Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

PERSEPSI KETUA PENGADILAN NEGERI DAN KETUA PENGADILAN AGAMA TENTANG PENINJAUAN KEMBALI (PK) PASCA PUTUSAN MK NO. 34/PUU-XI/2013 DALAM HUKUM ACARA PERDATA Basri, Bahran
Syariah: Jurnal Hukum dan Pemikiran Vol 15, No 1 (2015)
Publisher : Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (264.405 KB) | DOI: 10.18592/syariah.v15i1.543

Abstract

Since test material to the provisions of Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981on Criminal Proceedings in Mahkamah Konstitusi, Mahkahmah decided in its decision number 34 /PUU-XI / 2013, which states that the provisions was inconsistent with the Undang-Undang Dasar1945, so it does not have binding legal force. Therefore, Peninjauan Kembali (PK) in criminal cases maybe done more than once with the new circumstances or conditions found substantial novum new foundduring previous PK undiscovered. If problems associated PK novum criminal case is considered sub-stantial, and neither should Novum issues related PK in civil cases, as may be after the filing of the PKand disconnected, no new circumstances or substantial novum recently discovered that during theprevious PK undiscovered or if there is a decision of a judges mistake or a real mistake was discoveredafter PK decided. PK is an extraordinary remedy that aims to find justice and truth material. Justice cannot be limited by time or formal provision that limits that PK is only one time. Justice is a very basichuman needs, the more basic human needs of the rule of law. But in civil cases, the results of this studyindicate that the filing PK limited only once.
Penetapan Tersangka Menurut Hukum Acara Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Basri, Bahran
Syariah: Jurnal Hukum dan Pemikiran Vol 17, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (422.062 KB) | DOI: 10.18592/sy.v17i2.1972

Abstract

Abstrak: Penetapan tersangka yang dilakukan oleh kepolisian kepada seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana harus berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Persyaratan untuk dapat ditetapkan sebagai tersangka menurut undang undang ini dinilai masih kabur, sehingga menimbulkan multi interpretasi. Kemudian Mahkamah Konstitusi dalam putusannya bernomor 21/PUU-XII/2014 memberikan interpretasi yang lebih konkret terhadap Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 KUHAP yang pada pokoknya menyebutkan bahwa untuk menetapkan tersangka kepada seseorang minimal harus dipenuhi dua alat bukti. Akan tetapi putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak juga memberikan batasan lamanya seseorang menyandang status tersangka, sehingga bisa seseorang menjadi tersangka selamanya. Kondisi seperti ini tentu sangat berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran terhadap HAM, sehingga ketidakpastian hukum ini sangat merugikan dan mencederai hak dasar warga negara untuk kepastian hukum dan keadilan.
Remisi Terhadap Koruptor dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Islam Hasan, Ahmadi; Sulistyoko, Arie; Basri, Bahran
Syariah: Jurnal Hukum dan Pemikiran Vol 17, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (764 KB) | DOI: 10.18592/sy.v17i2.1973

Abstract

Penelitian ini akan membahas mengenai pelaksanaan remisi di Indonesia menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor: 174 Tahun 1999 Tentang Remisi, pada dasarnya tidak terlepas dari prinsip-prinsip pokok hukum pidana Islam. Konsep hukum pidana Islam berpangkal pada kemaslahatan untuk pencegahan (ar-radu waz-zajru) pendidikan dan pengajaran (al-Islah al-Tahzib). Tujuan pemberian Remisi di Indonesia merupakan sebagai motivator atau stimulasi untuk berkelakuan baik, untuk mengurangi dampak negatif dari hukuman yang dijatuhkan. Abstract: This study will discuss the implementation of remission in Indonesia according to Presidential Decree No. 174/1999 on Remission, basically not apart from the basic principles of Islamic criminal law. The concept of Islamic criminal law stems from the benefit for prevention (ar-radu waz-zajru) education and teaching (al-Islah al-Tahzib). The purpose of Remission in Indonesia is as a motivator or stimulation to behave well, to reduce the negative impact of the punishment imposed.keywords: Remission, law, criminal, islam, prisoners. 
Penetapan Tersangka Menurut Hukum Acara Pidana dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Bahran Basri
Syariah: Jurnal Hukum dan Pemikiran Vol 17, No 2 (2017)
Publisher : Universitas Islam Negeri Antasari Banjarmasin

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (422.062 KB) | DOI: 10.18592/sy.v17i2.1972

Abstract

Abstrak: Penetapan tersangka yang dilakukan oleh kepolisian kepada seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana harus berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Persyaratan untuk dapat ditetapkan sebagai tersangka menurut undang undang ini dinilai masih kabur, sehingga menimbulkan multi interpretasi. Kemudian Mahkamah Konstitusi dalam putusannya bernomor 21/PUU-XII/2014 memberikan interpretasi yang lebih konkret terhadap Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 KUHAP yang pada pokoknya menyebutkan bahwa untuk menetapkan tersangka kepada seseorang minimal harus dipenuhi dua alat bukti. Akan tetapi putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak juga memberikan batasan lamanya seseorang menyandang status tersangka, sehingga bisa seseorang menjadi tersangka selamanya. Kondisi seperti ini tentu sangat berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran terhadap HAM, sehingga ketidakpastian hukum ini sangat merugikan dan mencederai hak dasar warga negara untuk kepastian hukum dan keadilan.
Penetapan Tersangka Menurut Hukum Acara Pidana Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia Bahran Bahran
JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES Vol. 5 No. 2 (2021)
Publisher : Fakultas Syariah UIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (845.512 KB) | DOI: 10.18592/jils.v5i3.6048

Abstract

Abstract: The determination of a suspect by the police to a person suspected of being a criminal act must be based on the provisions stipulated in Law Number 8 of 1981 concerning the Criminal Procedure Code. The requirements to be named a suspect according to this law are still considered unclear, giving rise to multiple interpretations. Then the Constitutional Court in its decision numbered 21/PUU-XII/2014 gave a more concrete interpretation of Article 1 number 14, Article 17 and Article 21 of the Criminal Procedure Code which basically states that to assign a suspect to a person at least two pieces of evidence must be met. However, this decision of the Constitutional Court does not also provide a limit for the length of time a person holds the status of a suspect, so that someone can become a suspect forever. Such conditions have the potential for abuse of authority and violations of human rights, so that this legal uncertainty is very detrimental and injures the basic rights of citizens to legal certainty and justice. Abstrak: Penetapan tersangka yang dilakukan oleh kepolisian kepada seseorang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana harus berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Persyaratan untuk dapat ditetapkan sebagai tersangka menurut undang undang ini dinilai masih kabur, sehingga menimbulkan multi interpretasi. Kemudian Mahkamah Konstitusi dalam putusannya bernomor 21/PUU-XII/2014 memberikan interpretasi yang lebih konkret terhadap Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 KUHAP yang pada pokoknya menyebutkan bahwa untuk menetapkan tersangka kepada seseorang minimal harus dipenuhi dua alat bukti. Akan tetapi putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak juga memberikan batasan lamanya seseorang menyandang status tersangka, sehingga bisa seseorang menjadi tersangka selamanya. Kondisi seperti ini tentu sangat berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran terhadap HAM, sehingga ketidakpastian hukum ini sangat merugikan dan mencederai hak dasar warga negara untuk kepastian hukum dan keadilan.
KONSEP HUKUMAN DALAM ISLAM (Telaah Ayat Ahkam tentang Hukum dalam Perspektif Hukum Tata Negara) Bahran Basri; Nisa Aulia Rahmah
JOURNAL OF ISLAMIC AND LAW STUDIES Vol 1, No 1 (2017)
Publisher : Fakultas Syariah UIN Antasari

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (863.48 KB) | DOI: 10.18592/jils.v1i1.2551

Abstract

ABSTRACT: The ultimate goal of God's law is to preserve the benefits of human beings, whether it is for the benefit of themselves or for the public. The act deemed guilty and no suggestion to work shall be punished in accordance with the prevailing provisions. Therefore, this study is to examine how the concept of punishment in Tafsir ayat Ahkam and views of the Law of State. In this study uses a comparative analysis of three interpretations, namely the interpretation of Al-Misbah, the interpretation of Al-Qurthubi, and Ibn Katsir.The data used to make this paper is the primary data derived from the Qur'an and the secondary data is sourced from other sources related to this problem. This study is done by interpretation method through comparison techniques between verses of the Qur'an, or concerning the editorial of different sentences but with the same problem, and the opinions of the scholars in the interpretation. Based on the results of the study of QS.Yusuf verse 33 and verse 42 and QS.Al-Maidah verse 33 shows about the punishment for those who forget the provisions Allah. ABSTRAK: Tujuan utama disyariatkannya hukum oleh Allah untuk melindungi kemaslahatan manusia, baik untuk kemaslahatan diri sendiri ataupun orang banyak. Perbuatan yang dianggap bersalah dan tidak ada anjuran untuk mengerjakan maka akan dihukum sesuai ketentuan yang berlaku. Maka, penelitian ini untuk menelaah bagaimana konsep hukuman dalam Tafsir ayat Ahkam dan pandangan Hukum Tata Negara. Dalam penelitian ini menggunakan analisis komparatif terhadap tiga tafsir yaitu tafsir Al-Misbah, tafsir Al-Qurthubi, dan Ibnu Katsir.Data yang digunakan untuk membuat makalah ini adalah data primer bersumber dari Al-Qur’an dan data sekunder bersumber dari sumber lain yang berkaitan mengenai masalah ini.Penelitian ini dilakukan dengan metode penafsiran melalui teknik perbandingan antar ayat-ayat Al-Qur’an, ataupun mengenairedaksi kalimat yang berbeda tetapi dengan masalah yang sama, dan berbagai pendapat para ulama dalam penafsiran.Berdasarkan hasil penelitian dari QS.Yusuf ayat 33 dan ayat 42 serta QS.Al-Maidah ayat 33 menunjukan mengenai hukuman bagi orang-orang yang lupa terhadap ketentuan Allah.
Sirri Marriage Celebration and Its Impact on Social Change in Banjarese Community, South Kalimantan Anwar Hafidzi; Bahran Bahran; Fuad Luthfi; Rusdiyah Rusdiyah; Mohd. Hatta Mohamed Ali; Ali Banaeian Esfahani
Al-Ahkam Vol 32, No 2 (2022): October
Publisher : Faculty of Sharia and Law, Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21580/ahkam.2022.32.2.12789

Abstract

This study seeks to reveal that sirri marriages, which are usually secret, in the Banjar community are carried out openly and are carried out by walimah 'ursy (wedding ceremonies). In contrast to other studies, most of them only discuss the law of unregistered marriage and its legality in Indonesia. This study tends to pay more attention to aspects of habits and shifts in the meaning of the sirri marriage. The method used in this study is empirical with an ethnographic-phenomenological approach to the celebration of sirri marriages in the Banjar community, South Kalimantan. The results of this study prove that the legality of sirri marriages is illegal in Indonesia State because it is not recorded at the Office of Religious Affairs. However, aspects of the habit of unregistered marriages and holding wedding celebrations in the Banjar community,  make sirri marriages "as if" they have legal rights in society based on social norms.
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KAUM DISABILITAS DALAM PEMILU DI INDONESIA Arie Sulistyoko; Bahran Bahran; Fauziyah Hayati; Hayatun Na’imah; Anwar Hafidzi
JOURNAL OF LAW AND NATION Vol. 2 No. 1 (2023): FEBRUARI
Publisher : INTELIGENSIA MEDIA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Like humans in general, people with disabilities also have rights in life, one of which is the right to vote. People with disabilities can also vote or participate in elections, like humans in general, people with disabilities are also entitled to get election socialization, special data collection, special polling stations, special ballots, and also have the right to get a companion. Problems begin to arise when there is no protection for people with disabilities related to secret ballots. The second is how the government's efforts to fulfill political rights for people with disabilities. The purpose of this research is to find out about legal protection for people with disabilities related to secret ballots and to find out the views of positive law and Islamic law on political rights for people with disabilities. This research is normative juridical legal research using conceptual approaches and statutory approaches. The results of this study found that the government is obliged to provide legal protection for people with disabilities in elections. The government is obliged to provide different facilities for people with disabilities related to secret ballots. Islam does not differentiate them among other humans. Because what distinguishes them is only the level of piety to God Almighty. Islam is very concerned about their rights and obligations. Legislation also regulates the protection of people with disabilities in their political rights, such as Article 28D paragraph (1) of the 1945 Constitution, Article 4 paragraph (1) of Law 8/2016 and Article 43 of Law Number 39 of 1999 concerning Human Rights.
Implementasi Nilai Dakwah Melalui Toleransi Beragama di Pondok Pesantren Nor Ipansyah; Jalaluddin Jalaluddin; Bahran Bahran; Akhmad Sukris Sarmadi; Nadiyah Nadiyah; Rusdiyah Rusdiyah; Karimuddin Abdullah Lawang
At-Ta'dib Vol. 19 No. 1 (2024): Islamic Educational Institutions and Their Dynamics in Facing the Times.
Publisher : Fakultas Tarbiyah, Universitas Darussalam Gontor

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21111/attadib.v19i1.11968

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi nilai dakwah melalui toleransi beragama di pondok pesantren di Provinsi Kalimantan Selatan. Hal ini penting dipahami karena tudingan yang mengatakan bahwa pondok pesantren di Kalimantan Selatan masih rawan tertular paham radikal keagamaan. Metodologi yang dipakai ini merupakan penelitian lapangan, sumber data berupa hasil wawancara dengan pimpinan pondok pesantren dan juga para guru pengasuh pondok pesantren yang berada dalam wilayah Kalimantan Selatan terkait isu-isu toleransi beragama. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif dengan pendekatan sosiologi. Hasil penelitian menunjukan bahwa implementasi nilai dakwah melalui toleransi beragama di pondok pesantren dalam Provinsi Kalimantan Selatan berjalan dengan sangat baik. Pemahaman para usataz dan ustazah tentang toleransi beragama dan berkeyakinan semuanya merujuk kepada ayat Al-Quran dan contoh perilaku kebaikan Nabi Muhammad terhadap orang-orang non muslim. Di samping itu, negara Indonesia yang berdasarkan atas Pancasila, UUD 1945, dan UU di bawahnya juga menjadi rujukan ketika para ustaz dan ustazah menjelaskan toleransi beragama. Toleransi beragama itu diimplementasikan dengan mempersilahkan kepada penganut agama lain untuk mendirikan tempat ibadah mereka di tengah masyarakat muslim, termasuk melakukan segenap aktivitas keagamaan lainnya. Tudingan bahwa pondok pesantren di Kalimantan Selatan telah terkontaminasi paham radikal tidak terbukti. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang mengkaji tentang toleransi beragama di pondok pesantren dalam Provinsi Kalimantan Selatan, sehingga menjadi dasar kebijakan terhadap perumusan peraturan terhadap lembaga pendidikan.