cover
Contact Name
Vika Nurul Mufidah
Contact Email
editor.mozaic@gmail.com
Phone
+6289658014728
Journal Mail Official
editor.mozaic@gmail.com
Editorial Address
Fakultas Agama Islam, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (FAI-UNUSIA) Lantai 2 : Taman Amir Hamzah No 5 Pengangsaan Menteng-Jakarta Pusat
Location
Unknown,
Unknown
INDONESIA
Mozaic : Islam Nusantara
ISSN : 25276549     EISSN : 25278738     DOI : https://doi.org/10.47776/mozaic
Mozaic: Islam Nusantara publishes articles on the study of Islamic Nusantara in Indonesia from various perspectives, covering both literary and fieldwork studies multidisciplinary of Islamic Studies with various perspectives of Islamic Sharia, Islamic Education, Madrasah Studies, Islamic Banking, Islamic Economy, and much more.
Articles 162 Documents
PENELUSURAN POA ISLAMISASI DI INDONESIA Muhammad Sueb
Mozaic : Islam Nusantara Vol 2 No 2 (2016): Mozaic : Islam Nusantara
Publisher : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nahdatul Ulama Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47776/mozaic.v2i2.84

Abstract

Jika ada pihak yang melontarkan klaim, bahwa terdapat Islam Historis di Indonesia, maka kemungkinan besar akan muncul banyak protes. Pasti, jika satu kebudayaan Islam disebut sebagai historis, maka ia akan menafikan historisitas keberislaman ‘yang lain’. Apalagi dalam pluralitas keberislaman di tanah air, yang memang sejak awal islamisasi telah menunjukkan perbedaan, baik kultur geografi Nusantara maupun daerah ‘luar’ dimana Islam datang untuk melakukan konversi. Hanya saja, jika kita percaya akan adanya local genius, atau cultural core (inti pola kebudayaan) di sebuah masyarakat, maka pastilah terdapat satu ‘ruh’ kebudayaan yang menjadi kesatuan inti dari semua pluralitas tersebut. Dari sinilah penggalian Islam Historis di Indonesia menjadi urgen. Kebutuhan ini berangkat dari satu postulat, bahwa keindonesiaan Islam kita telahlamamengalami proses dehistorisasi. Sebuah proses ketercerabutan akar baik kesejarahan, otentisitas kebudayaan, maupun genealogi keilmuan, yang membuat Keberislaman kita mengalami ‘gagap’ dalam menanggapi berbagai gelombang permasalahan yang datang dari luar. Dehistorisasi ini, seperti kita tahu merujuk pada dua gelombang islamisasi sejak abad ke-19 yang menemu ruang pada gerak Wahabisasi dan modernisasi. Ya, memang problematik, sebab Wahabisme sebagai klaimitas pemurnian Islam tentu memiliki ‘niat suci’ tersendiri, yakni pembersihan normativisme Islam dari berbagai laku akulturatif dengan kebudayaan lokal yang memang sering berasal dari peradaban pra-Islam. Sementara modernisasi, yang mengacu pada usaha rasionalisasi pemikiran keagamaan, bahkan mengklaim diri sebagai usaha menuju Islam Indonesia yang lebih maju. Artinya, jika Islam di Indonesia ingin menemukan bentuk keindonesiaan, maka ia harus melakukan rasionalisasi dari cara berpikir serba klenik, atau meminjam istilah al-Jabiri, ‘rasionalitas yang irrasional’, guna menemukan modernitas Indonesia. Kesejarahan Indonesia kemudian dipangkas, hanya pasca lahirnya negara-bangsa, sehingga yang dibutuhkan kemudian modernisasi. Sementara kesejarahan Indonesia yang berangkat dari pergulatan awal (islamisasi), bahkan dilihat sebagai ‘remah-remah’(remnants) masa lalu yang harus dibabat, demi kecerlangan masa depan.
PERJALANAN TAREKAT DARI MASA KE MASA Ngabdrurahman Ngabdurahman
Mozaic : Islam Nusantara Vol 2 No 2 (2016): Mozaic : Islam Nusantara
Publisher : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nahdatul Ulama Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47776/mozaic.v2i2.85

Abstract

Martin van Bruinessen menulis tentang Tarekat Naqsabandiyyah setelah melihat begitu besarnya pengaruh para syekh tarekat ini di dunia Islam, terlebih setelah ia merasakan adanya kecocokan ritual atau olah batin yang ditawarkan oleh ajaran Naqsabandiyyah dengan apa yang ada di dalam benak hatinya, bahkan kemudian Martin seolah-olah menganggap tarekat sebagai karya ‘Amaliyyah dan bukan sekedar karya ‘Iliniyyah. Martin sangat terpesona dengan tarekat ini oleh sebab Naqsabandiyyah telah menjadi yang terbesar diantara tarekat-tarekat yang berkembang di dunia Islam, dan mampu membuat iri tarekat lain yang ingin mendapatkan tempat yang sama di hati umat Islam. Tarekat-tarekat kecil setelah menyadari “kekalahannya”, maka satu-satunya jalan adalah menggabungkan diri ke dalam Tarekat Naqsabandiyyah yang kemudian disebut sebagai cabang Naqsabandiyyah, penggabungan yang demikian ini di berbagai belahan dunia Islam misalnya di Hijaz, antara Naqsabandivyah dengan Tarekat Mujaddidiyyah, yang dipelopori oleh Syeh al- Sirhindi, kemudian disusul Tarekat Kholidiyyah yang juga menjadi cabang Naqsabandiyyah, yang dipelopori oleh Maulana Kholid dan seterusnya, kemudian nama-nama itu menjadi Tarekat Naqsabandiyyah Mujaddidiyah dan Tarekat Naqsabandiyyah Kholidiyyah
AKAR KEILMUAN ISLAM NUSANTARA ABAD KE XVI-XVIII Maftu’khan is Qiqy
Mozaic : Islam Nusantara Vol 3 No 1 (2017): Mozaic : Islam Nusantara
Publisher : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nahdatul Ulama Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47776/mozaic.v3i1.86

Abstract

Hingga saat ini nampaknya belum ada kata sepakat di antar para pengkaji maupun para peneliti, mengenai proses masuknya Islam ke wilayah Nusantara. Ketidaksepakatan ini dikarenakan terdapat pada banyak hal yang saling bertentangan diajukan olehmasing-masing pihak mengenai kapan tepatnya Islam masukke wilayah ini, siapa yang menyebarkannya pertama kali, danpada jalur mana paling dominan penyebaran dilakukan; sertadengan menggunakan pendekatan model pendekatan apa analisa dilakukan, sehingga agama Islam dapat berkembang sedemikian pesat dalam waktu yang relatif singkat pada masyarakat yang pada waktu itu sudah mempunyai peradaban maupun keyakinan tersendiri. Dalam pelbagai teori yang dimunculkan, belum ditemukan titik temu antara satu teori dengan teori yang lain. Hal ini dikarenakan adanya sifat ”sepihak” atas berbagai teori yang dikemukakan. Dalam artian satu teori lebih mengedepankan aspek-aspek tertentu dari permasalahan-permasalahan yang muncul di permukaan. Tentu saja hal ini mengesampingkan, bahkan cenderung untuk mematikan teori-teori lain yang tidak sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh seorang ahli misalnya. Perbedaan di antara teori-teori tersebut secara tidak langsung juga akan berdampak pada perselisihan mengenai pemahaman tentang perkembangan ilmu pengetahuan keislaman di kawasan nusantara.
NU DAN FAHAM KEISLAMAN NUSANTARA Agus Sunyoto
Mozaic : Islam Nusantara Vol 3 No 1 (2017): Mozaic : Islam Nusantara
Publisher : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nahdatul Ulama Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47776/mozaic.v3i1.87

Abstract

Islam sudah masuk ke Indonesia sejak perempat akhir abad ke-7 Masehi, yakni saat Ratu Simha berkuasa di Kalingga sebagaimana diberitakan sumber-sumber Cina dari Dinasti Tang. Namun Islam kurang mendapat tanggapan baik, karena orang Arab (tazhi) yang datang di Kalingga menimbulkan tindakan tidak simpatik yang mengakibatkan kaki putera mahkota Kalingga dipotong (Groeneveldt, 1877). S.Q. Fatimy (1963) mencatat bahwa pada abad ke-9 Masehi, terdapat migrasi suku-suku dari Persia ke Indonesia yaitu suku Lor, Yawani dan Sabangkara. Orang-orang Lor mendirikan pemukiman-pemukiman di Jawa yang disebut Loram atau Leran. Terdapatnya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatallah di Leran, Gresik, yang menunjuk kronogram abad ke-10 Masehi adalah bukti kebenaran berita tersebut. Akhir abad ke-13, Marcopolo yang kembali dari Cina lewat lautan, mencatat bahwa di negeri Perlak saat itu sudah ada pemukim muslim Cina, Persia dan Arab.
MENGAMATI INDONESIANIS: DARI ANTROPOLOGI BUDAYA, POLITIK KOLONIAL HINGGA HEGEMONI DAN PENGENDALIAN WACANA MODERN Syaifullah Amin; Sudarto Murtaufiq
Mozaic : Islam Nusantara Vol 3 No 1 (2017): Mozaic : Islam Nusantara
Publisher : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nahdatul Ulama Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47776/mozaic.v3i1.88

Abstract

Ilmu Antropologi Budaya muncul sebagai cabang ilmiah baru pada paruh kedua abad ke-19. Antropologi Budaya kemudian datang dengan anggapan-anggapan tertentu mengenai kebudayaan-kebudayaan bangsa yang saling tumpang tindih di dunia. Generasi pertama Antropologi Budaya memperkenalkan teori evolusi kebudayaan yang dibawa oleh G.A. Wilken. Teori ini menganggap bahwa kebudayaan manusia akan berkembang dari tingkat-tingkat kebudayaan rendah menuju tingkat kebudayaan tinggi karena terdorong oleh suatu kekuatan intern kebudayaan rendah tersebut.Dalam proses evolusinya masing-masing bangsa akan mengalami tingkatan-tingkatan tertentu. Hingga sekarang teori ini masih meyakini bahwa hanya Amerika Serikat dan Eropa Barat-lah yang telah mencapai suatu bentuk kebudayaan tingkat tinggi, sedangkan bangsa-bangsa lainnya hanyalah sedikit –atau bahkan sama sekali belum– beranjak dari kebudayaan awalnya, yakni semenjak manusia pertama kali muncul di muka bumi. Banyak pengamat dan sarjana-sarjana kebudayaan yang menganut teori evolusi ini meyakini bahwa bentuk kebudayaan Eropa Barat dan Amerika Serikat sekarang ini adalah titik akhir dari evolusi kebudayaan umat manusia. Di mana bangsa-bangsa lain sedang menuju ke arah proses terakhir dan kesempurnaan tersebut.
(TRADISI) PESANTREN DI MATA MARTINVAN BRUINESSEN Sudarto Murtaufiq
Mozaic : Islam Nusantara Vol 3 No 1 (2017): Mozaic : Islam Nusantara
Publisher : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nahdatul Ulama Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47776/mozaic.v3i1.89

Abstract

Banyak dari kita, mengenal pesantren dari kesederhanaan bangunan-bangunan fisiknya, kesederhanaan cara hidup para santri, kepatuhan mutlak santri terhadap kyainya, dan dalam beberapa hal kita temukan pengajaran-pengajaran kitab klasik abad pertengahan. Di sisi lain, tidak sedikit pula orang mengenal pesantren dari aspek yang lebih luas, setelah membaca dan menyadari besarnya pengaruh pesantren dalam membentuk dan memelihara kehidupan sosial, kultural, politik dan keagamaan. Misalnya dalam rekaman sejarah yang diungkapkan oleh Dr. Soebardi dan Prof. Johns tentang fakta bahwa penyebaran Islam di tanah Jawa amat berkaitan dengan peranan strategis pesantren.
ADA AYAT AL-QUR’AN YANG KHUSUS UNTUK INDONESIA A. Khoirul Anam
Mozaic : Islam Nusantara Vol 3 No 1 (2017): Mozaic : Islam Nusantara
Publisher : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nahdatul Ulama Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47776/mozaic.v3i1.116

Abstract

Perkembangan Islam di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari pondok pesantren. Tepatnya bisa dibaca begini: Pondok pesantren adalah ciri khos bagi Islam Indonesia. Pesantren adalah penentu kuat dan ringkihnya Islam di Indonesia. Islam adalah agama kafah, namun bukan berarti Islam harus sama seluruh dunia. Islam Indonesia berbeda dengan di negara Yaman, Maroko, Tunisia, dan lain-lain. Makanya jangan coba-coba menyebarkan Islam dengan cara-cara yang sama dengan cara yang ditempuh di negara-negara lain. Sekali lagi, ciri khos Islam di Indonesia adalah pesantren. Lihat, berapa ratus tahun Mughol di India, tapi kerajaan ini tak membuat Islam di sana mayoritas. Tapi di Indoneisia yadkhuluna fi dinillahi afwaja, orang-orang masuk kepada agama Islam dengan berbondong-bondong.
MENUJU DEKOLONISASI KEBUDAYAAN Abdul Munim
Mozaic : Islam Nusantara Vol 3 No 1 (2017): Mozaic : Islam Nusantara
Publisher : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nahdatul Ulama Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47776/mozaic.v3i1.117

Abstract

Kebudayaan merupakan kesadaran kolektif, di dalamnya memuat cara berpikir, bersikap dan bertindak. Melihat kenyataan itu kolonial berkesimpulan, kebudayaan sebagai sektor strategis harus dikuasai untuk dikendalikan, dengan demikian diharapkan akan mampu menciptakan sistem kolonial yang efektif dalam mengontrol cara berpikir dan bersikap masyarakat terjajah. Pada taraf itu bukan hanya gerakan rakyat yang bisa dikontrol tetapi lebih dalam lagi kesadarannya juga dapat dikendalikan. Dengan cara semacam itu tujuan kolonial itu seolah legitimate karena berjubah ilmiah yang berdalih enlightening (pencerahan), padahal tujuan utamanya tetap conquestador (penaklukan), dengan cara pemutusan mata rantai sejarah dan membelokkan arah kebudayaan yang diangap dinamis, dengan mengutuk menjahanamkan militansi, kerelaan berkorban serta keberanian mengambil risiko. Sebaliknya mengekspos habis-habisan nilai-nilai lokal yang dianggap menguntungkan seperti harmoni, teposeliro. Semangat perlawanan mereka diredam melalui pemaknaan baru terhadap setiap ekspresi kebudayaan Nusantara.
AKAR DAN BUAH TEGALSARI: DINAMIKA SANTRI DAN KETURUNAN KIAI PESANTREN TEGALSARI PONOROGO Dawam Multazam
Mozaic : Islam Nusantara Vol 4 No 1 (2018): Mozaic : Islam Nusantara
Publisher : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nahdatul Ulama Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47776/mozaic.v4i1.119

Abstract

Pesantren Tegalsari Ponorogo that was born in the early 18th century is considered to have an important role in the history of Islam in Nusantara. This Pesantren is even believed as the first boarding institution and was born in 1742. This article examines historically the forerunner and the early development of Pesantren Tegalsari. Then, the role of students and descendants of kiai. By using the method of historical research and data mining to written documents, interviews, and observations, it is concluded that Pesantren Tegalsari has a close relationship with the elite in the past such as the Wali Songo and the King of Majapahit. In addition, through the students and descendants of kiai, these schools also have a major role in society, both in the propagation of Islam as well as in politics.
ISLAM NUSANTARA MENURUT GUS DUR: KAJIAN PRIBUMISASI ISLAM Fathoni Ahmad
Mozaic : Islam Nusantara Vol 4 No 1 (2018): Mozaic : Islam Nusantara
Publisher : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nahdatul Ulama Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47776/mozaic.v4i1.120

Abstract

Islam Nusantara merupakan perwujudan Islam melalui budaya lokal. Ulasan Gus Dur tentang sejarah di Nusantara dilakukan melalui dua pendekatan, deskripsi dan preskripsi. Pendekatan deskripsi, Gus Dur hanya menggambarkan Islam di Nusantara secara objektif. Sedangkan pendekatan preskripsi, Gus Dur membaca Islam di Nusantara dengan menggunakan perspeksi tertentu dalam melihat Islam di Nusantara. Dari pendekatan presrikptif ini, lahirlah terma Islam Nusantara.Islam Nusantara mendasarkan diri pada pembahasan agama, tradisi, dan budaya, yakni budaya Islam di Nusantara. Teori Gus Dur yang mengemukakan tentang pergualatan agama dan budaya adalah pribumisasi Islam. Sebab itu, penelitian ini mengkaji tentang epistemologi Islam Nusantara melalui penerapan pribumisasi Islam. Pendekatan yang digunakan untuk mengkaji pembumian Islam di Nusantara menurut Gus Dur yaitu pendekatan Indigenisasi. Melalui teori pribumisasi Islam dan pendekatan indigenisasi, penelitian ini menemukan unsur yang turut membentuk corak khas Islam Nusantara. Gus Dur lewat teks-teksnya mengungkapkan pola-pola gelombang Islamisasi Nusantara yaitu dengan pendekatan sufistik, syariatisasi tasawuf, dan fikih sufistik. Gus Dur juga melakukan perluasan corak Islam Nusantara menjadi apa yang ia sebut sebagai perwujudan kultural Islam. Perwujudan ini disebut kultural, sebab ia berbentuk budaya hasil akulturasi antara Islam dan budaya Nusantara. Pesantren ini juga memiliki peran yang besar di masyarakat, baik di wilayah dakwah Islam maupun dalam politik.

Page 2 of 17 | Total Record : 162