cover
Contact Name
Vincent Wenno
Contact Email
vincentkalvin@gmail.com
Phone
-
Journal Mail Official
jurnal.kenosis@gmail.com
Editorial Address
-
Location
Kota ambon,
Maluku
INDONESIA
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi
ISSN : 24606901     EISSN : 26564483     DOI : -
Jurnal Kenosis bertujuan untuk memajukan aktifitas dan kreatifitas karya tulis ilmiah melalui media penelitian dan pemikiran kritis analitis di bidang kajian Teologi serta ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan Teologi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial Keagamaan Institut Agama Kristen Negeri Ambon.
Arjuna Subject : -
Articles 130 Documents
Teopetika Pemulihan Trauma: Pemulihan Trauma berbasis Ras berdasarkan Film Kitorang Basudara dan Freedom Writers Aurora Maharani
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 1 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i1.435

Abstract

Traumatic experiences of post-discrimination and racial-based violence tend to be ignored and silenced by society. This traumatic experience is not voiced and has a potential to legalize racial discrimination and violence. Rebecca Chopp in several of her writings which are also quoted by several theologians, tries to porpose a theopoetic theory as a trauma recovery room. Theopoetic theory of trauma healing emphasizes on testimony or narratives and reinterpretation towards traumatic narratives. This paper tries to perceive the theory of theopoetic from Kitorang Basudara and Freedom Writers films. Both those films show that racial differences in society can be main source of trauma as well as a space for trauma recovery, if society gives and meaning of trauma narratives.AbstrakPengalaman traumatik pasca diskriminasi dan kekerasan berbasis rasial cenderung diabaikan dan dibungkam oleh masyarakat. Pengalaman traumatik tersebut tidak tersuarakan dan berpotensi menciptakan pelegalan diskriminasi dan kekerasan berbasis rasial. Rebecca Chopp dalam beberapa tulisannya yang juga dikutip oleh beberapa teolog, mencoba menawarkan teori teopoetika sebagai ruang pemulihan trauma. Teori teopoetika pemulihan trauma ini menitikberatkan pada kesaksian atau narasi dan pemaknaan ulang terhadap narasi traumatik. Tulisan ini mencoba melihat teopoetik pemulihan trauma dari film Kitorang Basudara dan Freedom Writers. Kedua film tersebut menunjukkan bahwa perbedaan ras di kalangan masyarakat dapat menjadi sumber trauma sekaligus ruang pemulihan trauma, jika masyarakat memberi ruang pada narasi trauma dan pemaknaan atas narasi trauma.
Posisi Teks-teks Kitab Keagamaan dalam Dialog Lintas Agama di Kota Poso Pasca Konflik Budi Seprianus Tarusu
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 2 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i2.557

Abstract

Interfaith dialogue is one of the efforts that is always made to find shared values in order to build and strengthen interreligious relations after the conflict. Dialogue like this always presents interfaith figures to convey the values of living together based on their respective perspectives. The delivery of the values of living together is actually based on the truth of religious texts. This study aims to see how the presence of religious texts is positioned in post-conflict interfaith dialogue. This research will focus on interfaith communities in the city of Poso, as one of the benchmarks for achieving peace efforts in post-conflict Poso District. This study uses a qualitative method with a descriptive approach. Data obtained through participatory observation and interviews. The results of this study show that the presence and use of religious texts in interfaith dialogue to build and strengthen interreligious relations in Poso City after the conflict has an important and strategic position that emphasizes the values of living together. The presence and use of religious texts that emphasize the values of living together have encouraged the creation of safe and peaceful interfaith dialogue in the spirit of tolerance and harmony.AbstrakDialog lintas agama merupakan salah satu upaya yang selalu dilakukan untuk menemukan nilai-nilai bersama dalam rangka membangun serta memperkuat kembali relasi antaragama pasca konflik. Dialog seperti ini selalu menghadirkan tokoh-tokoh lintas agama untuk menyampaikan nilai-nilai hidup bersama yang didasarkan pada sudut pandang masing-masing. Penyampaian nilai-nilai hidup bersama ini sejatinya berpijak pada kebenaran teks-teks kitab keagamaan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimanan kehadiran teks-teks kitab keagamaan diposisikan dalam dialog lintas agama pasca konflik. Penelitian ini akan difokuskan pada masyarakat lintas agama di kota Poso, sebagai salah satu tolok ukur capaian upaya perdamaian di Kabupaten Poso pasca konflik. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Data didapatkan melalui observasi-partisipatif dan wawancara. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa kehadiran dan penggunaan teks-teks kitab keagamaan dalam dialog lintas agama untuk membangun serta memperkuat kembali relasi antaragama di Kota Poso pasca konflik, memiliki posisi penting dan strategis yang menegaskan nilai-nilai hidup bersama. Kehadiran dan penggunaan teks-teks kitab keagamaan yang menegaskan nilai-nilai hidup bersama ini, telah mendorong terciptanya dialog lintas agama yang aman dan damai dalam semangat toleransi dan kerukunan.
Interkoneksi Pemilihan dan Perjanjian dalam Yesaya 42:1-9 sebagai Dasar Hidup Menggereja Gideon Hasiholan Sitorus
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 1 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i1.446

Abstract

The narrative of the Servant of the LORD in Isaiah 42:1-9 is a projection that will be realized in the present and future. I define that the Servant of the LORD who experiences the election is the communal Nation of Israel. The purpose of this article is to analyze the Servant of the LORD narrative in Isaiah 42:1-9 through Gerhard von Rad's diachronic analysis, as this method penetrates into the layers of the Old Testament with the aim of revealing Israel's "theological activity" which is one of the most important and interesting activities. The results of this study show that the selection of the Nation of Israel as the mediator was an incomparable gift and was accepted in unquestioning obedience. In this case, the covenant as a form of election will be carried out, first of all, the Israelites as Servants of the LORD must form and experience unity with God, so that the Israelites enjoy God's presence and manifest it holistically in social life with other nations for the stability of a peaceful environment, and in which sinful humanity can serve others by opening the way into fellowship with God, so that even those who are chosen who are rebellious or do not know God will be assured that they will be helped if they are able to rise up and help the outside world through the task of praxis, which is holistic liberation.AbstrakNarasi Hamba TUHAN dalam Yesaya 42:1-9 merupakan sebuah proyeksi yang akan terwujud pada kehidupan kini dan nanti. Penulis menetapkan bahwa Hamba TUHAN yang mengalami pemilihan ialah Bangsa Israel komunal. Artikel ini bertujuan untuk menganalisa narasi Hamba TUHAN dalam Yesaya 42:1-9 melalui analisis diakronis oleh Gerhard von Rad, sebab metode ini menembus sampai kelapisan dari Perjanjian Lama dengan tujuan mengungkapkan “kegiatan teologi” Israel yang merupakan salah satu kegiatan yang tergolong paling penting dan menarik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemilihan Bangsa Israel sebagai media perantara merupakan anugerah yang tiada tara dan diterima dalam ketaatan tanpa bantahan. Dalam hal inilah perjanjian sebagai wujud pemilihan akan dilaksanakan pertama-tama Bangsa Israel sebagai Hamba TUHAN harus membentuk dan mengalami persekutuan dengan Allah, supaya Bangsa Israel menikmati kehadiran Allah dan mengejawantahkan hal tersebut secara holistik di kehidupan sosial bersama bangsa lain guna stabilitas lingkungan yang damai, dan di dalamnya umat manusia yang berdosa dapat melayani sesama dengan cara membuka jalan ke dalam persekutuan dengan Allah, maka baik yang dipilih bahkan yang memberontak atau yang tidak mengenal Tuhan akan mendapat kepastian bahwa mereka akan ditolong apabila mereka mampu bangkit dan menolong dunia luar melalui tugas praksis, yaitu pembebasan holistik.
Debet Pai Kendik: Kajian Teologi Kontekstual terhadap Pandangan Masyarakat Moi, Sentani Barat, tentang Pemeliharaan Lingkungan Hidup Santy Layan
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 1 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i1.504

Abstract

Natural conditions, from time to time, increasingly show cracks here and there. The life of the indigenous people of the Moi tribe, West Sentani, is being threatened due to the reduced population of sago trees. The presence of the Debet Pai Kendik culture will emphasize the religious side of restoring and maintaining the environment through the sago forest as a manifestation of God's mandate that humans must obey and carry out. This paper analyzes the contextual theology of the Debet Pai Kendik culture and the Church's calling through that culture. This study uses a qualitative method with a case study approach. Data collection techniques include interviews, observations, and documentation studies. The study results show that people are aware that their natural conditions are being threatened, so they take actions that have high respect and appreciation for the sago tree as a brother created by God. Meanwhile, the Church plays a role in exploring the Debit Pai Kendik and packaging it into a source of moral norms that are friendly and respectful to the environment. AbstrakKondisi alam dari waktu ke waktu semakin menunjukan keretakan di sana sini. Kehidupan masyarakat adat suku Moi, Sentani Barat tengah terancam akibat berkurangnya populasi pohon sagu. Kehadiran budaya Debet Pai Kendik hendak menegaskan sisi religius tentang pemulihan dan pemeliharaan lingkungan hidup melalui hutan sagu sebagai wujud mandat Allah yang wajib dipatuhi dan dijalankan oleh manusia. Tulisan ini bertujuan menganalisis teologi kontekstual terhadap budaya Debet Pai Kendik dan panggilan Gereja melalui budaya tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Teknik pengumpulan data berupa wawancara, observasi, dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan masyarakat telah sadar bahwa kondisi alamnya tengah terancam sehingga melakukan tindakan yang menaruh rasa hormat dan penghargaan yang tinggi terhadap pohon sagu sebagai saudara yang diciptakan Tuhan. Sementara gereja memainkan peran untuk menggali Debet Pai Kendik dan mengemasnya menjadi sumber norma moral yang ramah dan respek terhadap lingkungan
Sehat dan Sakit, Anugerah atau Kutuk: Sebuah Tinjauan Teologis dan Kesehatan Publik Costantinus Ponsius Yogie Mofun
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 1 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i1.508

Abstract

The concept of health and illness itself often relates to the relationship between blessings and curses. People see that sickness is a gift from God while sickness is a curse given to humans for not doing what is His will and causing sin. This view is actually an understanding that has existed for a long time but sometimes becomes the basis of one's desire to make an assessment of one's religious life to God. With this problem, theology and public health will be carried out looking at the problems that occur starting with interpreting religion and public health, then theological relations in the Old Testament and New Testament using this approach in the relationship of blessings and curses on healthy or sick.AbstrackKonsep sehat dan sakit sendiri sering kali dikaitkan dengan hubungan antara berkat dan kutuk. Orang-orang melihat bahwa sakit merupakan anugerah Tuhan sedangkan sakit merupakan kutuk yang diberikan Tuhan kepada manusia karena tidak melakukan apa yang menjadi kehendak-Nya dan menimbulkan dosa. Pandangan ini sebenarnya merupakan pemahaman yang telah ada sejak lama namun terkadang masih saja menjadi dasar acuan seseorang dalam melakukan penilaian atas kehidupan yang religius kepada Tuhan. Dengan persoalan tersebut maka akan dilakukan tinjauan teologi dan kesehatan publik dalam melihat persoalan yang terjadi yang mana di mulai dengan melakukan interpretasi hubungan agama dan kesehatan publik, kemudian tinjauan teologi dalam kitab Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru barulah menggunakan pendekatan tersebut dalam melihat hubungan berkat dan kutuk atas kehidupan sehat atau sakit.
Memahami Ulang Makna Sosio-Ekologis Abad 21: Kespesiesan Manusia dan Personitas Alam dalam Anthropocene Melalui Actor-Network Theory Fiktor Jekson Banoet
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 2 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i2.463

Abstract

Tendency of the post-positivism sociology family to define the social meaning of humans as a way of living together between humans. The social meaning is drawn from the interactions between them and has not included the associative rules with the ecosphere (biotic and abiotic) as forming the social meaning. And conversely, certain parties, from among scientists, even environmental activists, do not include the definition of the environment as having a "personality". In the midst of the ecological crisis context, this paper tries to re-interpret this meaning socio-ecologically. The goal is to obtain alternatives to respond to the environmental crisis in Indonesia. We conceptualize the perspective of Actor Network Theory, or what is also called Actant Rhizome, by Bruno Latour. He discusses that social meaning is no longer centered on humans and society is no longer human society. Rather, society is any non-human entity in the ecosphere, technosphere and sociophere (human environment) which satisfies the presupposition of interaction, which he calls “active”. For Latour, in an era of ecological crisis, many people will mutate themselves according to that crisis. Theologically, it can then be further reflected in the socio-ecological meaning of society, including the mutated whole.AbstrakKecenderungan rumpun sosiologi pascapositivisme mendefinisikan makna sosial manusia sebagai cara hidup bersama antarmanusia. Makna sosialnya ditarik dari interaksi antara manusia dan belum memasukkan kaidah asosiatif ke dalam ekosfer sebagai pembentuk makna sosial tersebut. Sebaliknya, pihak tertentu, dari kalangan saintis, bahkan pegiat lingkungan kurang memasukan definisi lingkungan hidup sebagai yang memiliki ‘kepribadian’. Di tengah konteks krisis ekologi di Indonesia, tulisan ini mencoba memaknai ulang makna tersebut secara sosio-ekologis. Tujuannya supaya memperoleh alternatif menanggapi krisis lingkungan. Studi ini mempertimbangkan perspektif Teori Jaringan-Aktor (actor-network theory), atau yang juga disebut Actant Rhizome, oleh Bruno Latour. Ia mendiskursuskan bahwa makna sosial tidak lagi berpusat pada manusia dan masyarakat bukan saja masyarakat manusia. Tetapi juga setiap entitas non-manusia dalam ekosfer, teknosfer dan sosiofer yang memenuhi pengandaian interaksi, yang ia sebut ‘aktan’.
Titik Temu Hukum Fondrakõ dengan Keluaran 20:3-17 sebagai Tatanan Kehidupan Masyarakat Nias Firman Panjaitan; Steven Anugerah Jaya Ndruru
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 2 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i2.523

Abstract

This article aims to show the equality between the Fondrakõ law and the ten Laws as written in Exodus 20:3-17. The equality of these two laws lies in the pattern of the relationship between humans and God and humans with each other. By looking at the equality between these two laws, it can be ascertained that in fact the application of the Fondrakõ law to the lives of the people of Nias is very contextual. The discussion in this article uses the cross-textual reading method, which refers to a comparative-correlative study approach by looking at and finding similarities and differences between the two selected texts. The results of the research show that the Fondrakõ law and the Torah Law are actually two laws that have similarities and are interrelated to one another. Even if there are differences between the two laws, these differences can be used to complement each other and enrich each other's meanings. Thus, Torah law can actually be applied in the life of Nias people through Fondrakõ laws, especially those that regulate the relationship between humans and God and each other.AbstrakArtikel ini bertujuan untuk menunjukkan kesetaraan antara hukum Fondrakõ dengan sepuluh Hukum Taurat seperti yang ditulis dalam Keluaran 20:3-17. Kesetaraan kedua hukum ini terletak pada pola hubungan antara manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesamanya. Dengan melihat kesetaraan antara kedua hukum ini, dapat dipastikan bahwa sesungguhnya pemberlakuan hukum Fondrakõ terhadap kehidupan masyarakat Nias sangat kontekstual. Pembahasan dalam artikel ini menggunakan metode pembacaan cross textual, yang mengacu pada pendekatan studi komparatif-korelatif dengan cara melihat dan menemukan persamaan dan perbedaan kedua teks terpilih. Hasil dari penelitian memperlihatkan bahwa hukum Fondrakõ dengan Hukum Taurat sesungguhnya merupakan dua hukum yang memiliki persamaan dan saling bertalian satu sama lain. Kalau pun ada perbedaan di antara kedua hukum tersebut, justru perbedaan itu dapat dipakai untuk saling melengkapi dan memperkaya makna satu sama lain. Dengan demikian sejatinya hukum Taurat dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat Nias melalui hukum Fondrakõ, khususnya yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan dan sesamanya.
Budak dan Pekabaran Injil di Timor: Studi Historis mengenai Peran Budak dalam Sejarah Pekabaran Injil di Timor, 1820-an – 1840-an. Fransisco de Kr. Anugerah Jacob
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 2 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i2.546

Abstract

This article aims to show the role of slaves in the history of evangelism on the island of Timor in 1820s-1840s. In the context of Timor Island, slaves played an pivotal role in the expansion of Christianity (Protestantism). Based on research result, I noted at least six slaves – and former slaves – who were actively involved in evangelizing. There are three roles of the slaves, namely slaves as a techer, missionary, and influencer. As for the slaves – because they came from the lowest strata of society – they often faced opposition when preaching the gospel. However, these challenges do not stop them from carrying out their duties and vocations.AbstrakArtikel ini bertujuan memperlihatkan peran para budak dalam sejarah pekabaran Injil di pulau Timor pada tahun 1820-an hingga 1840-an. Dalam konteks Pulau Timor, para budak berperan penting dalam perluasan kekristenan (protestan). Berdasarkan hasil penelitian, saya mencatat setidaknya terdapat enam orang budak – dan mantan budak – yang terlibat aktif dalam pekabaran Injil. Adapun terdapat tiga peran budak dalam pekerjaan pekabaran Injil, yakni sebagai guru, misionaris dan pemberi pengaruh (influencer). Para budak – karena datang dari lapisan masyarakat bawah – sering kali menghadapi pertentangan ketika memberitakan Injil. Kendati demikian, tantangan-tantangan tersebut tidak membuat mereka berhenti memberitakan Injil.  
Fenomena Kuburan Campur sebagai Media Dialog Antar-Agama Selvone Christin Pattiserlihun
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 2 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i2.518

Abstract

Several meeting spaces in society have become different in engagement places or media for dialog antar agama in Indonesia unconsciously, such as Graves oft seen as scary spaces can be spaces for dialog antar agama. This paper aims to reveal interfaith dialogue facts from the mixed-grave phenomenon that academics rarely see. This paper uses a qualitative study with the mechanism of observation, interviews, and literature analysis. There are several results. 1) Interfaith dialogue media can be distinguished into three forms of mixed grave phenomena, namely mixed ethnic graves, mixed religions, and mixed ethnicities and religions. 2)These three types of mixed graves conduct dialog antar agama to maintain tolerance through activities carried out by several community groups, both from families and the Indonesian Graveyard community, that hunting activities. 3)Kinship and friendship are important reasons for preserving the values of tolerance in a multicultural and multi-religious society through this phenomenon. Thus, dialog antar agama can be carried out in various public spaces, not just academic areas which are boring and difficult to reach by grassroots communities. Several regions that do not experience religious segregation have practiced these methods for a long time.AbstrakTanpa disadari, beberapa ruang perjumpaan dalam masyarakat menjadi tempat perkawinan perbedaan atau media dialog antar-agama di Indonesia salah satu contohnya adalah kuburan yang dilihat sebagai tempat menakutkan dapat dijadikan sebagai ruang terciptanya dialog antar-agama. Tujuan tulisan ini adalah menganalisis dialog antar agama dari fenomena kuburan campur (mix-grave) yang jarang dilihat para akademisi. Tulisan ini menggunakan studi kualitatif dengan mekanisme observasi, wawancara, dan analisis literatur. Hasilnya, 1) Media dialog antar agama dapat dibedakan dalam 3 bentuk fenomena kuburan campur yakni kuburan campur etnik, campur agama, dan campur etnik dan agama. 2) Ketiga macam kuburan campur ini dapat disadari sebagai ruang baru bagi masyarakat melakukan dialog antar-agama agar tetap memelihara toleransi melalui aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat baik dari keluarga dan juga aktivitas berburu (hunting) kuburan yang dilakukan oleh komunitas Graveyard Indonesia. 3) Hubungan kekerabatan (kinship) dan persahabatan (friendship) menjadi alasan penting pelestarian nilai-nilai toleransi dalam masyarakat yang multikultural dan multiagama melalui fenomena ini. Dengan demikian, dialog antar agama dapat dilakukan di berbagai ruang masyarakat bukan hanya pada ruang akademis yang membosankan dan sulit dijangkau oleh masyarakat akar rumput. Cara-cara ini telah dilakukan dari lama oleh beberapa daerah yang tidak mengalami segregasi agama.
Keadilan Menyeluruh Menurut Pancasila dalam konsep “Sangserekan” di Toraja Serta Sumbangsihnya Bagi Krisis Ekologi Dody Grace Febryanto Rongrean
KENOSIS: Jurnal Kajian Teologi Vol 8, No 2 (2022): KENOSIS: JURNAL KAJIAN TEOLOGI
Publisher : IAKN Ambon

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37196/kenosis.v8i2.538

Abstract

Fokus studi ini bertujuan untuk menyikapi krisis ekologi yang terjadi hari ini. Penulis melihat bahwa, kerusakan alam diakibatkan oleh ulah manusia yang bertindak semena-mena atas alam. Perlakuan tersebut tak jauh dari konsep bahwa manusia adalah pusat (antroposentrisme), dan karenanya berhak memperlakukan alam semaunya. Akibatnya ialah lingkungan yang tercemar, pemanasan global, polusi, deforestasi dan krisis lingkungan lainnya. Penulis melihat fenomena tersebut dari sudut pandang kearifan lokal masyarakat Toraja, yaitu konsep Sangserekan. Dalam konsep tersebut dijumpai “roh” Pancasila tentang bagaimana berlaku adil secara “menyeluruh”, tidak hanya bagi sesama manusia, tetapi berlaku juga bagi alam. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini ialah kualitatif, dan pendekatan yang digunakan ialah fenomenologis. Penulis sampai pada temuan bahwa keadilan dalam Pancasila berlaku bagi seluruh ciptaan yang ada, termasuk alam. Dan konsep tersebut ditemui dalam konsep Sangserekan masyarakat Toraja. Dengan demikian alam adalah Sangserekan/ saudara, karenanya layak diperlakukan secara adil.AbstractThe focus of this aims to address the ecological crisis that is happening today. The author sees that, the damage to nature is caused by human activities that act arbitrarily upon nature. This treatment is not far from the concept that humans are the center (anthropocentrism), and therefore have the right to treat as they please. The result is a polluted environment, global warming, pollution, deforestation, and other environmental crises. The author looks at this phenomenon from the point of view of the local wisdom of the Toraja people, namely the concept of Sangserekan. In this concept one can find the “spirit” of Pancasila about how to act fairly “overall”, not only for fellow human beings, but also for nature. The methodology used in this study is phenomenological. The author comes to the finding that justice in Pancasila applies to all existing creation, including nature. And this concept is found in the concept of Sangserekan of the Toraja people. Thus, nature is Sangserekan/ brother therefore it deserves to be treated fearly.

Page 11 of 13 | Total Record : 130