cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
LEX CRIMEN
ISSN : -     EISSN : -     DOI : -
Core Subject : Social,
Jurnal ini merupakan jurnal elektronik (e-journal) Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), Manado, yang dimaksudkan sebagai wadah publikasi tulisan-tulisan tentang dan yang berkaitan dengan hukum pidana. Artikel-artikel skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat merupakan salah satu prioritas dengan tetap memberi kesempatan untuk karya-karya tulis lainnya dari mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum Unsrat, dengan tidak menutup kemungkinan bagi pihak-pihak lainnya, sepanjang menyangkut hukum pidana. Tulisan-tulisan yang dimuat di sini merupakan pendapat pribadi penulisnya dan bukan pendapat Fakultas Hukum Unsrat.
Arjuna Subject : -
Articles 1,647 Documents
PENGATURAN PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. 31 TAHUN 1999 Tilaar, Marsella
LEX CRIMEN Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hukum pembuktian tindak pidana yang diatur dalam KUHAP dan bagaimana pengaturan pembuktian terbalik dalam UU No. 20 Tahun 2001 jo. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif disimpulkan: 1. Sistem hukum pidana formil Indonesia khususnya KUHAP, beban pembuktian mengenai ada tidaknya tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa terletak pada Jaksa Penuntut Umum. Konsekuensi logis dari beban pembuktian demikian maka Jaksa Penuntut Umum harus mempersiapkan alat-alat bukti dan barang bukti secara akurat. Pembebanan pembuktian pada Jaksa Penuntut Umum hakikatnya merupakan elaborasi dari asas hukum pidana umum bahwa siapa yang menuntut dialah yang harus membuktikan kebenaran tuntutannya. 2. Pengaturan tentang pembuktian terbalik dalam tindak pidana korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999  jo.UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam Pasal 12Bdimana disebutkan antara lain bahwa “gratifikasi yang nilainya Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi”; dan dalam Pasal 37 disebutkan bahwa ‘Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi’. Kata kunci: Pembuktian terbalik, pemberantasan korupsi.
KEBIJAKAN PENEGAKAN HUKUM DALAM UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA TEKNOLOGI INFORMASI Daud, Ahmad
LEX CRIMEN Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kebijakan formulasi hukum pidana terhadap tindak pidana teknologi informasi saat ini, bagaimana kebijakan aplikatif yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam upaya penanggulangan tindak pidana teknologi informasi, dan bagaimana sebaiknya kebijakan formulasi dan kebijakan aplikatif hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana teknologi informasi di masa yang akan datang. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan dapast disimpulkan bahwa: 1. Dalam menjamin keamanan, keadilan dan kepastian hukum dalam penegakan hukum (law enforcement) di dunia cyber dapat terlaksana dengan baik maka harus dipenuhi 4 (empat) syarat yaitu:  (1) Adanya aturan perundang-undangan khusus yang mengatur dunia cyber. (2) Adanya lembaga yang akan menjalankan peraturan yaitu polisi, jaksa dan hakim khusus menangani cybercrime . (3) Adanya fasilitas atau sarana untuk mendukung pelaksanaan peraturan itu. (4) Kesadaran hukum dari masyarakat yang terkena peraturan. Selain ke 4 (empat) syarat tersebut penegakan hukum di dunia maya juga sangat tergantung dari pembuktian dan yuridiksi yang ditentukan oleh undang-undang. 2. Kebijakan pemerintah Indonesia dengan diundangkannya Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentarig Informasi dan Trarisaksi Elektroriik (UU ITE) merupakan payung hukum pertama  yang mengatur dunia siber (cyberlaw), sebab muatan dan cakupannya yang luas dalam membahas pengaturan di dunia maya seperti perluasan alat bukti elektronik sama dengan alat bukti yang sudah dikenal selama ini, diakuinya tanda tangan elektronik sebagai alat verifikasi, dan autentikasi yang sah suatu dokumen elektronik, serta pengaturan perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam cyberspace sebagai suatu tindak pidana. 3. Peraturan mengenai cyberlaw harus dapat mencakup perbuatan yang dilakukan di luar wilayah Indonesia tapi merugikan kepentingan orang atau negara dalam wilayah Indonesia. Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah mengatur masalah yurisdiksi yang di dalamnya sudah menerapkan asas universal. Kata kunci: tindak pidana, teknologi informasi
IMPLEMENTASI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN KEWENANGAN KPK DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 (Muhammad Islami Mansur)IMPLEMENTASI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN KEWENANGAN KPK DI TINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 Mansur, Muhammad Islami
LEX CRIMEN Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian adalah untuk mengetahui bagaimanakah Kedudukan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dan bagaimanakah Implementasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh KPK Berdasarkan UU No 30 Tahun 2002, yang dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Kedudukan KPK sebagai salah satu Negara bantu adalah independen dan bebas dari kekuasaan manapun, hal ini dimaksudkan agar dalam memberantas korupsi KPK tidak mendapatkan intervensi dari pihak manapun. Terbentuknya KPK juga merupakan jawaban atas tidak efektifnya kinerja lembaga penegak hukum selama ini dalam memberantas korupsi, yang terkesan berlarut-larut dalam penanganannya bahkan terindekasi ada unsur  korupsi dalam penanganan kasusnya. Kewenangan penuntutan yang ada pada KPK sudah tepat karena lembaga ini bergerak secara independen tanpa intervensi manapun. 2. Implementasi KPK dalam memberantas korupsi adalah melaksanakan koordinasi, supervise, dan monitor yaitu mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, penuntutan TPK berdasarkan peraturan Perundang-undangan.Kata kunci: korupsi; kpk;
TINDAK PIDANA PELANGGARAN FUNGSI JALAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 38 TAHUN 2004 TENTANG JALAN Tumewu, Wandri I. K.
LEX CRIMEN Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana terganggunya fungsi jalan menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 dan bagaimana sanksi pidana yang mengakibatkan terganggunnya fungsi jalan menurut Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative, disimpulkan: 1. Terganggunya fungsi jalan yaitu dengan sengaja dan karena kelalaian melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan di dalam ruang manfaat jalan, milik jalan, pengawasan jalan. Melakukan kegiatan penyelenggaraan jalan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang‑undangan. Melakukan kegiatan pengusahaan suatu ruas jalan tol sebelum adanya penetapan Menteri. Selain pengguna jalan tol dan petugas jalan tol yang dengan sengaja memasuki jalan tol. 2. Sanksi pidana mengakibatkan terganggunya fungsi adalah penyelenggaraan jalan yang tidak sesuai dengan peraturan perundang‑undangan, mengusahakan suatu ruas jalan sebagai jalan tol sebelum adanya penetapan Menteri, dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika dilakukan karena kelalaian diberlakukan pidana kurungan dan pidana denda. Apabila dilakukan oleh badan usaha, baik karena kesengajaan maupun kelalalaian pidana dikenakan terhadap badan usaha yang bersangkutan berupa pidana denda ditambah sepertiga denda yang dijatuhkan.Kata kunci: Tindak Pidana, Pelanggaran,  Fungsi Jalan.
KEDUDUKAN KEJAKSAAN DALAM MENYELESAIKAN KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA TERBENTUKNYA KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI Makikui, Mac Iver
LEX CRIMEN Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Prostitusi dikategorikan sebagai penyakit masyarakat, yang sulit di tumpas, sulit diobati, demikianlah penenpatan Korupsi yang di-ibaratkan sebagai penyakit yang sudah menyebar sangat luar biasa. Fenomena korupsi ini adalah sebuah hal yang perlu mendapat perhatian serius dalam penangannya. Tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara karena merongrong dan menggerogoti keuangan negara sebagai sumber daya pembangunan, membahayakan stabilitas ekonomi, dan politik negara yang akan menghambat pembangunan dan merampas  hak rakyat. Oleh sebab itu pemerintah sebagai penyelenggara negara harus se-segera mungkin menuntaskan masalah korupsi dengan mengedepankan kepentingan masyarakat dan bangsa. Dari hasil paparan di atas, yang menjadi permasalahan yakni bagaimanakah dasar pengaturan hukum mengenai kewenangan Kejaksaan dalam menangani Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dan bagaimana kedudukan Kejaksaan dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi setelah terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan, yaitu menggali dari sumber-sumber bahan penelitian  dalam penulisan yaitu bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tugas dan kewenangan Kejaksaan diatur dalam hukum acara pidana, yaitu Undang-undang No. 08 Tahun 1981 tentang KUHAP sementara dalam kaitannya dengan kelembagaannya sendiri diatur dalam Undang-undang No. 05 Tahun 1991 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 16 Tahun 2004 sebagai produk reformasi telah memberi nuansa baru bagi kemandirian lembaga kejaksaan ini.Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, kedudukan Kejaksaan memiliki peran sentral. Hal ini tidak terlepas dari kewenangan yang dimiliki kejaksaan dalam hal menentukan apakah suatu perkara dapat atau tidak diajukan kemuka persidangan. Kekuasaan untuk menentukan apakah suatu perkara dapat diteruskan atau tidak kepersidangan berdasarkan alat bukti yang sah. Berdasarkan hal tersebut sejatinya kejaksaan dalam proses penyelidikan dan penyidikan suatu perkara sudah harus terlibat, jadi tidak hanya sebatas berkas perkara yang dikirimkan oleh penyidik Polri untuk diteliti oleh Jaksa. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa Kejaksaan memiliki kewenangan dalam menangani Tindak Pidana Korupsi di Indonesia berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 penyidikan, penuntutan dan pemeriksaandisidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkanhukum Acara Pidana (KUHAP). Bahwa setelah terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi,  Kejaksaan tetap memiliki yurisdiksi dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam hal ini didasarkan pada posisi sentral dari kejaksaan  dalam hal menentukan apakah suatu perkara dapat atau tidakdiajukan kemuka persidangan.
MENGADILI ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERKOSAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK Lambanaung, Zulkarnain
LEX CRIMEN Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana pertanggung jawaban pidana anak pelaku perkosaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak dan bagaimana mengadili anak pelaku tindak pidana perkosaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.  Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Kategori usia anak yang dapat dijatuhi pidana adalah di atas 12 tahun, anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat dikenai tindakan. Pidana penjara yang dapat dijatuhkan kepada anak paling lama 1/2 (satu perdua) dari maksimum ancaman pidana penjara bagi orang dewasa, sedangkan pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun, dan penahanan terhadap anak hanya dapat dilakukan dengan syarat, anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih dan diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih. 2. Mengenai mengadili anak yang berhadapan dengan hukum, sejak tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di persidangan diatur di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Pada intinya sistem peradilan pidana anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif, sistem peradilan pidana anak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012, penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini, dan persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.Kata kunci: Mengadili anak, pelaku tindak pidana, perkosaan
PENERAPAN SISTEM HUKUM PIDANA CIVIL LAW DAN COMMON LAW TERHADAP PENANGGULANGAN KEJAHATAN KORPORASI Bawole, Grace Yurico
LEX CRIMEN Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Era globalisasi dan liberalisasi yang terjadi di belahan dunia saat ini tidak hanya membuka peluang bagi dunia usaha untuk berperan langsung dalam pengembangan perekonomian dunia, tetapi dapat menumbuhkan berbagai kejahatan-kejahatan baru di bidang ekonomi,yang tidak kalah bahayanya dengan kejahatan konvesional lainnya, karena dampak yang ditimbulkannya sangat besar dan berpotensi dapat meruntuhkan sistem keuangan dan perekonomian dalam suatu negara atau bahkan sistem perekonomian dunia. Dalam kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa yang diselenggarakan pada tahun 1985 di Jenewa menggambarkan bahwa peningkatan volume transaksi di bidang ekonomi merupakan faktor pendorong yang sangat besar terhadap timbulnya beberapa kejahatan baru seperti pelanggaran hukum pajak, transfer modal yang melanggar hukum, penipuan asuransi, pemalsuan invioice, penyelundupan dan lain-lain yang pelakunya berbentuk badan hukum atau pengusaha-pengusaha yang mempunyai kedudukan terhormat dalam masyarakat yang dikenal dengan kejahatan korporasi.[1] Kejahatan korporasi bukanlah sesuatu yang baru diperbincangkan karena sejak tahun 1975 dalam kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengulas tentang kejahatan korporasi yamg terjadi yang sangat menghawatirkan dimana diperkirakan bahwa kerugian dari kejahatan korporasi ini secara financial sangat besar. Tingginnya angka kejahatan korporasi ini yang terjadi diberbagai negara tentunya mendorong pemerintah untuk membentuk satuan tugas sebagai suatu usaha administrasi politis yang sengaja dibuat untuk memberantas kejahatan korporasi. Penanggulangan kejahatan korporasi diberbagai negara berbeda-beda berdasarkan sistem hukum pidana yang dianut oleh negara-negara yang bersangkutan. Dengan demikian tentunya ada perbedaan penerapan sanksi pidana untuk memberantas dan menanggulangi kejahatan korporasi ini baik sistem hukum common law maupun civil law [1] Simpson., Sally, Corporate Crime, Law, and Social Control, Cambridge University Press, First Published, 2002, hal. 6.
KEDUDUKAN HARTA BENDA DALAM PERKAWINAN YANG TELAH DIPUTUS KARENA PERCERAIAN MENURUT KUHPERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN Matheos, Supratman
LEX CRIMEN Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana aturan hukum tentang alasan melakukan perceraian bagi suami istri dan bagaimana kedudukan harta benda dalam perkawinan yang telah diputus karena perceraian menurut KUHPerdata dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Secara hukum untuk melakukan suatu perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami dan isteri tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri, dan yang dapat dijadikan alasan perceraian dengan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat apabila salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain-lain sebagainya yang sukar disembuhkan, meninggalkan yang lainnya selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya, mendapat hukuman penjara selama 5 tahun, atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung, melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak lain, mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan tugasnya atau kewajibannya sebagai suami isteri, antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga. 2. Kedudukan Harta benda/harta bersama suami isteri yang bercerai diatur secara tegas di dalam KUHPerdata (BW), Undang-Undang Perkawinan, Hukum Adat dan Hukum Islam. KUHPerdata menganut asas percampuran bulat atau harta persatuan perkawinan dan tidak mengenal harta bawaan. Harta persatuan menjadi harta kekayaan bersama dan bila terjadi perceraian meskipun baru menikah satu bulan, harta persatuan ini harus dibagi dua.Kata kunci: Kedudukan Harta benda, Perkawinan, Perceraian.
SANKSI PIDANA BAGI BADAN HUKUM ATAU BADAN USAHA AKIBAT DENGAN SENGAJA ATAU KELALAIAN MELAKUKAN TINDAK PIDANA KONSERVASI TANAH DAN AIR Senewe, Meidy Tisha
LEX CRIMEN Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui bagaimanakah bentuk perbuatan dengan sengaja atau kelalaian melakukan tindak pidana konservasi tanah dan air dan bagaimanakah sanksi pidana bagi badan hukum atau badan usaha akibat dengan sengaja atau kelalaian melakukan tindak pidana konservasi tanah dan air, di manadengan metode penelitianhukum normatif disimpulkan bahwa: 1. Bentuk perbuatan dengan sengaja atau kelalaian melakukan tindak pidana konservasi tanah dan air seperti melakukan konversi penggunaan Lahan Prima di Kawasan Lindung kawasan budi daya yang mengakibatkan degradasi berat Lahan Prima dan bencana Badan hukum atau badan usaha yang karena kelalaiannya tidak menyelenggarakan Konservasi Tanah dan Air sehingga mengakibatkan degradasi Lahan berat yang melampaui ambang batas kekritisan Lahan. Melakukan konversi penggunaan Lahan Prima di Kawasan Lindung dan di Kawasan Budi Daya. 2. Sanksi pidana bagi badan hukum atau badan usaha akibat dengan sengaja atau kelalaian melakukan tindak pidana konservasi tanah dan air. Tindak pidana yang dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: badan hukum atau badan usaha; dan/atau  orang yang memberi perintah untuk pidana atau orang yang bertindak kegiatan daiam tindak pidana.Kata kunci: badan hukum;  korservasi tanah dan air;
PERTANGGUNGJAWABAN DOKTER ATAS TINDAKAN MALPRAKTEK YANG DILAKUKAN MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA Ronoko, Kevin G. Y.
LEX CRIMEN Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen
Publisher : LEX CRIMEN

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah yang menjadi kriteria sehingga dokter dikatakan telah melakukan suatu kesalahan/kelalaian dan bagaimanakah bentuk dokter yang melakukan malpraktek menurut hukum positif. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Bahwa yang menjadi kriteria sehingga dokter dikatakan telah melakukan suatu kesalahan/kelalaian apabila tidak bertindak sesuai dengan kewajiban-kewajiban yang timbul dari profesinya atau berperilaku tidak sesuai dengan patokan umum mengenai kewajaran yang di harapkan dari sesama rekan profesi dalam keadaan yang tepat dan sama . Seorang dokter juga dikatakan telah melakukan kesalahan profesional, apabila dia memeriksa, tidak menilai, tidak berbuat atau tidak meninggalkan hal-hal yang akan diperiksa, dinilai, diperbuat atau ditinggalkan oleh para dokter pada umumnya di dalam situasi yang sama. 2. Bahwa bentuk dokter yang telah melakukan malpraktek medik dapat terjadi karena tiga bentuk kelalaian/kesalahan yaitu Malfeasance yang berarti melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak tepat , Misfeasance yang berarti melakukan pilihan medis yang tepat tapi tidak dilaksanakan dengan tepat dan Nonfeasance yang berarti tidak  melakukan tindakan medis yang merupakan kewajiban baginya. Dapat di simpulkan bahwa dokter yang melakukan mlpraktek adalah dokter yang lalai dalam menjalankan tugasnya atau karna kesalahanya mengakibatkan orang luka berat atau meninggal sehingga dapat dikatakan tindakan malpraktek medik dapat berupa kealpaan dokter yang dalam KUHP terdapat dalam pasal 359-361  tentang kealpaan. Kata kunci: Dokter, malpraktek

Page 6 of 165 | Total Record : 1647


Filter by Year

2012 2024


Filter By Issues
All Issue Vol. 12 No. 5 (2024): Lex Crimen Vol. 12 No. 4 (2024): Lex crimen Vol. 12 No. 3 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 2 (2023): Lex Crimen Vol. 12 No. 1 (2023): Lex Crimen Vol. 11 No. 5 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 2 (2022): Lex Crimen Vol 11, No 1 (2022): Lex Crimen Vol 10, No 13 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 12 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 11 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 10 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 9 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 8 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 7 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 6 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 5 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 4 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 3 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 2 (2021): Lex Crimen Vol 10, No 1 (2021): Lex Crimen Vol 9, No 4 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 3 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 2 (2020): Lex Crimen Vol 9, No 1 (2020): Lex Crimen Vol 8, No 12 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 11 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 10 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 8 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 7 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 6 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 5 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 4 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 3 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 2 (2019): Lex Crimen Vol 8, No 1 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 9 (2019): Lex Crimen Vol 7, No 10 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 8 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 7 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 6 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 5 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 4 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 3 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 2 (2018): Lex Crimen Vol 7, No 1 (2018): Lex Crimen Vol 6, No 10 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 9 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 8 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 7 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 6 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 5 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 4 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 3 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 2 (2017): Lex Crimen Vol 6, No 1 (2017): Lex Crimen Vol 5, No 7 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 6 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 5 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 4 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 3 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 2 (2016): Lex Crimen Vol 5, No 1 (2016): Lex Crimen Vol 4, No 8 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 7 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 6 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 5 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 4 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 3 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 2 (2015): Lex Crimen Vol 4, No 1 (2015): Lex Crimen Vol 3, No 4 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 3 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 2 (2014): Lex Crimen Vol 3, No 1 (2014): Lex Crimen Vol 2, No 7 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 6 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 5 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 4 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 3 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 2 (2013): Lex Crimen Vol. 2 No. 2 (2013): Lex Crimen Vol 2, No 1 (2013): Lex Crimen Vol 1, No 4 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 3 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 2 (2012): Lex Crimen Vol 1, No 1 (2012) More Issue