Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Ayat dan Hadis Tentang Pernikahan Terlarang (Telaah Yuridis, Sosiologis dan Filosofis Achmad Shobirin Hasbulloh
CBJIS: Cross-Border Journal of Islamic Studies Vol. 7 No. 2 (2025): Desember
Publisher : Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, IAI Sultan Muhammad Syafiuddin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37567/cbjis.v7i2.4214

Abstract

Penelitian ini membahas tentang ayat dan hadis yang berkaitan dengan pernikahan terlarang dengan telaah secara yuridis, sosiologis, dan filosofis untuk mengetahui jenis pernikahan terlarang secara lebih mendalam dan alasan pelarangannya. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif. Pernikahan terlarang menurut Islam adalah pernikahan yang dilarang oleh agama Islam. Umat Islam tidak dibolehkan melakukan pernikahan tersebut. Pernikahan terlarang ini terbagi menjadi 2 (dua) macam, pernikahan yang terlarang karena dzatnya (pernikahan itu sendiri) dan pernikahan yang terlarang karena terdapat syarat yang bertentangan dengan akad nikah. Pernikahan terlarang yang dibahas dalam makalah ini adalah pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yang haram dinikahi, pernikahan seorang laki-laki dengan wanita non muslimah atau non ahlul kitab, nikah mut’ah, nikah syighār, nikah tahlîl, dan nikah misyār. Ayat dan hadis mengenai pernikahan-pernikahan tersebut adalah surat al-Nisa: 22, surat, al-Nisa: 23, surat al-Baqarah: 221, surat al-Maidah: 5, surat al-Mukminun: 5-7, surat al-Nisa: 4, surat al-Rum: 21, dan sepuluh (10) hadis yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, al-Nasa’i, Ahmad bin Hanbal, Abu Daud, dan al-Suyuthi. Setelah menelaah secara yuridis, sosiologis, dan filosofis, penulis menyimpulkan bahwa alasan pelarangan beberapa pernikahan dalam Islam bukan hanya berdasarkan prinsip keadilan, namun juga berdasarkan prinsip kemaslahatan, moral, dan ketaatan kepada Allah swt. sebagai Pencipta alam.
PENDEKATAN USHUL FIQH DAN TEORI MAQASHID SYARIAH DALAM PENETAPAN HUKUM ISLAM (TEORI DAN PRAKTIK) Achmad Shobirin Hasbulloh; Jalaluddin; Fathurrahman Azhari; Fahmi Hamdi
Darussalam Vol. 25 No. 01 (2024): Darussalam : Jurnal Ilmiah Islam dan Sosial
Publisher : LP2M IAI Darussalam Martapura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58791/drs.v25i01.235

Abstract

ABSTRAK Penelitian ini membahas tentang perbandingan antara pendekatan ushul fiqh dan teori maqashid syariah dalam penetapan hukum Islam untuk mengetahui secara jelas hubungan, persamaan, dan perbedaan antara keduanya. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini adalah bahwa pengertian ushul fiqh adalah kumpulan kaidah yang bersifat global (umum) dan pembahasan yang dapat digunakan untuk menetapkan hukum. Pengertian maqashid syariah adalah tujuan dan hikmah yang maksudkan oleh pembuat syariat, yaitu Allah swt. pada setiap hukum yang ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi hamba-hamba-Nya, yakni dengan memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Ushul fiqh telah ada sejak adanya fikih. Selama pada suatu masa terdapat permasalahan fikih, ushul fiqh pasti juga telah ada. Secara esensial, maqashid syariah sudah ada sejak adanya hukum syariat. Artinya, maqashid syariah muncul bersamaan dengan turunnya al-Quran dan hadis Rasulullah saw. Menurut Ibnu ‘Asyur, maqashid syariah dapat dipahami dengan metode istiqra’ terhadap perilaku syariat, menggunakan dalil-dalil dari nash-nash al-Quran yang mempunyai kejelasan makna, dan menggunakan hadis-hadis mutawatir. Terdapat juga metode lain untuk memahami maqashid syariah yang disebutkan oleh ulama, seperti halnya metode al-munasabah (kecocokan). Maqashid syariah merupakan bagian dari ushul fiqh. Hal ini bisa diketahui secara jelas pada banyak pembahasan ushul fiqh. Menurut penulis, maqashid syariah tidak tidak bisa menjadi sumber hukum Islam yang mandiri, sebagaimana al-Quran, hadis, ijma, dan qiyas. Menurut penulis, sumber hukum Islam atau dalil syar’i yang berdekatan dengan maqashid syariah adalah mashlahah syar’iyyah. Jika kita dihadapkan dengan permasalahan fikih baru yang belum pernah dijelaskan hukumnya oleh para ulama terdahulu dan tidak bisa terjawab dengan dalil dari al-Quran, hadis, ijma, dan qiyas, maka maqashid syariah dapat menjadi pijakan pengambilan hukum, akan tetapi tidak secara langsung, melainkan melalui dalil mashlahah.
PEMIKIRAN POLITIK HASAN AL-BANNA Achmad Shobirin Hasbulloh; , Ahmadi Hasan; Masyithah Umar; Nuril Khayi’in
Darussalam Vol. 25 No. 01 (2024): Darussalam : Jurnal Ilmiah Islam dan Sosial
Publisher : LP2M IAI Darussalam Martapura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.58791/drs.v25i01.236

Abstract

ABSTRAK Penelitian ini memaparkan pemikiran politik Hassan al-Banna dan membahas pemikirannya mengenai isu-isu terpenting yang memicu perdebatan ilmiah di Mesir. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan metode deskriptif dan analisisi historis. Sejak kecil hingga lulus dari Kulliyyah Dar al-Ulum, Hasan al-Banna sangat menyukai pergerakan dakwah. Penulis meyakini bahwa perkumpulan dan kelompok yang diikuti Hasan al-Banna sangat mempengaruhi cara dan pergerakan dakwahnya, memberinya semangat kepemimpinan, dan mengembangkan kemampuan berpikir dalam dirinya untuk dapat mengabdi kepada masyarakat. Selain itu, peristiwa-peristiwa yang disaksikannya dan rasa haus masyarakat muslim untuk kembali kepada agama Allah swt. setelah tersebarnya keburukan dan kerusakan yang dibawa oleh penjajah juga menjadi penyemangat bagi Hasan al-Banna untuk melakukan dakwah dan perubahan. Hasan al-Banna mendirikan Jamaah al-Ikhwan al-Muslimin pada tahun 1928 M. Hasan al-Banna dalam akidah berpaham Asy’ari. Sedangkan dalam fikih, Hasan al-Banna bermazhab Hanafi. Menurut Hasan Al-Banna, bentuk negara yang ideal adalah khilafah. Dalam merealisasikan pandangan politiknya tentang sistem pemerintahan, Hasan al-Banna tidak menerapkannya dengan cara membabi buta. Ia memahami bahwa untuk merealisasikan pendangannya itu membutuhkan proses waktu yang panjang. Hal ini terlihat dari prinsipnya atau strateginya dengan terlebih dulu membentuk pengkaderan individu muslim, diiringi tahapan berikutnya, yakni terbentuknya keluarga muslim, lalu fase selanjutnya, yakni terbentunya negara Islam. Hingga sampai ke penghujung dan puncak perjuangan, yaitu dengan berdirinya khilafah islamiyyah. Hasan al-Banna tidak setuju terhadap konstitusi Mesir dan ingin melakukan perubahan secara total. Akan tetapi, ia kemudian menarik diri dari kritiknya terhadap konstitusi Mesir karena takut terhadap penguasa Mesir pada saat itu. Hassan al-Banna menolak demokrasi yang diserukan Barat. Hasan al-Banna menegaskan dalam risalahnya bahwa negara-negara Islam telah mengenal konsep yang lebih komprehensif daripada konsep demokrasi. Konsep tersebut dikenal dengan syura. Kata Kunci: Al-Ikwan al-Muslimun, Hasan al-Banna, Pemikiran, Politik, Siyasah
Tinjauan Teori Al-Mashlahah Al-Buthi Terhadap Hak Anak dalam Perspektif Hukum Islam dan Perjanjian Internasional Achmad Shobirin Hasbulloh; Ahmadi Hasan; Masyithah Umar
Indonesian Journal of Islamic Jurisprudence, Economic and Legal Theory Vol. 1 No. 4 (2023): Islamic Law, Religious Court System, and Judicial Decisions in Indonesia
Publisher : Sharia Journal and Education Center Publishing

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.62976/ijijel.v1i4.189

Abstract

Abstract This paper discusses children's rights in the perspective of Islamic law and international treaties and compares them using al-Buthi's al-mashlahah theory contained in his book entitled "Dlawābith al-Mashlahah fî al-Syarî'ah al-Islāmiyyah" with the aim of knowing which perspective is more accommodating to the benefit of children. This type of research is library research with a qualitative approach. According to al-Buthi, al-mashlahah becomes a proof if it is in line with maqashid al-syariah, does not contradict the Qur'an, does not contradict the Prophetic Hadith, does not contradict qiyas, and does not eliminate stronger benefits or commensurate benefits. Children's rights in the perspective of Islamic law include rights before birth and rights after birth. International treaties (Convention on the Rights of the Child) pay more attention to children's rights when they are born, so that many children's rights are forgotten. The provisions of Islamic Law regarding children's rights before and after birth are more in line with al-Buthi's al-mashlahah theory than the Convention on the Rights of the Child because they are in line with maqāshid al-syarî'ah. Children's rights should not only be in line with the child's benefit in the world, but must also be in line with the benefit for him in the hereafter. Islam has established the rights of children that benefit them in this world and in the hereafter. Keywords: Al-Buthi, Al-Mashlahah, Children's Rights, Islam, Convention Abstrak: Tulisan ini membahas hak anak dalam perspektif hukum Islam dan perjanjian internasional dan membandingkan antara keduanya menggunakan teori al-mashlahah al-Buthi yang termuat dalam kitab yang berjudul “Dlawābith al-Mashlahah fî al-Syarî’ah al-Islāmiyyah” dengan tujuan untuk mengetahui perspektif mana yang lebih mengakomodir kemaslahatan bagi anak. Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan pendekatan kualitatif. Menurut al-Buthi, al-mashlahah menjadi hujjah jika selaras dengan maqashid al-syariah, tidak bertentangan dengan al-Quran, tidak bertentangan dengan hadis nabawi, tidak bertentangan dengan qiyas, dan tidak menghilangkan kemaslahatan yang lebih kuat atau kemaslahatan yang sepadan. Hak anak dalam perspektif hukum Islam meliputi hak sebelum dilahirkan dan hak sesudah dilahiran. Perjanjian internasional (Konvensi Hak Anak) lebih memperhatikan hak anak saat telah dilahirkan saja sehingga banyak sekali hak anak yang terlupakan. Ketetapan Hukum Islam mengenai hak anak sebelum dan sesudah dilahirkan lebih sesuai dengan teori al-mashlahah al-Buthi daripada Konvensi Hak Anak karena sejalan dengan maqāshid al-syarî’ah. Hak anak seyogyanya tidak hanya sejalan dengan kemaslahatan anak di dunia, melainkan juga harus selaras dengan kemaslahatan untuknya di akhirat. Islam telah menetapkan hak anak yang bermanfaat baginya di dunia dan di akhirat. Kata Kunci: Al-Buthi, Al-Mashlahah, Hak Anak, Islam, Konvensi