang dirasakan. Terutama Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang bergerak di sector informal tanpa skill yang memadai. Mereka dipuji negara karena dianggap penyumbang devisa yang signifikan. Uang yang mengalir ke Indonesia berada pada peringkat ke dua terbesar setelah devisa dari sector migas. Di negara sana, mereka dijajah lahir dan batin, tapi ketika meninggal, mereka “dibiarkan”. Sebuah resiko yang tidak berimbang. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dalam bentuk penelitian lapangan yang dinarasikan secara deskriptif analitis. Penelitian ini mencoba memotret langsung bagaimana terjadinya ketimpangan dalam masyarakat Kediri yang mempunyai animo yang kuat untuk menjadi TKI/TKW informal yang tidak memiliki skill memadai ke luar negeri. Perkembangan kampung Inggeris  di Kabupaten Kediri menjadi ruang usaha yang menjanjikan bagi pribumi dan masyarakat lain di sekitar Kediri. Kehadiran wisatawan akademik untuk belajar bahasa Inggeris menjadi celah ekonomi yang prospektif. Mulai dari wisata daerah hingga kuliner, dari penginapan hingga olah raga sepeda, dari laundry hingga alat-alat tulis. Sebuah potensi lokal yang telah go internasional untuk mengubah ekonomi agraris menuju ekonomi berbasis skill dengan berbagai subsector yang dapat dikembangkan dengan berbagai varian di dalamnya.
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MUSLIM KEPULAUAN DENGAN PENGUATAN ACHIEVEMENT MOTIVATION UNTUK MENGATASI PRILAKU HEDONISME DALAM MASYARAKAT DENDUN KECAMATAN MANTANG KEPULAUAN BINTAN Yanti Elvita; Silfia Hanani; Helfi Helfi
HUMANISMA : Journal of Gender Studies Vol 2, No 1 (2018): June 2018
Publisher : Universitas Islam Negeri Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (406.562 KB) | DOI: 10.30983/jh.v2i1.810

Abstract

Dendun merupakan salah satu desa di kecamatan Mantang Kepulauan Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Jumlah pendudukanya pada tahun 2014 sebanyak 1035 jiwa dengan rincian laki-laki 656 orang dan perempuan 470 orang dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 273. Semua penduduk beragama Islam dan hanya ada satu masjid sebagai tempat ibadah masyarakat di desa ini.Dendun terdiri dari satu dusun, 2 RW dan 6 RT dengan luas wilayahnya 18 km2 dataran dan 67 km2 lautan.  Satu-satunya akses  transportasi ke desa ini adalah dengan transportasi laut dengan kapal kecil nelayan. Mata pencaharian secara mayoritas adalah sebagai nelayan, dengan penghasilan yang beragam mulai dari yang terendah Rp.85.000 sampai Rp.300.000,- perhari. Kota yang paling dekat dengan desa ini adalah kota Tanjung Pinang ibu kota dari Provinsi Kepulauan Riau, setiap hari ada satu kali kapal kecil pulang pergi kekota ini. Dari segi pendidikan, masyarakat Dendun masih memiliki tingkat pendidikan rendah dan sampai tahun 2015 ini belum ada penduduk Dendun yang sarjana. Masyarakat Dendun memiliki sala satu tradisi gaya hidup konsumerisme, yakni ada tradisi untuk menghabiskan tabungan pada waktu-waktu tertentu kekota, tradisi tersebut sudah berlangsung turun temurun. Saat turun ke kota itu, masyarakat Dendun tanpa perimbangan mengeluarkan uang mereka, mereka menghabiskan tabungannya dan pergi kekota untuk kepentingan tradisi ini merupakan prestise tersendiri bagi yang melakukannya. Tradisi ini mengalahkan orientasi masyarakat, sehingga mereka tidak mampu menyekolahkan anaknya pada jenjang yang lebih tinggi. Untuk menganggulangi prilaku tersebut, maka masyarakat Dendun perlu mendapatkan motivasi untuk berorientasi masa depan, salah satunya dengan melakukan apa yang disarankan oleh Mc Clelland dengan menebarkan virus need of achievement. Pembedayaan ini dilakukan untuk itu dengan mengembangkan program-program need of achievementmemotivasi dampingan untuk produktif.
Dynamics of Giving Traditional Degree Children on Khatam Al-Quran at Minangkabau Helfi; Hendri
IBDA` : Jurnal Kajian Islam dan Budaya Vol. 20 No. 2 (2022): IBDA': Jurnal Kajian Islam dan Budaya
Publisher : Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Islam Negeri Profesor Kiai Haji Saifuddin Zuhri Purwokerto Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24090/ibda.v20i2.6758

Abstract

The background of this research is that in Minangkabau, boys and girls must be good at reading the Koran. This is marked by the khatam of the Qur'an and the awarding of customary titles. but the granting of the customary title violates the general provisions. conception according to adat in Minangkabau. So the purpose of this research is to find out the process of giving customary titles to children, knowing the differences and the history of giving traditional titles to children khatam Al-Quran in Minangkabau. This research includes field research by gathering information through observation, in-depth interviews with predetermined informants. From the results of research on giving customary titles to children who graduate from the Qur'an by deliberation between mamak and bako. the title is announced or before or after the khatam qur'an celebration. the privilege of giving customary titles to them is to glorify children and is a form of traditional and religious ties. There are 2 versions of the origin of giving customary titles to children of khatam quran in Minangkabau. namely the event of the padri war and the event of the hill marapalam oath of sati
CONTRIBUTIONS OF KAMPUNG INGGRIS PARE AND ITS IMPLICATIONS FOR UNSKILLED MUSLIM MIGRANT WORKERS Helfi Helfi
Islam Realitas: Journal of Islamic and Social Studies Vol 5, No 1 (2019): June 2019
Publisher : Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (7555.14 KB) | DOI: 10.30983/islam_realitas.v5i1.936

Abstract

The advantages of becoming Indonesian Muslim migrant workers abroad (known as TKI) are likely under expectation. Most of the workers engage in the informal sector without proper skills. The income generated from them is marked as the second-largest income after the energy sector. Ironically, most of them are regarded as becoming unavailable to access all form of worker rights appropriately. This research is qualitative research that aimed to describe and analyse the problem which relates to the circumstance of the people of Kediri who have the hight interest of working abroad at informal sector mainly, but without proper skills. The establishment of Kampung Inggris (Village for Learning English) located in Pare, the district of Kediri in East Java offers the people of Kediri many business opportunities since many visitors come to spend their money and time to learn English in Kampung Inggris. It is a highly potential circumstance that can be managed to transform a new economic sector behind the existing sectors such as the existing agricultural sector.  This research is qualitative in the form of field research which is narrated analytically descriptively. This study attempts to capture directly how inequality occurs in Kediri people who have a strong interest in becoming an informal worker who does not have adequate skills abroad. The development of English villages in Kediri Regency is a promising business space for indigenous people and other communities around Kediri. The presence of academic tourists to study English has become a prospective economic gap. Ranging from regional tours to culinary, from lodging to bicycle sports, from laundry to stationery. A local potential that has gone international to change the agrarian economy towards a skill-based economy with various subsectors that can be developed with various variants in it.Ngaung indahnya jadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) memang tidak semanis yang dirasakan. Terutama Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang bergerak di sector informal tanpa skill yang memadai. Mereka dipuji negara karena dianggap penyumbang devisa yang signifikan. Uang yang mengalir ke Indonesia berada pada peringkat ke dua terbesar setelah devisa dari sector migas. Di negara sana, mereka dijajah lahir dan batin, tapi ketika meninggal, mereka “dibiarkan”. Sebuah resiko yang tidak berimbang. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dalam bentuk penelitian lapangan yang dinarasikan secara deskriptif analitis. Penelitian ini mencoba memotret langsung bagaimana terjadinya ketimpangan dalam masyarakat Kediri yang mempunyai animo yang kuat untuk menjadi TKI/TKW informal yang tidak memiliki skill memadai ke luar negeri. Perkembangan kampung Inggeris  di Kabupaten Kediri menjadi ruang usaha yang menjanjikan bagi pribumi dan masyarakat lain di sekitar Kediri. Kehadiran wisatawan akademik untuk belajar bahasa Inggeris menjadi celah ekonomi yang prospektif. Mulai dari wisata daerah hingga kuliner, dari penginapan hingga olah raga sepeda, dari laundry hingga alat-alat tulis. Sebuah potensi lokal yang telah go internasional untuk mengubah ekonomi agraris menuju ekonomi berbasis skill dengan berbagai subsector yang dapat dikembangkan dengan berbagai varian di dalamnya.
THE PROFIT OF THE PRE-EMPLOYMENT PROGRAM JOCKEY IN THE PERSPECTIVE OF SHARIA ECONOMIC LAW Beni Firdaus; Helfi Helfi; Busyro Busyro; Hendri Hendri
ULUL ALBAB Jurnal Studi Islam Vol 23, No 2 (2022): Islamic Law and Economic
Publisher : Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.18860/ua.v23i2.17490

Abstract

Pre-employment program jockey is an agent who seeks a job for the community and obtains a fee from the services. The practice is particularly carried out related to the pre-employment card program launched by the government in 2020. This article describes the practice of pre-employment jockey and to analyze sharia economic law review on the profit. This article implemented qualitative research. The primary data were obtained through interview, observation and documentation, while the analysis was conducted descriptively. The research reveals that the jockey practice has assisted people to register pre-employment card program in 2020. The assistance consisted of account registration, training, and filling survey. The incentive given to the approved people is IDR 3.550.000 but the transparency about the exact number is not precisely informed to the account owner. It can be more than the said amount or, even worse, the jockey got more incentive. This is inappropriate in sharia economic law. Ijarah principles are not applied here because there is no transparency, the willingness of account owner and justice; instead, the service contains ghulûl (corruption) and gharâr (scam) done by the jockey since what they did can be included as treason.