cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 1,647 Documents
ALAT BUKTI KETERANGAN TERDAKWA DAN KEKUATAN PEMBUKTIANNYA MENURUT PASAL 183 KUHAP Asimin, Izmi Afifurahman K. D.
LEX CRIMEN Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kekuatan hukum alat bukti keterangan terdakwa dalam hukum pidana dan bagaimana pembuktian terhadap alat bukti keterangan terdakwa menurut Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Alat bukti keterangan terdakwa dalam persidangan merupakan salah satu syarat sahnya hakim dalam menjatuhkan vonis atau putusan, untuk itu perlu ditambahkan yakni alat bukti seperti (keterangan saksi, keterangan ahli, petunjuk) diambil salah satu. Kekuatan hukum terhadap alat bukti dalam hukum pidana (KUHAP) sebagai obyek materiil seperti barang atau benda ini dipandang lebih akurat nilainya, sebaliknya barang bukti materiil ini tidak ada nilainya apabila tidak diidentifikasi oleh para saksi dan terdakwa, sehingga memperkuat keyakinan hakim yang timbul dari penguatan alat bukti tersebut. 2. Pembuktian tentang benar atau tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana, di mana hak asasi manusia dipertaruhkan. Alat bukti keterangan terdakwa bermakna lebih luas dibanding alat bukti yang lain, karena keterangan terdakwa meliputi pengakuan dan pengingkaran dan menyerahkan penilaian kepada hakim tentang apa yang dilakukan dalam peristiwa pidana.Kata kunci: Alat bukti, keterangan, terdakwa, kekuatan pembuktian.
PROSES PENYELESAIAN SENGKETA HARTA WARIS ATAS TANAH PADA PENGADILAN NEGERI TOBELO (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TOBELO NO. 09/Pdt.G./2014/PN.TOB) Hangewa, Eksanti
LEX CRIMEN Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuannya dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah landasan hukum pembagian waris dalam Hukum Positif dan bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menentukan pembuktian dan putusan terhadap perkara warisan dan bagaimanakah akibat hukum dari putusan Pengadilan Negeri Tobelo nomor : 09/Pdt.G./2014/PN.TOB. Dengan menggunakan metode penelitian normatif, disimpulkan : 1. Landasan Hukum Waris menurut KUHPerdata adalah Pasal 830 KUHPerdata menyebutkan, bahwa Pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Kematian di sini adalah kematian alamiah (wajar), dan landasan Hukum islam waris ada beberapa ayat Alquran yang pembagian harta warisan terdapat dalam QS An nissa’ (4) dan dapat ditambahkan satu ayat dalam QS Al Anfal (8), Sedangkan Sistem kewarisan Adat di Indonesia ada tiga macam yaitu : Sistem Kewarisan Individual, Sistem Kewarisan Kolektif, dan Sistem Kewarisan Mayorat. 2. Pertimbangan hakim dalam memutuskan putusan No.09/Pdt.G/2014/PN/Tob telah sesuai dengan unsur keadilan, karena Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan bukti-bukti yang di tunjukkan Penggugat maupun Tergugat. Pertimbangan Hakim dalam menyelesaikan masalah hukum sengketa harta waris antara para Penggugat dan Tergugat dikabulkan untuk sebagian dan menolak untuk untuk selain dan selebihnya, karena Penggugat tidak mampu membuktikan dalil gugatannya bahwa objek sengketa adalah harta peninggalan Wilena yang belum dibagi waris, sementara para Tergugat telah mampu membuktikan objek sengketa merupakan miliknya yang diperoleh dari orang tuanya.Kata kunci : Pertimbangan hakim, akibat hukum
PERAN PPATK DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Wattie, Amelia Fransisca
LEX CRIMEN Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penyidikan terhadap pelaku tindak pidana pencucian uang dan apa peran PPATK dalam penyelidikan tindak pidana pencucian uang. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka penelitian ini dapat disimpulkan: 1. Dibentuknya lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam mencegah dan memberantas pencucian uang dimaksudkan untuk tindakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, sehingga dapat dijadikan sebagai  pedoman baku dalam upaya menanggulangi tindak pidana pencucian uang. Dalam melaksanakan tugas pokoknya itu, PPATK menganggap perlu kerja sama dengan Penyedia Jasa Keuangan untuk mendeteksi kegiatan pencucian uang karena Penyedia Jasa Keuangan dianggap sebagai lahan yang subur oleh para pelaku tindak pidana pencucian uang dalam upaya mengaburkan asal-usul dana yang dimilikinya. Dalam hal pelaksanaan perannya itu, PPATK mewajibkan Penyedia Jasa Keuangan untuk melaksanakan berbagai prinsip atau ketentuan yang diyakini dapat memerangi praktik ilegal tindak pidana pencucian uang. 2. Dibentuknya lembaga yang tidak mempunyai kemampuan menyidik ( PPATK) adalah dimaksudkan untuk menghidarkan terjadinya tumpang tindih kewenangan dengan lembaga yang mempunyai kewenangan untuk melakukan penyelidikan yakni lembaga kepolisian. Kata kunci: Penyidikan, pencucian uang
PENYELESAIAN KREDIT MACET MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 10 TAHUN 1998 TENTANG PERBANKAN Goni, Ravando Yitro
LEX CRIMEN Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan dari para pihak baik kreditur maupun debitur dalam suatu perjanjian kredit ditinjau dari Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya kredit macet di lingkungan perbankan dan bagaimana cara mengatasinya.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif disimpulkan: 1. Kedudukan para pihak dalam hal ini, antara pihak nasabah selaku debitur dengan pihak bank selaku kreditur dalam suatu perjanjian kredit memiliki  kekuatan penawaran dan tanggung jawab yang seimbang atau sama. Karena masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya sendiri. Kedudukan bank menjadi kuat hanya selama proses permohonan kredit dilakukan hal tersebut karenakan pada saat pembuatan perjanjian kredit calon nasabah debitur sangat membutuhkan bantuan kredit dari bank. Sedangkan kedudukan nasabah menjadi kuat apabila setelah kredit diberikan karena banyak bergantung pada intergritas nasabah debitur. 2. Faktor penyebab terjadinya kredit macet yaitu berasal dari nasabah dan berasal dari bank. Pertama, faktor yang berasal dari nasabah yaitu nasabah menyalahgunakan kredit, nasabah kurang mampu mengelola usahanya, nasabah beritikad tidak baik. Kedua, faktor yang berasal dari bank yaitu kualitas pejabat bank, persaingan antar bank, hubungan intern bank, pengawasan bank. Kemudian cara penyelesaian kredit macet yaitu: penyusunan pedoman minimum kebijaksanaan perkreditan, penyempurnaan sistem informasi kredit dan daftar kredit macet, pencantuman debitur macet dalam daftar orang yang tidak boleh menjad pengurus bank. Kata kunci: Penyelesaian, kredit macet, perbankan.
KEWENANGAN PENUNTUTAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN KEJAKSAAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA Paonganan, Rangga Trianggara
LEX CRIMEN Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan bagaimanakah kewenangan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi dikaitkan dengan kewenangan penuntutan yang dimiliki Kejaksaan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia.  Berdasarkan metode penelitisan yuridis normatif disimpulkan bahwa: 1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang sifatnya konstitusional walaupun tidak disebutkan secara jelas dalam konstitusi negara yaitu UUD 1945. KPK dibentuk dengan melihat sifat dari korupsi itu sendiri yaitu merupakan kejahatan luar biasa, sehingga diperlukan suatu lembaga yang independen untuk memberantas korupsi di Indonesia. Latar belakang terbentuknya KPK bukanlah karena desain konstitusional yang diartikan secara kaku, tetapi lebih kepada isu insidentil dalam negara dan kehendak bersama dari bangsa Indonesia untuk memerangi tindak pidana korupsi. Kedudukan KPK sebagai salah satu lembaga negara bantu adalah independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, hal ini dimaksudkan agar dalam memberantas korupsi KPK tidak mendapatkan intervensi dari pihak manapun. Terbentuknya KPK juga merupakan jawaban atas tidak efektifnya kinerja lembaga penegak hukum selama ini dalam memberantas korupsi, yang terkesan berlarut-larut dalam penanganannya bahkan terindikasi ada unsur korupsi dalam penanganan kasusnya. 2. Kewenangan penuntutan yang diberikan oleh UU kepada KPK merupakan kewenangan yang sah. UU tentang Kejaksaan RI merupakan UU yang mengatur secara umum keberadaan dan kewenangan Jaksa dan UU Kejaksaan tersebut dapat dikesampingkan dengan UU KPK yang merupakan aturan khusus. Kewenangan penuntutan pada KPK adalah konstitusional, hal ini dipertegas dengan sejumlah putusan dari Mahkamah Kontitusi. Kewenangan penuntutan tidak dapat dimonopoli oleh Kejaksaan, dengan melihat bahwa Kejaksaan masih berada dalam lingkup eksekutif/pemerintah sehingga independensinya masih dipertanyakan. Hal ini dapat dilihat dari Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sehingga dapat memungkinkan adanya intervensi politik.Sehingga kewenangan penuntutan yang ada pada KPK sudah tepat karena lembaga ini bergerak secara independen tanpa intervensi kekuasaan manapun. Kata kunci: komisi pemberantasan korupsi
BATAS-BATAS BERLAKUNYA KETENTUAN PIDANA DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGANAN MENURUT TEMPAT (PASAL 2 SAMPAI 8 KUHP) DARI ASPEK PERLINDUNGAN TERHADAP WARGA NEGARA INDONESIA DI LUAR NEGERI Walintukan, Syalom
LEX CRIMEN Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pengaturan batas-batas berlakunya ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan menurut tempat dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 8 KUHP dan bagaimana pengaturan dalam Pasal 2 sampai Pasal 8 KUHP dilihat dari aspek perlindungan terhadap Warga Negara Indonesia yang menjadi korban kejahatan di luar wilayah Indonesia dan pelakunya bukan Warga Negara Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Pengaturan batas-batas berlakunya ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan menurut tempat dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 8 KUHP, yaitu: 1) dalam Pasal 2 diatur mengenai asas territorial sedangkan dalam Pasal 3 diatur perluasan asas territorial yaitu terhadap kendaraan air dan pesawat udara Indonesia; 2) dalam sebagian dari Pasal 4 diatur asas nasional pasif (perlindungsn) sedangkan dalam Pasal 7 diatur perluasan terhadap asas nasional pasif (personal) ini; 3) dalam Pasal 5 diatur asas nasional aktif  (personal) sedangkan dalam Pasal 8 diatur perluasan asas nasional aktif (personal) ini; dan 4) dalam sebagian dari rumusasn Pasal 4 diatur mengenai asas universal. 2. Peristiwa di mana seorang WNI menjadi korban kejahatan (victim) di luar Wilayah Indonesia di suatu negara asing – juga bukan terjadi di kendaraan air atau pesawat udara indonesia, juga pelakunya bukan seorang WNI, juga bukan persoalan meterai/merek/surat hutang yang dikeluarkan/digunakan/menjadi tanggungan Pemerintah Indonesia, serta juga bukan kasus pemalsuan mata uang/uang kertas atau pembajakan di laut atau di pesawat udara merupakan peristiwa yang bukan menjadi kompetensi pengadilan Indonesia untuk memeriksa dan memutusnya.Kata kunci: Batas-batas Berlakunya Ketentuan Pidana, Peraturan Perundang-undangan, Menurut Tempat, Aspek Perlindungan, Warga Negara Indonesia di Luar Negeri.
PENYALAHGUNAAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR DALAM PENGATURAN HUKUM DI INDONESIA Kamuh, Henry
LEX CRIMEN Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap anak dibawah umur akibat penyalahgunaan seksual serta penegakan hukum (Law Enforcement) terhadap pelaku tindak pidana penyalahgunaan seksual terhadap anak dibawah umur.Pertama,Undang-Undang No 23 Tahun 2002 menjadi dasar bagi dan pedoman melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi serta bagaimana Kitab Undang-undang Hukum Pidana mengatur ketentuan pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak dan, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pun mengatur tentang penegakan hukum terhadap kekerasan seksual terhadap anak pada umumnya bukan bagi anak yang tereksploitasi secara sexual. Metode penelitian yang digunakan yaitu metodologi penelitian hukum normatif dan dapat disimpulkan bahwa setiap upaya penanggulangan terhadap tindak pidana kekerasan seksualterlebih khusus bagi anak yang di eksploitasi dalam dunia industri seks komersial tidaklah lepas dari upaya penegakan hukum oleh aparat penegak hukum dan hubungannya dengan lembaga-lembaga independen lainnya baik dari para medis, Komisi Perlindungan Anak, Lembaga Swadaya Masyarakat, Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Wanita serta pendidikan dan sosialisasi terhadap masyarakat. Kata kunci: Sexual, dibawah umur
PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU CYBER CRIME YANG MENYEBARKAN ISU SUKU, RAS, AGAMA DAN ANTAR GOLONGAN (SARA) MELALUI MEDIA SOSIAL DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG ITE NOMOR 19 TAHUN 2016 Leuwol, Tessalonicha
LEX CRIMEN Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana peraturan perUndang-Undangan yang mengatur tentang Isu Suku, Ras, Agama dan Antar Golongan (SARA) dan bagaimana Penerapan sanksi pidana terhadap pelaku Tindak Pidana Cyber Crimeyang Menyebarkan Isu Suku Ras Agama Dan Antar Golongan (Sara) Melalui Sosial Media berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Secara umum, Penyebaran/penistaan Suku, Ras, Agama dan Antar Golongan (SARA) peraturan serta penerapan sanksi pidananya telah jelas didalam pasal 156 dan 156a Kitab Undang-undang Hukum Pidana.  Pasal ini terletak pada Buku II dan Bab V tentang ketertiban umum. Penyebaran/penistaan Isu SARA yang dilakukan di situs jejaring sosial diatur dalam pasal 28 ayat (2) Undang-undang No.11 Tahun 2008 J.o pasal 45a ayat (2) Undang-undang No.19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.2. Menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau  permusuhan individu dan/atau kelompok tertentu berdasarkan atas Suku, Ras, Agama dan Antar Golongan (SARA).Kata kunci: Penerapan Sanksi Pidana, Pelaku Cyber Crime,  Menyebarkan Isu Suku, Ras, Agama dan Antar Golongan (Sara), Sosial Media.
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK DALAM PELAKSANAAN PIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN ANAK Posumah, Bianca Reity
LEX CRIMEN Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana penyelenggaraan peradilan pidana anak di Indonesia dan bagaimana perlindungan hukum terhadap anak dalam pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan anak, di mana dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Penyelenggaraan peradilan pidana anak di Indonesia dilaksanakan berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, untuk memberikan perlindungan dan jaminan kepada anak untuk melaksanakan hak-haknya terutama agar anak dapat tumbuh dan berkembang baik fisik, mental dan sosial. Penyelenggaraan peradilan pidana anak wajib diupayakan diversi, yakni mengalihkan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak pelaku tindak pidana. 2. Perlindungan hukum terhadap anak dalam pelaksanaan pidana di Lembaga Pemasyarakatan Anak diberikan dalam bentuk pembinaan atau bimbingan. Karena pembinaan atau bimbingan merupakan sarana yang mendukung keberhasilan negara menjadikan anak didik pemasyarakatan menjadi anggota masyarakat yang baik, melalui pembinaan pribadi untuk membangkitkan rasa harga diri dan mengembangkan rasa tanggung jawab untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan yang tentram dan sejahtera dalam masyarakat.Kata kunci: anak; lembaga pemasyarakatan;
PENGARUH MEDIA ELEKTRONIK TERHADAP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA Tambuwun, Billy Brian
LEX CRIMEN Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana ketentuan pidanab bagi pelaku kejahatan media elektronik terhadap anak sebagai korban menurut hukum positif Indonesia dan bagaimana perlindungan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana akibat dari pengaruh media elektronik.Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pada pasal 27 ayat 1 berbunyi ”Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”. Undang – Undang nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi menjerat bagi setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi (kecuali untuk kepentingan pribadi). Ketentuan tentang larangan kepemilikan produk pornografi dinyatakan dalam pasal 6 bahwa Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi kecuali diberi kewenangan oleh perUndang - Undangan. UU No 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, Pasal 57 jo. 36 (5) mengancam pidana terhadap SIARAN yang (a) bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong, (b) menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau (c) mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan. 2. Terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, UU No. 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan anak, maka menurut Undang - Undang ini tidak selalu anak pelaku tindak pidana harus mendapatkan hukuman penjara. Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 32 UU No. 11 tahun 2012, bahwa: Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana, Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat sebagai berikut: anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan, diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih. Kata kunci:  Media elektronik, tindak pidana, anak.

Page 25 of 165 | Total Record : 1647


Filter by Year

2012 2024


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Crimen Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol. 2 No. 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue