cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 1,647 Documents
KAJIAN HUKUM TENTANG KEPEMILIKAN MODAL TERHADAP BADAN USAHA MILIK NEGARA MENJADI BADAN USAHA MILIK SWASTA Atikah, Januwianti
LEX CRIMEN Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kepemilikan modal Negara pada BUMN sebagaimana diatur oleh Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan bagaimana status hukum perusahaan swasta yang modalnya dimiliki oleh perusahaan BUMN. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Kepemilikan modal negara pada BUMN merupakan bentuk penyertaan modal dari kekayaan negara yang dipisahkan, sehingga kekayaan itu sendiri berubah menjadi kekayaan BUMN dalam rangka mencapai maksud dan tujuan pendirian BUMN. Kepemilikan modal oleh negara dapat berupa keseluruhan modal perusahaan berasal dari penyertaan negara maupun berdasarkan kualifikasi, minimal 51% (lima puluh satu persen) modalnya dimiliki oleh negara, maka dikatakan sebagai perusahaan BUMN yang bentuk-bentuk atau jenis-jenisnya terdiri atas Perusahaan Perseroan (Persero), dan Perusahaan Umum (Perum). 2. Tidak ada larangan dalam peraturan perundang-undangan suatu perusahaan BUMN memiliki sejumlah perusahaan anak, dan perusahaan BUMN tersebut merupakan perusahaan induk dalam suatu grup atau kelompok usaha berbentuk Holding Company. Perusahaan-perusahaan anak yang modalnya baik seluruh maupun sebagian besar serta sebagian kecil saham-sahamnya dimiliki oleh perusahaan-perusahaan BUMN, akan tetapi dalam pelaporan keuangannya dimasukkan sebagai bagian dalam neraca konsolidasi. Kata kunci: Kepemilikan modal, badan usaha milik negara, badan usaha milik swasta
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGGUNA IJIN TRAYEK ANGKUTAN UMUM BERDASARKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 6 TAHUN 2011 DI KABUPATEN MINAHASA UTARA Abraham, Marsella Priscilia
LEX CRIMEN Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum terhadap pengguna ijin trayek berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2011 tentang retribusi daerah dan bagaimana perlindungan hukum terhadap pengguna ijin trayek berdasarkan Undang-Undang No. 9 tahun 2015 jo. Undang-Undang No. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah.  Dengan menggunakan metode penelitianyuridis normatif, disimpulkan: 1. Undang-Undang Nomor 9 tahun 2015, Jo. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan tentang klasifikasi urusan pemerintahan. Berdasarkan penjelasan Urusan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar pasal 12 ayat (2) angka I adalah tentang “perhubungan”, Pemerintah Daerah berhak untuk mengurus permasalahan yang terjadi sekarang di Kabupaten Minahasa Utara, yaitu terkait dengan pembekuan dan pencabutan izin trayek berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 98 tahun 2013 tentang Standar Pelayanan Minimal Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Dalam Trayek. 2. Kurang perhatiannya Pemerintah terhadap keluhan-keluhan atau masalah yang dihadapi oleh Masyarakat khususnya terhadap pengguna izin trayek yang izinnya dibekukan atau dicabut. Dimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 98 tahun 2013, tentang Perusahaan angkutan umum yang menyelenggarakan angkutan orang dalam trayek wajib memenuhi Standar Pelayanan adalah “Paling Tinggi Umur Kendaraan 15 (Lima Belas) Tahun Atau Ditetapkan Pemberi Izin Sesuai Dengan Kondisi Daerah”.Kata kunci: Perlindungan Hukum, Pengguna,  Ijin Trayek,  Angkutan Umum.
PERINTAH JABATAN DAN PERINTAH JABATAN TANPA WEWENANG DALAM PASAL 51 KUH PIDANA Sondakh, Heindra
LEX CRIMEN Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perintah jabatan dalam Pasal 51 ayat (1) KUH Pidanadan bagaimana perintah jabatan tanpa wewenang dalam Pasal 51 ayat (2) KUH Pidana. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian yuridis normative dan dapat disimpulkan, bahwa: 1. Substansi (materi pokok) dari “perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang” adalah: pejabat, penguasa, pegawai negeri. Seorang pejabat memiliki wewenang memberikan perintah tertentu harus dilihat dari undang-undang yang menjadi dasar hukum dari jabatan yang bersangkutan. Untuk adanya perintah jabatan tidak perlu bahwa antara yang memberi perintah dan yang diperintah ada hubungan atasan-bawahan, dan juga yang diperintah tidak perlu harus seorang pegawai negeri. 2. Substansi dari perintah jabatan tanpa wewenang, yaitu perintah jabatan tanpa wewenang ini pada dasarnya tidak dapat melepaskan orang yang diperintah dari pidana.  Pengecualian terhadap ketentuan umum mengenai perintah jabatan yang tanpa wewenang ini hanyalah apabila yang diperintah memenuhi dua syarat yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (2) KUHPidana, yaitu: Jika yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang; dan, Pelaksanaan perintah itu termasuk dalam lingkungan pekerjaan orang yang diperintah. Kata kunci: Perintah, Jabatan, Tanpa Wewenang
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERBUATAN CHEAT/HACKING DALAM SISTEM GAME ONLINE SEBAGAI PERBUATAN PIDANA BERDASARKAN UU NOMOR 11 TAHUN 2008 Sidete, Kelvin Immanuel August
LEX CRIMEN Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah ketentuan hukum yang mengatur tentang program cheat/hacking yang terdapat dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik dan bagaimana proses hukum bagi pelaku program cheat/hacking dalam game online menurut KUHAP. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Sebuah tindakan cheat/hacking dalam sebuah sistem game online adalah sebagai suatu perbuatan pidana yang diatur dalam pasal 33, pasal 30 ayat (3), dan pasal 34 ayat (1). 2. Perkara tindak pidana pelaku program cheat/hacking dalam game online dapat di proses oleh penyidik pejabat polisi Negara RI atau pejabat PNS tertentu di lingkungan pemerintah yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik (KOMINFO), dengan menggunakan Undang-Undang  RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaski Elektronik yang terdapat dalam pasal 33 junto pasal 30 ayat (3) junto pasal 34 ayat (1).Kata kunci: Tinjauan yuridis, perbuatan cheat/hacking, game online, perbuatan pidana
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA TERHADAP SAKSI DAN KORBAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN Ramli, M. Akbar
LEX CRIMEN Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimanakah penyidikan tindak pidana saksi dan korban menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana dan bagaimanakah tindak pidana terhadap saksi dan korban menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 yang dengan metode penelitian hukum normatif disimpulkan: 1. Penyidikan tindak pidana terhadap sanksi dan korban dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana oleh Penyidik pejabat polisi negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Dalam melakukan tugasnya penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Khusus untuk korporasi yang melakukan tindak pidana terhadap saksi dan korban maka penyidikan, dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. 2. Tindak pidana terhadap saksi dan korban yang memerlukan penyidikan oleh penyidik seperti: a. Perbuatan memaksakan kehendaknya dengan menggunakan kekerasan atau cara tertentu, yang menyebabkan saksi dan/atau korban tidak memperoleh Perlindungan sehingga tidak dapat memberikan kesaksiannya pada setiap tahap pemeriksaan dan akibat perbuatan tersebut menimbulkan luka berat atau kematian pada saksi dan/atau korban; b. Perbuatan yang menghalang-halangi secara melawan hukum sehingga saksi dan/atau korban tidak memperoleh Perlindungan atau bantuan; c, Perbuatan yang menyebabkan saksi dan/atau korban atau keluarganya kehilangan pekerjaan karena memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan, d. Perbuatan yang menyebabkan dirugikannya atau dikuranginya hak saksi dan/atau korban karena memberikan kesaksian yang benar dalam proses peradilan; e. Perbuatan secara melawan hukum memberitahukan keberadaan saksi dan/atau korban yang sedang dilindungi dalam suatu tempat kediaman sementara atau tempat kediaman baru.Kata kunci: penyidikan; saksi dan korban;
MENGHALANGI PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN UNTUK KEPENTINGAN ORANG LAIN MENURUT PASAL 221 AYAT (1) KUHPIDANA Tulandi, Rendy A. Ch.
LEX CRIMEN Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana Penyebab Terjadinya Suatu Kejahatanyang ditutupi untuk mempersulit proses penyidikan dan penuntutan dan bagaimana akibat hukum terhadap orang-orang yang menghalangi proses penyidikan dan penuntutan.  Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode penelitian yuridis normatif sehingga dapat disimpulkan: 1. Orang yang disembunyikan itu adalah seseorang yang melakukan kejahatan atau dituntut karena kejahatan, maka pasal ini tidak dapat diterapkan terhadapnya. Memberikan pertolongan kepadanya untuk menghindari penyidikan atau penahanan oleh pejabat kehakiman atau kepolisian, atau oleh orang lain yang menurut ketentuan undang-undang terus menerus atau untuk sementara waktu diserahi menjalankan jabatan kepolisian. 2. Pasal 221 ayat (2) KUHPidana merupakan suatu alasan penghapus pidana yang bersifat sebagai alasan penghapus pidana khusus, artinya hanya berlaku untuk tindak pidana yang tertentu saja, dalam hal ini tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 221 ayat (1) KUHPidana dalam unsur ini disebutkan tentang memberikan pertolongan untuk menghindarkan diri dari penyidikan atau penahanan dengan maksud menutupi, menghalangi atau mempersukar penyidikan atau penuntutan suatu kejahatan, telah menghancurkan, menghilangkan atau menyembunyikan barang bukti atau menariknya dari pemeriksaan Jaksa,Polisi atau pejabat pemeriksa lainnya. Kata kunci: Menghalangi penyidikan, penuntutan, kepentingan orang lain
TANGGUNG JAWAB HUKUM TERHADAP PENYEDIA JASA DAN PENGGUNA JASA KONSTRUKSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 1999 TENTANG JASA KONSTRUKSI Tamatompol, Marviel Richard
LEX CRIMEN Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana  tanggung  jawab  hukum  penyedia  jasa  konstruksi  dalam  melaksanakan  pekerjaan  jasa  konstruksi  pada  proyek pemerintah  menurut  Undang-Undang  Nomor  18  Tahun  1999 dan bagaimana  tanggung  jawab  hukum  pengguna  jasa  konstruksi  dalam  melaksanakan  pekerjaan  jasa  konstruksi  pada  proyek pemerintah  menurut  Undang-Undang  Nomor  18  Tahun  1999.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dapat disimpulkan: 1. Tanggung jawab hukum penyedia jasa konstruksi dalam melaksanakan pekerjaan jasa konstruksi pada proyek pemerintah menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999, sangat jelas bahwa antara penyedia jasa dan pengguna jasa bersama-sama bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaan yang telah dibuat kontrak antar Penyedia Jasa dan pengguna yang diwakili oleh pemerintah dalam hal ini PPK (Pejabat Pembuat Komitmen). Hal kegagalan pekerjaan karena kesalahan penyedia jasa, maka penyedia jasa harus bertanggung jawab penuh terhadap pekerjaan konstruksi tersebut sesuai dengan kontrak yang dibuat. 2. Tanggung jawab hukum pengguna jasa konstruksi menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 adalah, bahwa pengguna barang atau jasa adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan barang atau jasa milik negara, daerah masing-masing kementerian, lembaga, dalam kontrak bertindak atas nama Negara apabila tidak memenuhi kewajibannya terhadap proses pembayaran yang harus dilakukan kepada penyedia jasa, menurut  undang-undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa konstruksi, dinyatakan bahwa pihak pengguna harus melakukan kewajibannya sesuai kontrak termasuk kewajiban kaitannya yang ditentukan dalam perjanjian tersebut.Kata kunci: Tanggung jawab hukum, penyedia jasa dan pengguna konstruksi.
PENGALIHAN TANGGUNG JAWAB YURIDIS PENAHANAN OLEH PENYIDIK KEPADA PENUNTUT UMUM Pinontoan, Melky R
LEX CRIMEN Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pasal 1 butir 21 KUHAP menyebutkan bahwa: ?Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini?. Penahanan bukan hanya wewenang yang dimiliki penyidik saja, tapi meliputi wewenang yang diberikan undang-undang kepada semua instansi dan tingkat peradilan. Syarat penahanan berbeda dengan syarat penangkapan. Perbedaan itu dalam hal bukti. Pada penangkapan, syarat bukti ini didasarkan pada ?bukti permulaan yang cukup?. Sedang pada penahanan, didasarkan pada bukti yang cukup. Dengan demikian syarat bukti dalam penahanan lebih tinggi kualitasnya daripada tindakan penangkapan.  Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni metode pendekatan yuridis normatif dan dapat disimpulkan Pertama, penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 butir 21 KUHAP). Berdasarkan pasal 20 KUHAP, penahanan yang dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim bertujuan: untuk kepentingan penyidikan; untuk kepentingan penuntutan; untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pengadilan. Kedua, penahanan dilakukan dengan surat perintah penahanan berdasarkan alasan Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa. Surat perintah penahanan dikeluarkan oleh penyidik/polisi dan jaksa penuntut umum, sedangkan surat penetapan penahanan dikeluarkan oleh hakim pengadilan. Kata Kunci: Penahanan, penyidik
GANTI RUGI TERHADAP KELUARGA KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS YANG MENGAKIBATKAN HILANGNYA NYAWA SESEORANG TANPA MENGHAPUS ATAU MENGURANGI PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA Kapoh, Evanggelin Oktavian Hesti Utami
LEX CRIMEN Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana implementasi pemberian ganti rugi terhadap keluarga korban kecelakaan lalu lintas dan apa pemberian ganti rugi terhadap korban/keluarga korban kecelakaan lalu lintas akan menghapus atau mengurangi pertanggung jawaban pidana. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Hakim memandang setiap santunan yang diberikan kepada korban kecelakaan lalu lintas jalan ini nantinya akan dipertimbangkan dalam memeriksa dan mengadili perkara kecelakaan lalu lintas jalan tersebut sebagai hal yang meringankan bagi terdakwa. Pemberian santunan bagi korban kecelakaan lalu lintas jalan dipandang Hakim sebagai suatu bentuk perhatian dari pembuat (terdakwa) kepada korbannya.Hakim mengatakan bahwa santunan hanyalah sebagai bentuk perhatian dari pembuat kecelakaan lalu lintas jalan kepada korbannya dan bukan sebagai wujud pertanggungjawaban pelaku.Hal ini disebabkan bahwa pemberian santunan itu bukan sebagai sanksi atas terjadinya kecelakaan lalu lintas jalan. Sanksi yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanyalah berupa sanksi pidana penjara saja. 2. Orang yang didakwa melakukan kejahatan terutama mengenai kecelakaan lalu lintas jalan (melanggar Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP) dan diadili di pengadilan, dengan membayar sejumlah uang maka ia akan mendapatkan keringanan hukuman. Hal inilah yang ingin dihindari oleh Hakim agar tidak terjadi kontroversi di dalam masyarakat. Dasar hukum pertimbangan Hakim mengenai pemberian santunan bagi korban kecelakaan lalu lintas jalan sebagai salah satu hal yang meringankan bagi terdakwa adalah sikap pribadi dari Hakim itu sendiri.Tidak ada aturan Hukum yang mengatur hal tersebut. Seorang Hakim akan senantiasa mempertimbangkan bentuk perhatian dari seorang terdakwa maupun keluarganya yang dilakukan terhadap korban terutama korban kecelakaan lalu lintas jalan yang mengalami luka berat bahkan sampai meninggal dunia.Kata kunci: Ganti Rugi, Keluarga Korban Kecelakaan Lalu Lintas, Hilangnya Nyawa Seseorang,  Tanpa Menghapus Atau Mengurangi Pertanggung Jawaban Pidana
KAJIAN HUKUM TES DNA (DeoxyriboNucleis Acid) SEBAGAI ALAT BUKTI PETUNJUK DALAM PERSIDANGAN PERKARA PIDANA (Kajian Pasal 184 KUHAP) Masoara, Tommy
LEX CRIMEN Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana sistem pembuktian dalam proses perkara pidana dan sejauhmana Tes DNA dapat dijadikan alat bukti petunjuk untuk mengungkap kebenaran materil.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative disimpulkan: 1. Dalam sistem pembuktian dapat kita lihat dan diatur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu:     keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.   Alat bukti yang diatur oleh Undang-undang tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) No. 11 tahun 2009, yaitu:  Alat bukti sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan; dan Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 dan dan angka 4 dan pasal 5 (1), (2), (3) dan hal- hal yang telah diketahui oleh umum (notoirfeit), hal ini tidak perlu dibuktikan (pasal 184 ayat 2 KUHAP). Alat bukti menurut Undang-undang No. 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pasal 36 ayat 1 yang terdiri atas:   surat atau tulisan, keterangan saksi, keterangan ahli,  keterangan para pihak, petunjuk, dan alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu. 2. Kedudukan alat bukti tes DNA sebagai alat bukti petunjuk dalam penyelesaian suatu kejahatan bukan sebagai alat bukti primer, tetapi sebagai alat bukti sekunder yang berfungsi menguatkan. Walau demikian tes DNA tidak bisa diabaikan begitu saja, karena tanpa didukung dengan tes DNA terkadang alat bukti primer tersebut tidak bisa optimal dalam memberikan bukti. Sehingga antara tes DNA dan alat bukti yang telah ada (diakui) harus saling melengkapi agar tercipta sebuah keadilan. Ada beberapa kasus yang dipecahkan dengan tes DNA yang membuktikan bahwa tes DNA sudah diterima dalam hukum pembuktian di Indonesia. Kekuatan pembuktian dari alat bukti tes DNA ini adalah bebas, jadi tergantung dari hakim itu sendiri untuk menggunakan atau mengesampingkan keberadaan alat bukti ini. Kata kunci: DNA, alat bukti petunjuk, perkara pidana.

Page 23 of 165 | Total Record : 1647


Filter by Year

2012 2024


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Crimen Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol. 2 No. 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue