Jurnal Penelitian Hukum De Jure
The De Jure Legal Research Journal, known as Jurnal Penelitian Hukum De Jure, is a legal publication issued three times a year in March, July, and November. It is published by the Law Policy Strategy Agency of the Ministry of Law of the Republic of Indonesia, in collaboration with the Indonesian Legal Researcher Association (IPHI). This association was legalized under the Decree of the Minister of Law and Human Rights Number AHU-13.AHA.01.07 in 2013, dated January 28, 2013. The journal serves as a platform for communication and a means to publish diverse and relevant legal issues primarily for Indonesian legal researchers and the broader legal community. In 2024, the management of the De Jure Legal Research Journal will include various stakeholders, as outlined in the Decree of the Head of the Law and Human Rights Policy Agency Number PPH-18.LT.04.03 for 2024, dated February 20, 2024, which establishes a publishing team for the journal. According to the Decree of the Director-General of Higher Education, Research, and Technology of the Ministry of Higher Education, Science, and Technology of the Republic of Indonesia, Number PPH-18.LT.04.03 for 2024, which is based on the Accreditation Results of Scientific Journals for Period 2 of 2024, the De Jure Legal Research Journal has achieved a Scientific Journal Accreditation Rank of 2 (Sinta-2). This reaccreditation is valid for Volume 23, Number 1, of the year 2023, through Volume 27, Number 4, of the year 2027.
Articles
10 Documents
Search results for
, issue
"Vol 20, No 3 (2020): Edisi September"
:
10 Documents
clear
Eksekusi Ideal Perkara Perdata Berdasarkan Asas Keadilan Korelasinya Dalam Upaya Mewujudkan Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
Syprianus Aristeus
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 20, No 3 (2020): Edisi September
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (400.68 KB)
|
DOI: 10.30641/dejure.2020.V20.379-390
Eksekusi putusan perkara perdata pada tataran normatif dan implementatif sering kali menimbulkan problematika yuridis, sosiologis dan filosofis. Selain itu juga, dapat dikarenakan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijs de zaak) memang tidak dapat dieksekusi (non eksekutable) seperti objek perkara telah berubah, objek perkara telah dijual dan berada di tangan pihak ketiga, terhadap objek perkara ada dua putusan yang saling berbeda, objek perkara batas-batasnya tidak jelas, putusan sifatnya deklaratoir bukan komdemnatoir, dan lain sebagainya. Penelitian ini ingin mengkaji dan memberikan suatu alternatif pemikiran bagaimana di satu sisi eksekusi tersebut dapat dijalankan sesuai dengan paradigma keadilan, dan di sisi lainnya pelaksaaan eksekusi tersebut memberi kepastian hukum dalam korelasinya guna mewujudkan peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan sesuai ketentuan UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 2 Ayat (4), Pasal 4 Ayat (2). Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu yuridis, normatif dan historis, serta menemukan hukum in-concreto. Eksekusi yang diharapkan oleh pencari keadilan seharusnya dapat terlaksana tanpa harus menunggu cukup lama. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 2 Ayat (4), Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan. Sudah saatnya Mahkamah Agung dapat menyiapkan tenaga yang telah diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara untuk dapat melaksanakan eksekusi terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Legalitas Keberadaan Majelis Pengawas Notaris dan Majelis Kehormatan Notaris
Henry Lbn Toruan Donald
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 20, No 3 (2020): Edisi September
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (112.422 KB)
|
DOI: 10.30641/dejure.2020.V20.435-458
Dalam UUJN Pasal 67 disebutkan bahwa pengawasan Notaris dilakukan oleh Menteri. Tetapi dalam melaksanakan pengawasan, Menteri membentuk Majelis Pengawas : MPD, MPW, MPPN. Anggota MPN terdiri dari 9 (sembilan) orang, masing-masing 3 (tiga) orang dari: unsur pemerintah, unsur notaris dan unsur akademisi. Meskipun telah dibentuk MPN tetapi dalam praktiknya masih terjadi berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Notaris. Dari ketiga unsur tersebut, yang berperan menentukan hasil pemeriksaan adalah unsur notaris. Maka, putusan yang dihasilkan menjadi hambar karena unsur notaris berpihak pada notaris terperiksa. Demikian juga bila Notaris hendak diperiksa penegak hukum, harus mendapat persetujuan dari Majelis Kehormatan Notaris (MKN) baru Notaris bisa diperiksa. Menjadi pertanyaan: apakah pelimpahan kewenangan pembinaan dan pengawasan Notaris kepada MPN dan MKN memiliki legalitas?. Jika tidak memiliki legalitas apakah MPN dan MKN perlu dipertahankan atau digantikan dengan pengawasan dari internal Kementerian Hukum dan HAM?. Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif- empiris. Pelimpahan kewenangan pengawasan tersebut ditinjau dari hukum administrasi tidak memiliki legalitas yang berasal dari sumber kewenangan, yaitu delegasi. Karena pendelegasian harus dilimpahkan pada suatu organ berbadan hukum dengan suatu ketentuan perundang-undangan. Oleh karena itu, pembentukan lembaga tersebut hanya sebagai tempat perlindungan notaris sesuai yang diamanatkan pada pembukaan UUJN point c.
Aspek Hukum Surat Keterangan Dokter Dalam Sistem Peradilan Pidana (Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Era Covid-19)
Suharyo Suharyo
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 20, No 3 (2020): Edisi September
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (569.705 KB)
|
DOI: 10.30641/dejure.2020.V20.363-378
Surat keterangan dokter merupakan bukti surat dari dokter terhadap keadaan umum seseorang dinyatakan sehat atau sakit. Kasus H.M. Soeharto, Eddy Tansil, Setya Novanto, dan Bambang W. Soeharto membuktikan bahwa perbedaan persepsi dalam surat keterangan dokter sering disalahgunakan. Pandemi Covid-19 yang terjadi dapat berpotensi mengganggu penegakan hukum khususnya dalam pemberantasan korupsi. Dalam hal terjadi penyalahgunaan surat keterangan dokter, selain dapat dipertanggungjawabkan secara administratif dalam profesi kedokteran, juga dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Permasalahan dalam jurnal ini adalah sampai dimana kekuatan pembuktian surat keterangan dokter dalam sistem peradilan pidana dan bagaimana mengetahui surat keterangan dokter tersebut asli atau palsu dalam pertanggungjawaban pidana. Metode penelitian dalam jurnal ini adalah yuridis normatif. Kompleksitas mewarnai proses dan pembuatan surat keterangan dokter. Integritas penegak hukum, mulai dari Polri, Kejaksaan, KPK, Hakim, Lapas, bahkan Pengacara terkadang inkonsisten dalam menjalankan profesinya. Potensi permasalahan akan timbul apabila penegak hukum tidak meminta second opinion atau pembentukan tim independen dokter. Sebagai saran, pembuatan surat keterangan dokter harus dilandasi etika profesi, sumpah dokter, dan independensi sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Peranan Majelis Kehormatan Etika Kedokteran perlu diperkuat untuk menjaga profesionalitas dokter. Hukuman pidana bagi dokter dan pihak lain yang berpartisipasi dalam keluarnya Surat Keterangan Dokter yang memenuhi unsur-unsur pidana harus ditegakkan dengan tegas.
Paris Agreement: Respon Terhadap Pendekatan Prinsip Common but Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities Dalam Kyoto Protocol
Arie Afriansyah;
Amira Bilqis
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 20, No 3 (2020): Edisi September
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (347.72 KB)
|
DOI: 10.30641/dejure.2020.V20.391-408
Kemampuan dalam menangani permasalahan lingkungan antara negara maju dan berkembang kerap berdampak obligasi yang diatur dalam perjanjian internasional. Prinsip Common but Differentiated Responsibilities and Respective Capabilities (CBDR-RC) sebagai prinsip yang memimpin dalam hukum lingkungan internasional merupakan jembatan untuk menyeimbangkan kepentingan dua kelompok negara tersebut. Namun, dalam instrumen hukum internasional terdapat implementasi yang berbeda dari prinsip tersebut dengan masing-masing pendekatan yang digunakan. Tujuan penelitian ini untuk menganalisa bagaimana implementasi prinsip CBDR-RC dalam Paris Agreement dibandingkan dengan pendahulunya yaitu Kyoto Protocol. Metode penelitian dalam tulisan ini adalah yuridis normatif yang disajikan secara deskriptif analitis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan yang digunakan dalam Kyoto Protocol sebagai perjanjian yang menetapkan secara kaku besaran emisi yang harus direduksi diidentifikasi sebagai Top-Down. Sedangkan perjanjian penerusnya yaitu Paris Agreement sebagai perjanjian yang didasarkan atas dasar sukarela terhadap besaran emisi yang perlu dicapai diidentifikasi menggunakan pendekatan sebagai Bottom-Up. Pendekatan yang digunakan dari Paris Agreement berbeda sebagai respon dan bentuk evaluasi dari pendekatan yang digunakan dalam Kyoto Protocol yang berakibat tingkat partisipasi dalam usaha reduksi emisi meningkat secara drastis dan mendorong negara Annex I menargetkan reduksi yang lebih tinggi lagi. Terlepas dari kenyataan bahwa Paris Agreement telah menyelesaikan masalah dalam mekanisme Kyoto Protocol, perjanjian ini masih memiliki beberapa kekurangan. Kesimpulannya, transformasi pendekatan yang terjadi dalam kedua perjanjian ini mempengaruhi tren komitmen reduksi emisi dalam rezim perubahan iklim bagi negara maju maupun berkembang.
Model Penegakan Hukum Tindak Pidana Pemilu di Provinsi Aceh yang Berkeadilan
Mohd. Din;
Rizanizarli Rizanizarli;
Akbar Jalil
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 20, No 3 (2020): Edisi September
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (374.971 KB)
|
DOI: 10.30641/dejure.2020.V20.289-300
Tujuan penulisan ini adalah untuk menjelaskan sebab penegakan hukum tindak pidana pemilu di Provinsi Aceh belum berkeadilan dan model penegakan hukum tindak pidana pemilu di Provinsi Aceh yang berkeadilan. Kajian ini menjadi perlu oleh karena pelaksanaan pemilu yang selama ini dilaksanakan dianggap masih belum berjalan dengan baik, sehingga diperlukan perbaikan dalam segala lini terkait dengan pelaksanaan tersebut. Data di dalam penelitian ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan, data yang diperoleh akan dianalisis dengan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor utama yang menyebabkan penegakan hukum tindak pidana pemilu tidak berkeadilan adalah kurangnya sinergi antara lembaga penegak hukum yang duduk di Gakkumdu, masih ada Pasal yang multi tafsir dan singkatnya waktu dalam penanganan tindak pidana pemilu sehingga sulit mencari bukti maupun saksi. Model penegakan hukum yang dilakukan adalah Panwaslih Provinsi Aceh melakukan Rakernis dengan Panwaslih Kabupaten/Kota dalam rangka mematangkan persiapan pembentukan Sentra Gakkumdu di jajaran Pengawas Pemilu dan melakukan evaluasi terhadap kinerja yang sudah dilakukan guna meningkatkan optimalisasi penegakan hukum tindak pidana pemilu meskipun di dalam pelaksanaannya masih saja terdapat persepsi yang berbeda terhadap ketentuan yang ada.
Sifat Putusan Impeachment MK Terhadap Status Hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden
Farid Wajdi;
Andryan Andryan
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 20, No 3 (2020): Edisi September
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (495.116 KB)
|
DOI: 10.30641/dejure.2020.V20.301-314
impeachment tidak diartikan sebagai sebuah turunnya, berhentinya atau dipecatnya Presiden dan/atau Wakil Presiden dari jabatannya. Putusan impeachment di MK sebagai proses politik tidak berarti dapat diberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden karena harus tetap melalui keputusan MPR yang diberikan kewenangan dalam memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implikasi sifat putusan impeachment MK terhadap status hukum Presiden dan/atau Wakil Presiden yang telah dinyatakan telah melakukan pelanggaran secara konstitusional. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang dalam pengkajiannya dengan mengacu dan mendasarkan pada norma-norma dan kaidah-kaidah hukum. Tulisan ini dimaksudkan untuk mencari formulasi konstitusional yang bersifat fundamental sesuai dengan konsep supremasi hukum terhadap daya ikat putusan impeachment MK. Format mekanisme impeachment yang ideal tersebut harus menempatkan MK pada posisi yang menentukan, bukan hanya sekedar lembaga yang menjustifikasi pendapat DPR dalam proses impeachment.
Aspek Hukum Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Oleh Korporasi Dalam Bidang Perpajakan
Marulak Pardede
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 20, No 3 (2020): Edisi September
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (733.782 KB)
|
DOI: 10.30641/dejure.2020.V20.335-362
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis bagaimanakah penegakan hukum pidana terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana perpajakan; serta upaya apakah yang perlu dilakukan untuk menanggulangi tindak pidana korupsi dalam bidang perpajakan. Dengan menggunakan metode penelitian: Jenis penelitian ini deskriptif analitis, pendekatan yuridis normatif. Jenis dan sumber data dokumen atau bahan pustaka, eroleh kemudian dianalisis; Teknik analisis data, adalah kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa penegakan hukum terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana perpajakan, belum dapat dilakukan secara optimal, karena dihadapkan dengan sistem hukum yang menentukan berhasil tidaknya penegakan hukum yang baik, yaitu: Isi/materi Hukum; Struktur Hukum; dan Budaya Hukum. Pengaturan aspek penegakan hukum pidana terhadap korporasi sebagai pelaku tindak pidana dalam bidang perpajakan, belum diatur secara tegas di dalam peraturan perundang-undangan, akan tetapi hanya diatur dalam peraturan tindak pidana khusus. Aspek penegakan hukum ini dihadapkan kepada kendala yuridis; asas lex specialis Peraturan Perundang-undangan Perpajakan; sering berbenturan dengan putusan peradilan pajak. Untuk menanggulangi kendala tersebut, disarankan antara lain : perlu dilakukan upaya penguatan fungsi dan peran penyidik atas tindak pidana korupsi; pengaturan mekanisme whistleblowing system dan justice collaborator dalam sistem peradilan pidana; penerapan mekanisme perampasan aset koruptor dan pembuktian terbalik; penerapan peraturan perundang-undangan di bidang anti pencucian uang
Urgensi Pemberian Paspor Diplomatik Bagi Anggota Parlemen
I Made Budi Arsika;
Ni Gusti Ayu Dyah Satyawati
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 20, No 3 (2020): Edisi September
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (718.487 KB)
|
DOI: 10.30641/dejure.2020.V20.315-334
Wacana pemberian paspor diplomatik kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) mengingatkan kembali publik pada perdebatan politik dan akademik yang pernah terjadi sebelumnya. Artikel ini bertujuan untuk mengidentifikasi instrumen hukum internasional dan praktik internasional dalam memberikan legitimasi terhadap penggunaan paspor diplomatik oleh pejabat negara yang tugas utamanya tidak melaksanakan fungsi diplomatik, termasuk di antaranya anggota Parlemen. Selain itu, artikel ini bermaksud menyajikan analisis dalam konteks Indonesia mengenai landasan hukum pemberian paspor diplomatik kepada anggota DPR RI. Artikel ini merefleksikan penelitian hukum normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, perbandingan, fakta, dan sejarah. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pemberian paspor diplomatik bagi anggota parlemen suatu negara tidaklah diatur secara spesifik dalam instrumen-instrumen internasional di bidang hubungan diplomatik karena cenderung merupakan ranah domestik masing-masing negara. Praktik internasional juga mengindikasikan bahwa paspor diplomatik dianggap hanya menunjukkan posisi khusus yang dimiliki oleh pemegangnya karena tidak secara otomatis memberikan imunitas diplomatik. Dalam perspektif hukum Indonesia, pemberian paspor diplomatik kepada anggota DPR RI belum sepenuhnya memiliki landasan hukum yang kuat. Adapun pengaturan paling eksplisit justru tertuang di dalam Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib. Dengan demikian, pihak eksekutif (pemerintah) tidaklah memiliki kewajiban untuk memenuhi usulan tersebut.
Optimalisasi Pelayanan Bantuan Hukum Bagi Masyarakat Miskin
Ahyar Ahyar
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 20, No 3 (2020): Edisi September
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
DOI: 10.30641/dejure.2020.V20.409-434
Setiap orang bermasalah dengan hukum berhak mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pemberian bantuan hukum, merupakan bagian dari hak asasi, khususnya bagi masyarakat miskin. Pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin telah diakomodir dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum, praktiknya masih belum optimal dengan bermacam-macam problem, baik penyelenggara maupun penerima bantuan hukum. Permasalahan adalah apa problem yang menyebabkan belum optimalnya pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin? Apa upaya strategis yang perlu dilakukan dalam penyelenggaraan bantuan hukum bagi masyarakat miskin?. Tujuan adalah untuk mengetahui terkait dengan problem dan upaya apa yang harus dilakukan agar pemberian bantuan hukum kepada masyarakat miskin dapat optimal. Jenis penelitian adalah yuridis normative dengan pendekatan perUndang-Undangan dan pendekatan analisis untuk menjawab permasalahan penelitian. Penelitian ini menemukan problem yang menyebabkan belum optimalnya pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin disebabkan masih kecilnya anggaran setiap pendampingan per kasusnya, masih sedikitnya Organisasi Bantuan Hukum yang terakreditasi serta belum adanya standarisasi pedoman pelaksanaan pemberian layanan bantuan hukum, sehingga menyarankan kepada pemerintah cq Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia agar segera mengeluarkan Standarisasi Pedoman Pelayan Bantuan Hukum sebagai acuan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pemberian bantuan hukum bagi masyarakat miskin
Perkawinan “Pada Gelahang” Serta Aspek Hukum Pembagian Harta Warisannya di Bali
Evi Djuniarti
Jurnal Penelitian Hukum De Jure Vol 20, No 3 (2020): Edisi September
Publisher : Badan Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Hak Asasi Manusia
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (524.959 KB)
|
DOI: 10.30641/dejure.2020.V20.459-471
Keanekaragaman agama yang dianut masyarakat Indonesia akan mewarnai pelaksanaan Undang-undang Perkawinan. Pada banyak daerah, khususnya bagi Umat Hindu di Bali, pelaksanaan perkawinan juga akan diwarnai oleh berlakunya hukum adat, di samping karena antara adat dan agama sulit dipisahkan, hukum perkawinan juga sangat dipengaruhi oleh hukum keluarga yang masih dikuasai oleh hukum adat. Konsep sekala-niskala merupakan konsepsi yang tidak dapat dilepaskan dari kehidupan masyarakat Bali yang relegius, yang senantiasa menjaga keharmonisan hubungan antara dunia nyata (sekala) dan dunia gaib (niskala) dalam setiap aspek kehidupannya, termasuk dalam perkawinan. Sistem perkawinan menurut hukum Hindu yang terdapat dalam kitab Manudharmasastra kita bandingkan dengan 'sistem perkawinan yang terdapat pada masyarakat adat di Bali, maka akan kita lihat ada persamaan antara sistem perkawinan menurut hukum Hindu dengan sistem perkawinan yang ada pada masyarakat hukum adat di Bali. Adapun permasalahan dalam penulisan makalah ini adalah sebagai berikut Bagaimanakah keadaan perkawinan pada gelahang di Bali? Dalam hubungan dengan hukum keluarga, khususnya perkawinan, Kabupaten Tabanan terbilang relatif "lebih maju", dibandingkan dengan kabupaten lainnya yang ada di Bali. Salah satu contoh, perkawinan nyentana. faktor utama yang melatarbelakangi pasangan pengantin dan keluarganya sepakat melangsungkan perkawinan pada geldhang adalah adanya kekhawatiran warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya, baik yang berwujud tanggung jawab atau kewajiban (swadharma) maupun hak (swadikara), tidak ada yang mengurus dan meneruskan. Pemerintah dirahapkan membuat peraturan atau pedoman dalam pelaksanaan perkawinan pada gelahang agar menjadi sebuah pengetahuan yang dapat dijadikan pegangan para pasangan yang akan melangsungkan pernikahan.