cover
Contact Name
Heribertus Dwi Kristanto
Contact Email
dwikris@driyarkara.ac.id
Phone
+6221-4247129
Journal Mail Official
admin.diskursus@driyarkara.ac.id
Editorial Address
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jl. Cempaka Putih Indah 100A Jembatan Serong, Rawasari, Jakarta 10520
Location
Kota adm. jakarta pusat,
Dki jakarta
INDONESIA
DISKURSUS Jurnal Filsafat dan Teologi
ISSN : 14123878     EISSN : 25801686     DOI : https://doi.org/10.36383/diskursus.v18i2
Founded in 2002 DISKURSUS is an academic journal that publishes original and peer-reviewed works in the areas of philosophy and theology. It also welcomes works resulting from interdisciplinary research at the intersections between philosophy/theology and other disciplines, notably exegesis, linguistics, history, sociology, anthropology, politics, economics, and natural sciences. Publised semestrally (in April and October), DISKURSUS aims to become a medium of publication for scholars to disseminate their novel philosophical and theological ideas to scholars in the same fields, as well as to the wider public.
Articles 182 Documents
Rebekka A. Klein, Sociality as the Human Condition: Anthropology in Economic, Philosophical and Theological Perspective, transl. Martina Sitling, Leiden and Boston: Brill, 2011, 324 hlm. Thomas Hidya Tjaya
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 12 No. 1 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (200.653 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v12i1.125

Abstract

Dimensi sosial manusia telah lama menjadi subjek telaah filsafat sebagai wujud kesadaran bahwa manusia adalah zoon politikon (Aristoteles) atau homo sociale (Seneca). Pertanyaan umum yang biasa diajukan adalah, apakah manusia memang mampu bertindak secara altruistik, atau apakah manusia memiliki empati alamiah. Analisis ini tentu saja tidak dimonopoli oleh filsafat saja. Belakangan ini, ilmu-ilmu alam dan sosial seperti ekonomi, sosiobiologi, dan neurosains juga terlibat dalam studi atas dimensi yang dipandang khas pada manusia ini. Dalam ranah yang disebut sebagai “ekonomi eksperimental,”’ misalnya, dipelajari perilaku kerjasama antarindividu yang hasilnya diharapkan dapat menjelaskan dasar perilaku sosial manusia. Dalam buku yang terdiri atas empat bab besar ini dianalisis berbagai pandangan mengenai relasi sosial manusia dalam konteks antropologi interdisipliner. Pengarang memperlihatkan perbedaan pandangan mengenai sosialitas dalam setiap bidang ilmu. Dalam disiplin neuroekonomi, sosialitas dipahami sebagai struktur preferensi perilaku manusia yang berakar pada neurobiologi. Dalam fenomenologi sosial dan etika, istilah ini mengacu pada struktur dasar perbedaan dan relasionalitas dalam relasi antarmanusia. Teologi sendiri melihat sosialitas sebagai struktur relasi manusia dengan Tuhan dan sesama. Pengarang buku ini menunjukkan bahwa konsep mengenai aspek sosial manusia dalam bidang-bidang ini memang tidak sama, dan karena itu, pemahaman mengenai sosialitas manusia perlu dibangun berdasarkan konteks disiplin yang bersangkutan. .......................... Pembahasan atas topik sosialitas dalam buku ini memang sangat luas dan kaya karena melibatkan banyak pemikir dalam bidang ini seperti Hannah Arendt, Thomas Hobbes, Ernesto Laclau, Chantal Mouffe, Axel Honneth, Charles Taylor, Paul Ricoeur, dan Emmanuel Levinas. Dalam pemaparan mengenai relasi antarmanusia dari sudut teologis, pemikiran filsuf-teolog Søren Kierkegaard banyak sekali digunakan. Di satu sisi, kehadiran begitu banyak pemikir dalam buku ini dapat membuat pembaca kewalahan dalam memahami isinya. Di sisi lain, hal ini justru dapat dilihat sebagai salah satu kekayaan buku ini, yang dapat membuka wawasan pembaca dan mengajaknya untuk lebih mendalami pemikiran tokoh tertentu sesuai dengan minatnya. Seluruh studi ini membawa pengarang kepada kesimpulan bahwa hakikat sosialitas manusia tidak- lah dapat dipahami hanya dengan membandingkannya dengan sosialitas hewan, sebagaimana biasanya dilakukan. Pada akhirnya, hakikat ke- manusiaan, termasuk sosialitasnya, akan tersingkap dalam relasi dan interaksi konkret antarmanusia, entah bersifat positif atau negatif. Hanya dengan demikian kita akan memahami siapakah diri kita yang sesungguh- nya sebagai manusia. (Thomas Hidya Tjaya, Program Studi Ilmu Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
Juliet B. Schor, Plenitude: The New Economics of True Wealth, New York: The Penguin Press, 2010, 258 hlm. Al. Andang L. Binawan
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 12 No. 1 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (200.297 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v12i1.126

Abstract

Kehancuran lingkungan ekologis yang makin dirasakan dan disadari banyak pihak akhir-akhir ini telah menimbulkan gelombang perbincangan yang makin memanas, seiring dengan makin panasnya suhu bumi ini. Perbincangan tidak hanya ada pada masyarakat yang langsung terkena dampak kehancuran itu. Sekarang perbincangan itu hampir ada di semua lini sosial, mulai dari hiruk-pikuknya sidang-sidang Perserikatan Bangsa- bangsa sampai ke warung kopi. Topik yang sering dibicarakan pada umumnya adalah upaya untuk mengurangi dampak kehancuran itu. Di antara topik-topik itu, yang paling panas diperbincangkan, didiskusikan dan diperdebatkan adalah bagaimana sistem ekonomi berperan besar dalam kehancuran ekologis tadi. Prinsip profit-motif dalam dunia ekonomi dipandang mewadahi keserakahan manusia, apalagi kalau sistem hukum yang dibangunnya lebih mengarah ke sistem kapitalisme dan neoliberalisme. Dengan kata lain, diskusi ini menyasar pada perbaikan sistem ekonomi beserta perangkat hukumnya. Dalam konteks diskusi mencari jalan keluar agar ekonomi bisa (kembali) menjadi ekologis, muncul wacana tentang pembangunan yang berkelanjutan, dan kemudian tentang ekonomi hijau. Diskusi panjang di dunia akademis itu lalu “dilembagakan” oleh UNEP (United Nations Environment Programme) dalam “Green Economy Initiative” pada 2008. Program ini bertujuan untuk mencari dan menerapkan suatu sistem ekonomi yang lebih menjamin kebaikan hidup manusia dan kebaikan kehidupan sosial. Pun, akhir-akhir ini mulai ada perbincangan tentang blue economy yang pendekatannya tampak lebih menyeluruh. ........... Dalam upaya merumuskan langkah yang baru dengan pendekatan dan pengandaian baru ini, Schor berusaha lebih konkret dengan memasuk- kan elemen waktu dalam perilaku ekonomis. Hal ini dapat dikatakan baru karena biasanya luput dari perhatian dan analisis. Pentingnya pengelolaan elemen waktu itu antara lain tampak dalam usulannya tentang pentingnya waktu luang bagi diri sendiri maupun keluarga. Inilah unsur penting dari kebaruan gagasan Schor, dan sekaligus membuat gagasannya terasa lebih radikal. Selain itu, gagasan Schor di atas memang tidak langsung mengritik konsep ekonomi hijau, tetapi cukup jelas bahwa lebih radikal. Selain alasan di atas, dari kacamata ekologis, kepedulian dan prinsip-prinsip yang diusulkan memang tampak lebih ekosentris. Dengan kegiatan ekonomis yang dilakukan secara baru itu manusia diajak menjadi dirinya dalam relasinya dengan yang lain secara lebih utuh. Dengan kata lain, cakrawala ekologis ini menjadi paradigma bertindak, bukan hanya disesuaikan dengan tetap mendapatkan keuntungan ekonomis. Di samping itu, yang perlu ditambahkan, meski ada dalam buku, penulis, tentu bersama tim-nya, mempublikasikan gagasannya ini secara visual dengan ringkas dan menarik, lalu diunggah di dunia maya, baik sebagai penyebaran gagasan maupun promosi. Klip singkat itu dapat dilihat di http://www.youtube.com/watch?v=HR-YrD_KB0M, atau dapat dicari di Youtube dengan entry “plenitude” dan “schor.” Sampai tulisan ini dibuat, linkitu sudah dikunjungi 125.324 kali! (Al.AndangL. Binawan, Program Studi Ilmu Filsafat, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
Julianus Mojau Meniadakan atau Merangkul?: Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam Politik di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012, xxvi + 447 hlm. Eddy Kristiyanto
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 12 No. 1 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36383/diskursus.v12i1.128

Abstract

Satu lagi, buku teologi (sosial) yang berbobot terbit! Berawal dari penelitian yang dimaksudkan untuk penyusunan disertasi pada The South East Asia Graduate School of Theology (SEAGST), 2004, Pendeta Gereja Masehi Injili di Halmahera, Julianus Mojau menyodorkannya kepada khalayak ramai di Indonesia. Argumen utama buku ini dapat diformulasikan dalam pertanyaan berikut ini: bagaimana model teologi sosial sebagaimana dihasilkan oleh tokoh-tokoh Kristen Protestan dan dokumen-dokumen yang meretas dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia selama kurun waktu tiga dasawarsa, konkretnya semasa pemerintahan Orde Baru? Selama kurun waktu tersebut, Mojau mengenali tiga model teologi sosial di lingkungan Kristen Protestan, yakni teologi sosial modernisme, liberatif, dan pluralis. Ketiga model itu diuraikan dengan sangat runtut, gamblang, sistematis, kritis, berikut logika analitik yang memperlihatkan keluasan dan kedalaman wawasan penulis. Terminologi “teologi sosial” ramai dimanfaatkan dalam blantika percaturan keilmuan di lingkungan Kristen Protestan Indonesia setelah (alm.) Pendeta Eka Darmaputera, Bernard Adeney-Risakotta, Martin Lukito Sinaga, dan Th. Sumartana menggantangnya pada awal tahun 2000.Ditunjukkannyadengan sangat jelas, bahwa “praksis” yang mengawali suatu proses berteologi sudah muncul jauh sebelum angka tahun tersebut. Pada prinsipnya segala teologi adalah teologi sosial, menurut kesimpulan A.G. Hoekema, (hlm. xv), meskipun J.S. Aritonang memberikan batasan simpel dan meyakinkan, yang intinya: “Berteologi di tengah realitas sosial yang kompleks,” itulah Teologi Sosial, (hlm. xiii). Setelah Pendahuluan yang panjang (26 halaman), yang memaparkan duduk perkara dan hal ikhwal diskursus yang diusung, berturut-turut dari Bab 1 (tentang teologi sosial modernisme, hlm. 27-142), Bab 2 (tentang teologi sosial liberatif, hlm. 143-279) dan Bab 3 (teologi pluralis, hlm. 280-365), Bab 4 (retrospeksi dan prospek teologi sosial pasca Orde Baru, hlm. 366-403) penulis memperlihatkan kajian dan analisis secara kritis ketiga model kategori teologi sosial Kristen Protestan di Indonesia. Ketiga model teologi tersebut ditempatkan oleh penulis dalam babak Orde Baru Indonesia (tahun 1969-1990-an) di bawah rezim Soeharto dan dalam pertautannya dengan Islam Politik. .............. Sebagai paparan dan kajian ilmiah yang mengedepankan pandangan putera-puteri terbaik Kristen Protestan berikut dokumen-dokumen DGI/PGI, karya Mojau ini tidak mampu menyembunyikan keyakinannya bahwa kebangkitan Islam Politik hanyalah sebuah euforia artikulasi kesadaran politis-humanistis yang sedang mencari format yang cocok dalam perubahan zaman di tengah proses transisional. Justru karena itulah Gereja-gereja perlu merangkul dan membuka komunikasi serta dialog yang tulus dengan saudara-saudara penganut Islam Politik sebagai sesama yang merindukan kedamaian, kebaikan, dan keadilan. Perjuangan bersama itulah yang dimaksudkan agar politik sebagai kearifan menatalayani kehidupan bersama tercapai. Dalam pembacaan saya, buku ini sangat inspiratif, kaya dengan informasi, mengedepankan pandangan secara komprehensif tanpa menghilangkan sikap kritis dan tajam. Ini fenomenal dan monumental! Mungkin inilah satu-satunya karya yang “berani” mengritik karya T.B. Simatupang. Mojau sendiri, menurut saya, memperlihatkan diri sebagai pribadi yang memegang teguh spirit Protestan sejati, yakni selalu bersikap kritis terhadap segala bentuk deifikasi. Karya ini akan lebih baik lagi jika ada indeks nama atau masalah pada halaman-halaman akhir. Selain itu, istilah “modernisme” yang diimbuhkan pada Teologi Sosial di mata saya memiliki konotasi lain, yakni aliran modernisme yang dikecam oleh (alm.) Pius X sebagai “biang dari segala kesesatan.” Tetapi di atas segala-galanya, analisis Mojau yang tajam membuat lorong-lorong kebuntuan koeksistensi damai dan adil dengan Islam Politik dapat diurai. Dengan demikian tanda tanya pada judul buku ini terjawab dengan pasti. (A. Eddy Kristiyanto, Program Studi Ilmu Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
Gerardette Philips, Beyond Pluralism: Open Integrity as a Suitable Approach to Muslim-Christian Dialogue, Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2013, xx+228 hlm. J Sudarminta
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 12 No. 1 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (198.942 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v12i1.129

Abstract

Buku ini berawal dari sebuah disertasi yang ditulis Sr. Gerardette Philips, RSCJ, pengarangnya, untuk meraih gelar doktor di bidang Ilmu Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Penerbitannya menjadi sebuah buku oleh Interfidei—sebuah Penerbit di Indonesia yang menaruh perhatian khusus pada persoalan dialog antaragama— sungguh layak disambut baik. Penerbitan buku ini dalam bahasa Inggris memiliki segi negatif maupun positifnya tersendiri. Segi negatifnya, hal itu membuat jumlah publik pembacanya di Indonesia lebih terbatas pada mereka yang dapat memahami bahasa Inggris. Jumlahnya jelas jauh lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah pembaca buku ini kalau ditulis dalam bahasa Indonesia. Walaupun demikian, segi positifnya, dengan diterbitkannya dalam bahasa Inggris, publik pembaca yang dapat mengaksesnya secara internasional menjadi lebih banyak. Apalagi buku ini juga memuat Kata Pengantar dalam bahasa Inggris dari Prof. Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh Muslim yang hendak ditampilkan pengarang buku ini sebagai pemikir sekaligus pelaku dialog Muslim-Kristen yang melampaui pendekatan pluralisme. Tokoh dari pihak agama Kristen yang ditampilkan oleh pengarang adalah Hans Küng. Selama ini banyak orang beranggapan bahwa pluralisme merupakan paham hubungan antaragama, yang memiliki bentuk pendekatan yang paling tepat dalam melakukan dialog antaragama, termasuk di dalamnya dialog antara umat Muslim dan Kristen. Memang, dibandingkan dengan pendekatan eksklusivisme maupun inklusivisme, seperti ditegaskan oleh pengarang buku ini (hlm. 1; 60–63; 67), pluralisme memiliki kelebihan tersendiri. Namun, pluralisme mengandung beberapa kelemahan yang layak dikritik. Paling tidak ada tiga kelemahan pokok dari pendekatan pluralisme yang dicoba ditunjukkan dalam buku ini. Pertama, pluralisme mengandung bahaya tidak mengambil serius identitas keagamaan yang khas dan berbeda untuk setiap agama karena ingin menekankan keselarasan antara semua agama, agar tidak terjadi konflik antara pemeluk agama yang berbeda. Guna menguatkan pendapatnya, pengarang mengutip pernyataan Paul Knitter (hlm. 64) yang berbunyi: “Karena begitu terpesona oleh keindahan sebuah simfoni, kaum pluralis melupakan perbedaan dan kekhasan dari masing-masing alat musik yang dipakai.” Pendekatan pluralisme juga mengandung bahaya jatuh ke dalam relativisme, karena— terdorong oleh kehendak untuk mau bersikap terbuka terhadap penganut agama yang lain dan mau menghormati perbedaan keyakinan mereka— para pluralis lalu cenderung merelatifkan klaim kebenaran agamanya sendiri. Tanpa harus menjadi seorang eksklusivis—yang memutlakkan klaim kebenaran keyakinan agamanya sendiri seraya menganggap sesat keyakinan agama yang lain—keseriusan untuk sungguh meyakini kebenaran iman agama yang dipeluknya, sangat diperlukan dalam berdialog agar tidak menjadi kompromistis dan jatuh ke dalam relativisme. Sikap terbuka terhadap para pemeluk agama yang lain—yang berbeda dengan agamanya sendiri—memang diperlukan dalam sebuah dialog antaragama yang sejati. Namun, hal itu perlu dilakukan tanpa kehilangan jatidirinya sendiri sebagai pemeluk agama tertentu yang diyakini kebenarannya. Kelemahan ketiga dari pluralisme adalah bahaya menjadi imperialis tanpa disengaja. Kembali mengutip pernyataan Knitter (hlm.68), pengarang menyebut adanya dua kemungkinan seorang pluralis yang berniat baik tanpa disengaja menjadi seorang imperialis. Pertama, dengan terlalu cepat seorang pluralis menarik kesimpulan tentang adanya suatu dasar pijak atau platform yang sama dari macam-macam agama yang ada yang dapat mempersatukan semuanya. Kedua, ia dengan terlalu mudah merumuskan panduan umum bersama untuk melakukan dialog antaragama-agama yang berbeda. ............... Salah satu kelemahan buku ini—sebagai sebuah buku yang dimaksud- kan untuk dibaca oleh publik pembaca umum—adalah bahwa formatnya masih mempertahankan format aslinya sebagai sebuah disertasi dan belum cukup diolah untuk dijadikan buku yang lebih dapat diakses dan lebih enak dibaca oleh publik pembaca umum. Bahkan di dalamnya masih dapat ditemukan kata “disertasi” dan belum diganti dengan kata “buku” (lihat hlm. 11). Semboyan dalam bahasa Latin “Extra Ecclesiam Nulla Salus,” artinya “Di luar Gereja tidak ada keselamatan,” yang dalam teks asli disertasi salah ditulis “Extra Ecclesiam Nulla Sales!” masih terulang kesalahannya dalam buku ini (lihat hlm. 90). Lepas dari kelemahan kecil di atas, penerbitan buku ini sekali lagi sungguh layak dihargai dan jelas menambah khasanah intelektual yang dapat memperkaya wawasan maupun memberi inspirasi yang berguna bagi siapa saja yang bermaksud mengembangkan dialog antaragama pada umumnya dan khususnya dialog Muslim-Kristen yang menjadi fokus perhatian dalam buku ini. Sr. Gerardette Philips, RSCJ, Ph.D., penulis buku ini, bukan hanya menjadi seorang akademikus yang telah meneliti pemikiran Hans Küng dan Seyyed Hosein Nasr, tetapi ia sendiri sudah cukup lama terlibat dalam upaya mengembangkan dialog Muslim- Kristen. Beliau bahkan sempat menjadi anggota tim penasihat Paus Benedictus XVI dalam Komisi Kepausan dalam Bidang Hubungan dengan Islam. Pengalamannya yang cukup banyak dalam mewujudkan dialog hidup antara umat Islam dan umat Katolik jelas ikut memperkaya wawasan dalam buku ini. (J. Sudarminta, Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).
Creativity and God In Whitehead's Process Philosophy Thomas Hidya Tjaya
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (140.847 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i2.133

Abstract

Abstract: The category of creativity unquestionably occupies a central position in Alfred North Whitehead’s philosophy of organism. Its employment is hardly surprising given his project to establish a speculative philosophy that is compatible with modern science. This article examines the use of such a category in this project and argues that the separation between creativity and God causes several problems, including the absence of an ontological principle that may ground the interaction of the various elements in this metaphysical scheme. A more fundamental question is also raised concerning the nature of this project, which walks a fine line between philosophy and science. Keywords: Whitehead, creativity, the Category of the Ultimate, metaphysics, Aristotle, organism, God. Abstrak: Kategori kreativitas jelas memperoleh tempat sentral dalam filsafat organisme Alfred North Whitehead. Kehadiran kategori ini tidaklah mengherankan mengingat usahanya untuk membangun sebuah filsafat spekulatif yang selaras dengan sains modern. Artikel ini hendak mengevaluasi penggunaan kategori ini dan menyampaikan argumen bahwa pemisahan antara kreativitas dan Tuhan memuat sejumlah masalah, termasuk ketiadaan sebuah prinsip ontologis yang dapat menyatukan interaksi berbagai unsur dalam skema metafisika ini. Sebuah pertanyaan lebih mendasar juga diajukan terkait dengan hakikat proyek ini sendiri yang memperlihatkan tipisnya batas antara filsafat dan sains. Kata-kata Kunci: Whitehead, kreativitas, Kategori Pokok, metafisika, Aristoteles, organisme, Tuhan.
Martabat Manusia Sebagai Basis Etis Masyarakat Multikultural Otto Gusti Madung
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (138.392 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i2.135

Abstract

Abstract: Since the issue of the war against global terrorism emerged, the discourse surrounding the concept of human dignity returns as a normative basis for the protection of basic human rights. The term human dignity has existed since the days of ancient Greek philosophy and was further developed in dialogue with medieval Christian theology and the secular thought of modern times. This article places special emphasis on the understanding of human dignity as defined by a secular thinker and exponent of the Enlightenment, Immanuel Kant. The concept of human dignity as developed by Immanuel Kant is rational and transcends the boundaries of religions, cultures and ideologies; therefore it is suitable as a normative basis for a multicultural society. But the article also does not turn a blind eye to some critical observations offered by adherents of particular ethics concerning the Kantian universal ethics. These critical observations emphasize the ethical principle of substantial solidarity in order to overcome the dangers of anonymity in each model of formal ethics. Keywords: Human dignity, multiculturalism, imperative, ethics, human rights. Abstrak: Sejak isu perang melawan terorisme global muncul, wacana seputar konsep martabat manusia kembali menjadi aktual sebagai basis normatif dalam melindungi hak-hak dasar manusia. Istilah martabat manusia sudah lahir sejak zaman Yunani kuno dan dalam perjalanan sejarah berdialog dengan pandangan teologi Kristen Abad Pertengahan serta pemikiran sekular abad modern. Tulisan ini mencoba memberikan penekanan khusus pada pemahaman tentang martabat manusia seperti dirumuskan oleh pemikir sekular abad pencerahan yakni Immanuel Kant. Konsep martabat manusia yang dikembangkan oleh Immanuel Kant bersifat rasional dan melampaui sekat-sekat agama, ideologi dan budaya; sehingga dipandang layak untuk dijadikan basis normatif sebuah masyarakat multikultural. Akan tetapi, penulis juga tidak menutup mata terhadap beberapa catatan kritis yang diberikan oleh beberapa pengikut etika khusus berkaitan dengan etika universal Kant. Catatan-catatan kritis tersebut menekankan aspek solidaritas substansial dalam etika untuk mengatasi bahaya-bahaya anonimitas dalam setiap model etika formal. Kata-kata Kunci: Martabat manusia, multikulturalitas, imperatif, etika, hak-hak asasi manusia.
The Dynamics Of Human Desire In Buddhism And Christianity Albertus Bagus Laksana
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (179.816 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i2.138

Abstract

Abstract: In their struggle against the capitalist colonization of desire, Christianity and Buddhism offer similar strategies of fundamental formation or transformation of human desire. This article examines three specific features in which Christianity and Buddhism share a broad and deep resemblance in their analysis of on the dynamics of human desire and its transformation. First, both traditions identify distorted human desire as a source of bondage (or suffering), which affects the mind (intellectual), the heart (affective) and the body. Second, in terms of the strategy of liberation from this bondage, both agree that human desiring constitutes the most effective internal force available in the human make up itself. Thus, the liberation process is not aimed at wiping out human desire but rather at channeling the very power of human desiring through a process of education whose dynamics are understood as an ascent or a journey that leads to higher (or deeper) Reality. Third, with regard to the direction of liberation, both traditions assert that this process should be directed not only toward the self but also towards others. Here the benefit for others, the virtue of caritas in Christianity and bodhicitta in Buddhism, constitutes a fundamental part of the direction of this process of formation. Keywords: Christianity, Buddhism, desire, capitalism, bondage,transformation, caritas, bodhicitta. Abstrak: Dalam perlawanan mereka terhadap kolonisasi hasrat oleh kapitalisme, tradisi Budhis dan Kristiani menawarkan cara-cara yang mirip untuk mendidik atau mentransformasi hasrat manusia. Artikel ini membahas tiga unsur penting yang sama dari analisis Budhisme dan Kristianitas mengenai dinamika hasrat manusia dan transformasinya. Pertama, kedua tradisi ini mengidentifikasi hasrat manusia yang rusak atau salah arah sebagai sebab dasariah dari penderitaan manusia. Kerusakan hasrat ini juga mempengaruhi dimensi intelektual, afektif dan juga tubuh manusia. Kedua, perihal cara pembebasan dari penderitaan ini, kedua tradisi ini juga sepakat bahwa hasrat manusia merupakan dayainternal paling efektif dalam diri manusia sendiri. Karena itu, proses pembebasan ini tidak dimaksudkan untuk membuang hasrat dari kemanusiaan, melainkan untuk menyalurkan daya hasrat ini melalui proses transformasi yang berdinamika “mendaki,” sebuah perjalanan menuju Realitas yang lebih tinggi atau dalam. Ketiga, mengenai arah pembebasan ini, kedua tradisi menekankan bahwa proses ini ditujukan tidak hanya untuk diri sendiri melainkan juga sesama. Dalam hal ini, kepentingan sesama seperti diungkapkan oleh keutamaan caritas dalam Kristianitas dan bodhicitta dalam Budhisme merupakan bagian dasariah dari arah transformasi hasrat manusia itu sendiri. Kata-kata kunci: Kristianitas, Budhisme, hasrat, kapitalisme, penderitaan, transformasi, caritas, bodhicitta.
Menyoal Fakta Pusara Korban, Membangun Budaya Damai Di Halmahera Sefnat Hontong
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (184.109 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i2.142

Abstract

Abstract: Among the interesting phenomena in Halmahera’s post conflict era are the permanently built tombs of victims in the courtyards of houses of worship (churches and mosques). An important question which arises from this phenomenon is: why were the tombs of victims built in the courtyards of the houses of worship? What is the meaning of this reality for promoting reconciliation and peace in Halmahera? According to the writer, an analysis on the way the Halmaherans comprehend this practice is important. By understanding the way the Halmahera people view and live out the meaning of the tombs of the victims, we can understand and anticipate any further impact of this practice. Through this article, the writer offers a sociological and theological study so that a road to promote peace building in Halmahera can be paved. Keywords: Tomb of victims, martyr, syuhada, conflict, violence, reconciliation, peace, Halmahera. Abstrak: Salah satu fenomena menarik dalam masyarakat Halmahera di era pasca konflik adalah adanya pusara korban yang dibangun secara permanen di halaman rumah ibadah (gereja dan masjid). Pertanyaan penting yang perlu dikemukakan melihat fenomena ini adalah: mengapa pusara korban dibangun di halaman rumah ibadah? Apa arti realita itu bagi upaya rekonsiliasi dan pembangunan budaya damai di Halmahera? Menurut penulis, kajian dan analisis terhadap penghayatan dan pemahaman masyarakat Halmahera terhadap realita pusara korban menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Dengan memahami penghayatan dan pemahaman masyarakat Halmahera terhadap realita pusara korban, maka dampak yang ditimbulkan olehnya dapat dipahami, dimengerti, dan diantisipasi. Melalui artikel ini penulis hendak menampilkan sebuah kajian sosiologis-teologis dalam rangka menemukan sebuah “jalan raya” bagi upaya membangun perdamaian yang sejati di era pasca konflik di Halmahera. Kata-kata kunci: Pusara korban, martir, syuhada, konflik, kekerasan, rekonsiliasi, perdamaian, Halmahera.
Kerajaan Allah Sebagai Inti Kehidupan Dan Perutusan Yesus Martin Chen
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (137.369 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i2.143

Abstract

Abstract: The Kingdom of God is central to the whole message of Jesus Christ. Through the kingdom of God, we can discover and understand the entire mission of Jesus. The Kingdom of God is the embodiment of God’s saving presence in human life. Compared with the Jewish religious movements of that era, especially the apocalyptic movement, which also awaited the coming of the Kingdom of God, Jesus’ preaching about the kingdom of God has a special feature, that the Kingdom of God is an act of forgiveness and salvation from God, and not God’s judgment; moreover, the action is happening now in people’s life, rather than being something that is expected in the future. Through Jesus, through his word and his work, God is now present in the midst of the people. Through his parables and his words in the Sermon on the Mount and in the act of casting out demons, in healing the sick and in the forgiveness of sin, Jesus reveals the presence of a compassionate God, a God who frees people from the power of sin and leades them in the power of divine grace. Jesus not only preached the kingdom of God but gave himself so that people would experience God’s saving work. Through His death on the cross, Jesus freely poured God’s mercy and goodness upon human beings. Jesus’ proclamation of the kingdom of God has important implications for the understanding of the Christological and ecclesiological renewal. Keywords: Kingdom of God, salvation, forgiveness, word of Jesus, work of Jesus, human life, Christological and ecclesiological renewal. Abstrak: Kerajaan Allah merupakan inti seluruh pewartaan Yesus Kristus. Melalui Kerajaan Allah kita dapat menemukan dan mengerti seluruh perutusan hidup Yesus. Kerajaan Allah berarti perwujudan kehadiran Allah yang menyelamatkan dalam hidup manusia. Dibandingkan dengan gerakan keagamaan yahudi pada zaman itu, khususnya apokaliptik yang juga menantikan kedatangan Kerajaan Allah, pewartaan Yesus tentang Kerajaan Allah memiliki ciri khusus bahwa Kerajaan Allah adalah tindakan pengampunan dan penyelamatan Allah, bukan penghakiman Allah dan tindakan itu kini terjadi nyata dalam hidup manusia, dan bukannya sesuatu yang dinantikan di masa depan. Melalui diri Yesus, dalam sabda dan karya-Nya, Allah kini hadir di tengah-tengah umat-Nya. Lewat perumpamaan dan sabda bahagia maupun dalam tindakan pengusiran setan, penyembuhan orang sakit dan pengampunan orang berdosa, Yesus menyatakan kehadiran Allah yang penuh belas kasih dalam hidup manusia, yang membebaskannya dari kuasa dosa dan menuntunnya dalam kuasa rahmat Ilahi. Yesus tidak hanya memberitakan Kerajaan Allah tetapi juga memberikan diri-Nya, sehingga orang sungguh mengalami karya penyelamatan Allah. Melalui kematian-Nya di salib, Yesus mencurahkan dengan cuma-cuma kerahiman dan kebaikan Allah dalam hidup manusia. Pewartaan Kerajaan Allah Yesus ini memiliki dampak penting bagi pembaruan pemahaman kristologis dan eklesiologis. Kata-kata Kunci: Kerajaan Allah, penyelamatan, pengampunan, sabda Yesus, karya Yesus, kehidupan manusia, pembaruan pemahaman kristologis dan eklesiologis.
Armin Kreiner, Jesus, UFOs, Aliens Außerirdische Intelligenz als Herausforderung für den christlichen Glauben, Freiburg/ Basel/Wien: Herder 2010, 218 hlm. Franz Magnis-Susesno
DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara
Publisher : STF Driyarkara - Diskursus

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (190.986 KB) | DOI: 10.36383/diskursus.v11i2.146

Abstract

Belum begitu lama dua buah berita menggoncangkan dunia (astro-fisika). Yang pertama, CERN, Pusat penelitian atom di Geneva, yang dalam dua eksperimen berturut-turut menemukan bahwa neutrino (bagian mikro paling kecil) bergerak dengan kecepatan sedikit melampaui kecepatan cahaya. Yang kedua, pada minggu kedua Januari yang lalu pengamatan astronomis mutakhir menengarai bahwa dalam Bimasakti kita rata-rata setiap dari 10 milyar bintangnya mempunyai sekurang-kurangnya satu planet yang mirip dengan planet kita, bumi. Berita pertama begitu dahsyat sehingga para ahli fisika yang membuat eksperimen itu belum mau mempercayainya, karena kalau amatan mereka betul, salah satu pilar fisika modern—teori relativitas khusus Einstein— runtuh. Sebuah revolusi baru dalam fisika. Salah satu implikasinya: kemungkinan menjalin komunikasi dengan extraterrestrial intelligence (ETI)—kalau ada—bertambah besar. Berita kedua lebih dahsyat lagi implikasinya. Sampai sekarang banyak astronom berpendapat bahwa probabilitas terjadinya planet dengan ciri-ciri seperti bumi adalah sedemikian kecil sehingga tidak mustahil kalau manusia merupakan satu-satunya makhluk berakal-budi di alam raya. Tetapi kalau di Bimasakti kita saja—satu di antara (diperkirakan) 1011 Bimasakti di seluruh alam raya—terdapat 10 milyar planet mirip bumi, adanya makhluk berakal budi di luar bumi (aliens) merupakan kemungkinan kuat. Dua penemuan ini mengangkat salah satu tantangan paling serius bagi teologi Kristiani: kalau ada makhluk berakal budi di tempat lain di alam raya, apa implikasinya bagi inti iman Kristiani, peristiwa Yesus Kristus? Apakah mereka juga perlu ditebus dari dosa? Dan kalau perlu, apakah karya penebusan Yesus juga berlaku bagi mereka? Kalau penyelamatan ilahi di planet-planet tidak berkaitan dengan Yesus Kristus, apa Yesus Kristus masih mempunyai relevansi universal dalam rencana penyelamatan ilahi? Pertanyaan-pertanyaan ini bukanlah pertanyaan iseng-iseng, melainkan menyangkut hakikat iman Kristiani. Persis masalah inilah yang dibahas oleh Armin Kreiner—guru besar teologi fundamental pada Fakultas Teologi Katolik Universitas München—dalam bukunya (yang, sayang, baru tersedia dalam bahasa Jerman). Buku ini membahas tantangan bagi teologi Kristiani andaikata ternyata selain manusia ada makhluk berakal budi lain di alam raya. ........................................ Apakah Kreiner berhasil menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis berat yang diajukannya sendiri? Inti masalahnya adalah bagaimana dua keyakinan berikut dapat dipersatukan. Pertama, bahwa kalau ada ETI di alam raya, mereka tidak kurang dicintai oleh Allah dari pada manusia bumi dan karena itu inkarnasi ilahi tidak mungkin merupakan kejadian hanya di planet bumi. Kedua, bahwa dalam manusia Yesus Allah mewahyukan diri sendiri secara unik dengan makna penyelamatan universal. Dan hal itu perlu dijawab tanpa jatuh ke dalam pluralisme relativistik àla Knitter, Hick dan Schmidt-Leukel di mana Yesus hanyalah salah satu dari pewahyuan diri Allah yang pada hakikatnya semua sama derajatnya. Kiranya Kreiner berhasil merumuskan tantangan. Ia menunjukkan arah pemecahannya, tetapi ia belum memecahkannya. Bisa diteliti apakah pemecahan dapat dicari ke arah pemikiran baru tentang Pan-en-teisme sebagai pola yang lebih cocok untuk memahami hubungan antara Sang Pencipta dan ciptaan, sebagaimana akhir-akhir ini diangkat oleh beberapa teolog (Herderkorrespondenz Spezial 2-2011). Yang jelas, kemungkinan adanya aliens menghadapkan teologi Kristiani dengan tantangannya yang barangkali paling berat, yang sampai sekarang pernah dihadapinya. Sebagai catatan penutup, tetap benar bahwa probabilitas adanya ETI, melawan segala tulisan populer dan ilmiah (sampai sekarang), tetap minim! Probabilitas matematis bahwa di sebuah planet dengan kondisi-kondisi seperti bumi kita terjadi evolusi sampai ke kehidupan intelektual adalah kurang dari satu di antara 10100 (bdk. Erbrich, 1988, dll.). Kalaupun dalam setiap dari seluruh 1011 Bimasakti terdapat 10.000 planet mirip bumi, maka jumlah planet di alam raya yang kondisi-kondisinya mirip bumi adalah 1015. Jadi probabilitas adanya ETI tetap teramat rendah. Kemungkinan besar kita tidak pernah akan mengetahui apakah ada ETI. Selama itu pertimbangan-pertimbangan dramatis di atas bisa saja hanyalah sebuah permainan teologis, namun dengan daya tantang yang memang tinggi. (Franz Magnis-Suseno, Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta).

Page 8 of 19 | Total Record : 182


Filter by Year

2010 2025


Filter By Issues
All Issue Vol. 21 No. 2 (2025): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 21 No. 1 (2025): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 20 No. 2 (2024): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 20 No. 1 (2024): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 19 No. 2 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 19 No. 1 (2023): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 2 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 18 No. 1 (2022): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 2 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 17 No. 1 (2018): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 2 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 16 No. 1 (2017): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 2 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 15 No. 1 (2016): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 2 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 14 No. 1 (2015): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 2 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 13 No. 1 (2014): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 2 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 12 No. 1 (2013): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 2 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 11 No. 1 (2012): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 2 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 10 No. 1 (2011): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara Vol. 9 No. 2 (2010): Diskursus - Jurnal Filsafat dan Teologi STF Driyarkara More Issue