cover
Contact Name
-
Contact Email
-
Phone
-
Journal Mail Official
-
Editorial Address
-
Location
Kota manado,
Sulawesi utara
INDONESIA
JURNAL BIOMEDIK
ISSN : 20859481     EISSN : 2597999X     DOI : -
Core Subject : Health, Science,
JURNAL BIOMEDIK adalah JURNAL ILMIAH KEDOKTERAN yang diterbitkan tiga kali setahun pada bulan Maret, Juli, November. Tulisan yang dimuat dapat berupa artikel telaah (review article), hasil penelitian, dan laporan kasus dalam bidang ilmu kedokteran..
Arjuna Subject : -
Articles 499 Documents
VAGINITIS GONORE PADA ANAK Kapari, Judith; Pandaleke, Herry E. J.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 6, No 2 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Juli 2014
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.6.2.2014.5554

Abstract

Abstract: Gonorrhoeae is a common human sexually transmitted infection caused by Neisseria gonorrhoeae. Vaginitis gonorrhoeae is a gonorrhoeae infection which commonly occurs in children after the neonatal period. Its manifestation in girls can be asymptomatic as well as some urethral or vaginal discharge. A Gram staining, culture and a serologic test should be performed for confirming the diagnosis. A gonorrhoeae suspected case in prepubertal girls may lead to a sexual abuse. We reported a 9-year-old girl complaining yellowish and large amount leukorrhea since 3 weeks ago. The Gram stain showed intracellular and extracellular negative Gram diplococcus with abundance of polymorphonuclear leucocytes >30/high magnification. Treatment with a single dose of cefixime 200 mg orally showed significant improvement aftter 3 days. Conclusion: A case of vaginitis gonorrhoeae was established based on the anamnesis, physical examination, and laboratory test. Treatment with a single dose of cefixime gave a satisfactory result. Keywords: vaginitis gonorrhoeae, Neisseria gonorrhoeae, cefixime   Abstrak: Gonore merupakan penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh kuman Neisseria gonorrhoeae. Vaginitis gonore merupakan bentuk gonore pada anak yang paling sering terjadi setelah masa neonatus. Manifestasi klinis infeksi gonore pada anak perempuan dapat asimtomatik maupun simtomatik berupa adanya duh tubuh dari uretra dan vagina, yang meninggalkan bekas di celana dalam. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan ialah pewarnaan Gram, kultur, dan tes serologik. Bila dicurigai adanya infeksi gonore pada anak perempuan prapubertas maka kekerasan atau pelecehan seksual harus dipikirkan. Kami melaporkan satu kasus vaginitis gonore pada seorang anak perempuan berusia 9 tahun dengan keluhan keputihan berwarna kuning kental dalam jumlah cukup banyak sejak 3 minggu lalu. Pada pewarnaan Gram didapatkan kuman diplokokus intrasel dan ekstrasel serta leukosit PMN >30/LPB. Perbaikan signifikan terlihat dalam 3 hari setelah pemberian terapi sefiksim 200 mg dosis tunggal. Simpulan: Telah dilaporkan kasus vaginitis gonore dengan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Terapi sefiksim dosis tunggal memberikan hasil yang memuaskan. Kata kunci: vaginitis gonore, Neisseria gonorrhoeae, sefiksim
EFFECT OF CHRYSOMYA DOMINATION ON CALCULATING POST MORTEM INTERVAL Kristanto, Erwin G; Sembel, Dantje T; Salaki, Christina L; Kairupan, Carla; Huijbregts, Hans
Jurnal Biomedik : JBM Vol 4, No 1 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.4.1.2012.748

Abstract

Abstrak. Perkiraan saat kematian dihitung melalui penelitian dengan empat ekor bangkai hewan coba babi domestik pada lapangan terbuka dan area bersemak di Manado, Indonesia. Proses dekomposisi mulai dari tahap segar sampai skeletonisasi berlangsung selama 7-11 hari dengan tahap-tahap tumpang tindih, yang berbeda dengan di daerah empat musim (temperate). Chrysomya rufifacies dan Chrysomya megacepahala merupakan jenis lalat primer dominan yang ditangkap dari sekitar bangkai hewan coba dan dari hasil rearing. Simpulan: pada bangkai hewan coba yang didominasi oleh Chrysomya rufifacies dan Chrysomya megacephala, perkiraan saat kematian dengan menggunakan kedua spesies ini merupakan alat ukur terpercaya. Karakteristik perkembangan serangga amat dibutuhkan sebagai alat analitik untuk kepentingan penegakan hukum di Indonesia. Kata kunci: Chrysomya rufifacies, Chrysomya megacephala, dominasi, post mortem interval  Abstract. Post mortem intervals (PMIs) were estimated in each of four decomposing pig carcasses located in an open field, as well as in a bushy area in Manado, Indonesia. The decomposition in Manado, proceeded from fresh to complete skeletonization, which occured within seven to eleven days, and lacked the intermediate step characteristics of decomposition as would be found in more temperate climates. Chrysomya rufifacies and Chrysomya megacepahala were the most dominant fly species collected near the carcasses, and from the rearing. Conclusion: estimation of PMIs in carcasses dominated by Chrysomya rufifacies and Chrysomya megacephala is best done by using the two spesies as measuring tools. Detailed characterization of the development of forensically important species across an array of conditions is necessary to provide adequate analytical tools for law enforcement agencies in Indonesia.Key words: Chrysomya rufifacies, Chrysomya megacephala, domination, post mortem interval
Pengaruh Pemberian Alopurinol terhadap Tekanan Darah Pasien Gagal Jantung Wowor, Ribka; Wantania, Frans
Jurnal Biomedik : JBM Vol 10, No 1 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.10.1.2018.18997

Abstract

Abstract: Hyperuricemia is an independent risk factor of hypertension. Most of heart failure patients with uncontrolled hypertension had hyperuricemia. This study was aimed to determine the effect of allopurinol to blood pressure in heart failure patients. This was a clinical trial study with a control-non randomized design, performed on heart failure patients (40-74 years old). Wilcoxon Sign Rank was used to test the means of blood pressure difference between after and before the allopurinol treatment. The results showed that there were no significant differences in mean blood pressure between before and after allopurinol treatment (SBP, P=0.650; DBP, P=0.356). Conclusion: There was a decrease of blood pressure in heart failure patients after allopurinol treatment; albeit, it was not statistically significan.Keywords: allopurinol, blood pressure, heart failureAbstrak: Hiperurisemia merupakan salah satu faktor risiko independen terhadap timbulnya hipertensi. Pasien gagal jantung dengan tekanan darah tidak terkontrol sering mengalami hiperurisemia. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian alopurinol terhadap tekanan darah pada pasien gagal jantung. Penelitian ini merupakan uji klinis terbuka tanpa randomisasi untuk meneliti pengaruh pemberian alopurinol pada terapi standar congestive heart failure (CHF). Beda rerata tekanan darah pre dan post diuji menggunakan Wilcoxon Sign Rank. Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok alopurinol didapatkan penurunan tekanan darah sesudah pemberian alopurinol walaupun perbedaan rerata pre-post TDS (P=0,650) dan perbedaan rerata pre-post TDD tidak bermakna (P=0,356). Simpulan: Pasien CHF yang diberikan alopurinol mengalami penurunan tekanan darah walaupun secara statistik tidak bermaknaKata kunci: alopurinol, tekanan darah, gagal jantung
TERAPI PALIATIF DALAM PROFESI KEDOKTERAN Felenditi, Dionisius
Jurnal Biomedik : JBM Vol 5, No 1 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.1.2013.2041

Abstract

Abstract: Palliative treatment is the effort of physicians to ease the suffering of terminally ill patients. This is rather ignored because physicians give their priority to cure, prevent, promote, and rehabilitate patients based on the principle of beneficience. The palliative treatment should be paid attention to due to the sophistication of the medical profession. However, it is bypassed when faced with terminally ill  patients. This palliative treatment should be intergrated with the four priorities mentioned above, which are already stated in the Indonesian Medical Code of Ethics. Nowadays, modern medical technics have been applied in the management of patients, including terminally ill patients; therefore, it is not ethical to allow a terminally ill patient to undergo suffering to the end of his/her life. Keywords: palliative care, terminal patient, suffering.     Abstrak: Terapi paliatif merupakan upaya para dokter untuk mengurangi penderitaan pasien terminal. Tugas ini agak terabaikan karena para dokter lebih mengutamakan tugas kuratif, preventif, promotif, dan rehabilitasi berdasarkan the principle of beneficence. Terapi paliatif ini perlu mendapat perhatian karena sehebat apapun profesi kedokteran untuk mempertahankan kehidupan pasien, namun suatu saat akan berhenti bila menghadapi pasien terminal. Tugas terapi paliatif harus terintegrasi dengan keempat tugas di atas yang memang merupakan tugas utama dalam profesi kedokteran sebagaimana tercantum dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Dewasa ini, tehnik kedokteran modern sekarang menyediakan banyak kemungkinan untuk meringankan penderitaan pasien terminal, sehingga tidak etis membiarkan pasien terminal dalam menjalani akhir hidupnya dengan sangat menderita. Kata kunci: terapi paliatif, pasien terminal, penderitaan.
PENATALAKSANAAN TREMOR TERKINI Tumewah, Rizal
Jurnal Biomedik : JBM Vol 7, No 2 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.7.2.2015.9326

Abstract

Abstract: Not all tremors are Parkinson’s neither pathologic. Some of the tremor therapies have small advantage and some not at all. Therefore, with the better understanding of the causes of tremor, therapists can determine the most effective and minimal adverse effects of therapies. Tremor is the most frequently symptom that can be detected on the movement disorder group. Characteristics of tremor are: rhythmic, oscillatory movement of hands, head, neck or trunk; voice trembling; difficulties in writing and drawing; and problems in holding or controlling things. Tremor can be evoked in a normal state, pathologic conditions, such as psychogenic, metabolic, drug-induce and toxicity conditions, as well as in idiopathic conditions; thus, the therapies have to be various depended on the causes. Occasionally, symptomatic medical therapies can be given to the specific type of tremor. Surgical treatments like thalamotomy, pallidotomy, and thalamic stimulation may be used to treat severe or disabling tremor which is failed with medical treatment. Current treatment of tremor based on Consensus of Movement Disorder Society emphasized the need to classified tremors based on the etiopathogenesis, clinical features, and additional examination in order to achieve more favorable outcome in tremor treatment.Keywords: tremor, current treatment, etiopathogenesis, clinical features, additional examination, medical and surgical treatmentAbstrak: Tidak semua tremor itu Penyakit Parkinson dan tidak semua tremor itu patologik. Umumnya terapi tremor tidak terlalu bermanfaat dan kadang tidak ada perbaikan. Dengan adanya pemahaman mengenai penyebab tremor, para klinikus dapat memberikan terapi yang efektif dengan efek samping minimal. Tremor merupakan salah satu gejala yang paling sering ditemukan dari kelompok movement disorders. Karakteristik tremor dapat berupa getaran yang berirama pada tangan, lengan, kepala, leher, atau tubuh; suara bergetar; kesulitan menulis dan menggambar; serta bermasalah dalam memegang dan mengontrol benda. Tremor dapat ditemukan pada keadaan normal, keadaan patologik akibat psikogenik, penyakit pada sistem saraf, metabolik, obat-obatan, keracunan, bahkan idiopatik sehingga terapinya pun bervariasi tergantung dari penyebab. Kadang terapi medikamentosa simptomatik dapat diberikan pada tipe tremor tertentu. Pembedahan seperti thalamotomy, pallidotomy, dan thalamic stimulation biasanya dilakukan pada kasus tremor yang berat atau gagal dalam pengontrolan dengan terapi medikamentosa. Terapi tremor terkini berdasarkan konsensus Movement Disorder Society menekankan perlunya pendekatan klasifikasi tremor berdasarkan etiopatogesis, gejala klinis, dan pemeriksaan penunjang untuk menentukan keberhasilan dalam menangani pasien tremor.Kata kunci: tremor, terapi terkini, etiopatogenesis, gejala klinis dan pemeriksaan penunjang, medikamentosa, pembedahan
GAMBARAN HISTOPATOLOGI KARTILAGO SENDI LUTUT TIKUS WISTAR SETELAH PEMBERIAN SIPROFLOKSASIN Lintong, Poppy; Kairupan, Carla; Saul, Mulyadi
Jurnal Biomedik : JBM Vol 1, No 1 (2009): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.1.1.2009.810

Abstract

Abstract: Ciprofloxacin is a kind of antibiotic which belongs to the fluoroquinolone group. It is very effective against microbes, but has several side effects in bones, joints, and tendons, especially for individuals under 18 years. The purpose of this study was to find out the side effects of ciprofloxacin on wistar rats’ knee joints. This was an experimental and descriptive study, using 12 wistar rats as samples, which were grouped in 4 groups: 3 treated, 1 control. The treated groups were given different total daily oral doses of ciprofloxacin (2 mg, 6 mg, and 18 mg) for 14 days. On the 15th day, all the samples were terminated, and their right back knees were examined pathologically, focusing on the knee cartilages. Wistar rats treated with 18 mg ciprofloxacin showed foci of cartilage matrix edema and degradation of chondrocytes. This study concluded that 18 mg doses of ciprofloxacin daily caused destruction of the matrix and chondrocytes of the wistar rats’ knee joint cartilages. Key words: ciprofloxasin, knee joint, matrix edema, chondrocytes’ degradation. Abstrak: Siprofloksasin adalah antibiotik golongan fluorokuinolon yang sangat efektif untuk mengobati infeksi, namun dapat menimbulkan beberapa efek samping, antara lain gangguan pada tulang, sendi, dan tendon, terutama pada yang berusia dibawah 18 tahun. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui efek siprofloksasin pada sendi lutut tikus. Penelitian ini bersifat eksperimental deskriptif dengan menggunakan sampel 12 ekor tikus wistar  yang dibagi atas empat kelompok (3 kelompok perlakuan  dan 1 kelompok kontrol). Pada kelompok perlakuan diberikan siprofloksasin per oral dengan  dosis 2mg, 6 mg, dan 18 mg setiap hari  selama 14 hari. (Dosis ini pada manusia dengan berat badan rata  rata 50 kg setara dengan dosis  1000 mg, 3000 mg, dan 9000 mg per hari). Pada hari ke15, tikus kontrol dan perlakuan diterminasi kemudian sendi lutut di eksisi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi. Pemeriksaan  histopatologi sendi lutut difokuskan pada jaringan kartilago hialin. Tikus kontrol dan tikus perlakuan dengan pemberian siprofloksasin dosis 2 mg dan 6 mg memperlihatkan jaringan kartilago normal; sedangkan pada tikus perlakuan dengan dosis 18 mg  terlihat fokus-fokus pembengkakan matriks tulang rawan dan degradasi kondrosit. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian siprofloksasin pada tikus wistar dengan dosis 18 mg (setara dengan 9000 mg pada manusia)  per hari selama 14 hari telah menimbulkan kelainan fokal pada kartilago berupa pembengkakan matriks dan degradasi kondrosit. Kata kunci: siprofloksasin, sendi lutut, pembengkakan matriks, degradasi kondrosit.
Hubungan Tingkat Kecemasan dalam Menghadapi UKMPPD OSCE dengan Nilai UKMPPD Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Limen, Gilbert; Runtuwene, Joshua; Wagiu, Christillia
Jurnal Biomedik : JBM Vol 10, No 3 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.10.3.2018.21981

Abstract

Abstract: Exam is a potential stressor to cause anxiety among students. As an exit exam, the medical competency examination consists of two parts: multiple choice question computer-based test and an objective structured clinical examination (OSCE). The anxiety level during the latter part where the cognitive, psychomotor and professional behaviour aspects of examinees are tested, is considered the highest. Passing grade of the exam as one criterion used for important decisions can also be another source of anxiety. Anxiety may impact performance during exam and consequently the passing grade. This study was aimed to evaluate the correlation between the anxiety level right before medical competency examination OSCE and the August 2018 OSCE final results. This was an analytical study with a cross sectional design. Respondents were all students partaking in OSCE at Sam Ratulangi University Medical School. The Hamilton Anxiety Rating Scale was used to measure the anxiety level. The OSCE results were retrieved from the Academic Department. Data were analyzed with the Spearman correlation test that obtained a P value of 0.289. Overall, 81.20% of respondents experienced anxiety, however, the majority (43.50%) were considered as mild anxiety. Moreover, the median score of August 2018 OSCE was 80.00. Conclusion: There is no correlation between anxiety level right before OSCE and August 2018 final results.Keywords: anxiety level, medical competency examination, OSCE scoreAbstrak: Ujian dapat menjadi sebuah stresor yang menimbulkan kecemasan. Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) sebagai exit exam terdiri atas dua jenis ujian yakni pilihan ganda berbasis komputer dan Objective Structured Clinical Examination (OSCE). Tingkat kecemasan yang dihasilkan oleh OSCE paling tinggi karena OSCE menguji aspek kognitif, psikomotor dan professional behavior. Nilai batas lulus ujian UKMPPD juga dapat menjadi sumber kecemasan karena digunakan untuk menentukan keputusan yang penting. Kecemasan dalam menghadapi ujian dapat menjadi salah satu penyebab yang memengaruhi performa dan berdampak pada kelulusan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan mahasiswa dalam menghadapi UKMPPD OSCE dengan nilai UKMPPD OSCE periode Agustus 2018. Jenis penelitian ialah analitik dengan desain potong lintang. Responden ialah seluruh mahasiswa yang mengikuti UKMPPD OSCE di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) dengan menggunakan instrumen penelitian Hamilton Anxiety Rating Scale untuk mengukur tingkat kecemasan dan nilai OSCE dari Bagian Akademik Fakultas Kedokteran Unsrat. Analisis statistik menggunakan uji kore-lasi Spearman. Hasil analisis hubungan antara kecemasan dalam menghadapi UKMPPD OSCE dengan nilai UKMPPD OSCE periode Agustus 2018 mendapatkan nilai P=0,289. Responden yang mengalami kecemasan sebanyak 81,20% dan umumnya memiliki tingkat kecemasan yang ringan (43,50%). Median nilai UKMPPD OSCE periode Agustus 2018 yang diperoleh ialah 80,00. Simpulan: Tidak terdapat hubungan antara tingkat kecemasan dalam menghadapi UKMPPD OSCE dengan nilai UKMPPD OSCE periode Agustus 2018.Kata kunci: tingkat kecemasan, UKMPPD, nilai OSCE
HUBUNGAN TINGGI BADAN DENGAN PANJANG KAKI PADA MAHASISWA FAKULTAS KEDOKTERAN UNSRAT Paluta, Reniwaty S.; Tanudjaja, George N.; Pasiak, Taufiq F.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 5, No 1 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.1.2013.2611

Abstract

Abstract: Identification of a dead body is important in determining the clarity of one’s identity. Height is an important parameter in the process of identification and is one of the fields of study of physical anthropology. It is expected that the height can be determined by using the measurements of long bones, such as metatarsal bones and phalanges. This study aimed to find out the relationship between the height and foot length in the students of Faculty of Medicine University of Sam Ratulangi, Manado. This was a descriptive analytic study with cross-sectional design. Samples were selected by using systematic sampling methods. As samples, we used 74 students (registered in 2010) comprising 37 males and 37 females. Data were analyzed with a Pearson correlation analysis as well as a simple linear regression analysis. The results showed that there was a strong correlation between height and foot length with the correlation coefficients (r) of 0.846 for all samples, 0.520 for male students, and 0.711 for female students. The simple linear regression analysis resulted in three formulas: male height = 112.930 + 2.361 × foot length; female height = 4.223 + 64.241 × foot length; and overall height = 4.717 + 54.729 × foot length. Conclusion: There was a strong relationship between the heights and the foot lengths of students at the Faculty of Medicine University of Sam Ratulangi University Manado. Keywords: identification, height, foot length.   Abstrak: Identifikasi ialah pemeriksaan penting dalam menentukan kejelasan identitas seseorang. Tinggi badan merupakan parameter penting dalam proses identifikasi dan bidang telaah antropologi ragawi. Tinggi badan diharapkan dapat ditentukan dengan menggunakan pengukuran tulang-tulang panjang, diantaranya tulang metatarsal dan falang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tinggi badan dengan panjang kaki pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan rancangan cross-sectional. Sampel berjumlah 74 mahasiswa yang terdaftar pada tahun 2010, terdiri dari 37 laki-laki dan 37 perempuan. Sampel dipilih menggunakan cara systematic sampling. Data dianalisis dengan uji korelasi Pearson dan analisis regresi linier sederhana.  Hasl penelitian memperlihatkan terdapatnya hubungan kuat antara tinggi badan dan panjang kaki dengan koefisien korelasi (r) keseluruhan 0,846, pada laki-laki 0,520, dan pada perempuan 0,711. Dari hasil analisis regresi linier sederhana didapatkan rumus Tinggi Badan (TB) laki-laki = 112,930 + 2,361 × panjang kaki, TB perempuan = 64,241 + 4,223 × panjang kaki, dan secara keseluruhan TB = 54,729 + 4,717 × panjang kaki. Simpulan: Terdapat hubungan antara tinggi badan dan panjang kaki pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado. Kata kunci: identifikasi, tinggi badan, panjang kaki.
Hubungan kadar fibrinogen dengan apendisitis akut Tampi, Hendrik M. J. M. J.; Sapan, Heber B.; Sumangkut, Richard M.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.8.2.2016.12668

Abstract

Abstract: Acute appendicitis is one of the most frequent emergency conditions in surgery. Early diagnosis is very important since patients’ morbidity will increase in perforated or abscess appendicitis. Clinical evaluation of patients suspected acute appendicitis is very important to prevent the occurence of appedix perforation and other complications as well as to minimize the occurence of negative appendectomy. Plasma fibrinogen is assumed to have a predictive value of preoperative diagnosis of acute appendicitis. This study aimed to evaluate the relationship between fibrinogen level and acute appendicitis cases. There were 40 patients with abdominal pain suspected acute appendicitis at the Surgey Department of Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital and its collaborating hospitals. Plasma fibrinogen and histopathological examination of appendix tissue were performed on them. The results showed that of the 40 patients, there were 19 cases of acute appendicitis, 10 cases of chronic appendicitis with acute exacerbation, and 11 cases of chronic appendicitis. Increased fibrinogen level was found in all cases. The Pearson Chi-Square test evaluating the relationship between plasma fibrinogen level and appendicitis cases showed a P value of 0.038. Conclusion: There was a significant relationship between fibrinogen level and appendicitis cases as a whole, however, the increased fibrinogen level was not specific to acute appendicitis.Keywords: fibrinogen, aappendisitis akutAbstrak: Apendisitis akut adalah salah satu kegawat daruratan bedah yang paling sering. Diagnosa dini apendisitis penting karena morbiditas pasien meningkat setelah terjadi perforasi atau abses. Evaluasi klinis pasien suspek apendisitis akut bermanfaat untuk mencegah terjadinya perforasi dan komplikasi sambil meminimalisasian apendektomi negatif. Fibrinogen plasma diasumsikan mempunyai makna prediktif untuk diagnosis preoperatif apendisitis akut. Penelitian ini bergtujuan untuk menilai hubungan antara nilai fibrinogen dan kasus apendisitis akut. Dari 40 pasien dengan keluhan nyeri perut sugestif apendisitis akut di Bagian Bedah RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou dan RS jejaring diperiksakan kadar fibrinogen plasma dan histopatologi jaringan apendiks. Hasil penelitian menunjukkan dari 40 pasien terdapat 19 kasus apendisitis akut, 10 kasus apendisitis kronik eksaserbasi akut (KEA), dan 11 kasus apendisitis kronik. Peningkatan kadar fibrinogen ditemukan baik pada apendisitis akut maupun pada apendisitis kronik eksaserbasi akut dan apendisitis kronik. Hasil uji Pearson Chi-Square terhadap hubungan antara kadar fibrinogen dan apendisitis secara keseluruhan memperlihatkan nilai P = 0,038. Simpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar fibrinogen dan apendisitis secara keseluruhan. Walaupun demikian, peningkatan kadar fibrinogen tidak spesifik terjadi pada apendisitis akut saja.Kata kunci: fibrinogen, aappendisitis akut
KEAMANAN PENGGUNAAN ANESTESI REGIONAL PADA PERSALINAN PENGIDAP HIV Kumaat, Lucky
Jurnal Biomedik : JBM Vol 2, No 2 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.2.2.2010.849

Abstract

Abstract: Human Immunodeficiency Virus (HIV) infection and Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) are the major problems of global health. It is estimated that approximately 75.9% of Human Immunodeficiency Virus (HIV)-infected women aged are in productive ages (20-39 years) with possibilities to become pregnant. Since the prevalence of Human Immunodeficiency Virus infection in pregnant women is increasing, anesthesiologists are increasingly confronting these diseases in their patients. HIV infection in pregnant women often raises questions about the safety of regional anesthesia for them. Fears of the spread of infection to the Central Nervous System (CNS) or the sequel of the neurological system have led some clinicians not to use regional anesthesia. Some research shows that pregnant women with HIV infection are not a contraindication for regional anesthesia since there is no CNS and neurological sequel or infection after a long enough time post operation. Keywords: HIV infection, AIDS, parturition, regional anaesthesia.  Abstrak: Infeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah masalah utama dari kesehatan global. Diperkirakan sekitar 75,9% wanita yang terinfeksi HIV berada pada usia produktif (20-39 tahun) yang berpeluang untuk hamil. Karena prevalensi infeksi HIV pada wanita hamil semakin meningkat, maka ahli anestesi semakin banyak diperhadapi dengan pasien demikian. Infeksi HIV pada wanita hamil seringkali memunculkan pertanyaan mengenai keamanan penggunaan anestesi regional pada mereka. Kekuatiran terhadap penyebaran infeksi ke sistim susunan saraf pusat (SSP) atau sekuel neurologik menyebabkan sebagian klinisi menentang penggunaan anestesi regional. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa wanita hamil dengan HIV bukan merupakan kontraindikasi bagi penggunaan anestesi regional karena tidak dijumpai adanya infeksi SSP atau sekuel neurologik setelah selang waktu yang cukup panjang pasca operasi. Kata kunci: Infeksi HIV, AIDS, persalinan, anestesi regional.

Page 4 of 50 | Total Record : 499


Filter by Year

2009 2024


Filter By Issues
All Issue Vol. 16 No. 1 (2024): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol. 14 No. 2 (2022): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 13, No 3 (2021): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 13, No 2 (2021): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 13, No 1 (2021): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 12, No 3 (2020): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 12, No 2 (2020): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 12, No 1 (2020): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 11, No 3 (2019): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 11, No 2 (2019): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 11, No 1 (2019): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 10, No 3 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 10, No 2 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 10, No 1 (2018): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 9, No 3 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 9, No 2 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 9, No 1 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 9, No 1 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 8, No 3 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 8, No 1 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 7, No 3 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 7, No 3 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 7, No 2 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 7, No 1 (2015): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 6, No 2 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Juli 2014 Vol 6, No 1 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Maret 2014 Vol 6, No 3 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 6, No 3 (2014): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 5, No 3 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 5, No 2 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 5, No 1 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 5, No 1 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 4, No 3 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen Vol 4, No 3 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 4, No 2 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 4, No 1 (2012): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 3, No 3 (2011): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 3, No 2 (2011): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 3, No 1 (2011): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 2, No 3 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 2, No 2 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 2, No 1 (2010): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 1, No 3 (2009): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 1, No 2 (2009): JURNAL BIOMEDIK : JBM Vol 1, No 1 (2009): JURNAL BIOMEDIK : JBM More Issue