Fairness and Justice: Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum
Fairness and Justice : Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum pertama kali diterbitkan pada tahun 2005 oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember dalam bentuk cetak. Jurnal Ilmiah ilmu Hukum memuat artikel hasil penelitian dibidang ilmu Hukum yang dilakukan oleh dosen maupun mahasiswa dari dalam maupun luar Universitas Muhammadiyah Jember, yang diterbitkan secara berkala pada bulan Mei dan November.
Articles
236 Documents
RELEVANSI PUTUSAN PENGADILAN TERHADAP PENERBITAN AKTA KELAHIRAN
Chumaidah, Menik;
Tuharyati, Yanny
FAIRNESS AND JUSTICE Vol 9, No 1 (2013): FAIRNESS AND JUSTICE
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jember
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (478.083 KB)
|
DOI: 10.32528/.v9i17.622
Akta kelahiran merupakan hak pertama yang dimiliki oleh seorang anak karena akta kelahiran menunjukan identitas dan status yang dimiliki seseorang sebagai warga dari suatu Negara yang akan menjamin pemenuhan hak-haknya. Indonesia termasuk salah satu dari 20 negara yang cakupan pencatatan kelahirannya paling rendah, dan keadaan di daerah pedesaan lebih buruk daripada di perkotaan.Kesenjangan ini termasuk yang tertinggi di dunia. Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya cakupan pencatatan kelahiran, mulai dari kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pencatatan kelahiran, biaya yang tinggi untuk pencatatan, prosedur yang sulit, serta kurangnya akses terhadap pelayanan pencatatan yang biasanya berada di tingkat kabupaten/kota.Relevansi penetapan pengadilan terhadap penerbitan akte kelahiran adalah sebagai sanksi bagi masyarakat yang terlambat melaporkan kelahiran lebih dari satu tahun, tetapi keterlambatan melaporkan kelahiran yang lebih dari satu tahun yang harus melalui penetapan pengadilan dinilai memberatkan masyarakat. Keberatan tersebut bukan saja bagi mereka yang tinggal didaerah pelosok, tetapi juga yang tinggal di daerah perkotaan.Dalam surat edaran tertanggal 1 Mei 2013 tersebut ditegaskan sejak tanggal 1 Mei 2013, pengadilan tidak ladi berwenang untuk memeriksa permohonan penetapan pencatatan akta kelahiran. Surat edaran MA ini keluar setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan Nomor/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi memandang pelayanan akta kelahiran selama ini menjadi rumit dan berbelit-belit akibat akta kelahiran yang terlambat dilaporkan kepada instansi pelaksana setempat yang melampaui batas waktu 60 hari sampai dengan satu tahun, dan harus dengan penetapan pengadilan setelah lewat waktu satu tahun.Kata Kunci: Akta Catatan Sipil, Akta Kelahiran, Putusan Pengadilan
Implementasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Di Kecamatan Kotabumi Selatan Lampung Utara
Syafruddin, Syafruddin;
Dina, Muhammad Ruhly Kesuma
FAIRNESS AND JUSTICE Vol 17, No 2 (2019): FAIRNESS AND JUSTICE
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jember
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (144.18 KB)
|
DOI: 10.32528/faj.v17i2.2802
Perjanjian pengusahan tanah dengan bagi hasil semula diatur dalam hukum Adat yang didasarkan pada kesepakatan antara pemilik tanah dan petani penggarap dengan mendapat imbalan hasil yang telah disepakati sebelumnya oleh kedua belah pihak. Dalam perkembangannya, perjanjian bagi hasil kemudian mendapat pengaturan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang perjanjian Bagi hasil yang lahir berdasarkan pada hukum adat di Indonesia. Permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana implementasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah di Kecamatan Kotabumi Selatan Lampung Utara? dan Faktor-faktor apa yang menjadi penghambat dalam Implementasi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah di Kecamatan Kotabumi Selatan Lampung Utara? Artikel ini menggunakan pendekatan empris, data primer diperoleh melalui pengumpulan data di lapangan yang kemudian dilengkapi dengan studi pustaka untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif. Pelaksanaan penerapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian di Kecamatan Kotabumi Selatan Lampung Utara belum sepenuhnya berjalan efektif. Masyarakat cenderung memilih untuk melaksanakan dengan cara lisan, dengan dasar imbangan pembagian hasil sesuai dengan kesepakatan, alasannya adalah sudah dilakukan secara turun temurun, saling percaya untuk saling tolong menolong antara warga sehingga mereka tidak memilih secara formal namun hanya kata sepakat antara kedua pihak (pemilik tanah dan penggarap). Faktor penghambat penerapan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian bagi Hasil Tanah Pertanian di Kecamatan Kotabumi Selatan Lampung Utara adalah sebagian besar masyarakat tidak mengetahui adanya ketentuan Perjanjian bagi Hasil Pertanian yang diatur dalam Undang-Undang tersebut karena tidak adanyan Sosialisasi dari perangkat desa maupun dinas yang terkait; kurangnya wawasan dari masyarakat karena rendahnya tingkat pendidikan; adanya kebiasaan buruk dari masyarakat yang menyepelekan setiap peraturan yang berhubungan dengan pertanian.
ANALISIS PERSAINGAN USAHA DI BIDANG IMPORTASI DAN DISTRIBUSI FILM DALAM MENUMBUHKEMBANGKAN PERFILMAN NASIONAL
Serfiyani, Cita Yustisia;
Setyawan, Fendi;
Susanti, Dyah Ochtarina
FAIRNESS AND JUSTICE Vol 9, No 2 (2013): FAIRNESS AND JUSTICE
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jember
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (367.157 KB)
|
DOI: 10.32528/.v9i18.627
Banyak faktor dan hambatan yang dihadapi dalam upaya menumbuhkembangkan perfilman nasional, salah satu isu terpenting adalah praktek monopoli di bidang importasi dan distribusi serta monopoli di bidang eksebisi. Monopoli bioskop pada satu jaringan perusahaan bioskop dapat menyebabkan ketatnya kompetisi perolehan copy film yang didistribusikan, apalagi jika perusahaan distributor film tersebut termasuk ke dalam jaringan perusahaan bioskop yang bersangkutan.Kata Kunci : Film, Monopoli, Persaingan Usaha
PEROLEHAN PELEPASAN HAK ATAS TANAH YANG DIKUASAI PEMERINTAH DAERAH MENJADI HAK GUNA BANGUNAN
Akim, Sulthon
FAIRNESS AND JUSTICE Vol 9, No 2 (2013): FAIRNESS AND JUSTICE
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jember
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (219.37 KB)
|
DOI: 10.32528/.v9i18.632
Proses perolehan hak atas tanah yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah menjadi Hak Guna Bangunan tersebut, baik dalam proses pelepasan melalui Badan Urusan Tanah dan Rumah, maupun selama proses permohonan Hak Guna Bangunan di Kantor BPN, terdapat adanya kelemahan hukum dalam perolehan hak guna bangunan atas tanah yang dikuasai pemerintah daerah diantaranya : Tidak adanya peraturan-peraturan yang mendukung pelaksanaan peralihan hak atas tanah yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah, Tidak terpenuhinya Ketentuan Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Yang Dikuasai Oleh Pemerintah Daerah menjadi Hak Guna Bangunan yaitu ketentuan pasal 19 Peraturan Pemerintah No.10 Tahun 1961, Pasal 37 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 dan masalah dalam pelaksanaan Tarif, kultur masyarakat yang lebih m mengedepankan hak dari pada kewajiban, dan adanya hambatan dalam melakukan pengaturan, penertiban, dan pengendalian penguasaan dan pemanfaatan tanah oleh Badan Pertanahan Nasional. bertitik pangkal dari beberapa kelemahan ini mengakibatkan kedudukan hukum menjadi timpang dan menimbulkan banyak permasalahan terutama jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi pemegang hak guna bangunan.Kata kunci : Pelepasan hak, Kepastian hukum
PENEMUAN HUKUM BERBASIS HUKUM PROGRESIF OLEH HAKIM MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM PERKARA PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Suratno, Sadhu Bagas
FAIRNESS AND JUSTICE Vol 14, No 1 (2016): FAIRNESS AND JUSTICE
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jember
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (163.198 KB)
|
DOI: 10.32528/.v14i24.637
Dalam rangka menegakkan konstitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji Undang-undang terhadap Undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum sebagaimana tercantum dalam konstitusi dan Undang-undang Mahkamah Konstitusi. Namun dalam perkembangannya, terdapat beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak diatur dalam ketentuan tersebut. Diantaranya ialah putusan konstitusional bersyarat, putusan sela dan ultra petita. Cara berhukum yang tidak terikat pada teks Undang-undang lazim disebut dengan penemuan hukum. Kegiatan hakim dalam melakukan penemuan hukum ternyata identik dengan karakter hukum progresif yang menganggap bahwa hukum bukanlah institusi yang mutlak dan final melainkan terus menerus menjadi. Akibatnya, hal ini akan mempengaruhi cara berhukum hakim yang tidak sekedar terjebak dalam ritme kepastian hukum semata, tetapi juga keadilan dan kemanfaatan.Kata Kunci: Mahkamah Konstitusi, Penemuan Hukum, dan Hukum Progresif
KAJIAN YURIDIS TENTANG LARANGAN WANITA SEBAGAI ISTRI KEDUA ATAU LEBIH MENJADI PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM PERSPEKTIF HUKUM PERKAWINAN ISLAM
Rosita, Emi Yulia;
Akim, Sulton
FAIRNESS AND JUSTICE Vol 14, No 2 (2016): FAIRNESS AND JUSTICE
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jember
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (201.909 KB)
|
DOI: 10.32528/faj.v14i2.1966
Tesis pada dasarnya adalah latar belakang pengaturan perkawinan bagi pegawai negeri sipil (PNS) selain tunduk pada UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan juga harus mematuhi ketentuan perkawinan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Pegawai negeri yang memungkinkan seseorang untuk berstatus pegawai negeri sipil dalam keadaan tertentu diizinkan untuk menikahi lebih dari satu. Namun, dalam Pasal 4 (2) Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang Perkawinan dan Perceraian Berlisensi untuk Pegawai Negeri Sipil. Melarang seorang wanita Pegawai Negeri Sipil untuk menjadi istri kedua / ketiga / keempat yang ketentuannya tidak tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penulisan skripsi ini berisi uraian tentang prinsip, teori, konsep yang mencakup pengertian perkawinan dan Pegawai Negeri Sipil, ketentuan perkawinan, jenis perkawinan, disiplin hukum PNS dan tata cara perkawinan Pegawai Negeri Sipil dalam Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1990 tentang Amandemen Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan bagi PNS.
PENERAPAN DOKTRIN DIMINISHED RESPONSIBILITY TERHADAP BANK DALAM MELAKSANAKAN PRINSIP KNOW YOUR COSTUMERS TERKAIT TRANSAKSI KEUANGAN YANG MENCURIGAKAN
Yanuarsari, Maya Wira
FAIRNESS AND JUSTICE Vol 16, No 2 (2018): FAIRNESS AND JUSTICE
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jember
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (395.604 KB)
|
DOI: 10.32528/faj.v26i2.2044
Resiko bank dalam operasionalnya begitu tinggi, di satu sisi terkait dengan ketentuan yang dibuat oleh Bank Indonesia dan di sisi yang lain bank mengelola dana nasabah agar tidak lari ke bank lain khususnya dalam pelaksanaan prinsip Know Your Costumers. Jika terjadi resiko tersebut yaitu dalam hal pertanggungjawaban pidana oleh bank. Namun, untuk pertanggungjawaban pidana dari badan hukum, asas kesalahan tidak mutlak berlaku. Di beberapa negara, untuk tindak pidana tertentu, seperti tindak pidana lingkungan, dikenal doktrin yang mengecualikan syarat umum adanya unsur kesalahan dalam tindak pidana. Doktrin tersebut dikenal dengan strict liability dan vicarious liability. Disamping itu terkait resiko bank maka patut juga dipertimbangkan konsep pertanggungjawaban pidana yang selama ini diterapkan untuk kejahatan atau tindak pidana konvensional diadaptasikan ke dalam Tindak Pidana Pencucian Uang yaitu prinsip diminished responsibility. Dalam hukum pidana, diminished responsibility (berkurangnya tanggung jawab) merupakan alasan pelaku bahwa meskipun melanggar hukum, mereka tidak harus sepenuhnya bertanggungjawab secara pidana, karena alasan-alasan tertentu. Di dalam mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang, selain pemerintah yang berperan, diperlukan juga peranan dari bank sentral selaku bank Induk untuk menetapkan peraturan yang diperlukan dalam rangka mencegah dan menindak keterlibatan pegawai atau pejabat bank dalam kegiatan pencucian uang baik yang dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja.Kata Kunci : Pertanggungjawaban Pidana, Diminished responsibility, Tindak Pidana Pencucian Uang
KEDUDUKAN KREDITUR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN ATAS OBYEK JAMINAN YANG BELUM DIBAGI (Analisa Putusan No. 10/Pdt.G/2013/Pn-Lsm)
Nugraha, Agra Verta Ardi
FAIRNESS AND JUSTICE Vol 16, No 2 (2018): FAIRNESS AND JUSTICE
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jember
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (328.852 KB)
|
DOI: 10.32528/faj.v26i2.2050
Lembaga keuangan perbankan dalam memberikan fasilitas kredit kepada nasabah terlebih dahulu harus memperhatikan Prinsip 5 C yaitu Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition of Economy, dengan terpenuhinya prinsip 5 C maka Bank bisa memberikan fasilitas kredit kepada nasabah disertai dengan pembuatan perjanjian kredit antara Bank dengan nasabah baik secara Notariil maupun dibawah tangan. Perjanjian Kredit tersebut yang dibuat antara Bank dengan nasabah menempatkan kedudukan Bank sebagai Kreditur sedangkan nasabah sebagai Debitur yang kemudian menimbulkan adanya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak dalam perjanjian tersebut. Adanya kewajiban membayar pelunasan kredit oleh Debitur kepada Kreditur maka Bank demi menjamin pelunasan hutang tersebut membuat pengesampiangan terhadap Pasal 1131 BW dengan tunduk pada Buku II BW tentang Kebendaan dengan membuat perjanjian Jaminan Kebendaan yaitu menunjuk salah satu benda milik Debitur untuk dijaminkan sebagai pelunasan jaminan hutang apabila Debitur mengalami kredit macet, dalam hal ini adalah Tanah dan Bangunan milik Debitur. Penjaminan Tanah dan Bangunan milik Debitur tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.Kata Kunci: Kredit, Perjanjian Kredit, Hak Tanggungan.
POLITIK HUKUM KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945
Ubaidillah, Lutfian
FAIRNESS AND JUSTICE Vol 15, No 1 (2017): FAIRNESS AND JUSTICE
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jember
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (635.964 KB)
|
DOI: 10.32528/faj.v15i1.2078
Setelah perubahan UUD NRI 1945 maka mengenai kedudukan MPR berubah, kedaulatan rakyat tidak lagi di laksanakan oleh MPR dan MPR juga tidak merupakan lembaga tertinggi negara serta MPR tidak mempunyai kewenangan dalam membentuk garis-garis haluan negara, sehingga perubahan tersebut berdampak pula pada produk MPR yaitu ketetapan MPR sehingga dari masalah tersebutlah UUD NRI 1945 megamanatkan kepada MPR untuk melakukan peninjauan terhadap status hukum dan kedudukan TAP MPRS dan TAP MPR RI tahun 1996-2002 yang dimuat dalam TAP MPR RI No.1/MPR/2003
PERUBAHAN SISTEM PERLAKUAN TERHADAP ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM
Chumaidah, Menik
FAIRNESS AND JUSTICE Vol 15, No 2 (2017): FAIRNESS AND JUSTICE
Publisher : Universitas Muhammadiyah Jember
Show Abstract
|
Download Original
|
Original Source
|
Check in Google Scholar
|
Full PDF (291.907 KB)
|
DOI: 10.32528/faj.v15i2.2083
Dalam perkembangan hukum pidana, telah terjadi pergeseran paradigma dalam filosofi peradilan pidana anak, yang awalnya adalah retributive justice, kemudian berubah menjadi rehabilitasi, lalu yang terakhir menjadi restorative justice. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) terdapat istilah diversi dan keadilan restorative atau sering dikenal dengan istilah Restorative Justice, istilah baru tersebut tidak terdapat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668) yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Diversi merupakan bentuk penyelesaian perkara anak dengan pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Sedangkkan keadilan restorative (Restorative Justice) adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/ korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.Hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin dengan adanya diversi dan menghindarkan anak dari stigma sebagai ?anak nakal? karena tindak pidana yang diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu melalui proses hokum, untuk kepentingan terbaik bagi anak.