cover
Contact Name
Arnis Duwita Purnama
Contact Email
jurnal@komisiyudisial.go.id
Phone
+628121368480
Journal Mail Official
jurnal@komisiyudisial.go.id
Editorial Address
Redaksi Jurnal Yudisial Gd. Komisi Yudisial RI Jl. Kramat Raya No. 57 Jakarta Pusat
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
Jurnal Yudisial
ISSN : 19786506     EISSN : 25794868     DOI : 10.29123
Core Subject : Social,
Jurnal Yudisial memuat hasil penelitian putusan hakim atas suatu kasus konkret yang memiliki aktualitas dan kompleksitas permasalahan hukum, baik dari pengadilan di Indonesia maupun luar negeri dan merupakan artikel asli (belum pernah dipublikasikan). Visi: Menjadikan Jurnal Yudisial sebagai jurnal berskala internasional. Misi: 1. Sebagai ruang kontribusi bagi komunitas hukum Indonesia dalam mendukung eksistensi peradilan yang akuntabel, jujur, dan adil. 2. Membantu tugas dan wewenang Komisi Yudisial Republik Indonesia dalam menjaga dan menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim.
Arjuna Subject : Ilmu Sosial - Hukum
Articles 256 Documents
PENERAPAN SANKSI PIDANA BAGI PELAKU TINDAK PIDANA ANAK Bilher Hutahaean
Jurnal Yudisial Vol 6, No 1 (2013): MENAKAR RES JUDICATA
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v6i1.119

Abstract

ABSTRAKAnak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Perlakuan hukum pada anak sudah selayaknya mendapatkan perhatian serius, karena anak adalah masa depan suatu bangsa. Dalam perkara pidana Nomor 50/Pid.B/2009/PN.Btg terdakwa adalah anak yang masih berumur 15 tahun, didakwa melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 363 ayat (1) ke-4 jo Pasal 65 ayat (1) dan ayat (2) KUHP. Hakim menjatuhi pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan terdakwa dikembalikan kepada orang tuanya sebagaimana mestinya. Putusan tersebut tidak mencerminkan kepastian hukum bagi terdakwa serta tidak mengedepankan pemidanaan sebagai ultimum remidium.Kata kunci: peradilan anak, sanksi pidana, ultimum remedium.ABSTRACTChildren are the mandate and grace of God Almighty. They have dignity and worth as fully human beings. Legal treatment of children should receive serious attention, because children are the future of the nation. In the criminal case number 50/Pid.B/2009/PN.Btg, the defendant, a 15-yearold boy, was charged with conduct, and punishable as provided in Article 363, paragraph (1) to (4) jo Article 65 paragraph (1) and (2) of the Criminal Code. Judges imposed imprisonment for 6 (six) months to the defendant and later returned him to his parents as he should . The decision did not seem to reflect the rule of law or legal certainty of the defendant, and did not address criminal sanction as the ultimum remidium.Keywords: juvenile court system, penal sanction, ultimum remedium.
PENAFSIRAN UNSUR "MEMPERKAYA DIRI" DAN "KERUGIAN NEGARA" Ibrahim Sagio
Jurnal Yudisial Vol 3, No 1 (2010): KORUPSI DAN LEGISLASI
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v3i1.6

Abstract

ABSTRACTCourt verdict analyzed in this article concerns on the case of crime of corruption. The focus is about the interpretation of the judge over the case through the trial process. The conclusion of the examination in general is that, it is of necessity to expound and interpret a rule the judges complying with before applying it to any particular case. They also have to consider all the aspects of the case. In the case this article discussed, the judges are not able to make a distinction between a conduct of corruption and a business transaction. It appears that the judges were perceived to be incapable of making the right interpretation to apply in the case. And the judges mistakes in interpreting resulted in futile decisions which could not reflect a substantive justice.Keywords: state loss, corruption, illicit enrichment.ABSTRAKPutusan hakim yang dianalisa dalam artikel ini terkait dalam kasus korupsi. Fokus dalam kajian ini terkait dengan penafsiran hakim selama proses persidangan ini berlangsung yang dapat disimpulkan bahwa secara umum dengan mengurai dan menafsirkan peraturan dimana muncul kasus yang spesifik dalam tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, hakim dalam memutuskan perkara perlu dipertimbangkan kasus tersebut dari berbagai aspek terlebih dahulu. Dalam kasusini, pengambil keputusan tidak dapat membedakan antara perilaku korupsi dan transaksi bisnis karena kurang mampu membuat penafsiran yang digunakan dalam membedah perkara ini. Selain itu, hakim juga melakukan kesalahan dalam menafsirkan yang pada akhirnya melahirkan putusan yang tidak merefleksikan keadilan substantif.Kata kunci: kerugian negara, korupsi, memperkaya diri.
PENOLAKAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM KASUS ASTRO ALL ASIA NETWORK PLC Mutiara Hikmah
Jurnal Yudisial Vol 5, No 1 (2012): MENGUJI TAFSIR KEADILAN
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v5i1.165

Abstract

ABSTRAKMeskipun Indonesia telah memiliki Undang-Undang Arbitrase, penolakan keputusan arbitrase internasional masih terjadi. Salah satunya adalah objek analisis dalam artikel ini, yaitu kasus Astro Jaringan Semua Plc Asia. Penerapan keputusan arbitrase internasional dari Singapura ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Penolakan ini diperkuat oleh Mahkamah Agung. Artikel ini membahas seksama pertimbangan pengadilan untuk penolakan tersebut. Terdapat beberapa alasan yang tidak sesuai dengan UU Arbitrase, baik di tingkat pengadilan maupun Mahkamah Agung. Penolakan tersebut dapat menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan perdagangan internasional, khususnya terhadap pengusaha asing. Pemerintah seharusnya mengakui dan melaksanakan keputusan arbitrase internasional sebagai konsekuensi dari keanggotaan Indonesia di Konvensi New York tahun 1958.Kata kunci: UU Arbitrase, keputusan arbitrase internasional.ABSTRACTEven though Indonesia has already had the Arbitration Law, refusals of the international arbitration decisions still happen. One of which is the object of analysis in this article, that is the case of Astro All Asia Network Plc. The application of the international arbitration decision from Singapore was refused by the Central Jakarta District Court. This refusal is confirmed by the Supreme Court. This article discuss any court's considerations for the refusal. It seems that some reasoning are not in accordance with the Arbitration Law, that come from both at the district court level and the Supreme Court. That such refusal, in consequence, could cause bad impact to the international bussiness climate. The Government was supposed to admit and implement the international arbitration decisions as a consequence of Indonesia's membership of the 1958 New York Convention.Keywords: Arbitration Law, international arbitration decision.
Hak Anak Sebagai Ahli Waris dalam Perkawinan Siri Faiq Tobroni
Jurnal Yudisial Vol 8, No 1 (2015): DIALEKTIKA HUKUM NEGARA DAN AGAMA
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v8i1.45

Abstract

ABSTRAKPerkara Kasasi Nomor 329K/AG/2014 yang diajukan oleh AM kepada Mahkamah Agung dimaksudkan untuk menuntut itsbat nikah atas perkawinan siri antara dirinya dengan Almarhum M dan pemenuhan hak waris atas anaknya MIR terhadap Almarhum M. Pertimbangan hukum keputusan hakim yang menolakgugatan tersebut menarik untuk dicermati. Rumusan masalah penelitian adalah bagaimana pertimbangan dan implikasi Putusan Kasasi Nomor 329K/AG/2014? Serta bagaimana alternatif hukum yang bisa diupayakan untuk kasus lain yang serupa? Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, bersifat kritisanalitis dan berjenis penelitian pustaka. Pengumpulan data dilaksanakan secara dokumentasi dan dianalisis secara kualitatif. Pembahasan terdiri dari tiga subbab, yakni analisis putusan, perdebatan perkawinan siri, dan tawaran alternatif hukum. Kesimpulannya adalah 1) Mahkamah Agung menolak itsbat nikah karena perkawinan siri tersebut dilangsungkan setelah berlakunya UU Perkawinan Tahun 1974, dan sebagai konsekuensinya, MIR tidak bisa mendapat warisan dari Almarhum M; dan 2) sebagai solusi, alternatif hukum yang bisa diupayakan adalah pembaruan pengaturan itsbat nikah melalui judicial review terhadap huruf a angka 22 Penjelasan Pasal 49 ayat (2) UU PeradilanAgama Tahun 2006 atau hakim bisa saja memberikan wasiat wajibah.Kata kunci: kawin siri; kewarisan; hak ahli waris.ABSTRACTThe Decision Number 329K/AG/2014 on case of cassation claimed by AM to the Supreme Court is a legal action taken to get hold of the ‘itsbat’ of her siri marriage with Almarhum M and fulfillment of her son’s MIR status and inheritance rights from Almarhum M. In fact, the consideration of the judges on the decisionto deny the claim is thought-provoking. The issues are discussed in the analysis concerns about how the judges’ consideration and the implication of the decisionnumber 329K/AG/2014 are, as well as alternative legal resolution to other similar cases. This analysis applies to normative legal research methods, and through bycritical-analytical literature-based research. Data collecting are done by documentation and qualitative analysis. The analysis of the problem is divided into three sections: the analysis of the decision, the polemic of siri marriage, and several suggested legal alternatives. To conclude, firstly, the Supreme Court declines the ‘itsbat’ of the marriage since it was held after the enactment of Marriage Law of 1974, and thus MIR has failed to obtain his rights of inheritance from the deceasedAlmarhum M; secondly, as the solution, the alternative legal resolution that could be pursued is the renewal of the regulation regarding the issue of ‘itsbat’ of marriagethrough judicial review of the letters a number 22 in the the Elucidation of Article 49 Paragraph (2) of the Religious Courts Law of 2006, or the judge may give ‘wasiat wajibah.’Keywords: siri marriage; inheritance; heir’s right.
PERAGAAN POLA PENALARAN HUKUM DALAM KAJIAN PUTUSAN KASUS TANAH ADAT Shidarta Shidarta
Jurnal Yudisial Vol 3, No 3 (2010): PERGULATAN NALAR DAN NURANI
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v3i3.208

Abstract

ABSTRACTExplicit formulation of legal reasoning is hardly ever existed in many court decisions. In theory, judges can articulate the reasoning by developing rigid and standardized sylogisms. Through the pattern of such sylogisms, this article aims to share the ways in analyzing the characteristics of legal reasoning and assessing the quality of a judicial decision concerning property dispute in Ambon, Maluku. The core problems as expressed in the sylogisms also draw our attention to the tension between adat and state laws.Keywords: legal reasoning, property adat-law, legal pluralism. ABSTRAKRumusan eksplisit tentang penalaran hukum terbilang sulit ditemukan dalam putusan-putusan pengadilan. Dalam teori, para hakim dapat menegaskan penalarannya melalui silogisme baku yang dibangun menurut tata aturan yang rigid. Lewat pola silogisme demikian, artikel ini memperagakan cara analisis terhadap penalaran hukum dan menilai kualitas dari putusan hakim tersebut terkait suatu perkara perebutan hak milik di Ambon, Maluku. Problema utama dari kasus ini diungkapkan dalam bentuk silogisme, yang pada gilirannya juga memperlihatkan adanya ketegangan antara hukum adat dan hukum negara.Kata kunci: penalaran hukum, hak milik adat, pluralisme hukum.
LEGAL STANDING PEMEGANG HAK MEREK TERDAFTAR YANG BELUM DIMOHONKAN PERPANJANGAN Asma Karim
Jurnal Yudisial Vol 13, No 1 (2020): REASON AND PASSION
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v13i1.359

Abstract

ABSTRAKPutusan Mahkamah Agung Nomor 139 K/Pdt.Sus HKI/2018 tentang pemegang merek terdaftar yang jangka waktunya berakhir dan belum perpanjangan merek, menyatakan bahwa penggugat tidak memiliki legal standing melakukan gugatan a quo. Penelitian ini berupaya memahami dan menganalisis apakah tepat atau tidak pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusan tersebut (dilihat dari perspektif hukum materiil). Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, dengan berbasis pada data sekunder. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa Mahkamah Agung kurang cermat dalam menjatuhkan putusan. Selaku judex juris, Mahkamah Agung seharusnya mempertimbangkan bahwa penggugat memiliki legal standing melakukan gugatan a quo didasarkan pada adanya iktikad tidak baik dari tergugat. Yaitu pertama, tergugat tidak melaksanakan putusan judex juris dalam perkara serupa Nomor 803 K/Pdt.Sus/2011, yang menyatakan penggugat adalah pemegang hak merek terdaftar, tetapi tergugat kemudian tetap menggunakan merek yang sama kedua kalinya. Kedua, penggugat memiliki legal standing mengajukan gugatan a quo adalah mengacu pada Pasal 77 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016, yang menyebutkan bahwa gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu jika terdapat unsur iktikad tidak baik.Kata kunci: legal standing; judex juris; iktikad tidak baik. ABSTRACT Decision of the Supreme Court Number 139 K/Pdt.Sus HKI/2018 concerning registered brand holders which the period ended and the brand was not extended yet, states that the litigant does not have a legal standing to make a quo lawsuit. These researches analyze whether the Supreme Court's consideration is appropriate or not in the decision (viewed from a material legal perspective). The research used a normative juridical method, based on secondary data. The author believes that the Supreme Court was not accurate in giving decision. As a judex juris, the Supreme Court should consider that the litigant has a legal standing to make a quo lawsuit since the defendant has a bad faith. First, the defendant did not implement the judex juris decision in the similar case Number 803 K/ Pdt.Sus/2011, which states that the litigant is the holder of registered brand rights, but the defendant then continues to use the same brand twice. Second, the litigant has a legal standing propose a quo lawsuit referring to Article 77 of Law Number 20 of 2016, which states that an accusation for cancellation can be submitted without time limit if there is a bad faith. Keywords: legal standing; judex juris; bad faith.
REDUKSI FUNGSI ANGGARAN DPR DALAM KERANGKA CHECKS AND BALANCES Yutirsa Yunus; Reza Faraby
Jurnal Yudisial Vol 7, No 2 (2014): DISPARITAS YUDISIAL
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v7i2.87

Abstract

ABSTRAKPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 merupakan salah satu putusan penting. Putusan ini telah merombak struktur ketatanegaraan Indonesia yang menyimpang dari prinsip-prinsip negara hukum demokratis, khususnya dalam pelaksanaan fungsi anggaran oleh pemerintah dan DPR. Kewenangan dua lembaga dalam melaksanakan fungsi perencanaan dan penganggaran pada dasarnya merupakan konsekuensi konsep negara hukum yang menganut prinsip checks and balances, yang bertujuan agar kekuasaan tidak hanya terletak pada satu tangan dan menghasilkan sistem pemerintahan yang korup dan otoriter. Namun, pelaksanaan fungsi anggaran oleh kedua lembaga harus memerhatikan batasan-batasan sesuai fungsi masing-masing agar tidak terjadi intervensi domain kekuasaan, konflik horizontal, maupun penyalahgunaan kekuasaan. Dalam hal ini, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XI/2013 berhasil membatasi kewenangan DPR dalam membahas R-APBN hanya sampai pada tingkat program. Pembatasan fungsi DPR ini merupakan upaya tepat agar DPR tidak menjadi sewenang-wenang dan justru mengacaukan sistem perencanaan dan penganggaran Pemerintah RI. Dengan demikian, putusan ini telah mereposisi kembali fungsi checks and balances di mana pemerintah mewujudkan fungsi perencanaan pembangunan dan penganggaran, sementara DPR mewujudkan fungsi politik anggaran yang sesuai amanat UUD NRI 1945.Kata kunci: fungsi anggaran, APBN, checks and balances.ABSTRACTThe Constitutional Court Decision Number 35/PUU-XI/2013 is one of the crucial decisions. This decision has revolutionized the Indonesian constitutional structure which seems to have deviated from democratic principles and rule of law, especially in the implementation of budgeting function by the government and the parliament. Those two agencies’ authorities in carrying out the function of planning and budgeting are basically a consequence of checks and balances principle in the rule of law, which aims to prevent corruption and authoritarian system resulted from an absolute government power. However, the implementation of the budgeting function by both agencies should give attention to each agency’s function limits in order to avoid intervention of power, conflict of interest, and abuse of power. In this case, the Constitutional Court Decision No. 35/PUU-XI/2013 has affirmed the limitation to the Parliament’s authority to discuss the National Budget Plans only in the scheme level. This limitation of the functions of Parliament is made as an effort to prevent the Parliament’s authority being that could possibly disrupt the government’s planning and budgeting system. Thus, this decision has repositioned the function of checks and balances, in which the government holds the function of development planning and budgeting, while the House of Representatives implements the budgeting policy as mandated on the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia.Keywords: budgeting function, the National Budget Plans, checks and balances.
MENUJU SISTEM PEMILU DENGAN AMBANG BATAS PARLEMEN YANG AFIRMATIF Wasisto Raharjo Jati
Jurnal Yudisial Vol 6, No 2 (2013): HAK DALAM KEMELUT HUKUM
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v6i2.110

Abstract

ABSTRAKTulisan ini menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012. Putusan tersebut memuat dua hal penting. Pertama, adanya penetapan ambang batas parlemen sebesar 3,5%. Ambang batas parlemen yang seharusnya menjadi sarana untuk mengefektifkan pemilu yang berkualitas justru menjadi sarana diskriminasi bagi partai politik lainnya. Penyederhanaan partai politik kemudian diartikan sebagai pembatasan kekuasaan. Suksesi kekuasaan hanya berlangsung pada partai politik lama dan tidak akan beralih pada partai politik baru. Kedua, adanya verfikasi ulang terhadap partai politik peserta pemilu. Verifikasi kemudian menjadi permasalahan lainnya yang membuat keikutsertaan partai politik baru dalam pemilu terasa kian absurd. Verifikasi dengan menyertakan ambang batas pemilu merupakan syarat yang berat. Hal itu jelas akan menimbulkan rivalitas antara partai politik menjadi tidak kompetitif. Demokrasi menjadi kian kabur maknanya ketika kekuatan oligarkis sendiri masih berkuasa di parlemen. MK melihat adanya ketidakpastian maupun ketidakadilan hukum dalam substansi Pasal 8 UU No. 10 Tahun 2012. Inkonsistensi regulasi pemilu yang eksperimental perlu diakhiri demi demokrasi. Kata kunci: regulasi pemilu, verifikasi, ambang batas parlemen, demokrasi.ABSTRACTThis paper analyzes the Constitutional Court Decision No. 52/PUU-X/2012 which contains two important points concerning the establishment of the parliamentary threshold of 3.5% and reverification of the political parties contesting the election. The threshold which should be a means to make an effective and qualified election instead became a means of discrimination among the political parties. Simplified model of political party is then interpreted as a means of power limitation. Power succession takes place only on the former political party and will not switch to a new political party. Verification then becomes another problem that makes the participation of new political party in the election seemed increasingly absurd. Verification that includes electoral threshold is a severe condition. This will obviously lead to rivalry between the political parties. The essence of democracy is increasingly blurry as the oligarchic power still in the Parliament. Constitutional Court sees this uncertainty and injustice in the legal substance of Article 8 of Law Number 10 of 2012. The inconsistency of the experimental regulations of election should be ended in favor of democracy. Keywords: regulation of election, verification, parliamentary threshold, democracy.
PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PIDANA SEBAGAI NOVUM DALAM PENINJAUAN KEMBALI PERKARA PERDATA ALI MARWAN HSB
Jurnal Yudisial Vol 12, No 1 (2019): POLITIK DAN HUKUM
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v12i1.327

Abstract

ABSTRAKUndang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek mengatur bahwa untuk penyelesaian sengketa atau pelanggaran merek dapat ditempuh melalui dua alternatif penyelesaian, yaitu dengan mengajukan gugatan ke pengadilan niaga (secara perdata) dan diadukan kepada penyidik untuk diselesaikan secara pidana. Kedua penyelesaian inilah yang ditempuh sekaligus oleh GG melawan GB. Kasus ini kemudian sampai pada upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali. Dalam peninjauan kembali perkara perdata, pihak GG mengajukan putusan peninjauan kembali perkara pidana sebagai novum. Berdasarkan hal tersebut, dapat dirumuskan permasalahan dalam tulisan ini adalah: apakah putusan peninjauan kembali perkara pidana dapat dijadikan novum dalam peninjauan kembali perkara perdata? Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode penelitian yuridis normatif atau metode penelitian kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jika dikaji dari alasan pengajuan peninjauan kembali yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, suatu putusan pengadilan dapat dijadikan alasan dalam permohonan peninjauan kembali, apabila ada pertentangan antara putusan yang satu dengan yang lain. Pertentangan itu harus antara putusan oleh peradilan yang sama atau sama tingkatan. Pengajuan putusan peninjauan kembali perkara pidana menjadi novum dalam peninjauan kembali perkara perdata atau sebaliknya, tidak dapat dibenarkan.Kata kunci: peninjauan kembali, pidana, perdata, novum. ABSTRACT Law Number 15 of 2001 concerning Trademark stipulates that resolution of disputes or violations of brands can be taken through two alternative ways, namely filing a lawsuit to the Commercial Court (civil) and secondly filing a complaint with the investigator for a criminal settlement. These two solutions were taken at the same time by both parties, GG against GB. This case was then up to the extraordinary request for review. In the review of civil cases, GG filed a decision on a criminal case review as novum. Based on this, the problems outlined in this analysis is whether the decision of a criminal case review can be made novum in reviewing a civil case. The method used is a normative juridical research method or literature research method. As stipulated in Law Number 14 of 1985 concerning the Supreme Court, pertaining to the reasoning of filing an extraordinary request for case review, the research result shows that a court decision can be used as an excuse to file a case review, provided that there is conflict between one decision and another. Filing a criminal case review decision as novum in civil case review or vice versa cannot be justified. Keywords: case review, criminal, civil, novum.
PENYELESAIAN SENGKETA TANAH PERSAINGAN DALAM KASUS GADAI YANG TERINDIKASI "SANRA PUTTA" A Nuzul
Jurnal Yudisial Vol 5, No 2 (2012): KUASA PARA PENGUASA
Publisher : Komisi Yudisial RI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.29123/jy.v5i2.153

Abstract

ABSTRAKPelaksanaan perjanjian gadai tanah (Bugis: sanra tanah) di masyarakat Kab. Bone pada kenyataannya tidak mengikuti ketentuan Pasal 7 Perpu No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, di mana pemilik barang gadai tetap berkewajiban mengembalikan uang tebusan. Begitu pula perjanjian gadai atas tanah dilaksanakan hanya secara lisan (tidak ada bukti tertulis) dan tidak adanya saksi. Lazim pula pelaksanaan gadai atas tanah kemudian berubah (diteruskan) menjadi jual beli, yang dalam istilah adat kebiasaan masyarakat setempat disebut dengan sanra putta (jual putta). Jika terjadi permasalahan hukum di kemudian hari, misalnya salah satu pihak wanprestasi (ingkar janji) atau mengingkari kesepakatan yang pernah mereka lakukan, maka penyelesaian secara kekeluargaan biasanya ditempuh walau tidak mudah diatasi, sehingga harus juga dibawa ke pengadilan. Hakim yang menangani kasus demikian seyogianya mencermati adanya latar belakang perjanjian demikian. Dalam putusan No. 34/Pdt.G/2007/PN.WTP ini, penulis mengindikasikan adanya jual beli tanah yang disebut sanra putta.Kata kunci: perjanjian gadai tanah, sanra tanah, sanra putta. ABSTRACTImplementation of the land mortgage agreement called sanra tanah in the Bone Regency, in fact, fails to comply with Article 7 of Law in lieu No. 56 Year 1960 on the Establishment of Agricultural Land. According to this regulation, the owner remains obligated to return the pawned goods ransom. There is also common that land mortgage agreements are verbally concluded without any written evidence as well as witnesses. In practice, these initial agreements can be continued to sale and purchase agreements based on the local traditions. If there is a dispute related to the so called sanra putta agreement, the amicable settlement will be chosen as the first resort, but the choice usually does not succeed to resolve the conflict. Due to the lack of evidence, such a dispute finally will be brought to the court. As mentioned by the author of this article, any panel of judges should be aware of such a customary background. Decision No. 34/Pdt.G/2007/PN.WTP, the author indicates that the case belongs to a sanra putta agreement.Keywords: land mortgage agreement, sanra tanah, sanra putta.

Page 3 of 26 | Total Record : 256


Filter by Year

2010 2024


Filter By Issues
All Issue Vol. 17 No. 2 (2024): Child Protection Vol. 16 No. 1 (2023): - Vol 15, No 3 (2022): BEST INTEREST OF THE CHILD Vol 15, No 2 (2022): HUKUM PROGRESIF Vol 15, No 1 (2022): ARBITRIO IUDICIS Vol 14, No 3 (2021): LOCUS STANDI Vol 14, No 2 (2021): SUMMUM IUS SUMMA INIURIA Vol 14, No 1 (2021): OPINIO JURIS SIVE NECESSITATIS Vol 13, No 3 (2020): DOCUMENTARY EVIDENCE Vol 13, No 2 (2020): VINCULUM JURIS Vol 13, No 1 (2020): REASON AND PASSION Vol 12, No 3 (2019): LOCI IMPERIA Vol 12, No 2 (2019): ACTA NON VERBA Vol 12, No 1 (2019): POLITIK DAN HUKUM Vol 11, No 3 (2018): PARI PASSU Vol 11, No 2 (2018): IN CAUSA POSITUM Vol 11, No 1 (2018): IUS BONUMQUE Vol 10, No 3 (2017): ALIENI JURIS Vol 10, No 2 (2017): EX FIDA BONA Vol 10, No 1 (2017): ABROGATIO LEGIS Vol 9, No 3 (2016): [DE]KONSTRUKSI HUKUM Vol 9, No 2 (2016): DINAMIKA "CORPUS JURIS" Vol 9, No 1 (2016): DIVERGENSI TAFSIR Vol 8, No 3 (2015): IDEALITAS DAN REALITAS KEADILAN Vol 8, No 2 (2015): FLEKSIBILITAS DAN RIGIDITAS BERHUKUM Vol 8, No 1 (2015): DIALEKTIKA HUKUM NEGARA DAN AGAMA Vol 7, No 3 (2014): LIBERTAS, JUSTITIA, VERITAS Vol 7, No 2 (2014): DISPARITAS YUDISIAL Vol 7, No 1 (2014): CONFLICTUS LEGEM Vol 6, No 3 (2013): PERTARUNGAN ANTARA KUASA DAN TAFSIR Vol 6, No 2 (2013): HAK DALAM KEMELUT HUKUM Vol 6, No 1 (2013): MENAKAR RES JUDICATA Vol 5, No 3 (2012): MERENGKUH PENGAKUAN Vol 5, No 2 (2012): KUASA PARA PENGUASA Vol 5, No 1 (2012): MENGUJI TAFSIR KEADILAN Vol 4, No 3 (2011): SIMULACRA KEADILAN Vol 4, No 2 (2011): ANTINOMI PENEGAKAN HUKUM Vol 4, No 1 (2011): INDEPENDENSI DAN RASIONALITAS Vol 3, No 3 (2010): PERGULATAN NALAR DAN NURANI Vol 3, No 2 (2010): KOMPLEKSITAS PUNITAS Vol 3, No 1 (2010): KORUPSI DAN LEGISLASI More Issue